Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
KETIKA
rakyat berjuang menegakkan keadilan, sebagian pejabat menjadikannya komoditas. Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi hukum, korupsi terus berulang, seperti upacara tahunan.
Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sejatinya hanyalah cermin dari wajah kekuasaan yang lama: jabatan diperjualbelikan, tanggung jawab publik digadaikan.
Dalam lanskap politik yang penuh retorika moral, terbentuk sebuah tatanan baru—Republik Tikus Berdasi.
Tikus berdasi bukan sosok pencuri kelas bawah. Mereka berjas, berpidato tentang integritas, menandatangani pakta antikorupsi, bahkan mengutip ayat moralitas di depan publik.
Namun, di balik dasi dan pidato, berlangsung perampokan uang rakyat secara sistematis. Lubang gelap tidak lagi berada di gudang beras, tetapi di proyek infrastruktur, anggaran daerah, dan mutasi jabatan.
Ketika kekuasaan berubah menjadi sarana perampasan,
korupsi
menjelma pelanggaran terhadap
hak asasi
manusia.
Korupsi sejatinya bukan sekadar penggelapan keuangan negara. Tindakan tersebut merampas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.
Setiap rupiah yang disedot dari kas publik berarti hilangnya kesempatan anak untuk belajar, pasien untuk sembuh, dan warga miskin untuk hidup bermartabat.
Korupsi menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak menumpahkan darah, tetapi mematikan harapan dan martabat manusia secara perlahan.
Fenomena korupsi di republik ini telah melampaui batas penyimpangan moral. Praktik tersebut telah bertransformasi menjadi budaya kekuasaan: dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga birokrasi kecil. Pergantian pejabat hanya mengganti wajah, bukan sistem.
Ketika hukum kehilangan wibawa dan pengawasan menjadi seremonial, republik ini hanya menukar pelaku, bukan menghentikan kejahatan.
Dalam tatanan semacam itu, tikus berdasi bukan lagi pengecualian, melainkan representasi paling jujur dari kekuasaan yang gagal menjaga amanat rakyat.
Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga merusak sendi-sendi kemanusiaan. Tindakan tersebut meniadakan kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.
Dalam perspektif hukum internasional, korupsi digolongkan sebagai salah satu penghalang utama bagi penikmatan hak-hak dasar warga negara, sebagaimana ditegaskan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
Bahkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit mengaitkan praktik korupsi dengan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Kasus operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah di wilayah Sumatra menunjukkan bahwa kekuasaan publik telah berubah menjadi instrumen rente.
Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian publik justru dimanfaatkan untuk menekan bawahan dan mengutip “jatah” dari anggaran pembangunan infrastruktur.
Praktik tersebut mengakibatkan hak masyarakat atas pembangunan, mobilitas, dan kesejahteraan sosial dirampas oleh struktur kekuasaan yang korup.
Korupsi semacam ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghambat pemenuhan hak ekonomi dan sosial warga secara langsung.
Kasus lain di daerah Jawa Timur mengungkap pola serupa. Operasi tangkap tangan yang melibatkan kepala daerah di wilayah tersebut menyingkap praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan.
Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi dan keadilan administratif, tetapi juga mengingkari hak warga negara atas pemerintahan yang bersih dan adil.
Ketika jabatan diperdagangkan, sistem pelayanan publik kehilangan nilai moralnya, dan hukum kehilangan kemampuan korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024, dari skor 34 menjadi 37, sering dijadikan penanda keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun, di balik kenaikan itu, terdapat catatan penting yang tidak dapat diabaikan.
Laporan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan penurunan skor pada indikator penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik lintas cabang kekuasaan, serta penyuapan dalam pengadaan dan bisnis publik.
Sementara itu, kajian lembaga masyarakat sipil mengungkap bahwa selama tahun 2024 hingga awal 2025, tidak ada kebijakan antikorupsi yang diimplementasikan secara sistematis.
Kenaikan skor IPK tidak dapat dibaca sebagai tanda pulihnya integritas bangsa. Skor tersebut lebih merefleksikan persepsi global yang fluktuatif ketimbang kemajuan substantif dalam penegakan hukum.
Indikator kuantitatif tidak mampu menutupi kenyataan bahwa praktik korupsi di tingkat pemerintahan pusat dan daerah masih berulang.
Ketika angka persepsi dijadikan ukuran keberhasilan, pemberantasan korupsi berisiko terjebak pada simbolisme statistik tanpa reformasi yang nyata.
Dalam kerangka hak asasi manusia, korupsi memenuhi unsur pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimuat dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diaksesi oleh Indonesia.
Setiap penyalahgunaan anggaran publik berarti meniadakan hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Korupsi dalam pelayanan publik mengakibatkan keterlantaran sosial yang bersifat sistematis, di mana hak hidup layak dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Oleh karena itu, korupsi pantas disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar pelanggaran hukum administratif.
Negara hukum kehilangan maknanya ketika hukum berhenti menjadi instrumen keadilan dan berubah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang korup.
Dalam situasi seperti ini, pelanggaran terhadap hukum bukan lagi tindakan menyimpang, melainkan bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri.
Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya “mengabdi kepada manusia,” bukan kepada struktur kekuasaan yang menindas.
Namun, ketika kepentingan politik dan ekonomi mendominasi, hukum kehilangan jiwa sosialnya, dan negara hukum berubah menjadi sekadar negara peraturan tanpa keadilan.
Kondisi tersebut menggambarkan regresi moral yang serius dalam politik hukum pemberantasan korupsi.
Reformasi hukum yang diharapkan mampu menegakkan akuntabilitas justru stagnan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa pada tahun 2024 tidak ada langkah strategis yang menunjukkan kemauan politik kuat dalam memperkuat sistem antikorupsi.
Ketiadaan kemauan politik ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeremy Pope sebagai “the politics of tolerance toward corruption”—politik yang secara diam-diam menoleransi korupsi demi stabilitas kekuasaan.
Korupsi yang dibiarkan tanpa perbaikan sistemik menggerus legitimasi negara di mata rakyat. Seperti dikemukakan Robert Klitgaard, korupsi tumbuh subur ketika terdapat
monopoly of power, discretion, and absence of accountability.
Ketiga unsur tersebut masih menjadi karakter utama birokrasi dan politik Indonesia. Ketika pengawasan internal hanya bersifat administratif dan lembaga penegak hukum terjebak dalam kompromi politik, pengendalian terhadap korupsi hanya menjadi formalitas.
Dalam keadaan semacam ini, hukum kehilangan daya korektifnya, dan aparat penegak hukum kehilangan otoritas moral di hadapan publik.
Fenomena ini menegaskan pandangan Eko Riyadi bahwa korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM struktural karena melibatkan relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan warga.
Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menihilkan hak atas pemerintahan yang bersih dan partisipatif.
Ketika korupsi merasuk ke dalam sistem politik dan birokrasi, pelanggaran HAM tidak lagi bersifat insidental, melainkan sistemik.
Dalam hal ini, pemberantasan korupsi tidak cukup berhenti pada penegakan hukum pidana, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari agenda kemanusiaan untuk memulihkan keadilan sosial.
Negara hukum sejatinya berdiri di atas dua fondasi: legitimasi moral dan integritas kelembagaan. Tanpa keduanya, hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan yang menindas, bukan yang membebaskan.
Negara yang gagal menegakkan hukum terhadap korupsi sesungguhnya telah gagal menegakkan hak asasi manusia.
Karena itu, pertarungan melawan korupsi bukan semata perang terhadap pencurian uang negara, melainkan perjuangan mempertahankan kemanusiaan dalam wajah negara yang telah lama kehilangan moralnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Ponorogo
-
/data/photo/2025/11/12/6913abf18a378.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
-

KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo
Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan enam lokasi penggeledahan yang dilakukan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada Selasa (11/11/2025). Penggeledahan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan, penggeledahan tidak hanya dilakukan di kantor bupati Ponorogo, tetapi juga di beberapa lokasi lain yang diduga terkait dengan perkara tersebut.
“Pada Selasa (11/11/2025), penyidik melakukan penggeledahan di enam lokasi. Penggeledahan dilakukan di rumah dinas bupati, rumah tersangka SC, kantor bupati, kantor sekda, kantor BKPSDM (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), serta rumah ELW,” ujar Budi kepada para jurnalis di Jakarta, dikutip dari Antara pada Rabu (12/11/2025).
Dari hasil operasi tersebut, KPK menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik yang diyakini dapat memperkuat proses penyidikan. Budi menegaskan, tindakan ini merupakan upaya paksa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menemukan dan mengamankan alat bukti.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, SC merupakan salah satu dari empat tersangka yang ditetapkan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) beberapa waktu lalu. SC diketahui bernama Sucipto, seorang pihak swasta yang menjadi rekanan di RSUD dr Harjono Ponorogo. Sementara itu, ELW disebut sebagai Ely Widodo, adik dari bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.
Budi mengimbau agar seluruh pihak yang terlibat bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung. Ia juga meminta masyarakat Ponorogo untuk mendukung langkah KPK dalam menegakkan hukum dan memberantas praktik korupsi di daerah tersebut.
Sebelumnya, pada 9 November 2025, KPK resmi menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan jabatan proyek pekerjaan di RSUD dr Harjono Ponorogo, serta dugaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo.
Keempat tersangka itu adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), Direktur RSUD dr Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM), Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP), dan Sucipto (SC) selaku pihak swasta atau rekanan RSUD.
Dalam klaster dugaan suap pengurusan jabatan, penerima suap disebutkan adalah Sugiri Sancoko bersama Agus Pramono, dengan Yunus Mahatma sebagai pemberinya.
Sementara itu, dalam klaster dugaan suap proyek di RSUD Ponorogo, Sugiri Sancoko bersama Yunus Mahatma diduga menerima suap dari Sucipto.
Adapun pada klaster dugaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo, penerima gratifikasi adalah Sugiri Sancoko, sedangkan pemberinya kembali disebut Yunus Mahatma.
Dengan penggeledahan di enam lokasi ini, KPK memperkuat penyidikan kasus suap dan gratifikasi di Ponorogo yang diduga melibatkan pejabat penting daerah serta pihak swasta.
-
/data/photo/2025/11/09/690f88364c89c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo, KPK Sita Uang hingga Dokumen Elektronik
Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo, KPK Sita Uang hingga Dokumen Elektronik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah barang bukti dari penggeledahan di enam lokasi sebagai tindak lanjut operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, dalam kasus dugaan suap pengurusan jabatan, proyek RSUD Ponorogo, serta gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
“Dalam rangkaian giat tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik. Selain itu, di rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barang bukti uang,” ungkap Juru Bicara
KPK
, Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025).
Budi mengungkapan, penggeledahan ini berlangsung pada Selasa (11/11/2025).
Sementara enam lokasi penggeledahan meliputi rumah dinas bupati, rumah Sugiri Sancoko, kantor bupati, kantor sekretaris daerah, kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dan rumah seseorang berinisial ELW.
Budi menjelaskan, barang bukti dari hasil penggeledahan ini akan menjadi petunjuk bagi penyidik dalam proses penanganan perkara.
“Penggeledahan yang dilakukan penyidik sebagai upaya paksa dalam rangkaian kegiatan penyidikan dibutuhkan untuk mencari dan menemukan barang bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP,” jelas dia.
KPK menetapkan
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko
sebagai tersangka dugaan pengurusan jabatan, suap proyek RSUD Ponorogo, dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
Sugiri ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya.
Mereka adalah Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu Sugiri, Agus, Yunus, dan Sucipto,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Sugiri lebih dulu terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
Dalam OTT tersebut, KPK menangkap 13 orang, di mana empat di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/10/69112aba4f8cd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor
KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah enam lokasi sebagai pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko atas kasus dugaan pengurusan jabatan, suap proyek RSUD Ponorogo, dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
“Hari ini, Selasa, 11 November, penyidik melakukan penggeledahan di enam lokasi,” ujar Juru Bicara
KPK
Budi Prasetyo saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025).
Budi merinci, penggeledahan tersebut berlangsung di rumah dinas bupati, rumah Sugiri Sancoko, kantor bupati, kantor sekretaris daerah, kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dan rumah seseorang berinisial ELW.
“Dalam rangkaian giat tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik. Selain itu, di rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barang bukti uang,” ungkap dia.
Budi menjelaskan, barang bukti dari hasil penggeledahan ini akan menjadi petunjuk bagi penyidik dalam proses penanganan perkara.
“Penggeledahan yang dilakukan penyidik sebagai upaya paksa dalam rangkaian kegiatan penyidikan dibutuhkan untuk mencari dan menemukan barang bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP,” jelas dia.
KPK menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sebagai tersangka dugaan pengurusan jabatan, suap proyek RSUD Ponorogo, dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
Sugiri ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya.
Mereka adalah Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu Sugiri, Agus, Yunus, dan Sucipto,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Sugiri lebih dulu terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
Dalam OTT tersebut, KPK menangkap 13 orang, di mana empat di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Geledah Ruang Bupati Ponorogo, Sekda, hingga Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Selama 7 Jam
Ponorogo (beritajatim.com) – Kurang lebih selama 7 jam, penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah beberapa ruang di kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo Gedung Sasana Krida Praja. Yang digeledah ruang kerja Bupati Ponorogo dan Sekda Ponorogo. Selain itu, para penyidik juga menggeledah di Pringgitan, rumah dinas bupati dan kantor bagian pengadaan barang dan jasa.
“Tadi segel dari KPK yang menempel di pintu ruang kerja bupati dan sekda dibuka penyidiknya,” kata Kabag Prokopim, Hadi Priyanto, usai penggeledahan, Selasa (11/11/2025).
Hadi mengaku tidak menghitung berapa koper yang berisi berkas yang dibawa oleh penyidik KPK tersebut. Penyidik masuk sudah membawa koper sendiri. “Mereka (para penyidik-red) membawa koper sendiri. Tetapi saya tidak tahu dalamnya isinya apa,” katanya.
Hadi menyebut, setelah segel di beberapa ruangan itu dibuka, maka nantinya rungan itu bisa digunakan lagi. Para penyidik, kata Hadi paling lama menggeledah di ruangan sekda. “Tadi yang lama ya menggeledah ruangan sekda,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, suasana tegang menyelimuti kompleks kantor Bupati Ponorogo di Jalan Alun-Alun Utara, Kelurahan Mangkujayan. Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba dan langsung melakukan penggeledahan di ruang kerja bupati dan ruang sekda Ponorogo di lantai 2 di komplek Gedung Sasana Krida Praja.
Proses itu berlangsung di bawah penjagaan ketat aparat Polres Ponorogo yang bersenjata lengkap. Akses menuju lantai 2 langsung ditutup. Belum ada keterangan resmi dari lembaga antirasuah itu terkait penggeledahan ini.
Namun, sejumlah sumber di lingkungan Pemkab Ponorogo menyebut langkah tersebut diduga berkaitan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan beberapa waktu lalu dan telah menyeret sejumlah pejabat daerah. [end/suf]
-

Penyidik KPK Geledah Sejumlah Ruangan di Kantor Pemkab Ponorogo: Pengawasan Ketat Polisi Bersenjata Lengkap
Ponorogo (beritajatim.com) – Suasana tegang menyelimuti kompleks kantor Bupati Ponorogo di Jalan Alun-Alun Utara, Kecamatan Mangkujayan, Selasa (11/11/2025) siang. Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba dan langsung melakukan penggeledahan di ruang kerja bupati dan ruang sekda Ponorogo di lantai 2 di komplek Gedung Sasana Krida Praja.
Pantauan wartawan beritajatim di lokasi, tim KPK datang sekitar pukul 11.10 WIB. Mereka membuka segel yang sebelumnya menutup pintu ruang bupati, lalu masuk dengan membawa tas dan sejumlah peralatan khusus penyidikan. Proses itu berlangsung di bawah penjagaan ketat aparat Polres Ponorogo yang bersenjata lengkap.
Akses menuju lantai 2 langsung ditutup. Belum ada keterangan resmi dari lembaga antirasuah itu terkait penggeledahan ini. Namun, sejumlah sumber di lingkungan Pemkab Ponorogo menyebut langkah tersebut diduga berkaitan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan beberapa waktu lalu dan telah menyeret sejumlah pejabat daerah.
Aktivitas di sekitar lokasi berlangsung terbatas, dengan penjagaan ketat dari aparat kepolisian. Meski demikian, roda pemerintahan di lingkungan Pemkab Ponorogo disebut tetap berjalan. Beberapa ASN terlihat keluar-masuk kantor dinas di area sekitar komplek pemerintahan. Namun, sorot mata mereka tak lepas dari pintu ruang bupati dan sekda yang tengah digeledah lembaga antikorupsi itu. [end/aje]
-

Residivis Curanmor di Ponorogo Kembali Ditangkap Setelah Curi Motor dengan Kunci Tertancap
Ponorogo (beritajatim.com) – Seorang pria berinisial SO (47), warga Kecamatan Jetis, Ponorogo, kembali berurusan dengan hukum setelah tertangkap mencuri sepeda motor milik warga Desa Karang Gebang, Kecamatan Jetis. SO yang merupakan residivis kasus pencurian sepeda motor (curanmor) ini ditangkap setelah mencuri kendaraan yang kuncinya masih tertancap di teras rumah korban.
Peristiwa pencurian terjadi pada Senin, 1 September 2025. Berdasarkan hasil penyelidikan, SO berjalan kaki dari rumahnya dengan niat mencari sepeda motor yang mudah diambil. Saat melintas di depan rumah milik warga berinisial MAC, pelaku melihat sepeda motor Honda warna hitam merah dengan pelat AE 4137 UG terparkir di teras rumah, dan kuncinya masih tertancap.
“Melihat situasi sepi, pelaku langsung mengambil sepeda motor tersebut dan membawanya pergi tanpa seizin pemilik,” terang Wakapolres Ponorogo Kompol Ari Bayuaji, Selasa (11/11/2025).
Tak sampai setengah jam setelah beraksi, sekitar pukul 19.10 WIB, SO menjual sepeda motor hasil curiannya seharga Rp1,5 juta kepada seseorang. Uang hasil penjualan itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Petugas Satreskrim Polres Ponorogo yang menerima laporan masyarakat segera melakukan penyelidikan, dan beberapa jam kemudian berhasil mengamankan pelaku di sebuah warung dekat PMI Ponorogo.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa SO bertindak seorang diri tanpa alat bantu, hanya bermodal kesempatan. “Pelaku ini merupakan residivis. Dari hasil penyidikan, dia sudah dua kali melakukan pencurian sepeda motor di wilayah Ponorogo dengan modus yang sama,” jelas Kompol Ari Bayuaji.
Polisi mengungkapkan bahwa dalam setiap aksinya, SO memilih sasaran secara acak dengan mencari kendaraan yang kuncinya masih tertancap. Ia memanfaatkan lingkungan yang sepi dan aman untuk melancarkan aksinya.
Atas perbuatannya, penyidik menjerat SO dengan Pasal 363 ke-3e Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian dengan pemberatan, yang ancaman hukumannya mencapai pidana penjara maksimal tujuh tahun. “Motif pelaku adalah ekonomi. Hasil curian dijual untuk memenuhi kebutuhan pribadi,” tambah Wakapolres.
Kasus ini menjadi pengingat bagi masyarakat Ponorogo agar lebih berhati-hati dalam menjaga kendaraan pribadi. Polisi mengimbau warga tidak meninggalkan kunci motor tertancap, bahkan hanya dalam waktu singkat, karena kondisi tersebut sering dimanfaatkan pelaku curanmor.
Kompol Ari Bayuaji juga menekankan pentingnya peran aktif masyarakat dalam menjaga keamanan lingkungan. “Peran masyarakat sangat besar. Begitu ada laporan cepat, anggota kami bisa segera bergerak dan menangkap pelaku,” pungkasnya. [end/beq]
-

BMKG: Hujan Petir Berpotensi Guyur Ngawi, Magetan, dan Ponorogo Siang Ini 11 November 2025
Surabaya (beritajatim.com) – Warga Ngawi, Magetan, dan Ponorogo diimbau untuk waspada terhadap potensi hujan petir yang akan melanda wilayah tersebut pada siang hingga sore hari, Selasa (11/11/2025).
Berdasarkan laporan prakirawan BMKG Juanda, Oky Sukma Hakim, S.Tr., cuaca di tiga wilayah Jawa Timur bagian barat ini akan didominasi hujan dengan intensitas bervariasi, disertai kelembapan udara tinggi dan suhu udara yang relatif sejuk.
“Masyarakat di wilayah Ngawi, Magetan, dan Ponorogo diharapkan tetap waspada terhadap potensi hujan petir pada siang hingga sore hari. Aktivitas luar ruangan sebaiknya dibatasi saat intensitas hujan meningkat,” ujar Oky Sukma Hakim dalam keterangan resmi BMKG Juanda, Selasa (11/11).
Di Kabupaten Ngawi, langit diperkirakan mulai berawan sejak pagi hari pukul 09.00 WIB hingga menjelang siang pukul 12.00 WIB. Memasuki pukul 13.00 WIB, hujan dengan intensitas sedang akan mengguyur wilayah ini dan meningkat menjadi hujan petir antara pukul 14.00 hingga 16.00 WIB.
Meski intensitasnya menurun, hujan ringan masih akan berlangsung hingga sekitar pukul 18.00 WIB, sebelum kembali berawan pada malam hari hingga pukul 23.00 WIB. Suhu udara di Ngawi berkisar antara 23 hingga 28 derajat Celcius, dengan kecepatan angin dari arah Barat Daya sekitar 5 km/jam dan kelembapan udara mencapai 76 hingga 98 persen.
Menurut Oky, pola cuaca di Ngawi hari ini dipengaruhi oleh kondisi atmosfer yang cukup lembab.
“Udara lembab yang cukup tinggi menjadi pemicu terbentuknya awan-awan konvektif, yang kemudian menimbulkan hujan petir pada siang hingga sore hari,” jelasnya.
Sementara itu, Magetan diperkirakan akan diguyur hujan ringan mulai pukul 10.00 WIB dan berlanjut hingga sekitar pukul 13.00 WIB. Kondisi cuaca kemudian berubah menjadi hujan petir pada pukul 14.00 hingga 16.00 WIB.
Setelah itu, langit Magetan diprediksi berawan mulai pukul 17.00 WIB hingga 22.00 WIB, lalu mengalami udara kabur menjelang tengah malam. Suhu udara di Magetan berada pada kisaran 22 hingga 27 derajat Celcius, dengan kecepatan angin dari arah Selatan-Barat Laut sekitar 4,4 km/jam serta kelembapan udara antara 79 hingga 98 persen.
“Bagi masyarakat di Magetan, kami sarankan agar tetap berhati-hati terutama saat sore hari. Jangan berteduh di bawah pohon saat hujan disertai petir karena berisiko tersambar,” tambahnya.
Tak jauh berbeda, Ponorogo juga diperkirakan akan diguyur hujan ringan sejak pukul 10.00 WIB, yang kemudian meningkat menjadi hujan petir pada pukul 11.00 WIB dan bertahan hingga sore sekitar pukul 16.00 WIB.
Menjelang petang hingga malam hari, hujan ringan masih mungkin terjadi sebelum akhirnya langit berawan hingga pukul 23.00 WIB. Suhu udara di Ponorogo berkisar antara 24 hingga 30 derajat Celcius, dengan kecepatan angin dari arah Barat Laut mencapai 7,9 km/jam, serta kelembapan udara cukup tinggi yaitu 67 hingga 96 persen.
Oky menegaskan bahwa perubahan cuaca mendadak di tiga wilayah ini masih dalam kategori normal untuk periode peralihan musim.
“Fenomena hujan petir yang terjadi siang hingga sore merupakan hal umum di masa pancaroba. Namun, masyarakat tetap perlu waspada terhadap potensi genangan dan angin kencang lokal,” katanya.
BMKG juga mengimbau masyarakat untuk terus memperbarui informasi cuaca melalui kanal resmi BMKG agar dapat mengantisipasi kondisi ekstrem.
“Kami terus memantau dinamika atmosfer. Jika terjadi perubahan signifikan, informasi akan segera disampaikan melalui media resmi BMKG,” tutup Oky. [mnd/aje]
-
/data/photo/2025/11/10/69112aba4f8cd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu? Nasional
Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Dalam kasus jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti peran Sekretaris Daerah (Sekda) Agus Pramono.
Bukan hanya sebagai penerima duit suap, tetapi
Agus Pramono
disebut menjabat selama 13 tahun sebagai sekda Pemkab Ponorogo, jabatan yang lebih panjang daripada presiden dua periode.
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025), Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, Agus kemungkinan besar melancarkan aksi jual-beli jabatan pada periode kepemimpinan kepala daerah sebelumnya.
“Di samping dia menerima juga, apakah juga dia mempertahankan juga dengan memberi. Jadi, ada dia menerima dari kepala dinas dan untuk mempertahankannya, apakah dia memberi juga ke bupati. Itu juga kami dalami,” kata Asep.
Perbuatan Agus bersama
Bupati PonorogoSugiri Sancoko
berdampak besar pada pembangunan daerah, khususnya terkait regenerasi dan sistem meritokrasi di pemerintahan.
Karena kasus jual-beli jabatan, Asep mengatakan orang-orang atau pejabat yang memiliki kompetensi yang seharusnya menjabat di tempat tertentu justru digantikan oleh mereka yang memiliki koneksi dan uang.
Pengisian jabatan jadi celah bagi para pejabat yang memiliki kewenangan untuk praktik korupsi.
“Yang imbasnya ke depan adalah karena pertama, jabatan tersebut diisi oleh orang-orang atau diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak berkompeten, tidak memiliki kompetensi di jabatan tersebut, maka tidak bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat,” kata Asep saat konferensi pers penetapan tersangka Bupati Ponorogo, Minggu (9/11/2025).
Dari kasus ini, timbul pertanyaan bolehkah sekda menjabat selama itu?
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan secara singkat, normalnya Sekda menjabat selama lima tahun.
Namun tidak menutup kemungkinan mereka bisa lebih dari lima tahun jika kinerjanya dianggap bagus.
“Lima tahun harus dievaluasi, bila bagus bisa diperpanjang,” ucapnya kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).
Dalam Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 juga dijelaskan secara gamblang bahwa jabatan Sekda bisa diperpanjang tanpa batas, sesuai dengan kinerjanya.
Hal ini termaktub dalam Pasal 117 ayat 1 dan 2 UU ASN 5/2014 yang berbunyi:
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lina Miftah Jannah mengatakan, meski secara regulasi dibenarkan, namun pejabat tak sebaiknya berlama-lama di satu tempat tertentu.
Karena praktik korupsi seperti di Probolinggo tersebut biasanya akan dilakukan oleh para pejabat yang sudah ahli dalam bidang birokrasi.
Melihat status jabatan Sekda yang melampaui presiden dua periode, ada kemungkinan sudah mengetahui celah yang bisa mereka mainkan untuk praktik korupsi.
“Terhadap mereka yang sudah terlalu lama atas jabatan yang terlalu lama dalam jabatan yang sama atau sejenis, maka mereka sudah tahu celah-celahnya,” imbuhnya.
Para pejabat yang disebut “kreatif” memanfaatkan celah regulasi dan mulai memberikan bisikan pada kepala daerah untuk memainkan celah tersebut.
Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi menilai, perlu ada penempatan Sekda Pemda dari pemerintah pusat.
Sekda dianggap tak bisa lagi menjadi representasi keinginan kepala daerah.
“Pemerintah daerah itu sebagai pengguna saja,” imbuhnya.
Selain itu, mengembalikan lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menjadi sangat krusial untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh terkait merit sistem di lingkungan ASN daerah.
Karena setelah KASN bubar, tak ada lagi fungsi pengawasan sistem merit yang benar-benar berjalan dan dilaksanakan oleh lembaga independen.
“Walaupun zaman ada KASN juga ada jual-beli jabatan, tapi fungsi kontrolnya akan menjadi lebih lemah sekali,” kata Yogi kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).
Sebab itu, dia mengatakan perlu ada tindakan lanjutan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar lembaga seperti KASN dibentuk kembali.
Adapun putusan MK yang dimaksud yakni 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang 16 Oktober 2025.
Dalam amar putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 26 ayat 2 UU ASN 20/2023 yang menghapus keberadaan KASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai penerapan pengawasan sistem merit, termasuk penerapan terhadap asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.
Dia berharap agar pemerintah bisa memasukkan putusan MK ini dalam revisi UU ASN yang sedang menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) di tahun ini.
Namun tidak hanya sekadar membentuk KASN, Yogi berharap agar lembaga tersebut juga diisi oleh anak-anak muda yang bisa memberikan warna berbeda terhadap lembaga tersebut.
Efek praktik korupsi jual beli jabatan ini tak hanya sampai di sistem merit, tetapi pejabat yang sudah membayar untuk posisi yang ia jabat juga akan berpikir untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan.
Asep Guntur juga menyinggung skor pengelolaan SDM secara nasional masih rendah, yakni di angka 65,93 poin.
Hal ini menunjukkan tindak korupsi dengan modus jual-beli jabatan masih cukup tinggi, karena penempatan pejabat di tempat di satuan perangkat daerah belum sesuai harapan.
Secara khusus, tren penurunan juga terjadi di Kabupaten Ponorogo.
“Kemudian khusus di Kabupaten Ponorogo skor SPI menunjukkan tren penurunan dari skor 75,87 pada tahun 2023 menjadi 73,43 pada tahun 2024 atau menurun hampir 2 poin lebih,” katanya.
“Penurunan ini juga terjadi pada komponen pengelolaan SDM dari 78,27 menjadi 71,76. Ini menurunnya sangat jauh hampir 6, sekian persen. Oleh karena itu kegiatan tertangkap tangan yang dilakukan oleh KPK di Kabupaten Ponorogo ini secara valid mengkonfirmasi data tersebut,” kata Asep lagi.
Dia menyimpulkan, penurunan skor pengelolaan SDM ini karena praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, sehingga orang atau pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensinya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.