kab/kota: Penggilingan

  • Gaduh Beras Oplosan: Penggilingan Padi Tutup hingga Ritel Pangkas Harga

    Gaduh Beras Oplosan: Penggilingan Padi Tutup hingga Ritel Pangkas Harga

    Bisnis.com, JAKARTA — Puluhan penggilingan padi kecil menutup bisnisnya imbas adanya kekhawatiran dalam menjalankan usaha perberasan di Tanah Air. Hal ini terjadi usai adanya temuan beras yang tidak sesuai mutu dan dijual menjadi beras premium alias beras oplosan.

    Ombudsman mengungkap sebanyak 10 dari 23 penggilingan padi kecil menutup usahanya usai ramai temuan beras oplosan.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, temuan itu ia dapatkan saat Ombudsman melakukan uji petik di Kecamatan Tempuran, Karawang dan sekitarnya.

    “Ada 23 penggilingan padi di wilayah itu dan 10 [penggilingan padi] sudah tutup sekarang. Apa penyebab tutupnya? Selain persaingan juga karena kondisi yang sekarang terjadi, ada ketakutan,” kata Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Yeka juga menemukan stok beras di penggilingan padi semakin menipis imbas kasus beras oplosan. Kini, stok beras di tingkat penggilingan padi hanya berkisar 5–10%. Padahal, sebelumnya, rata-rata stok beras di penggilingan padi biasanya mencapai 100 ton. Namun, saat ini, stoknya hanya mencapai 5%.

    Yeka mengungkap, stok beras yang semakin menipis di tingkat penggilingan padi lantaran mereka takut dalam menjalankan usaha perberasan.

    “Kami tanya mengapa seperti ini? Mereka [penggilingan padi] menjawab sama, takut,” ujarnya.

    Bahkan kini, Yeka menyebut, para penggilingan padi menjual beras dengan karung polos tanpa mencantumkan label.

    Untuk itu, Ombudsman meminta agar pemerintah segera mengembalikan kondisi perberasan Indonesia menjadi kondusif, mulai dari penggilingan kecil, penggilingan besar, hingga pedagang kecil juga besar. Dengan begitu, beras di tingkat konsumen tersedia dengan harga terjangkau.

    “Karena semuanya sama begitu, mengatakan ‘kami takut’. Nah, ini kita negara apa kalau pelaku usaha perberasan seperti ini seperti mereka ini jualan barang haram atau jualan barang yang tidak legal sampai takut. Jadi, pemerintah harus segera membuat rasa aman dan nyaman,” ujarnya.

    Dalam catatan Bisnis, Presiden Prabowo Subianto pernah mengancam akan menyita penggilingan padi nakal yang mempermainkan harga beras lantaran telah mengganggu hajat hidup orang banyak.

    Prabowo mengungkap dirinya mendapatkan laporan bahwa pada 2,5 bulan lalu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat penggilingan telah sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) di level Rp6.500 per kilogram.

    Prabowo juga mengeklaim telah menertibkan pengusaha penggilingan padi dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 33.

    Terlebih, dia menyatakan penggilingan padi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

    “Kalau penggilingan padi tidak mau tertib, tidak mau patuh kepada kepentingan negara. Ya, saya gunakan sumber hukum ini, saya katakan saya akan sita penggiling-penggiling padi itu,” ujar Prabowo dalam pidato saat meluncurkan kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Senin (21/7/2025).

    Kepala Negara RI kembali menekankan bahwa dirinya tak segan-segan akan menyita penggilingan padi dan menyerahkannya ke koperasi, termasuk Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih.

    “Saya akan sita dan akan saya serahkan [penggilingan padi] kepada koperasi untuk dijalankan,” ucap Prabowo.

    Dalam kesempatan itu, Prabowo juga mengungkap pengusaha penggilingan padi yang nakal juga diisi oleh para pemain besar. Namun, dia tidak merinci daftar pemain besar pengusaha penggilingan padi yang nakal itu.

    “Waktu saya dapat laporan, ada penggiling-penggiling padi yang nakal-nakal. Yang aneh, penggilingan padi yang besar yang paling nakal,” tutupnya.

    Ancaman Kelangkaan

    Ombudsman mengkhawatirkan risiko terjadinya kelangkaan beras imbas kasus beras oplosan akan melebar ke hal lain, termasuk ke ranah politik.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkap kelangkaan maupun ketiadaan stok beras itu terkonfirmasi dari pertemuan yang telah dilakukan Ombudsman dengan pelaku usaha beras.

    Berdasarkan informasi yang ia terima, kelangkaan maupun ketiadaan stok beras terkonfirmasi. Di mana, penggilingan besar yang biasanya memiliki stok 30.000 ton setiap hari, kini hanya memiliki 2.000 ton.

    Padahal, Yeka menilai, ketersediaan pangan merupakan hal yang penting dibandingkan yang lain. Menurut Yeka, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan beras agar tak merembet ke persoalan lain.

    “Ketersediaan pangan ini akhirnya menjadi hal penting, hal utama dibandingkan dengan hal-hal yang lainnya. Karena kalau sampai beras ini tidak ada, isunya bisa lari ke mana-mana, bisa ke persoalan politik dan lain sebagainya,” kata Yeka konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

  • Ombudsman Soroti Risiko Politik di Balik Kelangkaan Beras

    Ombudsman Soroti Risiko Politik di Balik Kelangkaan Beras

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengkhawatirkan kelangkaan beras imbas kasus beras oplosan akan melebar ke hal lain, termasuk ke ranah politik.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkap kelangkaan maupun ketiadaan stok beras itu terkonfirmasi dari pertemuan yang telah dilakukan Ombudsman dengan pelaku usaha beras.

    Berdasarkan informasi yang ia terima, kelangkaan maupun ketiadaan stok beras terkonfirmasi. Di mana, penggilingan besar yang biasanya memiliki stok 30.000 ton setiap hari, kini hanya memiliki 2.000 ton.

    Padahal, Yeka menilai, ketersediaan pangan merupakan hal yang penting dibandingkan yang lain. Menurut Yeka, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan beras  agar tak merembet ke persoalan lain.

    “Ketersediaan pangan ini akhirnya menjadi hal penting, hal utama dibandingkan dengan hal-hal yang lainnya. Karena kalau sampai beras ini tidak ada, isunya bisa lari ke mana-mana, bisa ke persoalan politik dan lain sebagainya,” kata Yeka konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Untuk itu, Ombudsman mendorong agar pemerintah segera melepas cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog ke pasar. “Yang paling yang harus segera dirumuskan oleh pemerintah sekarang, masyarakat perlu ketersediaan beras,” ujarnya.

    Namun, Yeka menyebut pemerintah perlu menahan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 (Perbadan 2/2023) tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, sebelum melepas CBP milik Bulog ke masyarakat.

    Sebab, ungkap Yeka, para penggilingan padi enggan menyerap gabah setara beras milik Bulog lantaran sebagian beras sudah lama tertimbun alias tak memenuhi persyaratan mutu dari Perbadan 2/2023.

    “Sebagian beras yang ada di Bulog itu, itu kan beras impor tahun lalu Ada yang berumur 1 tahun, Februari 2024, jadi sudah 1 tahun lebih. Otomatis pasti, mohon maaf, bau apek,” ujarnya.

    Di sisi lain, dalam Perbadan 2/2023 pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor beras untuk diedarkan wajib memenuhi persyaratan, minimal bebas hama, bebas bau apek, asam, dan bau asing lainnya, dan persyaratan keamanan.

    “Di dalam persyaratan mutu label, pelaku usaha dilarang mengolah ataupun juga menggunakan beras apek sebagai bahan baku untuk trading beras,” jelas Yeka.

    Oleh karena itu, sambung dia, Ombudsman meminta agar Bapanas menunda pemberlakuan Perbadan 2/2023 agar beras bisa tersedia di pasar.

    “Jadi orang bolehlah tidak sesuai, tidak memenuhi semua, tidak harus memenuhi semua persyaratan. Beberapa persyaratan seperti butir patah bisa, tetapi seperti bau apek, di Bulog berasnya sudah sebagian bau apek. Kalau itu dilarang, bagaimana?“ tuturnya.

    Meski begitu, Yeka menjelaskan bahwa beras apek tersebut masih bisa diproses lagi sebab ini hanya persoalan penyimpanan.

    Stok Beras Bulog Melimpah

    Dalam catatan Bisnis, Perum Bulog mengungkap total stok yang dikuasai telah mencapai 4,2 juta ton beras per 14 Juli 2025.

    Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyatakan stok beras jumbo yang dikuasai Bulog itu terdiri dari CBP dan stok komersial.

    “Per 14 Juli 2025, itu cadangan beras pemerintah adalah totalnya 4.237.120 ton. Kemudian untuk stok komersialnya adalah 14.139 ton. Jadi total beras kita adalah sekitar 4.251.259 ton,” ujar Rizal dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin (14/7/2025).

    Sementara itu, realisasi pengadaan gabah kering panen (GKP) telah mencapai 3,7 juta ton dan realisasi pengadaan beras sebesar 726.000 ton. Dengan demikian, total pengadaan beras dalam negeri pada 2025 mencapai 2.765.051 ton.

    “Untuk pengadaan gabah menyumbang sekitar 75% dari total realisasi pengadaan beras yang mencerminkan fokus strategis Bulog dalam mendukung petani secara langsung,” jelasnya.

    Adapun seiring dengan stok beras di gudang Perum Bulog yang menumpuk, Rizal memastikan pihaknya secara rutin melakukan perawatan setiap bulan, mulai dari fumigasi, pengemasan ulang (repackaging), hingga penyemprotan.

    Selain itu, dia juga memastikan Bulog melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) dalam hal perawatan beras di gudang Bulog. “Supaya ini bisa long time, long term itu berasnya,” imbuhnya.

    Rizal menyebut dana yang digelontorkan Perum Bulog untuk mengelola beras di dalam gudang tergantung dari kapasitas gudang dan jumlah beras. Namun, dia enggan memberikan informasi secara detail berapa dana yang digelontorkan Bulog dalam melakukan perawatan di gudang. 

    “Gudang filial hampir di seluruh provinsi ada, karena kan jumlah yang sekarang 4,2 juta ton itu kan cukup besar. Mungkin di tempat kami juga sudah full, jadi ada beberapa pihak-pihak gudang yang rekanan dan sebagainya yang harus kita pinjam atau kita sewa,” pungkasnya.

  • Terungkap! Ini Biang Kerok Harga Beras di Pasar Lebih Mahal dari Ritel Modern

    Terungkap! Ini Biang Kerok Harga Beras di Pasar Lebih Mahal dari Ritel Modern

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengungkap harga beras di pasar tradisional jauh lebih mahal dibandingkan ritel modern. Kondisi ini jauh berbeda dengan harga beras di ritel modern yang justru sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET).

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan beras yang kini dijual di pasar tradisional paling murah dibanderol Rp12.000 per kilogram, sedangkan paling mahal mencapai Rp16.500 per kilogram.

    Ini artinya, harga beras yang dijual di pasar tradisional telah melambung di atas HET beras premium. Sebagai informasi, HET beras premium nasional dibanderol Rp14.900 per kilogram.

    “Kemarin saya melihat di pasar Ini ironisnya begini. Kan tadi saya katakan paling murah Rp12.000 [per kilogram], paling mahal itu Rp16.500 [per kilogram]. Jadi, barang beras yang sekarang ada di pasar itu Sudah melebihi HET-nya. Kan HET premium itu Rp14.900 [per kilogram], kemarin Rp16.500 [per kilogram],” kata Yeka konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Menurut Yeka, telah terjadi fenomena kesenjangan implementasi kebijakan harga (HET) antara pasar tradisional dan pasar modern.

    Hal ini dibuktikan dengan masyarakat yang membeli beras di pasar tradisional justru harus membayar lebih mahal dibanding pasar modern (kelas menengah ke atas), yang menikmati harga sesuai HET.

    “Coba bisa dibayangkan di pasar tradisional, masyarakat ketemu dengan harga beras di atas HET. Di pasar modern, masyarakat ketemu harga HET. Jadi, sebetulnya kebijakan HET ini menguntungkan siapa?” ujarnya.

    Alhasil, masyarakat di pedesaan harus merogoh kocek lebih mahal untuk bisa menikmati beras berkualitas yang dibeli di pasar tradisional maupun toko kelontong seperti warung Madura.

    “Kalau di perdesaan, masyarakat akhirnya kalau ingin menikmati beras yang enak harus membeli di atas HET. Silakan dicek warung-warung Madura dan segala macam, [beras] di atas HET semua,” tuturnya.

    Yeka menyebut fenomena ini merupakan hal yang tidak adil bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah yang berbelanja ke pasar tradisional atau warung kecil.

    “Kalau kita beli beras ke supermarket Kita harus beli beras lebih murah, jadinya sesuai HET. Padahal, orang yang masuk ke pasar supermarket itu adalah menengah atas. Jadi, nggak fair,” ungkapnya.

    Ombudsman menyimpulkan, biang kerok mahalnya harga beras di pasar tradisional lantaran telah terjadi subsidi terbalik yang menguntungkan konsumen kelas menengah ke atas. Sebab, masyarakat kecil yang membeli beras di pasar tradisional justru membayar lebih mahal.

    Yeka mengungkap, penggilingan menjual beras ke ritel modern dengan harga sesuai HET, sehingga keuntungan mereka berkurang. Sayangnya, untuk menutup kerugian, penggilingan justru menaikkan harga beras yang dijual ke pasar tradisional.

    “Karena ternyata ini kompensasi bagi penggilingan atau bagi perusahaan si supermarket, katakanlah dia rugi kalau di pasar tradisional, dia bisa dapat untung. Jadi pasar tradisional yang mensubsidi barang di pasar supermarket,” terangnya.

    Yeka menegaskan fenomena ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, di mana masyarakat memerlukan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau.

    Dia menekankan bahwa tugas negara adalah menyediakan pangan dengan harga yang terjangkau. Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi di lapangan.

    “Tapi ini kebalik. Di pasar modern, masyarakat mendapatkan harga yang relatif murah. Tapi di pasar tradisional, masyarakat mendapatkan harga yang relatif mahal,” pungkasnya.

  • Ombudsman Ungkap Beras Sisa Impor Menumpuk Setahun di Gudang Bulog

    Ombudsman Ungkap Beras Sisa Impor Menumpuk Setahun di Gudang Bulog

    Jakarta

    Ombudsman mengungkap beras sisa impor tahun lalu yang masih berada di Gudang Bulog. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan umur stok beras tersebut pun sudah setahun lamanya dan tidak disalurkan ke pasar.

    “Sebagian beras yang ada di Bulog itu kan beras impor tahun lalu. Ada yang berumurnya sudah 1 tahun, dari Februari 2024. Jadi sudah 1 tahun lebih, otomatis pasti mohon maaf, bau apek. Nah, sementara di dalam persyaratan mutu label, pelaku usaha dilarang mengolah ataupun juga menggunakan beras apek sebagai bahan baku untuk trading (perdagangan) beras,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Menurutnya beras di gudang Perum Bulog yang sudah mengalami bau tidak sedap karena kondisi lamanya penyimpanan, tetap bisa dikonsumsi masyarakat. Namun hal itu bisa dilakukan jika beras tersebut dilakukan proses perbaikan lagi oleh Perum Bulog.

    “Lantas kalau bau apek itu, masyarakat masih bisa konsumsi. Karena bisa diolah lagi, bisa diproses lagi. Jadi jangan dipikir bahwa nanti beras apek, lantas konsumen tidak akan bisa konsumsi, tidak. Itu persoalan penyimpanan saja. Jadi itu bisa diproses lagi. Namun proses ini (terkendala) peraturan tadi, dilarang memproses yang baru apek. Akhirnya, ya, ketersediaan beras sebagai pasokan nanti berkurang,” ungkapnya.

    Dia pun mendorong Badan Pangan Nasional agar memberikan kebijakan kepada Perum Bulog untuk segera melakukan pelepasan stok tersebut ke pasaran demi menstabilkan harga.

    “Ke depan diharapkan Badan pangan Nasional lentur untuk merespons pemberlakuan Perbadan nomor 2 tahun 2023 terkait mutu beras. Terkait mutu dan label beras, kalau tidak salah agar beras bisa tersedia di pasar, beras harus segera dilepas,” terang Yeka.

    Penggilingan padi tutup, pasokan beras mulai seret

    Menurut Yeka kelangkaan beras mulai terjadi di penggilingan padi dan ritel modern. Ia mengatakan temuan ini setelah dirinya dan tim melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah penggilingan di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat.

    Dari sidak itu didapat informasi di kawasan tersebut terdapat 23 penggilingan padi. Namun sudah ada 10 penggilingan yang gulung tikar. Temuan berikutnya, stok beras di penggilingan telah menipis.

    Kondisi ini terjadi karena dua hal. Pertama karena produksi padi yang menurun dan kedua ketakutan penggilingan tersebut menjalankan usahanya. Ketakutan ini terjadi imbas pemeriksaan dari penegak hukum terkait mutu, kualitas, hingga kasus oplosan beras.

    “Stok mereka berkisar antar 5% sampai 10%. Jadi misalnya biasanya mereka punya 100 ton rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton. Jadi stok penggilingan bukan kosong lah, stoknya menipis,” ujarnya.

    Kemudian, Yeka juga telah mengundang sejumlah pelaku usaha untuk mengkonfirmasi temuan tersebut. Menurutnya, terdapat penggilingan besar yang stoknya juga menipis. Sayangnya, dia enggan menyebutkan nama penggilingan besar tersebut.

    “Ada penggilingan besar yang biasanya punya stok 30 ribu ton, stok 30 ribu ton setiap hari, sekarang tinggal 2 ribu ton. Ada yang punya 5 ribu ton, sekarang tinggal 200 ton,” ungkapnya.

    Selain kelangkaan beras di penggilingan, Yeka juga menyebut saat ini kondisi serupa terjadi di ritel modern. Menurutnya beras di rak-rak khusus beras di ritel modern mulai hilang.

    “Hari ini, tadi pagi saya terjunkan untuk melihat beras di pasar modern retail kosong, bahkan raknya sudah berganti yang tadinya rak beras, sekarang sudah berganti jadi rak aqua,” tutur Yeka.

    (ada/hns)

  • Ombudsman Ungkap Biang Kerok Harga Beras di Pasar Naik

    Ombudsman Ungkap Biang Kerok Harga Beras di Pasar Naik

    Jakarta

    Harga beras di pasar tradisional mengalami kenaikan. Berdasarkan pantauan Ombudsman RI, kenaikan terutama jenis premium yang tembus Rp 16.500/kilogram (kg).

    Padahal, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium ditetapkan pemerintah Rp 14.900/kg. Menurut hasil pemeriksaan Ombudsman RI, kenaikan harga beras di pasar ini terjadi karena ada permainan dari penggilingan.

    “Mengapa beras di pasar tradisional itu harganya di atas HET premium? Karena ternyata ini kompensasi bagi penggilingan atau bagi perusahaan. Di supermarket katakanlah dia rugi, kalau di pasar tradisional, dia bisa dapat untung. Jadi pasar tradisional yang mensubsidi,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Yeka menyebut juga terjadi ketidakadilan, di mana harga beras di pasar tradisional mengalami kenaikan. Tetapi ketika membeli beras di supermarket lebih murah atau sesuai HET.

    “Dengan undang-undang kita bahwa sebetulnya masyarakat memerlukan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau. Dan tugas negara adalah menyediakan pangan dengan harga yang terjangkau. Tapi ini kebalik, di pasar modern masyarakat mendapatkan harga yang relatif murah. Tapi di pasar tradisional, masyarakat mendapatkan harga yang relatif mahal,” ucapnya.

    Untuk itu, Yeka menyarankan agar pemerintah menghapus HET beras premium. Hal ini dilakukan agar beras premium mengikuti harga beras saja.

    “Karena tadi persoalan HET, maka Ombudsman meminta agar pemerintah segera mempertimbangkan untuk mencabut HET beras premium, biarkan swasta menyediakan beras sesuai dengan mekanisme pasar. Pemerintah bisa mengevaluasi kalau beras harganya sudah mahal, maka pemerintah bisa melakukan operasi pasar melalui penyaluran beras SPHP,” ucapnya.

    Berdasarkan data Panel Harga Pangan, Jumat (8/8/2025) harga rata-rata beras premium secara nasional berada di level Rp 16.278/kg. Angka itu di atas HET premium Rp 14.900/kg. Kemudian, harga beras medium Rp 14.539/kg. Angka itu juga di atas HET beras medium sebesar Rp 12.500/kg.

    (acd/acd)

  • Penggilingan Padi Ramai-ramai Tutup Imbas Isu Beras Oplosan

    Penggilingan Padi Ramai-ramai Tutup Imbas Isu Beras Oplosan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ombudsman mengungkap sebanyak 10 dari 23 penggilingan padi kecil menutup usahanya imbas adanya kekhawatiran dalam menjalankan usaha perberasan di Tanah Air. Hal ini menyusul adanya temuan beras yang tidak sesuai mutu dan dijual menjadi beras premium alias beras oplosan.

    Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, temuan itu ia dapatkan saat Ombudsman melakukan uji petik di Kecamatan Tempuran, Karawang dan sekitarnya.

    “Ada 23 penggilingan padi di wilayah itu dan 10 [penggilingan padi] sudah tutup sekarang. Apa penyebab tutupnya? Selain persaingan juga karena kondisi yang sekarang terjadi, ada ketakutan,” ungkap Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    Yeka juga menemukan stok beras di penggilingan padi semakin menipis imbas kasus beras oplosan. Kini, stok beras di tingkat penggilingan padi hanya berkisar 5–10%. Padahal, sebelumnya, rata-rata stok beras di penggilingan padi biasanya mencapai 100 ton. Namun, saat ini, stoknya hanya mencapai 5%.

    Yeka mengungkap, stok beras yang semakin menipis di tingkat penggilingan padi lantaran mereka takut dalam menjalankan usaha perberasan.

    “Kami tanya mengapa seperti ini? Mereka [penggilingan padi] menjawab sama, takut,” bebernya.

    Bahkan kini, Yeka menyebut, para penggilingan padi menjual beras dengan karung polos tanpa mencantumkan label.

    Untuk itu, Ombudsman meminta agar pemerintah segera mengembalikan kondisi perberasan Indonesia menjadi kondusif, mulai dari penggilingan kecil, penggilingan besar, hingga pedagang kecil juga besar. Dengan begitu, beras di tingkat konsumen tersedia dengan harga terjangkau.

    “Karena semuanya sama begitu, mengatakan ‘kami takut’. Nah, ini kita negara apa kalau pelaku usaha perberasan seperti ini seperti mereka ini jualan barang haram atau jualan barang yang tidak legal sampai takut. Jadi, pemerintah harus segera membuat rasa aman dan nyaman,” ujarnya.

    Dalam catatan Bisnis, Presiden Prabowo Subianto pernah mengancam akan menyita penggilingan padi nakal yang mempermainkan harga beras lantaran telah mengganggu hajat hidup orang banyak.

    Prabowo mengungkap dirinya mendapatkan laporan bahwa pada 2,5 bulan lalu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat penggilingan telah sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) di level Rp6.500 per kilogram.

    Prabowo juga mengeklaim telah menertibkan pengusaha penggilingan padi dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 33.

    Terlebih, dia menyatakan penggilingan padi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

    “Kalau penggilingan padi tidak mau tertib, tidak mau patuh kepada kepentingan negara. Ya, saya gunakan sumber hukum ini, saya katakan saya akan sita penggiling-penggiling padi itu,” ujar Prabowo dalam pidato saat meluncurkan kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Senin (21/7/2025).

    Kepala Negara RI kembali menekankan bahwa dirinya tak segan-segan akan menyita penggilingan padi dan menyerahkannya ke koperasi, termasuk Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih. “Saya akan sita dan akan saya serahkan [penggilingan padi] kepada koperasi untuk dijalankan,” imbuhnya.

    Dalam kesempatan itu, Prabowo juga mengungkap pengusaha penggilingan padi yang nakal juga diisi oleh para pemain besar. Namun, dia tidak merinci daftar pemain besar pengusaha penggilingan padi yang nakal itu.

    “Waktu saya dapat laporan, ada penggiling-penggiling padi yang nakal-nakal. Yang aneh, penggilingan padi yang besar yang paling nakal,” tutupnya.

  • Ombudsman Ungkap Beras di Penggilingan dan Ritel Modern Langka

    Ombudsman Ungkap Beras di Penggilingan dan Ritel Modern Langka

    Jakarta

    Ombudsman menyatakan telah terjadi kelangkaan beras di penggilingan padi dan ritel modern. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan temuan ini setelah dirinya dan tim melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah penggilingan di Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat.

    Pihaknya menemukan informasi bahwa di kawasan tersebut terdapat 23 penggilingan padi. Namun sudah ada 10 penggilingan yang gulung tikar. Temuan berikutnya, stok beras di penggilingan telah menipis.

    Yeka menyebut, kondisi ini terjadi karena dua hal. Pertama karena produksi padi yang menurun dan kedua ketakutan penggilingan tersebut menjalankan usahanya. Ketakutan ini terjadi imbas pemeriksaan dari penegak hukum terkait mutu, kualitas, hingga kasus oplosan beras.

    “Stok mereka berkisar antar 5% sampai 10%. Jadi misalnya biasanya mereka punya 100 ton rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton. Jadi stok penggilingan bukan kosong lah, stoknya menipis,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

    “Saya kemarin tanya, mau menggiling, menjual takut salah kemasan, takut salah ngomong atau mencantumkan dalam labelnya,” tambahnya.

    Kemudian, Yeka juga telah mengundang sejumlah pelaku usaha untuk mengkonfirmasi temuan tersebut. Menurutnya, terdapat penggilingan besar yang stoknya juga menipis. Sayangnya, dia enggan menyebutkan nama penggilingan besar tersebut.

    “Ada penggilingan besar yang biasanya punya stok 30 ribu ton, stok 30 ribu ton setiap hari, sekarang tinggal 2 ribu ton. Ada yang punya 5 ribu ton, sekarang tinggal 200 ton,” ucapnya.

    Selain kelangkaan beras di penggilingan, Yeka juga menyebut saat ini kondisi serupa terjadi di ritel modern. Menurutnya beras di rak-rak khusus beras di ritel modern mulai hilang.

    “Hari ini, tadi pagi saya terjunkan untuk melihat beras di pasar modern retail kosong, bahkan raknya sudah berganti yang tadinya rak beras, sekarang sudah berganti jadi rak aqua,” ucapnya.

    Sementara kondisi di pasar, sebenarnya kondisi stok beras banyak. Namun, Ombudsman RI menyoroti harga yang cukup tinggi di pasar tradisional.

    Melihat masalah tersebut, Ombudsman memberikan sejumlah saran kepada pemerintah agar memberikan rasa aman bagi pelaku usaha, baik penggilingan maupun pedagang beras.

    “Pemerintah perlu segera memberikan rasa aman dan nyaman kepada seluruh pelaku perberasan, dari mulai penggilingan kecil hingga penggilingan besar, mulai pedagang beras kecil hingga pedagang beras besar. Karena semuanya sama mengatakan kami takut. Nah, ini kita negara apa kalau pelaku usaha perberasan seperti ini mereka ini jualan barang haram atau jualan barang yang tidak legal sampai takut,” ucapnya.

    Kondisi saat ini perlu dibenahi karena menurutnya, jangan sampai dengan kasus yang tengah terjadi saat ini menyebabkan kelangkaan beras sebagai bahan pangan utama masyarakat Indonesia.

    “Catatan Ombudsman keterisian beras ini menuju kepada kelangkaan. Dan ini kondisinya mengarah kepada hal-hal yang mengkhawatirkan, beras mulai kosong di mana-mana, di supermarket sudah kosong, penggilingan beras juga stoknya mulai kosong,” pungkasnya.

    (acd/acd)

  • Anggota DPR nilai tak ada “beras oplosan”, tapi beras tak sesuai mutu

    Anggota DPR nilai tak ada “beras oplosan”, tapi beras tak sesuai mutu

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi IV DPR RI Riyono menilai bahwa tidak ada istilah “beras oplosan” secara resmi, karena yang ada ialah beras yang tidak sesuai antara mutu dan label yang tertera pada kemasannya.

    Menurut dia, perlu ada pelurusan pemahaman terhadap istilah “beras oplosan” yang belakangan kembali mencuat dalam pemberitaan isu pangan nasional. Masyarakat, jangan sampai salah kaprah dalam memahami kualitas beras.

    “Istilah ‘beras oplosan’ terlalu bias dan menimbulkan kesan negatif, padahal dalam praktiknya, pencampuran beras dilakukan untuk menyesuaikan kualitas rasa dan harga jual,” kata Riyono di Jakarta, Kamis.

    Dia menjelaskan bahwa beras memiliki beragam kualitas, mulai dari beras premium seperti rojo lele, hingga beras medium, dan beras berkualitas rendah. Pencampuran antara jenis-jenis ini dalam dunia industri beras merupakan hal yang lazim dan diperbolehkan selama kandungan gizinya tetap dijaga dan label mutu mencerminkan isi sebenarnya.

    Beras medium sendiri, kata dia, merupakan hasil campuran antara beras kualitas sedang dan rendah. Kualitas rendah yang dimaksud adalah seperti menir, yakni beras yang butirannya rusak karena proses penggilingan atau kadar air tinggi.

    “Menir murni tidak layak konsumsi dan umumnya digunakan untuk pakan ternak atau olahan seperti tepung beras. Tapi jika dicampur dengan beras sedang, maka bisa jadi beras medium dengan rasa yang tetap bisa diterima,” kata dia.

    Dia juga menambahkan bahwa pencampuran ini bukan sekadar soal harga, melainkan juga karakter rasa. Menurut dia, setiap jenis beras punya karakter, contohnya ada yang pulen, ada yang keras, ada yang cocok untuk jenis masakan tertentu.

    “Maka pencampuran itu untuk menciptakan rasa dan kualitas yang diinginkan pasar. Ini sah-sah saja, selama tidak menipu konsumen,” katanya.

    Dia pun menyayangkan penggunaan istilah “beras oplosan” dalam narasi Satgas Pangan yang saat ini tengah melakukan penindakan terhadap beras campuran yang disebut tidak sesuai standar. Menurut dia, penindakan seharusnya difokuskan pada aspek ketidaksesuaian mutu dengan label, bukan semata karena beras tersebut merupakan hasil campuran.

    “Kalau labelnya menyebut kualitas tertentu, tapi isinya tidak sesuai, itu baru pelanggaran. Itu penipuan. Tapi jangan lantas semua beras campuran disebut oplosan dan dianggap ilegal. Ini akan merugikan pedagang dan bisa berdampak pada harga di pasar,” kata dia.

    Di sisi lain, dia menikai tata kelola distribusi beras nasional saat ini masih belum ideal. la menilai, intervensi pemerintah harus lebih kuat agar mampu menjaga stabilitas harga dan pasokan.

    “Negara semestinya menguasai minimal 50 sampai 60 persen peredaran beras nasional. Kalau itu bisa dilakukan, pemerintah bisa mengendalikan kapan harga harus dinaikkan, diturunkan, atau distabilkan,” katanya.

    Dia pun mengingatkan bahwa kebijakan penarikan beras campuran dari pasaran secara sembrono hanya akan memperparah keadaan, terutama di tengah kondisi harga beras yang cenderung meningkat.

    “Kalau beras-beras itu ditarik, efeknya bisa menaikkan harga. Sekarang saja di lapangan, bantuan pangan masyarakat tidak tepat waktu, harga naik. Dari Rp12.000 jadi Rp15.000. Ini menunjukkan tata kelola kita belum ideal,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Adu Layangan di Senja BKT: Tempat Pria Dewasa Lepas Penat dan Sembuhkan Rindu Masa Lalu
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        7 Agustus 2025

    Adu Layangan di Senja BKT: Tempat Pria Dewasa Lepas Penat dan Sembuhkan Rindu Masa Lalu Megapolitan 7 Agustus 2025

    Adu Layangan di Senja BKT: Tempat Pria Dewasa Lepas Penat dan Sembuhkan Rindu Masa Lalu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Suasana di atas Jembatan Banjir Kanal Timur (BKT), Duren Sawit, Jakarta Timur, selalu ramai orang-orang yang membawa benang gelasan dan layangan pada sore hari.
    Mereka bukan anak-anak, melainkan orang dewasa yang mencuri waktu untuk kembali ke kenangan masa kecil, yakni bermain layangan.
    Dari atas jembatan, mereka saling mengadu layangan di tengah langit terbuka.
    Rohmad (40), warga Buaran, Jakarta Timur, mengaku bahwa dirinya sengaja bermain layangan di kawasan BKT untuk melepas penat usai seharian bekerja.
    Ia mengaku baru pertama kali ikut bermain layangan di BKT. Sebelumnya, ia hanya menjadi penonton setiap kali berangkat atau pulang kerja.
    Menurut Rohmad, bermain layangan juga menjadi semacam “balas dendam masa kecil” yang belum terpenuhi.
    Ia mengenang masa kecilnya yang serba terbatas. Saat itu, ia hanya mampu membeli satu layangan. Permainan pun harus berhenti jika tali putus atau layangannya hilang.
    “Dulu waktu kecil cuma satu, kalau putus ya kita cari, kejar-kejar layangan. Kalau di sini beli empat layangan buat diadu, kalau habis ya pulang,” ucap Rohmad.
    Meski mengejar layangan adalah bagian dari keseruan, Rohmad mengaku tetap kesal jika layangan langsung putus setelah baru saja diterbangkan.
    “Waktu kecil mah, ngejar-ngejar seru saja, tapi kadang jengkel juga, baru naikin putus, layangan cuma satu. Kalau sekarang kan bisa beberapa lah beli,” katanya.
    Ridwan (20), warga Penggilingan, Jakarta Timur, mengaku lebih suka bermain layang-layang di kawasan BKT karena suasananya ramai dan aman.
    Ia menilai risiko jatuh ke kanal lebih kecil dibanding bermain di pinggir jalan yang rawan tertabrak kendaraan.
    “Ya, karena banyak main jadi ngadunya enak juga. Di sini juga enggak membahayakan karena kalau jatuh ke air. Kalau di jalan bahayanya kena kendaraan,” ungkap Ridwan.
    Meski biasanya hanya bermain saat akhir pekan, kali ini Ridwan menyempatkan diri bermain layangan sepulang kerja karena tengah pulang lebih awal.
    “Kalau biasanya hari libur Sabtu atau Minggu, nah ini baru main pas pulang kerja. Kebetulan tadi kerja bisa balik cepat, jadi mampir sebentar ngadu layangan,” ujarnya.
    Dalam sekali bermain, Ridwan biasanya membeli empat hingga lima layangan. Jika semua sudah habis, ia pun memutuskan untuk pulang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Stok Beras SPHP di Ritel Modern Masih Kosong, Kemendag Bilang Begini

    Stok Beras SPHP di Ritel Modern Masih Kosong, Kemendag Bilang Begini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Perdagangan (Kemendag) angkat bicara mengenai masih minimnya stok beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di jaringan ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart. Salah satu faktor utama yang disebut adalah merebaknya kasus pengoplosan beras yang membuat distribusi menjadi lebih ketat.

    Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Moga Simatupang mengatakan, pemerintah telah menetapkan penyaluran beras SPHP ke ritel modern tetap berlangsung hingga akhir tahun.

    “Sejauh ini memang untuk ritel modern, laporan kemarin dari Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) baru 540 ton yang masuk. Kami harapkan dalam waktu dekat ini pasokan SPHP akan segera disalurkan,” kata Moga saat ditemui di kantor Kemendag, Rabu (6/8/2025).

    Ia mengungkapkan, keputusan penyaluran beras SPHP diambil dalam rapat koordinasi terbatas yang digelar pada 17 Juli 2025. Pemerintah, menurut Moga, terus mengupayakan agar pasokan beras SPHP kembali mengalir ke pasar ritel dalam waktu dekat.

    Lebih lanjut, Moga menegaskan, pemerintah melalui kolaborasi lintas lembaga, yakni Badan Pangan Nasional (Bapanas), Perum Bulog, Aprindo, hingga Persatuan Perusahaan Penggilingan Padi (Perpadi), telah berkomitmen mempercepat distribusi beras SPHP ke masyarakat.

    Moga menambahkan, distribusi ini menjadi krusial untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan harga beras di tingkat konsumen tetap terjaga, terutama di tengah keresahan masyarakat atas kelangkaan beras murah di ritel belakangan ini.

    Sementara itu, dari pantauan CNBC Indonesia di 2 gerai minimarket di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, rak-rak beras terlihat kosong, dan tak nampak satupun kemasan beras SPHP.

    Salah satu pegawai toko mengungkapkan, hingga saat ini beras SPHP memang belum ada masuk atau dikirim ke tokonya. Ia hanya mendapat kabar bahwa pasokan akan datang, namun belum ada kepastian waktu.

    “Beras (SPHP) yang dari Bulog belum ada masuk. Tapi kemarin dapat info sih nanti bakal masuk, tapi belum tahu kapan,” ujarnya.

    Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin berharap distribusi beras program SPHP dari pemerintah bisa segera masuk ke jaringan ritel. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat SPHP bisa digelontorkan,” ujar Solihin kepada CNBC Indonesia, Senin (4/8/2025).

    Namun, dia menyebut penyaluran SPHP dari gudang Bulog sampai bisa dijual di ritel modern membutuhkan waktu distribusi yang cukup lama, apalagi untuk daerah di bagian Timur Indonesia.

    “Itu kan ada proses. Ini perlu waktu untuk sampai ke ritel, sampai didistribusikan kepada gerai-gerai,” ungkapnya.

    Ia menjelaskan waktu distribusi akan tergantung dari pengiriman Bulog ke gudang ritel, dan distribusi lanjutan ke gerai. “Nah kalau gudang kita di Surabaya, distribusinya ke NTT, ke NTT kan perlu waktu lagi,” jelas Solihin.

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]