kab/kota: Paris

  • Ahli Bedah Salah Operasi Pasien Ginjal, Keliru Saat Angkat Organ yang Kena Kanker

    Ahli Bedah Salah Operasi Pasien Ginjal, Keliru Saat Angkat Organ yang Kena Kanker

    Jakarta

    Ahli bedah di Prancis melakukan hal keliru saat proses pembedahan pasien kanker. Bukan mengangkat yang sakit, mereka malah mengangkat ginjal yang sehat.

    Dikutip dari Daily Mail, insiden ini terjadi pada Juli 2024 pada pria berusia 77 tahun. Ia menjalani prosedur onkologi di Sakit Henri Mondor di Créteil.

    Ketika pasien sadar dari pengangkatan ginjal atau nefrektomi, ia menemukan bahwa para dokter mengoperasi sisi yang salah. Padahal ia sudah mengisi daftar periksa yang dibuat oleh staf medis sebelum operasi dengan benar.

    Diperkirakan, nefrektomi total berpotensi memberikan pasien kanker tingkat kelangsungan hidup lima tahun lebih dari 90 persen. Tetapi, prognosis pasien yang tidak disebutkan namanya itu tidak secerah sekarang, karena ia akan bergantung hidup pada satu ginjal yang sakit.

    Meskipun nyawa pasien tidak terancam, ia akan menghadapi konsekuensi dari kesalahan prosedur tersebut.

    Terkait hal ini, keluarga pasien telah mengajukan gugatan hukum terhadap Assistance Publique-Hôpitaux de Paris (AP-HP) yang mengelola rumah sakit di Paris tersebut. Tetapi, pihak AP-HP menolak berkomentar dengan alasan kerahasiaan medis.

    Kejadian serupa juga pernah terjadi di awal tahun 2025 yang menimpa wanita di Amerika Serikat, Wendy Rappaport. Ia menggugat sebuah Rumah Sakit di Minnesota setelah ahli bedah keliru mengangkat ginjalnya yang sehat.

    Ketika Wendy dioperasi, ginjalnya seharusnya tidak diangkat sama sekali, melainkan limpanya. Hal ini membuat wanita 84 tahun itu harus menjalani dialisis atau cuci darah dan didiagnosis mengidap penyakit ginjal yang paling parah.

    Tanpa kedua ginjal yang berfungsi, tubuhnya tidak dapat lagi menyaring limbah dan kelebihan cairan dari tubuhnya dengan baik. Kondisi ini menempatkannya pada risiko komplikasi yang mengancam jiwa dan kegagalan organ, yang berpotensi membunuhnya dalam hitungan tahun.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Kepala BMKG Minta Petani Siap Siaga Petaka Iklim, Cara Lama “Tak Laku”

    Kepala BMKG Minta Petani Siap Siaga Petaka Iklim, Cara Lama “Tak Laku”

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 °C. Angka ini di atas suhu era pra-industri (1850-1900).

    Anomali suhu tersebut, ujarnya, melampaui ambang (1,5°C) yang telah ditetapkan tahun 2015 silam dalam perjanjian Paris. Fakta ini, imbuh dia, merupakan alarm keras bagi seluruh umat manusia. Termasuk Indonesia, salah satunya dalam hal ini menyangkut produksi pangan.

    Di Indonesia, lanjutnya, tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun terpanas sejak pengamatan tahun 1981. Dengan suhu rata-rata 27,5 °C dan anomali 0,8 °C terhadap normal 1991-2020.

    “Tantangan perubahan iklim sudah di depan mata dan semakin terasa dampaknya pada sektor pertanian. Sepuluh tahun terakhir adalah periode terpanas dalam sejarah pencatatan iklim. Tahun 2024 bahkan menjadi tahun terpanas dengan anomali suhu global 1,55 °C di atas era pra-industri. Kondisi ini memaksa kita mengambil langkah adaptasi nyata, apalagi sektor pertanian sangat rentan,” katanya dalam keterangan di situs resmi, dikutip Kamis (25/9/2025).

    Karena itu, Dwikorita menambahkan, perlu langkah mitigasi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim yang kian nyata. Salah satunya, sebutnya, BMKG menggencarkan Sekolah Lapang Iklim (SLI), program yang membekali petani dengan pengetahuan dan pendampingan agar siap beradaptasi.

    Melalui SLI, jelasnya, BMKG tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga langkah aksi adaptasi strategis.

    “Petani diajarkan membaca dan memahami prediksi iklim, menyesuaikan pola tanam, memilih varietas sesuai kondisi musim, hingga mengoptimalkan teknik pemanenan air hujan. Dengan begitu, risiko gagal panen dapat ditekan,” terangnya.

    “Karena perubahan iklim, saat ini titi mongso (titimangsa/ pranata mangsa/ tradisi sistem penanggalan pertanian di Jawa) menjadi tidak relevan. Padahal petani di Indonesia terbiasa dengan titi mongso,” ujar Dwikorita.

    BMKG pun telah menggelar SLI Tematik di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (22/9/2025) lalu. Disebutkan, SLI tematik ini diikuti 60 peserta yang terdiri dari petani hortikultura, penyuluh pertanian lapangan (PPL), pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT), kelompok wanita tani, hingga petani milenial mengikuti kegiatan SLI di pendopo kalurahan Kedungpoh ini dengan antusias.

    Turut hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Darmadi Sudibyo Direktur Layanan Iklim BMKG, Marjuki dan Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Sleman Reni Karningtyas.

    “Petani harus mampu membaca cuaca, memahami iklim, dan menyesuaikan pola tanam agar bisa mengurangi risiko gagal panen. Inilah kontribusi BMKG untuk mendukung swasembada pangan sebagaimana tercantum dalam Asta Cita Presiden,” kata Dwikorita.

    “Sekolah Lapang Iklim adalah jembatan antara data iklim dan strategi pertanian. Ini adalah aksi nyata BMKG untuk mendukung ketahanan pangan nasional di tengah tantangan perubahan iklim,” ucapnya.

    Dwikorita mengungkapkan, kini kondisi bumi cukup mengkhawatirkan akibat perubahan iklim. Apabila manusia, semua pihak, tidak berhasil mengendalikan kecepatan kenaikan suhu permukaan bumi atau memitigasi perubahan iklim tersebut.

    “Kondisi ini dipicu kombinasi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca serta anomali iklim regional. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor pertanian yang sangat rentan terhadap iklim,” ujarnya.

    “Tidak hanya bencana yang secara intensitas dan durasi semakin bertambah, namun juga krisis air yang juga berimbas pada berbagai sektor kehidupan. Salah satunya yang terdampak adalah sektor pertanian. Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang” sambung Dwikorita.

    Prediksi Musim Hujan di DI Yogyakarta

    Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita menjabarkan prakiraan awal musim hujan di DIY yang diperkirakan masuk pada dasarian ketiga Oktober 2025.

    “Dengan sifat hujan yang normal, petani bisa menyesuaikan pola tanam lebih tepat waktu sekaligus memaksimalkan pemanfaatan air hujan,” terang Dwikorta.

    Sebelumnya, Dwikorita juga telah meminta petani melakukan penyesuaian musim tanam. Menyusul adanya proyeksi terbaru mengenai musim hujan tahun 2025/2026.

    BMKG memprediksi, musim hujan tahun 2025/2026 akan tiba lebih cepat, dengan estimasi masa puncak bervariasi.

    Menurut Dwikorita, sebagian wilayah di Indonesia telah memasuki musim hujan sejak Agustus 2025. Dan bertahap akan meluas ke sebagian besar wilayah RI pada periode September-November 2025.

    Dia pun mengingatkan agar mengantisipasi dampak-dampak yang timbul saat musim hujan.

    “Secara umum, sifat hujan pada musim hujan 2025/2026 diprediksikan berada pada kategori normal (69,5%), artinya curah hujan musiman tidak jauh berbeda dengan biasanya. Namun, terdapat 193 ZOM (27,6%) yang berpotensi mengalami musim hujan dengan sifat atas normal, di antaranya sebagian besar Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, beberapa wilayah Sulawesi, serta Maluku dan Papua. Selain itu, terdapat pula 20 ZOM (2,9%) yang diprediksi mengalami musim hujan bawah normal,” kata Dwikorita dalam keterangannya, dikutip Senin (15/9/2025).

    Foto: BMKG gelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 22 September 2025. (Dok. BMKG)
    BMKG gelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 22 September 2025. (Dok. BMKG)

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jangan Norak! Ini Alasan Fortuner-Pajero Jangan Dipakai Kebut-kebutan di Tol

    Jangan Norak! Ini Alasan Fortuner-Pajero Jangan Dipakai Kebut-kebutan di Tol

    Jakarta

    Pakar keselamatan berkendara tidak menyarankan SUV ladder frame dengan ground clearance tinggi dipakai kebut-kebutan di jalan tol. Ternyata ini alasannya.

    Mungkin kita masih sering lihat SUV ladder frame seperti Toyota Fortuner dan Mitsubishi Pajero Sport digunakan dengan kecepatan tinggi di jalan tol. Padahal, memacu mobil SUV standar di jalan tol risikonya tinggi. Kalau mau selamat, sebaiknya jangan kebut-kebutan di jalan tol!

    Sebenarnya tidak hanya Fortuner dan Pajero Sport saja yang sebaiknya jangan dipakai kebut-kebutan di jalan tol. Semua mobil pun harusnya tidak digunakan melebihi batas kecepatan maksimal di jalan tol. Sebab, selain mengancam nyawa diri sendiri, berkendara dengan kecepatan tinggi juga dapat membahayakan orang lain karena banyak pengguna jalan di tol. Sudah banyak kecelakaan yang bahkan sampai merenggut nyawa karena kecepatan tinggi.

    Perlu dicatat, batas kecepatan maksimal di jalan tol adalah 100 km/jam untuk tol luar kota dan 80 km/jam untuk tol di dalam kota. Batas kecepatan tersebut sudah dianggap aman.

    Pajero-Fortuner Sebaiknya Jangan Dipakai Kebut-kebutan di Tol

    Pakar keselamatan berkendara sekaligus instruktur dan founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan, SUV seperti Pajero Sport dan Fortuner dengan ground clearance tinggi jika dipacu dengan kecepatan tinggi bisa mengalami gangguan kestabilan.

    “Secara dimensi, semakin tinggi kendaraan (ditambah kecepatan tinggi) semakin labil kendaraan tersebut. Kecepatan semakin tinggi laju kendaraan, maka semakin rentan dia hilang kendali. Karena pusat berat tinggi maka membuat benda-benda itu rentan dengan kestabilan,” kata Jusri kepada detikOto beberapa waktu lalu.

    Menurut Jusri, sebenarnya bukan jenis mobilnya yang menyebabkan kecelakaan, tapi pengemudinya yang menentukan. Artinya, kalau pengemudinya bisa mengendarai mobil sesuai kondisi mobilnya, maka risiko kecelakaan bisa diminimalisir.

    “Kalau kita mau mengemudi maka mengemudilah sesuai kondisi. Kondisi apa? Kondisi kendaraan, kondisi manusianya, kondisi cuaca, lingkungan. Begitu kondisinya nggak ideal ya sesuaikan cara mengemudi kita,” ujarnya.

    “Kalau kita mengendarai sesuai dengan aturan yang ada, sesuai dengan kondisi yang ada (manusia, kendaraan, lingkungan, cuaca), maka kecelakaan (bisa saja diminimalisir). Kembali lagi, the man behind the steering wheel adalah kata kunci dari keselamatan sebuah perjalanan. Jadi bukan kendaraannya,” sebutnya.

    Sony Susmana, praktisi keselamatan berkendara yang juga Director Training Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), mengatakan mobil-mobil SUV ladder frame seperti Fortuner dan Pajero sebaiknya tidak untuk kebut-kebutan di jalan tol. Karena mobil dengan dimensi bongsor tersebut bisa kehilangan kestabilan apabila dipacu dengan kecepatan tinggi di jalan tol.

    “Kendaraan-kendaraan yang big SUV rata-rata sasisnya ladder frame, antara sasis dan bodi tidak menyatu atau terpisah. Artinya, bodi mobil pada jenis sasis ini diletakkan di atas sasis lalu disambungkan. Bisa dikatakan secara bentuk lebih jangkung atau tinggi. Sehingga gejala limbung atau bouncing yang terjadi lebih besar,” ujar Sony kepada detikOto beberapa waktu lalu.

    Ketika digunakan ngebut di jalan tol, SUV tersebut kestabilannya mungkin tidak sebaik kendaraan dengan jenis sasis monokok. Kestabilan yang labil di kecepatan tinggi akan mempengaruhi handling. Hal ini bisa berakibat fatal terutama jika pengemudinya tak sigap.

    “Bentuk bodi seperti ini karakternya menangkap angin terutama di kecepatan tinggi. Sekalipun sudah didesain oleh tenaga-tenaga ahli tetap aja ada batas toleransinya,” jelas Sony.

    Kalau Mau Kebut-kebutan, Jangan di Tol Dong!

    Meski begitu, secara spesifikasi mobil-mobil SUV bongsor memang enak diajak ngebut. Tenaga dan torsi yang besar membuat akselerasi kendaraan dapat melesat dengan cepat. Tapi, perlu dicatat kalau mau kebut-kebutan jangan di jalan tol yang banyak pengguna jalan lain di dalamnya.

    Menurut Jusri, mobil-mobil itu bisa saja diajak ngebut, tapi di tempat yang tepat. “Kita lihat Pajero merajai (balap reli) Paris Dakar,” ucap Jusri.

    Jadi, kalaupun mau kebut-kebutan pakai SUV seperti Fortuner dan Pajero Sport boleh-boleh saja. Tapi dilakukan di lingkungan tertutup seperti di sirkuit dan dengan memodifikasi komponen tertentu agar lebih stabil.

    (rgr/din)

  • Bintang Pink Panther, Claudia Cardinale Meninggal Dunia Usia 87 Tahun

    Bintang Pink Panther, Claudia Cardinale Meninggal Dunia Usia 87 Tahun

    JAKARTA – Aktris asal Italia, Claudia Cardinale meninggal dunia pada Selasa, 23 September kemarin. Kabar ini diumumkan oleh agensinya bahwa ia meninggal di daerah Nemours, dekat Paris.

    “Dia meninggalkan kami warisan dari seorang wanita begitu juga sebagai seniman,” kata agen Laurent Savri dalam pernyataannya.

    Claudia Cardinale merupakan aktris yang memulai kariernya sebagai pemeran pendukung di beberapa film yang mampu menarik perhatian publik, salah satu contohnya Rocco and His Brothers.

    Dalam industri film Eropa, namanya terus bersinar dengan akting dan visualnya. Ia juga mulai dikenal setelah membintangi Pink Panther, sebuah film klasik karya Blake Edwards.

    Besar di Tunis atau Tunisia dengan nama Claude Joséphine Rose Cardinale dari orang tua kelahiran Sicilia. Ia belajar bahasa Italia setelah ia memerankan film-film Italia.

    Ia debut akting dalam film Goha karya Jacques Baratier tahun 1958. Awalnya, ia mengikuti kompetisi di Tunis yang diselenggarakan organisasi film Italia untuk mencari wanita tercantik di Tunis dan hadiahnya perjalanan ke Venice untuk Festival Film Venice.

    Kemudian, produser melihat Cardinale dan mulai tertarik untuk memproduseri, namun hal itu tidak terealisasi karena ia tidak fasih berbahasa Italia.

    Ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Patrick yang terungkap tujuh tahun setelah selama ini disebut sebagai adik laki-lakinya. Cardinale mengaku pernah diperkosa saat remaja dan melahirkan seorang anak.

    Claudia Cardinale terakhir kali berakting dalam film Effie Gray tahun 2014 yang turut diperankan Dakota Fanning.

    Selama berkarier, ia memenangkan Golden Bear di Festival Film Berlin 2002, Golden Lion di Festival Film Venice 1993 dan Donatello Awards pada tahun 1997.

    Claudia Cardinale meninggal pada usia 87 tahun dan meninggalkan dua orang anak.

  • Komitmen Indonesia untuk Perdamaian Dunia Sangat Kuat

    Komitmen Indonesia untuk Perdamaian Dunia Sangat Kuat

    Bisnis.com, JAKARTA – Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah (Bakom RI) Prof Hamdan Hamedan menyatakan pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) punya makna penting. Pidato Presiden itu menunjukkan komitmen kuat Indonesia atas perdamaian dunia.

    “Indonesia menunjukkan komitmen yang sangat kuat untuk perdamaian dunia melalui posisi aktifnya dalam memajukan internasionalisme dan multilateralisme,” kata Hamdan menanggapi pidato Presiden Prabowo, (24/9), di Jakarta.

    Sebagai negara yang mendukung penguatan organisasi internasional seperti PBB, lanjut Hamdan, Indonesia memahami bahwa kerja sama global sangat penting untuk menangani berbagai tantangan dunia. Dan itu mampu membawa manfaat bersama bagi seluruh negara di dunia.

    Hamdan juga menggarisbawahi pernyataan Presiden Prabowo soal komitmennya mengambil peran aktif di berbagai bidang. Salah satunya berkontribusi dalam pengiriman pasukan penjaga perdamaian dalam misi PBB serta dukungan finansial.

    “Hal ini memperlihatkan kesiapan Indonesia untuk terlibat langsung dalam upaya menjaga kedamaian dan keamanan internasional, sekaligus memperkuat kerja sama multilateral demi kemanusiaan,” kata Hamdan.

    Wujud nyata komitmen pada perdamaian ini juga tecermin dalam pernyataan Prabowo mengenai lonjakan produksi pangan dalam negeri. Kesuksesan swasembada pangan membuat Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan nasional, tapi juga membuka peluang membantu negara-negara yang membutuhkan seperti Palestina melalui pengiriman bantuan beras yang signifikan.

    “Hal ini mencerminkan peran Indonesia sebagai negara dengan kedaulatan pangan yang dapat berkontribusi pada ketahanan pangan global,” lanjut Hamdan.

    Presiden dalam pidatonya juga berkomitmen kuat menghadapi perubahan iklim sebagai bagian dari tanggung jawab global. Beberapa yang sudah berusaha diwujudkan adalah pencapaian target Kesepakatan Paris 2015 serta upaya mencapai net zero carbon emission pada 2060. Indonesia juga berkomitmen mereboisasi jutaan hektare lahan.

    “Ini menunjukkan tekad nyata Indonesia mengurangi dampak perubahan iklim yang juga berkontribusi pada stabilitas kondisi sosial dan geopolitik dunia,” kata Hamdan.

    Dalam konteks konflik yang berkepanjangan, lanjut Hamdan, Indonesia juga konsisten mendukung solusi dua negara (two state solution) untuk menyelesaikan masalah Palestina dan Israel. Melalui dukungan yang nyata dan penuh empati, Indonesia berupaya mempromosikan perdamaian dan keadilan, serta mengurangi penderitaan rakyat Palestina dengan memberikan bantuan pangan dan bekerja sama di bidang pertanian.

    “Keseluruhan komitmen ini mencerminkan perjalanan peradaban Indonesia yang menempatkan perdamaian sebagai tujuan utama dalam hubungan internasional. Indonesia bermain sebagai aktor yang tak hanya berperan di panggung nasional, tapi juga global, menjadikan perdamaian dunia sebagai misi bersama demi kesejahteraan seluruh umat manusia,” kata Hamdan.

    Pada Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan pada 23 September 2025 di New York, Presiden Prabowo Subianto mendapat kehormatan menjadi pembicara ketiga. Presiden Prabowo berpidato setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dua tokoh dunia yang sangat diperhitungkan.

    Penampilan Presiden Prabowo ini mendapat sambutan baik dan menjadi sorotan positif dari komunitas internasional sebagai wujud nyata kiprah Indonesia di panggung dunia.

    Pidato Presiden Prabowo di forum tertinggi PBB tersebut menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menegaskan kembali perannya sebagai negara yang aktif dan progresif dalam menghadapi isu global. Mulai dari keamanan, pangan, energi, hingga perubahan iklim dan perdamaian dunia.

    Selain pidato di Sidang Umum PBB, Presiden Prabowo juga berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Internasional untuk Penyelesaian Damai Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara yang digelar sehari sebelumnya. Ini memperlihatkan keseriusan Indonesia dalam isu-isu perdamaian yang strategis dan kemanusiaan di tingkat global.

  • Pidato Prabowo di PBB Tegaskan Komitmen Indonesia pada Perdamaian Dunia

    Pidato Prabowo di PBB Tegaskan Komitmen Indonesia pada Perdamaian Dunia

    Jakarta

    Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah (Bakom RI) Prof Hamdan Hamedan menilai pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki arti penting. Sebab pada momentum ini Indonesia menegaskan komitmen pada perdamaian dunia.

    “Indonesia menunjukkan komitmen yang sangat kuat untuk perdamaian dunia melalui posisi aktifnya dalam memajukan internasionalisme dan multilateralisme,” kata Hamdan dalam keterangan tertulis, Rabu (24/9/2025).

    Sebagai negara yang konsisten mendukung penguatan organisasi internasional termasuk PBB, Indonesia menegaskan pentingnya kerja sama global untuk menjawab berbagai tantangan dunia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prabowo yang menekankan peran aktif Indonesia, seperti mengirim pasukan penjaga perdamaian, memberikan dukungan finansial, hingga mendorong ketahanan pangan global.

    “Hal ini memperlihatkan kesiapan Indonesia untuk terlibat langsung dalam upaya menjaga kedamaian dan keamanan internasional, sekaligus memperkuat kerja sama multilateral demi kemanusiaan,” sambungnya.

    Wujud nyata komitmen terhadap perdamaian juga tercermin dalam pernyataan Prabowo mengenai peningkatan produksi pangan nasional. Keberhasilan mencapai swasembada pangan membuat Indonesia bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga berkesempatan membantu negara lain seperti Palestina melalui pengiriman bantuan beras dalam jumlah signifikan.

    Lebih lanjut, dalam pidatonya Prabowo menegaskan komitmen kuat Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim sebagai bagian dari tanggung jawab global melalui berbagai upaya, seperti pencapaian target Kesepakatan Paris 2015, proses menuju net zero carbon emission pada 2060, serta reboisasi jutaan hektare lahan di dalam negeri.

    “Ini menunjukkan tekad nyata Indonesia mengurangi dampak perubahan iklim yang juga berkontribusi pada stabilitas kondisi sosial dan geopolitik dunia,” ujarnya.

    Dalam konteks konflik yang berkepanjangan, Indonesia konsisten mendukung solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan penyelesaian masalah Palestina dan Israel. Dengan dukungan nyata dan penuh empati, Indonesia terus mendorong perdamaian dan keadilan sekaligus berupaya mengurangi penderitaan rakyat Palestina melalui penyaluran bantuan pangan serta kerja sama di sektor pertanian.

    “Keseluruhan komitmen ini mencerminkan perjalanan peradaban Indonesia yang menempatkan perdamaian sebagai tujuan utama dalam hubungan internasional. Indonesia bermain sebagai aktor yang tak hanya berperan di panggung nasional, tapi juga global, menjadikan perdamaian dunia sebagai misi bersama demi kesejahteraan seluruh umat manusia,” tuturnya.

    Sebagai informasi, pada Sidang Umum ke-80 PBB yang diselenggarakan di New York, Selasa (23/9) kemarin, Presiden Prabowo Subianto mendapat kehormatan menjadi pembicara ketiga setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pidato Prabowo di forum tertinggi PBB ini menjadi momen penting untuk menegaskan peran Indonesia sebagai negara aktif dan progresif dalam menghadapi isu-isu global, mulai dari keamanan, pangan, energi, perubahan iklim, hingga perdamaian dunia. Sehari sebelumnya, ia juga hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Internasional untuk Penyelesaian Damai Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara, menegaskan keseriusan Indonesia dalam isu-isu perdamaian strategis dan kemanusiaan di tingkat global.

    (akn/ega)

  • Hotman Paris Protes Bunga Deposito Turun, Ini Jawaban Menohok Menkeu Purbaya – Page 3

    Hotman Paris Protes Bunga Deposito Turun, Ini Jawaban Menohok Menkeu Purbaya – Page 3

    Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, mengonfirmasi bahwa Anggito Abimanyu telah resmi mengundurkan diri dari posisinya sebagai Wakil Menteri Keuangan setelah mendapatkan penunjukan dari Presiden untuk menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    Purbaya menegaskan bahwa sesuai dengan peraturan yang berlaku di LPS, tidak diperkenankan untuk merangkap jabatan. Oleh karena itu, Anggito akan sepenuhnya berkonsentrasi dalam memimpin LPS. “Enggak, dia akan ketua LPS saja. Karena di LPS nggak boleh merangkap,” ungkap Purbaya setelah menghadiri Rapat Paripurna DPR ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026 di kantor DPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa (23/9/2025).

    Dengan penunjukan Anggito sebagai Ketua LPS, secara otomatis ia harus mundur dari jabatan Wamenkeu. Purbaya menekankan bahwa langkah ini merupakan penugasan resmi dari Presiden.

    “Mundur dari Wamenkeu. Ini penugasan dari Presiden,” tegasnya.

    Keputusan ini tentunya akan membawa perubahan dalam struktur kepemimpinan di Kementerian Keuangan. Anggito, yang sebelumnya berperan dalam koordinasi di bidang fiskal, kini akan sepenuhnya fokus pada tugasnya di LPS.

  • Pidato Lengkap Prabowo di Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, Dukungan Tegas untuk Perdamaian

    Pidato Lengkap Prabowo di Sidang Majelis Umum ke-80 PBB, Dukungan Tegas untuk Perdamaian

    Presiden Prabowo berbicara pada sesi pertama Debat Umum dengan posisi istimewa yakni urutan ketiga. Sebuah posisi strategis yang menempatkan Indonesia berdampingan dengan dua negara besar, Brasil dan Amerika Serikat. Brasil, yang sejak 1955 selalu membuka sidang sebagai tradisi diplomatik, tampil di urutan pertama. Amerika Serikat, sebagai tuan rumah, mendapat giliran kedua. Tepat setelah keduanya, Presiden Prabowo berdiri membawa suara Indonesia ke hadapan dunia.

    Kehadiran Presiden Prabowo di podium Majelis Umum PBB menandai babak baru diplomasi Indonesia. Sepuluh tahun terakhir, Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan pidato secara daring saat pandemi Covid-19, sementara selebihnya Indonesia diwakili Wakil Presiden maupun pejabat setingkat menteri. Kini, dengan tampil langsung, Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam forum global yang sarat makna simbolik dan politis.

    Posisi pidato Presiden Prabowo juga menorehkan sejarah tersendiri. Sebelumnya, Presiden Soekarno pernah berpidato di urutan ke-46, Presiden Soeharto di urutan ke-61, dan Presiden Megawati Soekarnoputri di urutan ke-17. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat tiga kali berpidato dengan urutan 20, 21, dan 16, sementara Presiden Joko Widodo dua kali hadir secara daring di urutan ke-16. Kini, Presiden Prabowo menempati urutan ke-3—salah satu posisi paling awal dan paling bergengsi yang pernah diraih Indonesia di forum PBB.

    Di hadapan para pemimpin dunia yang hadir di ruang sidang Majelis Umum PBB, Presiden Prabowo membuka pidato perdananya dengan penuh penghormatan. Kepala Negara menekankan pentingnya persaudaraan universal di tengah perbedaan bangsa dan agama.

    “Sungguh suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di General Assembly Hall yang agung ini, di antara para pemimpin yang mewakili hampir seluruh umat manusia. Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama sebagai satu keluarga. Kita di sini pertama dan terutama sebagai sesama manusia — masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan,” ujar Presiden Prabowo.

    “Bismillahirrahmanirrahim,

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Shalom, Salve, Om swastiastu,

    Salam kebajikan, Rahayu, rahayu.

    His Excellency, Mr. Antonio Guterres, Secretary General of the United Nations. Her Excellency, Madame Annalena Baerbock, President of the United Nations General Assembly.

    His Excellency, Mr. Morses Abelian, Under-Secretary-General for General Assembly and Management. Excellencies, Heads of States, Heads of Governments, Distinguished Delegates, Ladies and Gentlemen,

    It is indeed a great honor to stand in this august General Assembly Hall, among leaders who represent almost all of humanity.

    We differ in race, religion, and nationality, yet we gather together as one human family. We are here first and foremost as fellow human beings — each created equal, endowed with unalienable rights to life, liberty, and the pursuit of happiness.

    The words of the U.S. Declaration of Independence have inspired democratic movements across continents — including the French Revolution, the Russian Revolution, the Mexican revolutions, the Chinese Revolution, and Indonesia’s own struggle and journey to freedom.

    It also gave birth to the Universal Declaration of Human Rights adopted by the UN in 1948. “All men are created equal” was the creed that opened the way to unprecedented global prosperity and dignity. And yet, in our own era of scientific and technological triumphs — an era capable of ending hunger, poverty, and environmental ruin — we also continue to face today’ s grave dangers, challenges, and uncertainties. Human folly, fueled by fear, racism, hatred, oppression, and apartheid, threatens our common future.

    My country knows this pain. For centuries, Indonesians lived under colonial domination, oppression, and slavery. We were treated less than dogs in our own homeland. We Indonesians know what it means to be denied justice and what it means to live in apartheid, to live in poverty, and to be denied equal opportunity. We also knew what solidarity can do. 

    In our struggle for independence, in our fight to overcome hunger, disease, and poverty, the United Nations stood with Indonesia and gave us vital assistance. Decisions made here based on human solidarity — by the Security Council and this Assembly — gave Indonesia international legitimacy, opened doors, and supported our early development through the UN Children’s Fund (UNICEF), the UN Food and Agriculture Organization (FAO), the World Health Organization (WHO) and many, many other United Nations institutions.

    And because of that, Indonesia today stands today on the cusp of shared prosperity and greater equality and dignity.

    Madam President, excellencies,

    Our world is driven by conflict, injustice, and deepening uncertainty. Every day we witness suffering, genocide, and a blatant disregard for international law and human decency.

    In the face of these challenges, we must not give up, as the United Nations’s Secretary General said, “we cannot give up”. We cannot surrender our hopes or our ideals. We must draw closer, not drift apart. Together we must strive to achieve our hopes, our dreams.

    The UN was born from the ashes of the Second World War that claimed scores of millions of lives. It was created to secure peace, security, justice, and freedom for all. We remain committed to internationalism, multilateralism, and to every effort that strengthens this great institution.

    Today, Indonesia is nearer than ever before to meeting the Sustainable Development Goals of ending extreme poverty and hunger — because years ago this very chamber chose to listen and uphold social and economic justice. We will never forget. And today we must never be silent while Palestinians are denied that same justice and legitimacy in this very Hall.

    Excellency’s, Thucydides warned: “The strong do what they can, the weak suffer what they must.” We must reject this doctrine. The UN exists to reject this doctrine. We must stand for all, the strong and the weak. Right cannot be right. Right must be right.

    Indonesia is today one of the largest contributors to United Nation Peacekeeping Forces. We believe in the United Nations, we will continue to serve where peace needs guardians — not with just words, but with boots on the ground. If and when the Security Council and this Great Assembly decide, Indonesia is prepared to deploy 20,000 or even more of our sons and daughters to secure peace in Gaza or elsewhere, in Ukraine, in Sudan, in Libya, everywhere when the peace needs to be enforced, peace needs to be guarded, we are ready.

    We will take our share of the burden, not only with our sons and daughters. We are also willing to contribute financially to support the great mission to achieve peace by the United Nations.

    Madam President, excellencies,

    I propose to this assembly a message of hope and optimism — grounded in action and execution. Today we heard the speech of Madam President, the President of the United Nations General Assembly. It is true what she said. Without the International Civil Aviation Organization, will we be here today? Will we sit in this great Hall? Without the United Nations, we cannot be safe. No country can feel secure. 

    We need the United Nations, and Indonesia will continue to support the United Nations. Even though we still struggle, but, we know the world needs a strong United Nations.

    The world’s population is growing. Our planet is under strain. Food, energy, and water insecurity haunt many nations. We choose to answer these challenges directly at home and to help abroad whenever we can.

    This year, we recorded the highest rice production and grain reserves in our history. We are now self‑sufficient in rice and we have exported rice to other nations in need, including providing rice to Palestine. We are building resilient food supply chains, strengthening farmer productivity, and investing in climate‑smart agriculture to ensure food security for our children and for the children of the world. We are confident, in a few years time, Indonesia will be the granary of the world.

    As the world’s largest island state, we testify before you that we are already experiencing the direct consequences of climate change, particularly the threat of rising sea levels. The sea level on the north coast of our capital city is increasing by 5 centimeters every year. Can you imagine in ten years? In twenty years? For this, we are forced to build a giant sea wall, 480 kilometres in length. It will take us maybe 20 years, but we have no choice. 

    We have to start now. Therefore we choose to confront climate change — not by slogans, but by immediate steps. We are committed to meeting our 2015 Paris Agreement obligations.

    We aim to achieve net zero emission by 2060 and we are confident we can achieve net zero emission much earlier. We aim to reforest more than 12 million hectares of degraded land, to reduce forest degradation, and to empower local communities with quality green jobs for the future.

    Indonesia is shifting decisively from fossil fuel based development towards renewable based development. From next year, most of our additional power generation capacity will come from renewables. Our goal is clear: To lift all of our citizens out of poverty and make Indonesia a hub for solutions to food, energy, and water security.

    Madam President, excellencies,

    We live in a time when hatred and violence can seem like the loudest voices. But beneath this loud noise lies a quieter truth: that every person longs to be safe, to be respected, to be loved, and to leave a better world to their children. Our children are watching. They are learning leadership not from textbooks, but from our choices.

    Today, still, a catastrophic situation in Gaza is unfolding before our eyes. At this very moment, the innocent are crying for help, are crying to be saved. Who will save them? Who will save the innocent? Who will save the old and the women? Millions are facing danger at this very moment, as we sit here, they are facing trauma, and irreparable damage to their bodies, they are dying of starvation. Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?

    Madam President, we must act now. Many speakers have said that. We must stand for multilateral order where peace, prosperity, and progress, are not the privilege of a few but the right of all.

    With a strong United Nations, we can build a world where the weak do not suffer what they must, but live the justice they deserve. Let us continue humanity’s great journey of ideals — the selfless aspirations that created the United Nations.

    Let us use science to uplift, not use science to destroy. Let rising nations help others to lift themselves. I am convinced that the leaders of the great world civilisations: Civilisations of the West, of the East, of the North, of the South. Leaders of America, Europe, of India, China, the Islamic world, the whole world. I am convinced they will rise to their role demanded by history. We are all hopeful that the leaders of the world will show great statesmanship, great wisdom, restraint, and humility, overcome hate, overcome suspicion.

    Madam President, Distinguished Delegates,

    We are greatly heartened by the events of the last few days, where significant leading countries of the world have chosen to side with history—the path of the moral high ground, path of rectitude, path of justice, humanity, and to shun hatred, to overcome suspicion, and to avoid the use of violence. The use of violence will beget violence. Not one country can bully the whole community of the human family. 

    We may be weak individually, but the sense of oppression, of injustice, has proven in the history of mankind, will unite with a strong force that will overcome this oppression, this injustice.

    To close, I would like to reiterate again Indonesia’s complete support for the Two-State Solution in Palestine. We must have an independent Palestine, but we must also recognize and guarantee the safety and security of Israel. Only then can we have real peace: peace without hate, peace without suspicion.

    The only solution is this two-state solution. Two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace, and harmony. Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions. We must live as one human family. Indonesia is committed to being part of making this vision a reality.

    Is this a dream? Maybe. But this is the beautiful dream we must work toward together. Let us continue humanity’s journey of hope, a journey started by our forefathers, a journey that we must complete.

    Thank you. Terima kasih.

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Shalom, Om shanti shanti shanti om.

    Namo Budaya.

    Thank you very much.

    May God bless us all, may peace be upon us.

    Thank you very much.”

    “Yang Mulia, para kepala negara, kepala pemerintahan, para delegasi yang terhormat, hadirin sekalian

    Sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di Aula Sidang Umum bulan Agustus ini di antara para pemimpin dan perwakilan yang mewakili hampir seluruh umat manusia. 

    Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama hari ini sebagai satu keluarga manusia. Kita di sini, pertama dan terutama, sebagai sesama manusia, masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak-hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.

    Kata-kata Deklarasi Kemerdekaan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menginspirasi gerakan-gerakan demokrasi di seluruh benua, termasuk Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Meksiko, Revolusi China, dan perjuangan serta perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Deklarasi ini juga melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, “Semua manusia diciptakan setara.”

    Deklarasi ini membuka jalan menuju kemakmuran dan martabat global yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun, di era kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita sendiri, sebuah era yang mampu mengakhiri kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan.  

    Kami juga terus menghadapi tantangan dan ketidakpastian yang serius dan berbahaya saat ini, kebodohan manusia yang dipicu oleh rasa takut, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid mengancam masa depan kita bersama.

    Nyonya Presiden, Yang Mulia,

    Kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan mungkin terdengar paling keras, tetapi di balik kebisingan ini terdapat kebenaran yang lebih tenang bahwa setiap orang mendambakan rasa aman, dihormati, dicintai, dan mewariskan dunia yang lebih baik kepada anak-anak mereka. Anak-anak kita sedang menyaksikan. Mereka belajar kepemimpinan, bukan dari buku teks, tetapi dari pilihan kita.

    Saat ini, situasi bencana di Gaza masih terbentang di depan mata kita. Saat ini, orang-orang tak berdosa menangis minta tolong. Menangis untuk diselamatkan. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang tak berdosa? Siapa yang akan menyelamatkan para lansia dan perempuan. Jutaan orang menghadapi bahaya saat ini, sementara kita duduk di sini. Mereka menghadapi trauma. Mereka menghadapi kerusakan yang tak tergantikan pada tubuh mereka. Mereka sekarat karena kelaparan.

    Bisakah kita tetap diam? Akankah jeritan mereka tak terjawab? Akankah kita mengajari mereka bahwa umat manusia dapat bangkit menghadapi tantangan ini?

    Nyonya Presiden, kita harus bertindak sekarang.  Banyak pembicara telah menyatakan bahwa kita harus memperjuangkan tatanan multilateral, di mana perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan bukanlah hak istimewa segelintir orang, melainkan hak semua orang. Dengan persatuan bangsa yang kuat, kita dapat membangun dunia di mana kaum lemah tidak menderita apa yang seharusnya mereka derita, melainkan hidup dalam keadilan yang pantas mereka dapatkan.

    Kita mungkin lemah secara individu, tetapi rasa penindasan, rasa ketidakadilan, telah membuktikan dalam sejarah umat manusia bahwa rasa ketidakadilan ini, rasa penindasan ini, akan bersatu menjadi kekuatan yang kuat yang akan mengatasi penindasan ini, yang akan mengatasi ketidakadilan ini.

    Sebagai penutup, saya ingin kembali menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap solusi dua negara di Palestina.

    Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus, kita juga harus mengakui, kita juga harus menghormati, dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan begitu kita dapat memiliki kedamaian sejati, kedamaian sejati, dan tidak ada lagi kebencian dan kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah ini, solusi dua negara, dua keturunan Abraham harus hidup dalam rekonsiliasi, damai, dan harmoni.

    Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama, kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mewujudkan visi ini. Apakah ini mimpi? Mungkin, tetapi inilah mimpi indah yang harus kita perjuangkan bersama. 

    Mari kita bekerja menuju tujuan mulia ini.  Mari kita lanjutkan perjalanan harapan umat manusia, sebuah perjalanan yang telah dimulai oleh para leluhur kita, sebuah perjalanan yang harus kita selesaikan.

    Terima kasih. Wassalamualaikum.”

  • Perubahan Iklim Nyata, Bukan Tipuan

    Perubahan Iklim Nyata, Bukan Tipuan

    JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada sesi debat umum Sidang ke-80 Majelis Umum PBB di Markas PBB, New York, menegaskan dampak perubahan iklim (climate change) merupakan ancaman nyata yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia.

    Dari podium di General Assembly Hall, Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9) waktu setempat, Presiden Prabowo membantah dan tidak bersepakat dengan isi pidato Presiden AS Donald Trump yang tak menerima fakta adanya perubahan iklim, dan menyebutnya sebagai “greatest con job ever perpretarted on the world”.

    “Kami, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, di hadapan yang terhormat semua bersaksi, kami telah mengalami dampak langsung dari perubahan iklim, khususnya ancaman naiknya tinggi permukaan laut. Tinggi permukaan laut di pesisir utara ibu kota negara kami naik 5 centimeter tiap tahun. Dapat anda bayangkan berapa tingginya dalam 10 tahun? Dalam 20 tahun?” kata Presiden Prabowo di hadapan seratusan lebih kepala negara dan delegasi negara-negara anggota PBB saat Sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Oleh karena itu, Prabowo melanjutkan Indonesia memilih untuk menghadapi ancaman dampak perubahan iklim itu secara langsung, tidak sekadar hanya dengan slogan, tetapi dengan aksi yang konkret, termasuk dengan membangun tanggul laut raksasa (giant sea wall) di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa.

    “Kami terpaksa membangun tanggul laut raksasa, panjangnya 480 kilometer. Kami mungkin butuh 20 tahun untuk membangun itu, tetapi kami tidak punya pilihan lain. Kami harus mulai bertindak sekarang,” ujar Presiden.

    Di samping itu, Presiden melanjutkan Indonesia juga berkomitmen memenuhi kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015, dan berupaya mencapai target bebas emisi (net-zero emission) pada 2060.

    “Kami menargetkan bebas emisi pada tahun 2060, tetapi kami yakin dapat lebih cepat mencapai itu,” kata Presiden.

    Prabowo melanjutkan pemerintahannya saat ini juga menanam lahan-lahan tandus seluas lebih dari 12 juta hektare, menekan kasus-kasus deforestasi, sekaligus memberdayakan masyarakat lokal sekitar hutan dengan menyediakan pekerjaan-pekerjaan yang berkelanjutan dan tidak merusak alam.

    “Indonesia saat ini juga tegas (dengan komitmennya, red.) berpindah dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju pembangunan yang berbasis energi baru dan terbarukan. Mulai tahun depan, sebagian besar tambahan kapasitas listrik kami diperoleh dari pembangkit-pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan,” ujar Presiden Prabowo.

    Sesi debat umum merupakan acara inti Sidang ke-80 Majelis Umum PBB.

    Presiden Prabowo naik podium pada urutan ketiga, setelah Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva pada urutan pertama, dan Presiden AS Donald Trump pada urutan kedua. Tradisinya, Brazil selalu berbicara pada urutan pertama dalam Sidang Majelis Umum PBB, dan AS selalu berbicara pada urutan kedua selaku tuan rumah.

    Kehadiran Presiden Prabowo secara langsung di Markas PBB pada Sidang Ke-80 Majelis Umum PBB pun menjadi kehadiran pertama kepala negara Indonesia setelah absen selama 10 tahun dalam forum tahunan PBB tersebut.

  • Ketika Prabowo Perdana Berpidato di Sidang Umum PBB…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 September 2025

    Ketika Prabowo Perdana Berpidato di Sidang Umum PBB… Nasional 24 September 2025

    Ketika Prabowo Perdana Berpidato di Sidang Umum PBB…
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Tak hanya berbicara dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (KTT PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), Presiden Prabowo juga mendapat kesempatan berpidato di Sidang Majelis ke-80 PBB pada Selasa (23/9/2025).
    Ini adalah kali pertama Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) berbicara di forum internasional tersebut.
    Sebanyak 16 Kepala Negara mendapat kesempatan berpidato dalam sesi general debate sesi pertama yang digelar pada Selasa pagi waktu Amerika.
    Tema dari sesi
    general debate
    itu adalah “Better together: 80 years and more for peace, development and human rights”.
    Prabowo mendapat kesempatan ketiga berpidato setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
    Sementara itu, Sidang Majelis Umum ke-80 PBB dibuka dengan pidato dari Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres. Lalu, Presiden Sidang Umum ke-80 PBB, Annalena Baerbock.
    Mengenakan jas berwarna biru dilengkapi dengan peci, Prabowo tanpa ragu mulai menyapa semua yang kepala negara dan delegasi yang hadir.
    Terlihat juga pin Merah Putih tersemat pada bagian kerah jas Prabowo. Pin itu menandakan bahwa dia adalah Presiden RI.
    Kemudian, tampak mendampingi prabowo anak semata wayangnya, Didit Hediprasetyo.
    Didit menyaksikan langsung Prabowo berpidato bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, dan Menteri Investasi sekaligus CEO Danantara, Rosan Roeslani di kursi delegasi Indonesia.
    Dia juga terlihat beberapa kali memberikan dukungan kepada Prabowo dengan bertepuk tangan hingga memberikan stading ovation.
    Sementara itu, Prabowo juga tampak bersemangat menyampaikan pandangannya untuk pertama kali di Sidang Majelis Umum PBB.
    Tercatat Prabowo delapan kali menghentakkan meja. Di antaranya saat menceritakan penderitaan rakyat Indonesia di masa penjajahan. Lalu, saat akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan.
    Kemudian, Prabowo juga menghentakkan meja saat menegaskan bahwa Indonesia siap membantu PBB dalam upaya perdamaian.
    “Jika dan ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Majelis Agung ini memutuskan, Indonesia siap mengerahkan 20.000 atau bahkan lebih putra-putri kami untuk membantu mengamankan perdamaian di Gaza, atau di tempat lain, di Ukraina, di Sudan, di Libya, di mana pun perdamaian perlu ditegakkan,” ujar Prabowo dalam pidato yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
    “Perdamaian perlu dijaga, kami siap. Kami akan memikul beban ini, tidak hanya dengan putra-putri kami, kami juga bersedia berkontribusi secara finansial untuk mendukung misi besar Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencapai perdamaian,” katanya lagi.
    Total, ada delapan kali Prabowo menghentakkan meja termasuk saat mendesak agar Palestina menjadi negara merdeka.
    Semangat yang dibagikan Prabowo di atas podium, membuat delapan kali tepuk tangan bergemuruh di Markas Besar PBB tersebut.
    Di antaranya, saat Prabowo menyebut bahwa Indonesia siap mengirimkan 20.000 pasukan perdamaian ke berbagai wilayah konflik.
    Kemudian, saat Prabowo menyatakan dukungan penuh untuk Palestina termasuk menegaskan soal solusi dua negara.
    “Untuk menutup, saya ingin kembali menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap solusi dua negara di Palestina,” ujarnya.
    Terakhir, tepuk tangan meriah kembali bergema saat Prabowo mengakiri pidatonya. Bahkan, ada sejumlah delegasi melakukan
    standing ovation
    .
    Berikut Pidato Lengkap Prabowo dalam bahasa Inggris:

    His Excellency, Mr. Antonio Guterres, Secretary General of the United Nations. Her ‎Excellency, Madame Annalena Baerbock, President of the United Nations General Assembly. ‎His Excellency, Mr. Morses Abelian, Under-Secretary-General for General Assembly and Management. Excellencies, Heads of States, Heads of Governments, Distinguished ‎Delegates, Ladies and Gentlemen.
    It is indeed a great honor for me to stand in this August General Assembly Hall among leaders and representatives who represent almost all of humanity. We differ in race, religion and nationality, yet we gather together today as one human family. We are here first and foremost, as fellow human beings, each created equal, endowed with unalienable rights to life, liberty and the pursuit of happiness.
    ‎The words of the United Nations Declaration of Independence have inspired democratic movements across continents, including the French Revolution, the Russian Revolution, the Mexican Revolution, the Chinese Revolution, and Indonesia’s own struggle and journey to freedom, it also gave birth to the Universal Declaration of Human Rights adopted by United Nations in 1948, all men are created equal.
    Was the great that opened the way to unprecedented global prosperity and dignity, and yet, in our own era of scientific and technological triumphs, an era capable of ending hunger, poverty and environmental ruin. We also continue to face today, grave, dangerous challenges and uncertainties, human folly fueled by fear, racism, hatred, oppression and apartheid threatens our common future.
    ‎My country knows this, for centuries Indonesians lived under colonial domination, oppression and slavery. We were treated less than dogs in our own homeland. We Indonesians know what it means to be denied justice and what it means to live in apartheid, to live in poverty and to be denied equal opportunity. We also knew what solidarity can do in our struggle for independence, in our fight to overcome hunger, disease and poverty, the United Nations stood with Indonesia and gave us vital assistance.
    Decisions are made here based on human solidarity by the Security Council and The Assembly gave Indonesia independence international legitimacy open doors and supported our early development through the efforts of the United Nations children fund, the United Nations Food and Agriculture Organization, the FAO, the World Health Organization, and many, many other United Nations institutions. And because of that, Indonesia today stands on the cusp of shared prosperity and greater equality and dignity.
    ‎Madam President Excellencies,
    Our world today is driven by conflict, injustice and deepening uncertainty. Everyday we witness suffering, genocide and blatant disregard for international law and human decency. In the face of these challenges, we must not give up, as the United Nations Secretary General said, we cannot give up. We cannot surrender our hopes or our ideals. We must draw closer, not drift apart. Together we must strive to achieve our hopes, our dreams.
    The United Nations was born from the ashes of the Second World War that claimed scores of millions of lives. It was created to secure peace, security, justice and freedom for all. We remain committed to internationalism, to multilateralism and to every effort that strengthens this great institution.
    ‎Today, Indonesia is nearer than ever before to meeting the Sustainable Development Goals of ending extreme poverty and hunger. Because years ago, this very chamber chose to listen and uphold social and economic justice. We will never forget.
    ‎And today we must never be silent while Palestinians are denied that same justice and legitimacy in this very hall.
    Excellencies, to get it is warned the strong do what they can. The weak suffer what they must. We must reject this doctrine. The United Nations exist to reject this doctrine, we must stand for all the strong and the weak. Might cannot be right, right must be right.
    ‎Indonesia today is one of the largest contributors to United Peacekeeping Forces. We believe in the United Nations we will continue to serve where peace needs guardians, not with just words, but with boots on the ground.
    ‎If and when the United Nations Security Council and this great assembly decide, Indonesia is prepared to deploy 20,000 or even more of our sons and daughters to help secure peace in Gaza or elsewhere, in Ukraine, in Sudan, in Libya, everywhere when peace needs to be enforced, peace needs to be guarded, we are ready.
    We will take our share of the burden, not only with our sons and daughters, we are also willing to contribute financially to support the great mission to achieve peace by the United Nations.
    ‎‎Madam President Excellencies,
    ‎I propose to this assembly a message of hope and optimism grounded in action and execution. Today we heard the speech of Madam President, the President of United Nations, General Assembly. Yes, it is true what she said, without the International Civil Aviation Organization. Will we be here today? Will we sit in this great hall without the United Nations? We cannot be safe. No country can feel secure. We need the United Nations and Indonesia will continue to support the United Nations, even though we still struggle, but we know the world needs a strong United Nations.
    The world’s population is growing. Our planet is under strain. Food energy and water insecurity haunt many nations. We choose to answer these challenges directly at home and to help abroad wherever we can.
    ‎This year, Indonesia recorded the highest rice production and grain reserves in our history, we are now self sufficient in rice, and we are starting now to export rice to other nations in need, including providing Rice for Palestine.
    ‎We are building resilient food supply chains, strengthening farmer productivity, investing in climate, smart agriculture, to ensure food security for our children and for the children of the world.
    ‎We are confident in a few years time, Indonesia will be the greenery of the world as the world’s largest island state, we testify before you that we are already experiencing the direct consequences of climate change, particularly the threat of rising sea levels.
    ‎The sea level on the north coast of our capital city is increasing by five centimeters every year. Can you imagine in 10 years? Can you imagine in 20 years? For this, we are forced to build a giant sea wall, 480 kilometers in length. It will take us maybe 20 years. But we have no choice. We have to start now. Therefore we choose to confront climate change, not by slogans, but by immediate steps.
    ‎We are committed to meeting our 2015 Paris Agreement obligations. We aim to achieve net zero emission by 2060 and we are very confident we can achieve net zero emission much earlier.
    ‎We aim to reforest more than 12 million hectares of degraded forest, to reduce forest degradation, to empower local communities with quality Green Jobs for the Future. Indonesia is shifting decisively from fossil fuel based development towards renewable based development. From next year, most of our additional power generation capacity will come from renewables. Our goal is clear, to lift all of our citizens out of poverty and make Indonesia a hut for solutions to food, energy and water security.
    Madam President Excellencies,
    ‎We live in a time when hatred and violence can seem to be the loudest voices, but beneath this loud noise lies a quieter truth that every person longs to be safe, to be respected, to be loved and to leave a better world to their children. Our children are watching. They are learning leadership, not from textbook, but from our choices.
    ‎Today, still a catastrophic situation in Gaza is unfolding before our eyes. At this very moment, the innocent are crying for help. Are crying to be saved. Who will save them? Who will save the innocent? Who will save the old and women. Millions are facing danger at this very moment as we sit here. They are facing trauma. They are facing irreparable damage to their bodies. They are dying of starvation.
    ‎Can we remain silent? Will there be no answer to their screams? Will we teach them that the human family can rise to the challenge?
    ‎Madam President, we must act now. Many speakers have saiimagin. We must stand for multilateral order, where peace, prosperity and progress are not the privilege of a few, but the right of all. With a strong united nations, we can build a world where the weak do not suffer what they must, but live the justice that they deserve.
    ‎Let us continue humanity’s great journey of ideals, the selfless aspirations that created the United Nations. Let us use science to uplift, not use science to destroy. Let rising nations help others to lift themselves. I am convinced that the leaders of the great world civilizations, civilizations of the west of the east, of the north, of the South, Leaders of America, Europe, of India, China, the Islamic world, the whole world, I am convinced they will rise to their role demanded by history.
    We are all hopeful that the leaders of the world will show great statesmanship, great wisdom, restraint, humility, overcome hate, overcome suspicion.
    ‎‎Madam President, distinguished delegates, We are greatly heartened by the events of the last few days where significant leading countries of the world have chosen to side with history, to choose the right side of history, the path of the moral high ground, the path of rectitude, the path of justice, the path of humanity, to shun hatred, to overcome suspicion and to avoid the use of violence. The use of violence will be get violence. No one country can bully the whole community of the human family.
    ‎We may be weak individually, but the sense of oppression, the sense of injustice, has proven in the history of mankind that this sense of injustice, this sense of oppression, will unite into a strong force that will overcome this oppression, that will overcome this injustice.
    ‎To close, I would like to retreat again Indonesia’s complete support for the two state solution in Palestine.
    ‎We must have an independent Palestine, but we must also, we must also recognize, we must also respect, and we must also guarantee the safety and security of Israel. Only then we can have real peace, real peace and no longer hate and no longer suspicion. The only solution is this, two state solution, two descendants of Abraham must live in reconciliation, peace and harmony.
    Arabs, Jews, Muslims, Christians, Hindus, Buddhists, all religions, we must live as one human family. Indonesia is committed to being part of making this vision a reality. Is this a dream? Maybe, but this is the beautiful dream that we must work together towards. Let us work towards this noble goal. Let us continue humanity’s journey of hope, a journey started by our forefathers, a journey that we must complete.
    ‎Thank you”
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.