RUU PPRT: Menanti Keadilan dari Dapur
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
DI RUANG
yang tak pernah tampil di podium kekuasaan, mereka bangun paling pagi dan tidur paling larut.
Pekerja rumah tangga
— yang sering kali disebut “asisten rumah tangga” atau “mbak”— hadir dalam keseharian kita, tetapi absen dalam kebijakan negara.
Di balik setiap seragam putih yang disetrika, lantai yang disapu, dan sarapan yang tersaji, ada wajah yang tak dikenali hukum, tak dihormati undang-undang, dan terlalu sering didiamkan negara.
RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga
(PPRT) sesungguhnya bukan barang baru. Diperjuangkan sejak 2004, disuarakan oleh banyak pihak, dan terus dijanjikan oleh para pengambil kebijakan, tetapi dua dekade berselang, ia tetap mandek.
Tertahan di ruang-ruang rapat Baleg, tertimbun di laci birokrasi, dan tak kunjung menjadi hukum positif.
Negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung yang adil, justru membiarkan para pekerja domestik berjalan tanpa payung hukum. Seakan rumah tangga adalah ruang privat yang tak perlu diintervensi keadilan.
Jumlah
pekerja rumah tangga
di Indonesia diperkirakan mencapai 4-5 juta orang. Sebagian besar perempuan.
Sebagian besar hidup dalam relasi kuasa yang timpang. Upah rendah, beban kerja tak terbatas, tanpa jaminan sosial, tanpa cuti, dan tanpa kontrak tertulis. Mereka bekerja, tetapi tak dianggap sebagai pekerja.
Ketiadaan perlindungan ini bukan semata kelalaian administratif, melainkan bentuk pembiaran struktural. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menegaskan bahwa setiap warga negara — tanpa kecuali — berhak atas perlindungan hukum yang adil.
Namun, bagi para pekerja rumah tangga, konstitusi seolah hanya berlaku di ruang sidang, bukan di ruang makan.
JALA PRT mencatat lebih dari 3.300 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sejak 2021. Komnas Perempuan mencatat 56 kasus sepanjang 2024.
Kekerasan fisik, verbal, ekonomi, hingga kekerasan seksual. Banyak yang tak melapor karena takut. Banyak yang dipaksa diam karena tak tahu ke mana harus meminta keadilan.
Negara diam. DPR lamban. Sementara para PRT terus bekerja, meski tak diakui.
Maret 2023,
RUU PPRT
disahkan sebagai inisiatif DPR dan sempat masuk Prolegnas prioritas. Publik sempat berharap. Namun harapan itu segera dikecewakan: masa jabatan DPR periode 2019–2024 berakhir tanpa pengesahan. RUU kembali ke titik nol.
Kini, DPR 2024–2029 membawa janji baru. Ketua DPR menyatakan bahwa RUU PPRT akan menjadi prioritas pasca-Hari Buruh 2025.
Presiden Prabowo Subianto bahkan menyebut pengesahan sebagai komitmen moral. Baleg telah memulai RDP dan RDPU. Tapi publik tahu, proses legislasi bukan soal niat semata — melainkan soal keberanian untuk melawan kepentingan.
Kepentingan siapa yang menolak RUU ini? Mungkin mereka yang nyaman dengan status quo. Mereka yang mempekerjakan tanpa tanggung jawab. Mereka yang melihat pekerja rumah tangga bukan sebagai subjek hukum, melainkan sekadar “bagian keluarga”.
Padahal dalam logika hukum ketenagakerjaan, relasi kerja domestik tetaplah kerja. Hak tetaplah hak. Dan martabat tak bisa dikaburkan oleh tembok rumah.
RUU PPRT seharusnya menjadi tonggak peradaban hukum ketenagakerjaan Indonesia. Draf yang telah dibahas memuat sejumlah terobosan.
Pertama, pengakuan PRT sebagai pekerja formal, setara dengan profesi lain. Bukan sebagai “keluarga”, bukan sekadar “pembantu”, tetapi sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban jelas.
Kedua, perjanjian kerja tertulis yang meliputi hak atas upah layak, cuti, jaminan sosial, dan jam kerja manusiawi. Termasuk ketentuan mengenai larangan kekerasan dan perlindungan dari penyalur ilegal.
Ketiga, penyalur wajib berizin, tidak boleh menahan dokumen, memungut biaya, atau mengeksploitasi calon PRT.
Keempat, pengawasan oleh pemerintah daerah, termasuk pendataan, pelatihan, dan penyelesaian sengketa berbasis mediasi.
Dengan semua itu, RUU PPRT bukan hanya produk hukum, tetapi wajah keberpihakan. Ia mengoreksi sejarah ketimpangan dan memanusiakan profesi yang selama ini dibungkam oleh domestifikasi.
Dalam sistem hukum kita, UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) secara eksplisit menyebut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.”
Apakah PRT bukan “setiap orang”? Apakah mereka harus terus menunggu pengakuan dari negara yang katanya berdasarkan hukum?
Pembiaran berlarut terhadap RUU PPRT adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip konstitusional itu sendiri. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan sosial budaya atau status quo relasi kuasa. Negara harus berdiri tegak sebagai pelindung, bukan penonton.
DPR dan Pemerintah tak bisa terus berdalih menunggu waktu yang tepat. Setiap hari yang ditunda adalah risiko baru yang dihadapi para PRT. Satu hari tanpa payung hukum bisa berarti satu nyawa hilang tanpa perlindungan.
Keadilan yang ditunda — sebagaimana dikatakan William E. Gladstone — adalah keadilan yang ditolak.
RUU PPRT adalah cermin. Ia mencerminkan apakah bangsa ini benar-benar percaya pada keadilan sosial. Apakah negara ini hanya melindungi yang lantang bersuara di Senayan atau juga yang diam di dapur sempit tanpa serikat.
Dari dapur itulah, keadilan kini sedang ditunggu. Ia tak berteriak, tapi mendidih perlahan. Ia tak bersuara, tapi mendesak. Menanti untuk disambut oleh negara, bukan dengan janji, melainkan dengan keberanian legislasi.
Jika negara tak segera mengetuk palu pengesahan, maka yang dikhianati bukan hanya para PRT, tetapi juga nurani konstitusi itu sendiri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Palu
-

Komisi II DPR bentuk panja pembahasan 10 RUU Kabupaten/Kota
Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI sepakat membentuk panitia kerja (panja) pembahasan 10 Rancangan Undang-Undang tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.
“Kami setuju akan kami bentuk panja, nanti akan menyusul orang-orangnya, nanti akan kami surati semua, panja legislasi, Panja RUU tentang 10 Kabupaten/Kota,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin seraya mengetuk palu tanda persetujuan dalam Rapat Kerja 10 RUU Kabupaten Kota di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Pertanyaan itu kemudian dijawab setuju oleh seluruh peserta rapat kerja.
Pembentukan panja pembahasan 10 RUU Kabupaten/Kota itu disepakati setelah Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk mewakili pemerintah menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait RUU tersebut, serta perwakilan DPR RI dan Komite I DPD RI menyampaikan pula pandangan terhadap RUU tersebut.
“Mulai dini hari nanti Komisi II DPR RI melalui panja akan mengunjungi tiga provinsi, yakni Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, untuk menginformasikan tentang pembahasan RUU ini, sekaligus menerima masukan dari kabupaten/kota yang tergabung dalam tiga provinsi tersebut,” kata Zulfikar.
Saat memberikan penjelasan di awal mewakili DPR RI melalui Komisi II DPR, anggota Komisi II DPR RI Giri Ramanda Nazaputra Kiemas menjelaskan bahwa urgensi pembentukan 10 RUU Kabupaten/Kota itu ialah penyesuaian dasar hukum pembentukan provinsi, kabupaten/kota, sebab masih didasari Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat.
“Situasi ini menimbulkan anomali dalam sistem hukum kata negara kita kali ini. Lebih jauh, Komisi II DPR RI memandang bahwa setiap daerah memiliki karakteristik khas yang tidak bisa diseragamkan. Perbedaan ini bukan halangan, melainkan kekuatan dalam sistem otonomi daerah,” kata Giri.
Untuk itu, lanjut Giri, kekuatan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, tidak cukup hanya diakui secara administratif, tetapi harus dituangkan dalam bentuk undang-Undang tersendiri agar seluruh aspek kekuasaan, potensi, dan kebutuhan masing-masing daerah bisa diakomodasi dengan tepat.
“Kehadiran 10 RUU Kabupaten/Kota ini diharapkan menjadi jawaban atas berbagai tantangan hukum dan pelembagaan pemerintah daerah yang selama ini belum mendapatkan landasan kuat,” ujarnya.
Ke-10 RUU tentang Kabupaten/Kota yang diusulkan Komisi II DPR itu terdiri atas wilayah di Provinsi Gorontalo, yaitu RUU tentang Kota Gorontalo dan RUU tentang Kabupaten Gorontalo.
Lalu, wilayah di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu RUU tentang Kabupaten Bolaang Mongondow, RUU tentang Kabupaten Kepulauan Sangihe, RUU tentang Kabupaten Minahasa, dan RUU tentang Kota Manado.
Berikutnya, wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu RUU tentang Kabupaten Buton, RUU tentang Kabupaten Kolaka, RUU tentang Kabupaten Konawe, dan RUU tentang Kabupaten Muna.
Sebelumnya, pada Kamis (20/3), Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 menyetujui 10 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kabupaten/Kota usul inisiatif Komisi II DPR RI menjadi usul DPR RI.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Habiburokhman: Selama Janur Kuning Paripurna Belum Diketuk, Masukan RUU KUHAP Masih Diterima
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman menegaskan selama Rapat Paripurna belum dimulai, pihaknya masih bisa menerima masukan terhadap revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal ini dia ungkapkan dalam konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (14/7/2025).
“Sahnya undang-undang itu adalah di Paripurna. Bukan hanya di undang-undang ini sebetulnya. Semua undang-undang. Selama janur kuning Paripurna belum diketuk. Masih terbuka peluang [terima masukan]. Dulu KUHP saja batal,” kata legislator Gerindra tersebut.
Pria yang juga Waketum Gerindra ini menyampaikan bahwa proses penyusunan revisi KUHAP saat ini masih berjalan dalam tahap pembahasan, sebagaimana diatur dalam UU MD3.
Pada intinya, dia menyebut setelah tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin) selesai bekerja, panitia kerja (panja) Komisi III DPR akan mengkaji lagi dari awal, di momen inilah akan dipertimbangkan lagi jika memang ada masukan tambahan yang memang diperlukan.
Setelah itu, lanjutnya, panja akan melaporkan kepada Komisi III DPR untuk mendapat persetujuan apakah bisa dibawa ke tingkat pertama atau tidak. Jika misalnya sudah disahkan di tingkat pertama, maka pengesahan berlanjut ke Paripurna.
“Kalau logika standarnya ketika di panja selesai berarti sampai di Paripurna tidak ada perubahan, tetapi tidak demikian, masih bisa sangat mungkin kalau sudah disetujui di tingkat pertama, di Paripurna kalau ada usulan perubahan ya masih bisa secara faktanya,” katanya dalam RDP dan RDPU dengan Komnas Perempuan, LBH Apik, PBB, dan Gema Keadilan, di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025).
Menurutnya, itulah metode berlapis yang dianut Indonesia untuk mengesahkan Undang-Undang. Ini dilakukan dalam rangka menjaga agar tidak ada pasal-pasal yang tidak pas lagi.
“Jadi teman-teman masyarakat, teman-teman LSM, bisa terus ngasih masukan ya, ketok palu terakhir itu adalah ketika paripurna ya. Selama teman-teman bisa meyakinkan anggota DPR, pimpinan fraksi, masih bisa mengubah apa yang sudah diputuskan,” tegasnya.
Lebih jauh, Habiburokhman memastikan bahwa proses penyusunan dan pembahasan UU ini sudah transparan dan terbuka. Dia juga mengklaim pihaknya tidak pernah menolak satu pun institusi yang mengajukan RDPU.
“Tidak ada, coba cek, ada yang sudah pernah mengajukan RDPU lalu ditolak, tidak ada. Tadi pagi saya cek lagi, ada lagi gak yang mengajukan RDPU, tidak ada ya, belum ada, silakan selama proses ini belum di paripurna, kita akan terbuka menerima masukan masyarakat,” pungkasnya.
-

DPR terus buka masukan revisi KUHAP sebelum disahkan di paripurna
Jakarta (ANTARA) – Komisi III DPR RI memastikan untuk terus membuka masukan untuk revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga sebelum disahkan di tingkat Rapat Paripurna DPR RI.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan biasanya jika pembahasan revisi di tingkat panitia kerja (Panja) selesai, maka tidak ada lagi perubahan hingga rapat paripurna.
Namun, dia memastikan bahwa Komisi III DPR akan terus mengevaluasi pasal-pasal yang ada.
“Sangat mungkin kalau sudah disetujui di tingkat pertama, pada paripurna kalau ada usulan perubahan ya masih bisa (diubah) secara faktanya,” kata Habiburokhman saat menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah organisasi dan lembaga bantuan hukum di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan bahwa evaluasi berlapis itu bakal dilakukan agar tidak ada kebobolan pasal-pasal yang tidak pas.
Dengan begitu, menurut dia, masyarakat hingga berbagai lembaga, masih terus bisa memberikan masukan sebelum palu sidang rapat paripurna diketuk.
“Selama teman-teman bisa meyakinkan anggota DPR, pimpinan fraksi, masih bisa merubah apa yang sudah diputuskan,” kata dia.
Sejauh ini, menurut dia, Komisi III DPR RI tidak pernah menolak kunjungan dari berbagai organisasi atau lembaga untuk memberikan masukan terhadap revisi KUHAP.
Dia pun ingin agar pembahasan revisi tersebut dilakukan secara terbuka dan transparan.
“Ada yang sudah pernah mengajukan RDPU (rapat dengar pendapat umum) lalu ditolak? Tidak ada. Tadi pagi saya cek lagi, ada lagi nggak yang mengajukan RDPU, tidak ada ya, belum ada. Silakan selama proses ini belum paripurna, kita akan terbuka menerima masukan masyarakat,” kata dia.
Sejauh ini Komisi III DPR RI sudah mulai menggulirkan revisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana alias KUHAP.
Adapun Komisi III DPR sudah menyelesaikan tahapan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 1.676 poin pada Kamis (10/7).
Kini Komisi III DPR sudah memasuki tahapan pembahasan revisi tersebut di tingkat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk memproses perubahan-perubahan yang sudah dilakukan dari tahap pembahasan DIM tersebut.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Bentuk Satgas Premanisme, Sulteng Perketat Izin Lembaga
Palu, Beritasatu.com – Pemerintah pusat resmi membentuk Satgas Pemberantasan Premanisme sebagai upaya menekan maraknya aksi preman di berbagai wilayah, termasuk Sulawesi Tengah (Sulteng). Langkah ini dikukuhkan melalui rapat lintas instansi yang digelar di Palu, Kamis (10/7/2025) dan melibatkan sejumlah lembaga strategis daerah.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sulteng Rakhmat Renaldy, menyebut pembentukan Satgas ini merupakan tindak lanjut dari arahan Kemenko Polhukam yang dicanangkan sejak 6 Mei 2025 di Jakarta.
“Ini langkah maju membangun kepercayaan publik. Kanwil Kemenkum Sulteng siap mendukung penuh, khususnya dalam konteks regulasi dan keabsahan badan hukum sebagai bentuk pencegahan,” ujar Rakhmat kepada Beritasatu.com, Sabtu (12/7/2025).
Rakhmat juga menegaskan pentingnya pengawasan selektif terhadap pendirian badan hukum, guna mencegah lembaga digunakan sebagai kedok aktivitas kelompok preman. “Kami akan lebih selektif dalam pengesahan dan membuka data guna mendukung pengawasan terpadu,” tegasnya.
Satgas Premanisme Sulteng melibatkan berbagai unsur penting, di antaranya Badan Kesbangpol Provinsi Sulteng, Kantor Wilayah Kemenkumham Sulteng, Kejaksaan Tinggi Sulteng, Polda Sulawesi Tengah, Korem 132/Tadulako, BIN Daerah (Binda), dan Kanwil Kementerian Agama Sulteng.
Pembentukan Satgas ini bertujuan menciptakan iklim sosial yang aman, tertib, serta memberikan kepastian hukum dan stabilitas bagi dunia usaha dan investasi di wilayah Sulawesi Tengah.
Fenomena premanisme akhir-akhir ini menjadi sorotan nasional karena tidak hanya meresahkan warga, tetapi juga dianggap mengganggu iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi, terutama di wilayah berkembang seperti Sulawesi Tengah.
Pemerintah berharap, melalui Satgas ini, penindakan terhadap kelompok menyimpang dapat dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, serta memperkuat sinergi antar-lembaga dalam menjaga keamanan nasional.
-

ASN di Sulteng Wajib Pakai Seragam Putih dan Kopiah Setiap Jumat
Palu, Beritasatu.com – Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Anwar Hafid menetapkan kebijakan baru bagi aparatur sipil negara (ASN) laki-laki di lingkungan Pemprov Sulteng untuk mengenakan seragam putih dan kopiah setiap Jumat.
Kebijakan ini berlaku mulai pertengahan Juli 2025 dan diumumkan dalam rapat pimpinan (rapim) di ruang Polibu Kantor Gubernur Sulteng, Jumat (11/7/2025).
“Kita sepakati, setiap hari Jumat kita pakai baju putih dan kopiah. Yang muslim wajib, yang non-muslim silakan menyesuaikan. Ini bagian dari identitas dan semangat kebersamaan,” ujar Anwar.
Menurut Anwar, kebijakan ini tidak hanya bernilai simbolik, tetapi juga untuk memperkuat karakter ASN yang religius, rapi, dan siap melayani.
Selain itu, Anwar juga menggagas kegiatan hari bebas kendaraan atau car free day ASN sebulan sekali. Seluruh pegawai dapat mengikuti kegiatan jalan sehat bersama keluarga sebagai ajang silaturahmi dan penguatan kebersamaan antarpegawai.
“Biar ada ruang kumpul bersama, bawa istri, bawa suami, kita jalan sehat. Kita pilih tanggalnya tiap bulan, bisa di jalur dua atau halaman rumah jabatan,” katanya.
Kebijakan ini rencananya akan ditindaklanjuti dalam bentuk surat edaran resmi dan mulai diterapkan dalam waktu dekat.
/data/photo/2023/02/15/63ece78c1d768.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4485095/original/003900700_1687953696-IMG_20230628_140344_2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


