kab/kota: Moskow

  • Putin Tawarkan Kunjungi Moskow Usai Pertemuan 3 Jam, Trump Bilang Menarik

    Putin Tawarkan Kunjungi Moskow Usai Pertemuan 3 Jam, Trump Bilang Menarik

    Anchorage

    Presiden Rusia Vladimir Putin menawarkan kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk berkunjung ke Moskow, setelah keduanya melakukan pertemuan puncak di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat untuk membahas perang Ukraina.

    Tawaran itu disampaikan Putin dalam konferensi bersama dengan Trump yang digelar setelah pertemuan di Joint Base Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska.

    “Lain kali di Moskow,” kata Putin kepada Trump dalam bahasa Inggris, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025).

    Pernyataan itu disampaikan Putin setelah sang Presiden AS berterima kasih kepadanya dan mengatakan bahwa dia “mungkin akan segera bertemu lagi” dengan pemimpin Rusia tersebut.

    Trump membalas Putin dengan mengatakan: “Oh, itu menarik.”

    “Saya akan mendapat kritikan untuk hal itu, tetapi saya bisa melihat hal itu kemungkinan akan terjadi,” kata Trump.

    Putin dan Trump melakukan pertemuan yang sangat dinantikan di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat, yang dimaksudkan untuk membahas perang di Ukraina dan langkah-langkah menuju perdamaian.

    Namun kedua pemimpin mengakhiri pertemuan tanpa ada kesepakatan apa pun soal Ukraina, setelah melakukan pembicaraan selama tiga jam.

    Kendati demikian, Trump menyebut pertemuan dengan Putin “sangat produktif” dengan “banyak poin” yang disepakati, meskipun dia tidak menyebutkannya lebih detail.

    Sedangkan Putin menyebut ada “kesepahaman” antara dirinya dan Trump mengenai Ukraina. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut soal “kesepahaman” yang dimaksudnya.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kami capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin dalam konferensi pers bersama dengan Trump.

    Dalam wawancara dengan Fox News setelah pertemuan itu, Trump mengatakan bahwa tanggung jawab kini berada di tangan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk memanfaatkan pertemuan puncak di Alaska dalam melanjutkan upaya dan mengamankan kesepakatan untuk mengakhiri perang.

    “Sekarang, semuanya bergantung pada Presiden Zelensky untuk mewujudkannya,” kata Trump dalam wawancara dengan Fox News. “Dan saya juga ingin mengatakan negara-negara Eropa, mereka harus ikut terlibat sedikit, tetapi itu terserah pada Presiden Zelensky,” ucapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Kini Tergantung Zelensky Capai Kesepakatan Ukraina

    Kini Tergantung Zelensky Capai Kesepakatan Ukraina

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa tanggung jawab sekarang berada di tangan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk mengamankan kesepakatan dalam mengakhiri invasi Moskow terhadap negaranya.

    Hal tersebut disampaikan Trump setelah menggelar pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat, yang diwarnai pembicaraan selama tiga jam dan diakhiri tanpa kesepakatan apa pun soal Ukraina.

    Trump, dalam wawancara dengan media terkemuka AS, Fox News, usai pertemuan dengan Putin, mengatakan bahwa onus atau tanggung jawab kini berada di tangan Zelensky untuk memanfaatkan pertemuan puncak di Alaska guna melanjutkan upaya dan mengamankan kesepakatan untuk mengakhiri perang.

    “Sekarang, semuanya bergantung pada Presiden Zelensky untuk mewujudkannya,” kata Trump dalam wawancara dengan Fox News, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025).

    “Dan saya juga ingin mengatakan negara-negara Eropa, mereka harus ikut terlibat sedikit, tetapi itu terserah pada Presiden Zelensky,” ucapnya.

    Trump mengatakan dirinya akan berkonsultasi dengan Zelensky dan para pemimpin NATO mengenai isi pertemuannya dengan Putin. Trump memberi nilai sempurna “10 dari 10” untuk pertemuan dirinya dan Putin.

    Meski pertemuan puncak di Alaska itu tidak mencapai kesepakatan soal Ukraina, Trump menyebut pertemuan dengan Putin itu “sangat produktif” dengan “banyak poin” yang disepakati, meskipun dia tidak menyebutkannya lebih detail.

    “Kita belum sampai di sana, tetapi kita telah membuat kemajuan. Tidak ada kesepakatan sampai ada kesepakatan,” kata Trump dalam konferensi pers singkat yang digelar dengan backrop sederhana bertuliskan “Pursuing Peace”.

    “Hanya ada sedikit yang tersisa, beberapa hal yang tidak terlalu signifikan, satu hal mungkin yang paling signifikan,” ucapnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Sementara Putin, dalam konferensi pers yang sama, mengatakan bahwa ada “kesepahaman” antara dirinya dan Trump mengenai Ukraina. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut soal “kesepahaman” yang dimaksudnya.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kami capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin dalam konferensi pers bersama dengan Trump.

    Putin juga mengatakan bahwa Rusia berharap agar “Kyiv dan ibu kota Eropa akan memandang semua ini secara konstruktif dan tidak akan menciptakan hambatan apa pun”. Dia bahkan memperingatkan terhadap “upaya-upaya untuk mengganggu kemajuan yang telah muncul melalui provokasi atau intrik di-balik-layar”.

    Pertemuan di Alaska itu digelar tanpa kehadiran Zelensky yang tidak diundang untuk ikut berunding, sehingga menimbulkan kekhawatiran di Eropa bahwa Moskow dan Washington akan mencoba menentukan nasib Kyiv secara diam-diam.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Putin Bilang Ada ‘Kesepahaman’ dengan Trump Soal Ukraina

    Putin Bilang Ada ‘Kesepahaman’ dengan Trump Soal Ukraina

    Anchorage

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ada “kesepahaman” yang dicapai dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah keduanya melakukan pertemuan di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat. Putin menyebut bahwa “kesepahaman” itu dapat membawa perdamaian di Ukraina.

    Putin dan Trump melakukan pertemuan yang sangat dinantikan di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat, yang dimaksudkan untuk membahas perang di Ukraina dan langkah-langkah menuju perdamaian.

    Namun kedua pemimpin mengakhiri pertemuan tanpa ada kesepakatan apa pun soal Ukraina, setelah melakukan pembicaraan selama tiga jam di Joint Base Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska. Kendati demikian, Putin menyebut ada “kesepahaman” antara dirinya dan Trump mengenai Ukraina dalam pertemuan itu.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kami capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin dalam konferensi pers bersama dengan Trump setelah pembicaraan keduanya, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025).

    Putin tidak menjelaskan lebih lanjut soal “kesepahaman” yang dimaksudnya tersebut.

    Dalam konferensi pers yang digelar singkat dengan backdrop sederhana bertuliskan “Pursuing Peace” tersebut, Putin mengatakan bahwa Rusia berharap agar “Kyiv dan ibu kota Eropa akan memandang semua ini secara konstruktif dan tidak akan menciptakan hambatan apa pun”.

    Putin juga memperingatkan terhadap “upaya-upaya untuk mengganggu kemajuan yang telah muncul melalui provokasi atau intrik di-balik-layar”.

    Pertemuan di Alaska itu digelar tanpa kehadiran Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang tidak diundang untuk ikut berunding, sehingga menimbulkan kekhawatiran di Eropa bahwa Moskow dan Washington akan mencoba menentukan nasib Kyiv secara diam-diam.

    Putin dan Trump memuji pertemuan mereka, dengan sang pemimpin Rusia menyebutnya “konstruktif” dan berlangsung dalam “atmosfer saling menghormati”. Trump menyebut pertemuan dengan Putin “sangat produktif” dengan “banyak poin” yang disepakati, meskipun dia tidak menyebutkannya lebih detail.

    Membahas soal Ukraina, Putin mengatakan Moskow “secara tulus tertarik untuk mengakhiri” konflik dengan Kyiv, namun meminta agar “kekhawatiran sah” Rusia dipertimbangkan.

    “Saya telah berulang kali mengatakan bahwa bagi Rusia, peristiwa di Ukraina berkaitan dengan ancaman fundamental terhadap keamanan nasional kami,” ucapnya.

    “Keseimbangan yang adil dalam bidang keamanan di Eropa dan di dunia secara keseluruhan harus dipulihkan,” cetus Putin.

    Rusia di masa lalu telah berulang kali mendesak Ukraina untuk meninggalkan ambisinya bergabung dengan aliansi NATO dan menyerahkan bagian timur wilayahnya yang diklaim oleh Moskow telah dianeksasi. Kyiv menolak gagasan tersebut dan menyerukan agar setiap kesepakatan damai mencakup jaminan keamanan untuk mencegah Moskow menyerang kembali.

    Putin dan Trump langsung meninggalkan pangkalan udara di Alaska setelah pertemuan mereka berakhir. Laporan AFP menyebut pesawat kedua pemimpin lepas landas dari Joint Base Elmendorf-Richardson dengan jeda beberapa menit.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • 3 Jam Dialog, Trump-Putin Akhiri Pertemuan Tanpa Kesepakatan Soal Ukraina

    3 Jam Dialog, Trump-Putin Akhiri Pertemuan Tanpa Kesepakatan Soal Ukraina

    Anchorage

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengakhiri pertemuan puncak di Alaska, pada Jumat (15/8) waktu setempat, tanpa adanya kesepakatan apa pun soal Ukraina. Pembicaraan yang dilakukan oleh kedua kepala negara ini dilaporkan berlangsung selama tiga jam.

    Kedua pemimpin dalam konferensi pers membahas soal sejumlah peluang untuk kesepakatan dan menghidupkan kembali persahabatan, namun tidak memberikan kabar terbaru soal gencatan senjata untuk perang Ukraina.

    Trump, yang gemar menyebut dirinya sendiri sebagai “master deal-maker”, menggelar karpet merah untuk Putin di pangkalan udara Alaska. Ini merupakan pertama kalinya pemimpin Rusia itu diizinkan berada di wilayah Barat sejak dia memerintahkan invasi skala besar ke Ukraina pada Februari 2022.

    Setelah melakukan pembicaraan selama tiga jam dengan didampingi ajudan masing-masing, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025), Trump dan Putin mengakhiri pertemuan secara tiba-tiba pada Jumat (15/8) waktu setempat. Pertemuan puncak ini digelar di Joint Base Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska.

    Di hadapan wartawan, keduanya memberikan sambutan hangat namun tidak menerima pertanyaan apa pun — hal yang sangat tidak biasa bagi sang Presiden AS yang sangat memahami media.

    “Kita belum sampai di sana, tetapi kita telah membuat kemajuan. Tidak ada kesepakatan sampai ada kesepakatan,” kata Trump dalam konferensi pers, yang digelar dengan backdrop sederhana bertuliskan “Pursuing Peace”.

    Dia menyebut pertemuan dengan Putin “sangat produktif” dengan “banyak poin” yang disepakati, meskipun dia tidak menyebutkannya lebih detail.

    “Hanya ada sedikit yang tersisa, beberapa hal yang tidak terlalu signifikan, satu hal mungkin yang paling signifikan,” ucap Trump tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Putin, dalam konferensi pers yang sama, membahas soal kerja sama secara umum. Konferensi pers bersama ini berlangsung hanya 12 menit saja.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kita capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin.

    Sementara Trump memikirkan soal pertemuan kedua, Putin tersenyum dan berkata dalam bahasa Inggris: “Lain kali di Moskow.”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Trump dan Putin Mulai Berunding di Alaska, Bahas Perdamaian Perang

    Trump dan Putin Mulai Berunding di Alaska, Bahas Perdamaian Perang

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin memulai perundingan di Alaska. Perundingan dilakukan untuk mengakhiri perang yang menghancurkan di Ukraina yang dilancarkan Moskow pada tahun 2022.

    Dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025) para jurnalis dipersilakan keluar dari ruang pertemuan tak lama setelah Trump, Putin, dan pejabat lainnya duduk di depan latar belakang bertuliskan “Mengejar Perdamaian.”

    Trump dan Putin berjabat tangan dan bertukar salam saat keduanya bertemu di pangkalan militer di Alaska Jumat (15/8) waktu setempat. Pertemuan ini merupakan puncak bersejarah mengenai perang Rusia dan Ukraina.

    Perundingan tatap muka diawasi ketat oleh negara-negara Eropa dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang tidak diikutsertakan dan secara terbuka menolak tekanan dari Trump untuk menyerahkan wilayah yang direbut Rusia.

    (dek/dek)

  • Tiba di Alaska, Trump Bakal Bertemu Putin Desak Akhiri Perang

    Tiba di Alaska, Trump Bakal Bertemu Putin Desak Akhiri Perang

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tiba di pangkalan militer di Alaska. Trump akan bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin guna mendesak diakhirinya perang berdarah Moskow di Ukraina.

    Dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025) Trump dijadwalkan untuk mengadakan pembicaraan tatap muka dengan pemimpin Kremlin tersebut. Ini merupakan kunjungan pertamanya ke wilayah Barat sejak memerintahkan invasi ke Ukraina pada Februari 2022, yang memicu konflik dan menewaskan puluhan ribu orang.

    Sementara, Gedung Putih menyampaikan Trump didampingi para ajudan utama saat bertemu Putin. Dia juga akan ditemani oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Utusan Khusus Steve Witkoff sebelum pertemuan yang lebih besar saat makan siang yang akan mencakup pejabat lainnya.

    Trump sebelumnya mengatakan ia merencanakan pertemuan kedua dengan mitranya Presiden Rusia Vladimir Putin. Pertemuan kedua dengan bersama pemimpin Ukraina Volodymyr Zelensky setelah pertemuan di Alaska.

    Dilansir AFP, Kamis (14/8/2025), Trump dijadwalkan bertemu dengan Putin di Anchorage pada Jumat (15/8), pertemuan pertama antara pemimpin Rusia dan Presiden AS yang sedang menjabat sejak 2021.

    “Saya ingin melakukannya segera, dan kami akan mengadakan pertemuan kedua yang cepat antara Presiden Putin dan Presiden Zelensky dan saya sendiri, jika mereka mengizinkan saya hadir.”

    Perundingan berisiko tinggi ini terjadi di tengah upaya Trump untuk menengahi berakhirnya perang Rusia yang telah berlangsung hampir tiga setengah tahun di Ukraina, dan Zelensky beserta sekutu-sekutunya di Eropa telah mendesak Partai Republik untuk mendorong gencatan senjata.

    Trump mengatakan Rusia akan menghadapi “konsekuensi yang sangat berat” jika Putin tidak setuju untuk mengakhiri perang setelah pertemuan, tanpa penjelasan lebih lanjut.

    Pemimpin AS tersebut telah berjanji puluhan kali selama kampanye pemilihannya tahun 2024 untuk mengakhiri perang pada hari pertamanya menjabat, tetapi hanya membuat sedikit kemajuan dalam menengahi kesepakatan damai.

    Ia mengancam akan memberikan “sanksi sekunder” kepada mitra dagang Rusia atas invasinya ke Ukraina, tetapi tenggat waktu tindakannya telah berlalu minggu lalu tanpa ada tindakan yang diumumkan.

    Trump mengatakan kepada wartawan bahwa ia telah melakukan “komunikasi yang sangat baik” dengan para pemimpin Eropa termasuk Zelensky saat ia menjawab pertanyaan dari para wartawan di sebuah acara seni di Kennedy Center, Washington.

    “Saya akan memberi nilai 10. Anda tahu–sangat, sangat bersahabat,” katanya.

    (dek/dek)

  • WhatsApp Tuduh Moskow Berusaha Blokir Komunikasi Aman untuk Jutaan Warga Rusia

    WhatsApp Tuduh Moskow Berusaha Blokir Komunikasi Aman untuk Jutaan Warga Rusia

    JAKARTA – WhatsApp menuduh pemerintah Rusia berusaha menghalangi jutaan warga Rusia mengakses komunikasi aman setelah panggilan melalui aplikasi tersebut dibatasi. Langkah ini dilakukan seiring Rusia mempromosikan platform media sosial buatan dalam negeri dan berupaya meningkatkan kontrol atas ruang internet negara tersebut.

    Pada Rabu, 13 Agustus, Rusia mengumumkan telah mulai membatasi panggilan melalui WhatsApp, yang dimiliki oleh Meta Platforms, dan Telegram, dengan alasan kedua platform asing tersebut tidak berbagi informasi dengan penegak hukum terkait kasus penipuan dan terorisme. Namun layanan pesan teks dan catatan suara saat ini belum terdampak.

    Konflik dengan penyedia teknologi asing meningkat sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Rusia telah memblokir Facebook dan Instagram milik Meta, memperlambat kecepatan YouTube milik Alphabet, dan mengenakan ratusan denda kepada platform yang tidak mematuhi aturan Rusia terkait konten daring dan penyimpanan data.

    “WhatsApp adalah platform pribadi dengan enkripsi end-to-end dan menentang upaya pemerintah untuk melanggar hak masyarakat atas komunikasi aman, itulah sebabnya Rusia berusaha memblokirnya dari lebih dari 100 juta warga Rusia,” kata WhatsApp pada Kamis dini hari WIB. “Kami akan terus berupaya semaksimal mungkin untuk memastikan komunikasi terenkripsi end-to-end tersedia bagi semua orang, termasuk di Rusia.”

    Telegram menyatakan bahwa moderatornya menggunakan alat kecerdasan buatan untuk memantau bagian publik platform dan menghapus jutaan pesan berbahaya setiap hari.

    “Telegram secara aktif memerangi penggunaan platformnya untuk hal-hal berbahaya, termasuk seruan untuk sabotase, kekerasan, dan penipuan,” ujar Telegram.

    Menurut data Mediascope, pada Juli 2025, jumlah pengguna aktif bulanan WhatsApp di Rusia mencapai 97,3 juta orang, dibandingkan 90,8 juta untuk Telegram. VK Messenger, yang merupakan layanan dari perusahaan teknologi yang dikuasai negara, VK, menempati urutan ketiga dengan 17,9 juta pengguna. Rusia memiliki populasi lebih dari 140 juta jiwa.

    Pemblokiran panggilan WhatsApp dan Telegram terjadi seiring pemerintah Rusia gencar mempromosikan aplikasi pesan baru yang dikendalikan negara, MAX, yang akan terintegrasi dengan layanan pemerintah. Kritikus khawatir aplikasi ini dapat melacak aktivitas penggunanya.

    Politisi senior mulai beralih ke MAX dan mengajak pengikut mereka untuk ikut menggunakan aplikasi tersebut. Anton Gorelkin, regulator sektor IT di parlemen Rusia, mengatakan dia akan memprioritaskan pengikutnya di MAX, dan banyak anggota parlemen lain akan segera menyusul.

    Layanan lain WhatsApp untuk saat ini masih tersedia, tetapi degradasi layanan secara bertahap adalah taktik yang pernah digunakan Rusia sebelumnya, terutama pada YouTube, di mana kecepatan unduh yang lebih lambat menyulitkan akses konten.

    Human Rights Watch dalam laporannya bulan lalu menyatakan bahwa Rusia telah “dengan cermat memperluas alat hukum dan teknologi untuk mengisolasi segmen internet Rusia menjadi forum yang dikontrol ketat.”

    Para anggota parlemen telah menyetujui undang-undang baru yang memperketat sensor dan dapat berdampak besar pada privasi digital. Warga Rusia menghadapi denda jika mencari konten daring yang dianggap “ekstremis” oleh Moskow, termasuk melalui jaringan pribadi virtual (VPN) yang digunakan jutaan orang untuk mengakses internet yang diblokir.

  • Eropa Satukan Sikap Jelang Negosiasi Trump-Putin

    Eropa Satukan Sikap Jelang Negosiasi Trump-Putin

    Jakarta

    Seratus hari menjabat, Kanselir Jerman Friedrich Merz boleh jadi membayangkan masa cuti yang lebih menenangkan. Namun, alih-alih beristirahat, dia harus berkutat dengan isu perang dan politik dalam negeri, serta dipaksa menggeber kerja diplomatik tingkat tinggi.

    Jumat (15/8), di Alaska, Presiden Rusia Vladimir Putin dijadwalkan bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membicarakan masa depan Ukraina. Celakanya, pertemuan itu digelar tanpa melibatkan Ukraina, apalagi Eropa.

    Sebabnya menjelang pertemuan, Merz bergegas “memancang tiang” lebih dulu, dengan mengundang pemimpin dunia Barat di sebuah konferensi virtual di Berlin.

    Yang diundang hadir dalam undangan adalah sejumlah kepala negara dan pemerintahan Eropa, Komisi Eropa, NATO, dan dua tamu kehormatan: Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang datang langsung ke Berlin.

    Terutama Zelensky ingin menegaskan posisi Ukraina dalam perundingan damai dengan Rusia. “Kami ingin perdamaian bagi Eropa dan dunia.” Ukraina, katanya, membutuhkan gencatan senjata segera dan jaminan keamanan dari Moskow.

    “Ada harapan untuk perdamaian”

    Inisiatif Merz bertujuan menggalang kesatuan Barat menghadapi Vladimir Putin. Setelah bertahun-tahun melancarkan perang berdarah terhadap Ukraina, penguasa di Kremlin itu tak kunjung memberi isyarat kesediaan gencatan senjata, apalagi berdamai.

    Jerman berharap, sikap kolektif Barat akan mampu mencegah Trump membuat konsesi sepihak ke Rusia.

    Trump sendiri, sebelum KTT virtual di Berlin, mengatakan punya firasat bahwa Eropa “ingin melihat sebuah kesepakatan.”

    Punggawa Partai Republik AS itu ingin menekan Putin, tapi cuma punya bekal tipis. Dia pun menginginkan perdamaian, tapi kadung memangkas besar-besaran suplai senjata ke Ukraina. Daya tawarnya terbatas karena tidak bisa membicarakan penyerahan wilayah — itu hanya mungkin jika Eropa, terutama Ukraina, memberi lampu hijau.

    Mungkinkah pertukaran wilayah?

    Belakangan, Trump sering melontarkan ide “tukar wilayah” untuk mengakhiri perang di Ukraina. Di Brussels, Komisi Eropa sudah berpengalaman bahwa Rusia tak akan mengembalikan wilayah yang sudah direbut dalam waktu dekat. Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte baru-baru ini berkata, “Saat ini, kita harus mengakui bahwa Rusia menguasai sebagian wilayah Ukraina.”

    Dalam urusan teritorial, Rutte memandang perlunya dibedakan antara pengakuan de facto dan de jure. Naskah kesepakatan itu mungkin mencatat bahwa Rusia secara faktual menguasai wilayah tertentu, tanpa mengakui secara hukum.

    Dari Berlin terdengar kabar, Ukraina hanya mau berunding soal gencatan senjata total di sepanjang garis depan. Adapun “pengakuan hukum atas pendudukan Rusia tak masuk meja perundingan,” tegas Merz.

    Putin bersikeras pada klaim teritorial

    Saat ini, Rusia menguasai sekitar seperlima wilayah Ukraina. Jubir Kementerian Luar Negeri di Moskow Rabu (13/8) lalu menyatakan, pihaknya tak akan mundur dari wilayah yang sudah diduduki, termasuk kota Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson. Krimea tak disebut, meski wilayah itu sudah dianeksasi Rusia sejak 2014 secara ilegal. Soal KTT di Berlin, komentar Moskow sangat singkat: “Tak penting.”

    Menurut Rafael Loss, pakar keamanan di European Council on Foreign Relations, pertemuan EU-NATO-AS di Berlin tergolong sukses. “Merz dan koleganya berhasil menyuarakan persatuan,” ujarnya kepada DW. Tapi soal definisi “penyerahan atau pertukaran wilayah”, katanya, Eropa dan AS masih berbeda pandangan.

    Secara hukum internasional, wilayah yang diklaim Rusia, termasuk Krimea, merupakan wilayah teritorial Ukraina. Fakta bahwa Rusia menguasai atau menganeksasi wilayah itu secara ilegal tak mengubah status hukumnya. “Penyerahan wilayah hanya mungkin jika konstitusi Ukraina diubah,” tegas Zelensky lagi di konferensi pers Berlin. “Kalau bicara wilayah, kita harus memikirkan rakyat, kita harus memikirkan konstitusi,” ujarnya.

    Pertemuan Alaska: Tiga skenario

    Bagaimana pertemuan pertama Putin-Trump di periode kedua Trump nanti akan berakhir? Rafael Loss membayangkan tiga skenario:

    Pertama, Trump sadar sedang dipermainkan Putin, lalu merapat ke Ukraina dan Eropa.

    Kedua, status quo dipertahankan.

    Ketiga — yang terburuk — Alaska menjadi titik awal normalisasi hubungan AS-Rusia, sementara Ukraina dan tatanan keamanan Eropa jadi korban.

    Solidaritas Eropa dan ancaman sanksi

    “Jika Rusia tak bersedia memberi konsesi, sanksi baru mengintai. Paket sanksi ke-19 Uni Eropa sudah disiapkan,” kata Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri UE, Kaja Kallas. Rinciannya masih disimpan rapat.

    Sebanyak 26 dari 27 negara anggota UE sepakat berdiri di belakang Ukraina, menegaskan bahwa “perbatasan internasional tak boleh diubah lewat perang.” Hanya Hungaria di bawah Perdana Menteri Viktor Orban yang menolak, menyebut sanksi tambahan tak ada gunanya.

    Moskow gandakan tekanan di medan perang

    Menjelang pertemuan Alaska, Rusia justru menggeber operasi militer di Ukraina. AFP melaporkan, dalam sehari Rusia mencatat kemajuan teritorial terbesar sejak beberapa bulan terakhir. Di Kherson, pertempuran di berbagai front tetap berlangsung sengit.

    Kepada Trump, Merz menitipkan pesan sebelum keberangkatan ke Alaska: “Kami ingin Presiden Trump mencatat sukses di Anchorage pada Jumat.” Dan satu catatan penting: “Ukraina juga harus duduk di meja perundingan jika ada pertemuan lanjutan.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    Tonton juga video “RI Kena Tarif Trump 19%, Mendag Targetkan Pasar Eropa” di sini:

    (ita/ita)

  • Drone Ukraina Picu Kebakaran Hebat di Kilang Minyak Rusia

    Drone Ukraina Picu Kebakaran Hebat di Kilang Minyak Rusia

    Jakarta

    Ukraina menembakkan puluhan drone ke Rusia antara Rabu malam dan Kamis dini hari waktu setempat. Serangan itu melukai tiga orang dan memicu kebakaran di dua wilayah Rusia selatan, termasuk di sebuah kilang minyak.

    Video yang diunggah di media sosial Rusia menunjukkan kebakaran hebat di sebuah kilang minyak di kota Volgograd, Rusia selatan, sekitar 470 kilometer (sekitar 300 mil) dari garis depan pertempuran.

    “Puing-puing dari serangan itu menyebabkan produk minyak tumpah dan terbakar di kilang minyak Volgograd,” kata gubernur wilayah Volgograd, Andrei Bocharov, dalam sebuah pernyataan di Telegram, dilansir kantor berita AFP, Kamis (14/8/2025).

    Sementara itu, gubernur wilayah Belgorod, Rusia, Vyacheslav Gladkov, mengatakan bahwa sebuah drone Ukraina menghantam sebuah mobil di pusat ibu kota wilayah tersebut. Akibatnya, mobil itu terbakar dan melukai tiga orang.

    Ia mengunggah video yang memperlihatkan mobil tersebut terbakar dan puing-puing berserakan di jalan.

    “Layanan darurat sedang bekerja di lokasi kejadian,” tulisnya di Telegram.

    Ukraina tidak segera berkomentar mengenai serangan tersebut.

    Sejak Rusia melancarkan serangan militer skala penuh terhadap Ukraina pada Februari 2022, Kyiv telah merespons dengan melancarkan serangan drone terhadap infrastruktur Rusia yang berjarak ratusan kilometer dari perbatasannya.

    Kyiv menyebut serangan tersebut sebagai pembalasan yang adil atas serangan rudal dan drone harian Moskow terhadap warga sipilnya.

    Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan telah mencegat 44 drone Ukraina antara Rabu malam dan Kamis dini hari, termasuk tujuh drone di atas wilayah Krimea, semenanjung yang dianeksasinya dari Ukraina pada tahun 2014.

    Serangan itu terjadi menjelang pertemuan puncak di Alaska antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Pertemuan puncak ini merupakan yang pertama antara presiden AS dan Rusia yang sedang menjabat sejak 2021.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Dunia Waspada! Rusia Tinggal “Sejengkal” Luncurkan Senjata Nuklir

    Dunia Waspada! Rusia Tinggal “Sejengkal” Luncurkan Senjata Nuklir

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rusia dinilai memiliki dorongan kuat untuk meningkatkan penggunaan senjata nuklir berkekuatan lebih besar di tengah penguatan pertahanan udara dan persenjataan rudal oleh negara-negara Barat. Analisis ini disampaikan Royal United Services Institute (RUSI), lembaga kajian pertahanan asal Inggris.

    Dalam laporan terbarunya pada Selasa, RUSI menyebut “strategi nuklir Rusia tampaknya berada di titik kritis”. Laporan itu menyebut Moskow meyakini kemampuan Washington dan sekutu NATO untuk melumpuhkan serangan nuklir Rusia makin meningkat, khususnya dengan penguatan pertahanan udara dan persenjataan rudal jarak menengah.

    Kondisi tersebut menciptakan dorongan bagi Kremlin untuk menggunakan senjata nuklir dalam skala lebih besar daripada konsep “serangan terukur” yang sebelumnya menjadi bagian strategi mereka.

    Presiden Rusia Vladimir Putin telah menempatkan pasukan penangkal nuklir dalam siaga tinggi sejak invasi ke Ukraina pada awal 2022. Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov bahkan pernah menyebut risiko konflik nuklir kini “sangat besar”.

    Bulan ini, pejabat Rusia menyatakan tidak lagi terikat pada pembatasan rudal nuklir maupun konvensional jarak pendek-menengah. Putin juga mengumumkan rencana mengirim rudal balistik jarak menengah Oreshnik ke Belarus pada akhir 2025, usai uji coba ke Ukraina pada November 2024.

    AS dan Rusia menguasai sekitar 90% persenjataan nuklir dunia. Berdasarkan perkiraan Barat, Rusia memiliki 1.000-2.000 hulu ledak nuklir taktis, sementara AS hanya sekitar 200, dengan separuhnya ditempatkan di Eropa.

    Senjata strategis seperti rudal balistik antarbenua, rudal dari kapal selam, dan pesawat pengebom masih dibatasi oleh perjanjian New START yang akan berakhir pada 2026. Namun, perjanjian penting lain seperti INF (Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty) telah berakhir sejak 2019, setelah AS keluar dan menuduh Rusia melanggar kesepakatan.

    Sejak itu, kedua negara sama-sama mengembangkan dan menempatkan kembali rudal jarak menengah. AS bahkan telah mengerahkan sistem Mid-Range Capability ke Filipina utara.

    “Banyak ide paling berbahaya dari Perang Dingin sedang dibangkitkan kembali: senjata berdaya ledak rendah untuk perang nuklir terbatas, rudal raksasa yang bisa menghancurkan beberapa target sekaligus, hingga pengerahan kembali rudal yang dulu sudah dilarang,” tulis Jon Wolfsthal, Hans Kristensen, dan Matt Korda dari Federasi Ilmuwan Amerika dalam opini di Washington Post, Juni lalu.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]