kab/kota: Moskow

  • Uni Eropa Berharap Kamala Harris Jadi Presiden AS

    Uni Eropa Berharap Kamala Harris Jadi Presiden AS

    Jakarta

    Jika orang Eropa memilih presiden AS pada pemilu 5 November, hasilnya akan sangat jelas. Di Eropa Barat, 69% akan memilih kandidat Demokrat Kamala Harris, di Eropa Timur 46%. Kandidat Partai Republik Donald Trump hanya menerima dukungan dari 16% pemilih di Eropa Barat, dan 36% di Eropa Timur, menurut survei Pollsters Novus dan Gallup International yang dilakukan pada bulan Oktober.

    Kamala Harris memiliki peringkat tertinggi di Denmark (85%) dan Finlandia (82%) sementara Donald Trump memiliki penggemar terbanyak di Serbia (59%) dan Hungaria (49%), dua negara yang belakangan cenderung makin otokratis.

    Hungaria sesuai aturan rotasi saat ini menjabat kepresidenan Dewan Uni Eropa (UE). Pemimpin Hungaria Viktor Orban telah menyebabkan kemarahan di UE, ketika pada awal masa jabatannýa ia berkunjung ke Moskow, Beijing dan ke rumah Donald Trump di Palm Beach.

    Viktor Orban mengatakan, dia percaya Donald Trump dapat mengakhiri perang Rusia di Ukraina hanya dalam beberapa hari. Dia juga mengatakan bahwa kemenangan Donald Trump akan menjadi alasan bagus untuk membuka beberapa botol sampanye. Viktor Orban adalah satu -satunya kepala pemerintahan negara anggota UE dan NATO yang berpandangan begini.

    “Tetapi banyak politisi sayap kanan dan nasionalis dari Belanda, Jerman dan Italia-yang tentu saja setuju dengan Orban,” kata Steven Blockman, peneliti senior di Center for European Policy Studies yang berbasis di Brussels.

    Kebijakan Harris lebih mudah diprediksi

    Sebagian besar kepala pemerintahan di UE mendukung Kamala Harris. “Saya mengenalnya dengan baik, dia pasti akan menjadi presiden yang baik,” kata Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam sebuah wawancara televisi. Kamala Harris akan “berpegang teguh pada apa yang penting bagi kami,” tambah Scholz, merujuk pada kerja sama trans-Atlantik.

    Jadi bagaimana reaksi Eropa jika Kamala Harris menang? “Bernapas lega secara kolektif, tentu saja,” kata Seteven Blockman kepada DW.

    “Amerika Serikat juga menjadi pendukung utama Ukraina dalam perang melawan Rusia. Dan dengan merosotnya pemasokan energi Rusia ke Eropa, kawasan itu lebih bergantung pada ekspor gas dari AS,” kata Blockman.

    Eropa siap menghadapi Trump

    Kepala Komite Urusan Luar Negeri di Parlemen Eropa, David McAllister dari kubu konservatif Jerman, memperingatkan agar tidak terlalu banyak mengharapkan. Seorang Presiden Trump atau Presiden Harris di masa depan akan punya tuntutan lebih banyak kepada UE.

    “Kita perlu bersiap untuk kedua kemungkinan hasil pemilihan ini. Adalah kepentingan kita sendiri bahwa kita menjaga hubungan dekat dengan Amerika Serikat, terlepas dari siapa yang duduk di Gedung Putih,” katanya kepada DW. “Nadanya akan berbeda, tapi saya yakin pemerintahan Harris juga akan meminta orang Eropa untuk berbuat lebih banyak untuk keamanan dan pertahanan kita sendiri.”

    Diplomat UE dari 27 negara anggota dan Komisi Uni Eropa di Brussels telah berada dalam kelompok kerja tertutup selama berminggu -minggu, membahas bagaimana menangani hasil pemilihan AS, siapa pun yang menjadi presiden. Misalnya, jika Trump memberlakukan tarif hukuman pada barang -barang dari Eropa setelah menjabat.

    “Kami tidak mau melepaskan kepentingan kami tanpa perlawanan. Kami telah secara signifikan memperluas instrumen kami,” kata Bernd Lange, politisi Jerman dan ketua Komite Perdagangan Internasional di Parlemen Eropa, kepada DW. “Saya yakin bahwa setelah pemilihan kami akan menggunakan instrumen ini untuk memerangi hal -hal yang sudah salah, seperti tarif ilegal pada baja atau subsidi dari Undang -Undang Penyesuaian Inflasi (di AS).”

    Bernd Lange mengatakan, dia mengharapkan kebijakan perdagangan AS menjadi lebih menantang bagi UE, tidak peduli siapa yang memenangkan pemilihan ini. “Saya akan mengatakan AS beralih dari pendekatan multilateral ke domestik dalam kebijakan ekonomi, saya menyebutnya ekonomi ‘tanah air’. Tidak ada perbedaan besar antara Partai Republik dan Demokrat [tentang itu],” katanya.

    Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman

    (ita/ita)

  • 8 Ribu Tentara Korut Sudah Sampai di Dekat Ukraina

    8 Ribu Tentara Korut Sudah Sampai di Dekat Ukraina

    Moskow

    Sebanyak 8 ribu dari 10 ribu tentara Korea Utara sudah sampai di dekat Ukraina. Tentara Kim Jong-Un dikerahkan Rusia untuk menyerang tetangganya itu.

    Dilansir AFP, Jumat (1/11/2024), informasi kedatangan 8 ribu pasukan Korea Utara ini disampaikan pihak intelijen Amerika Serikat (AS), disampaikan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken.

    “Kami belum melihat pasukan ini dikerahkan dalam pertempuran melawan pasukan Ukraina, tetapi kami memperkirakan itu akan terjadi dalam beberapa hari mendatang,” kata Blinken dalam konferensi pers setelah pembicaraan empat arah dengan menteri luar negeri dan pertahanan Korea Selatan.

    Posisi 8 ribu tentara Pyongyang itu sudah sampai di Kursk, kota di Rusia yang berada di sebelah timur laut Ukraina. Bagi Rusia, ini adalah pertama kalinya sejak satu abad bahwa negara tersebut mengundang tentara asing untuk bertempur.

    Menteri Pertahanan Lloyd Austin mengatakan bahwa pasukan Korea Utara dipasok dengan seragam buatan Rusia.

    “Jangan salah, jika pasukan Korea Utara ini terlibat dalam operasi tempur atau dukungan tempur terhadap Ukraina, mereka akan menjadikan diri mereka sebagai target militer yang sah,” kata Austin.

    Rusia telah melatih pasukan Korea Utara dalam artileri, pesawat tanpa awak, operasi artileri dasar, dan pembersihan parit. Menurut AS, Rusia bermaksud menempatkan tentara-tentara dari Asia ini sebagai pasukan garis depan.

    (dnu/zap)

  • Ancaman AS ke Korut Jika Nekat Bantu Rusia Bisa Masuk Kantong Mayat

    Ancaman AS ke Korut Jika Nekat Bantu Rusia Bisa Masuk Kantong Mayat

    Badan mata-mata Korea Selatan (Korsel) sebelumnya melaporkan bahwa Korut telah mengirimkan ribuan tentaranya, termasuk pasukan khusus elite, ke Rusia. Otoritas AS, pada Senin (28/10) waktu setempat, melaporkan bahwa 10.000 tentara Korut saat ini sedang berlatih di wilayah Rusia.

    Pyongyang membantah telah mengirimkan pasukannya ke Rusia. Namun Wakil Menlu Korut untuk Urusan Rusia, Kim Jong Gyu, dalam pernyataan via media pemerintah pekan lalu, mengatakan bahwa jika pengerahan pasukan seperti itu dilakukan, maka akan sejalan dengan norma-norma global.
    Korut dan Rusia sama-sama berada di bawah sanksi PBB, dengan Pyongyang karena program senjata nuklirnya dan Moskow karena invasinya ke Ukraina.

    Menhan AS-Korsel Serukan Korut Tarik Pasukan dari Rusia

    Menteri Pertahanan (Menhan) AS Lloyd Austin dan Menhan Korsel Kim Yong Hyun, pada Rabu (30/10), kompak menyerukan agar Korut menarik mundur pasukan mereka dari Rusia. Seruan ini disampaikan saat kekhawatiran internasional meluas atas prospek tentara-tentara Korut ikut berperang melawan pasukan Ukraina.

    “Saya menyerukan kepada mereka (Korut-red) untuk menarik pasukan mereka keluar dari Rusia,” ucap Austin saat berbicara di Pentagon, melontarkan seruan serupa dari Menhan Korsel yang berdiri di sebelahnya.

    “Jika tentara Korea Utara bertempur bersama tentara Rusia dalam konflik ini dan menyerang tentara Ukraina, maka tentara Ukraina berhak membela diri. Mereka menjadi pihak yang berperang, dan Anda memiliki alasan untuk meyakini bahwa… mereka akan terbunuh dan terluka akibat pertempuran,” sebutnya.

    Austin menyebut tentara Korut itu dilengkapi dengan seragam dan senjata militer Rusia.

    Menyampaikan informasi senada, Duta Besar Ukraina untuk PBB Sergiy Kyslytsya menyebut pasukan Korut mengenakan seragam militer Rusia dan berbaur dengan unit etnis minoritas untuk menyembunyikan mereka.

    Kim Yong Hyun, yang berbicara melalui penerjemah, menyebut pengerahan pasukan Korut ke Rusia “bisa mengakibatkan peningkatan ancaman keamanan di Semenanjung Korea”.

    Hal itu, menurut Kim Yong Hyun, dikarenakan adanya “kemungkinan besar” bagi Pyongyang untuk meminta transfer teknologi dari Moskow untuk membantu program persenjataannya — termasuk senjata nuklir taktis, rudal balistik antarbenua dan satelit pengintaian — sebagai imbalan atas pengerahan pasukan mereka.

    (whn/isa)

  • Jika Tentara Masuk Ukraina, Pulang dalam Kantong Mayat

    Jika Tentara Masuk Ukraina, Pulang dalam Kantong Mayat

    Pyongyang membantah telah mengirimkan pasukannya ke Rusia. Namun Wakil Menlu Korut untuk Urusan Rusia, Kim Jong Gyu, dalam pernyataan via media pemerintah pekan lalu, mengatakan bahwa jika pengerahan pasukan seperti itu dilakukan, maka akan sejalan dengan norma-norma global.

    Korut dan Rusia sama-sama berada di bawah sanksi PBB, dengan Pyongyang karena program senjata nuklirnya dan Moskow karena invasinya ke Ukraina.

    Menhan AS-Korsel Serukan Korut Tarik Pasukan dari Rusia

    Menteri Pertahanan (Menhan) AS Lloyd Austin dan Menhan Korsel Kim Yong Hyun, pada Rabu (30/10), kompak menyerukan agar Korut menarik mundur pasukan mereka dari Rusia. Seruan ini disampaikan saat kekhawatiran internasional meluas atas prospek tentara-tentara Korut ikut berperang melawan pasukan Ukraina.

    “Saya menyerukan kepada mereka (Korut-red) untuk menarik pasukan mereka keluar dari Rusia,” ucap Austin saat berbicara di Pentagon, melontarkan seruan serupa dari Menhan Korsel yang berdiri di sebelahnya.

    “Jika tentara Korea Utara bertempur bersama tentara Rusia dalam konflik ini dan menyerang tentara Ukraina, maka tentara Ukraina berhak membela diri. Mereka menjadi pihak yang berperang, dan Anda memiliki alasan untuk meyakini bahwa… mereka akan terbunuh dan terluka akibat pertempuran,” sebutnya.

    Austin menyebut tentara Korut itu dilengkapi dengan seragam dan senjata militer Rusia.

    Dia juga mengatakan bahwa tentara Korut itu diperkirakan akan mulai bertempur melawan pasukan Ukraina pada November mendatang.

    Kim Yong Hyun, yang berbicara melalui penerjemah, menyebut pengerahan pasukan Korut ke Rusia “bisa mengakibatkan peningkatan ancaman keamanan di Semenanjung Korea”.

    Hal itu, menurut Kim Yong Hyun, dikarenakan adanya “kemungkinan besar” bagi Pyongyang untuk meminta transfer teknologi dari Moskow untuk membantu program persenjataannya — termasuk senjata nuklir taktis, rudal balistik antarbenua dan satelit pengintaian — sebagai imbalan atas pengerahan pasukan mereka.

    (nvc/idh)

  • AS hingga Korsel Serukan Korut Tarik Pasukan dari Rusia

    AS hingga Korsel Serukan Korut Tarik Pasukan dari Rusia

    Jakarta

    Korea Utara (Korut) mengirimkan 10 ribuan pasukan Pyongyang ke medan tempur membantu Rusia melawan pasukan Ukraina. Merespons hal ini, Pimpinan pertahanan Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) menyerukan agar Korut menarik pasukannya dari Rusia.

    Dilansir AFP, Kamis (31/10/2024), Rusia dan Korut telah memperdalam aliansi politik dan militer selama perang bergulir. Namun, mengirim pasukan Pyongyang ke medan tempur melawan pasukan Kyiv akan menimbulkan eskalasi signifikan sehingga memicu kekhawatiran internasional yang meluas.

    “Saya menyerukan kepada mereka untuk menarik pasukan mereka dari Rusia,” kata Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin di Pentagon. Hadir pula Menteri Pertahanan Korsel Kim Yong-hyun, di sampingnya.

    Austin mengatakan Amerika Serikat akan terus bekerja dengan sekutu dan mitra untuk mencegah Rusia menggunakan pasukan tersebut dalam pertempuran.

    Sementara itu, Kim mengatakan dia yakin pengerahan pasukan Korea Utara “dapat mengakibatkan meningkatnya ancaman keamanan di semenanjung Korea.”

    Hal tersebut lantaran “kemungkinan besar” Pyongyang akan meminta transfer teknologi dari Rusia untuk membantu program persenjataannya “termasuk senjata nuklir taktis, rudal balistik antarbenua, dan satelit pengintaian–sebagai imbalan atas pengerahan pasukannya,” katanya.

    Namun dia tidak mengumumkan perubahan pada kebijakan lama Seoul yang melarangnya menjual senjata ke zona konflik aktif termasuk Ukraina. Seperti diketahui, AS dan Ukraina sebelumnya meminta Korsel mempertimbangkan kebijakan tersebut.

    Pentagon mengatakan pada hari sebelumnya bahwa “sejumlah kecil” pasukan Korea Utara telah dikerahkan di wilayah Kursk Rusia, tempat pasukan Ukraina telah melakukan serangan darat sejak Agustus.

    Gedung Putih mengatakan bahwa pasukan Pyongyang akan menjadi “target militer yang sah” jika mereka berperang melawan Ukraina.

    Jika pasukan Korea Utara “bertempur bersama tentara Rusia dalam konflik ini dan menyerang tentara Ukraina, tentara Ukraina berhak untuk membela diri,” kata Austin.

    Mereka akan menjadi “pihak yang berperang bersama, dan Anda punya banyak alasan untuk percaya bahwa… mereka akan terbunuh dan terluka akibat pertempuran,” tambahnya.

    Pyongyang membantah telah mengirim pasukan ke Rusia, tetapi wakil menteri luar negerinya mengatakan bahwa jika pengerahan semacam itu terjadi, itu akan sejalan dengan norma-norma global.

    Korea Utara dan Rusia sama-sama dikenai sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pyongyang dijatuhkan sanksi atas program senjata nuklirnya, sementara Moskow atas perang Ukraina.

    Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son Hui berada di Moskow pada hari Rabu untuk mengadakan pembicaraan “strategis” dengan mitranya dari Rusia Sergei Lavrov, sementara Wang Yi selaku diplomat tertinggi untuk Tiongkok, sekutu diplomatik utama Pyongyang, tengah membahas krisis Ukraina dengan wakil menteri luar negeri Rusia di Beijing.

    (taa/taa)

  • Utusan Kim Jong Un Tiba di Moskow, Korut Siap Berperang di Ukraina?

    Utusan Kim Jong Un Tiba di Moskow, Korut Siap Berperang di Ukraina?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Luar Negeri Korea Utara (Korut) Choe Son Hui tiba di Rusia pada Selasa (29/10/2024). Hal ini terjadi saat Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) merilis laporan bahwa Pyongyang mengirimkan pasukan untuk membantu Moskow dalam perang Ukraina.

    Dalam laporan media resmi Rusia, TASS, Choe telah tiba di kota Vladivostok di Timur Jauh Rusia. Sumber diplomatik mengatakan bahwa ‘besok Choe akan berada di Moskow’.

    Kantor berita Rusia melaporkan Choe akan mengadakan pembicaraan dengan pejabat Rusia. Namun, belum ada informasi terkait siapa pejabat yang akan ditemui Choe di Moskow, sementara Kremlin juga tidak mengkonfirmasi adanya rencana Choe bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.

    Ketibaan Choe di Rusia sendiri terjadi saat Washington dan Seoul melaporkan bahwa Korut telah mengirimkan pasukan ke perang Rusia-Ukraina. Aliansi yang dipatroni AS, NATO, mengatakan pada hari Senin bahwa ribuan pasukan Korut bergerak menuju garis depan.

    Pentagon mengkonfirmasi pada hari Selasa bahwa beberapa tentara Korut berada di wilayah Kursk, wilayah perbatasan Rusia tempat pasukan Ukraina melancarkan serangan besar pada bulan Agustus. Beberapa ribu lagi disebutkan sedang menuju ke wilayah itu.

    “Setiap pasukan Korut yang bertempur dalam perang akan menjadi ‘sasaran yang adil’ untuk serangan Ukraina. Kami tidak akan memberlakukan batasan baru pada penggunaan senjata AS oleh Ukraina jika Korut memasuki pertempuran,” ujar Pentagon dikutip Reuters.

    Di sisi lain, setelah pembicaraan dengan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol pada hari Selasa, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa langkah-langkah Korut membawa perang ke babak baru.

    “Perang ini menjadi internasional, meluas melampaui dua negara. Kami sepakat untuk memperkuat pertukaran intelijen dan keahlian, mengintensifkan kontak di semua tingkatan, terutama yang tertinggi, untuk mengembangkan strategi tindakan dan tindakan balasan guna mengatasi eskalasi ini,” tambah Zelensky di X.

    “Yoon memberi tahu Zelensky bahwa jika Korut menerima bantuan dari Rusia dan mampu memperoleh pengalaman dan pengetahuan militer dari keterlibatannya dalam perang, hal itu akan menimbulkan ‘ancaman besar’ bagi keamanan Korsel,” kata kantornya.

    Korsel mengatakan akan mulai memasok senjata ke Ukraina jika pasukan Korut bergabung dalam perang Rusia. Sejauh ini, Presiden Rusia Putin tidak membantah keberadaan pasukan Korut di negara itu.

    Dalam kesempatan yang berbeda, peran apa yang mungkin dimainkan oleh pasukan Korut masih belum jelas. Pentagon mengatakan indikasi awal adalah bahwa Rusia mungkin menempatkan mereka dalam peran infanteri.

    “Kami tetap khawatir bahwa Rusia bermaksud menggunakan tentara-tentara ini dalam pertempuran atau untuk mendukung operasi tempur melawan pasukan Ukraina di Kursk,” kata juru bicara Pentagon Mayor Jenderal Patrick Ryder kepada wartawan.

    Lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan jumlah pasukan Korut yang terlibat ‘membuat ini lebih dari sekadar upaya simbolis’.

    “Namun, pasukan tersebut kemungkinan akan berperan sebagai pendukung dan jumlahnya kurang dari 1% dari pasukan Rusia,” katanya.

    “Rusia sangat membutuhkan tenaga kerja tambahan, dan ini adalah salah satu elemen upaya Rusia untuk mengisi jajaran tanpa mobilisasi kedua,” tambahnya, seraya mencatat kehadiran tersebut dapat bertambah.

    (luc/luc)

  • Diawasi Putin, Rusia Mulai Latihan Nuklir Strategis

    Diawasi Putin, Rusia Mulai Latihan Nuklir Strategis

    Dalam video yang dirilis oleh Kremlin, Putin menyebut penggunaan senjata nuklir akan menjadi “langkah yang sangat luar biasa” dan mengingatkan bahwa senjata itu harus tetap siap untuk digunakan.

    “Kita akan terus memperbaiki semua komponennya. Sumber daya untuk hal ini telah tersedia. Saya menekankan bahwa kita tidak akan terlibat dalam perlombaan senjata baru, namun kita akan mempertahankan kekuatan nuklir pada tingkat kecukupan yang diperlukan,” cetusnya.

    Latihan nuklir strategis terbaru pada Selasa (29/10), menurut laporan Euro News, bertujuan untuk menguji kesiapan Rusia dalam merespons serangan nuklir besar-besaran dari musuh. Latihan ini melibatkan “triad” nuklir Rusia sepenuhnya, yang terdiri atas rudal yang diluncurkan dari darat, laut dan udara.

    Dalam simulasi ini, pasukan Rusia menguji tembak rudal-rudal dalam jarak ribuan kilometer untuk menyimulasikan respons serangan nuklir musuh — atau dalam posisi musuh menjadi yang pertama meluncurkan serangan nuklir dan Moskow membalas serangan itu.

    “Mengingat meningkatnya ketegangan geopolitik dan munculnya ancaman dan risiko eksternal baru, penting untuk memiliki kekuatan strategis yang modern dan selalu siap untuk digunakan,” cetus Putin dalam pernyataannya.

    Kementerian Pertahanan Rusia, dalam pernyataan terpisah, mengumumkan bahwa latihan ini melibatkan peluncuran rudal balistik antarbenua Yars dari kosmodrom Plesetsk di barat laut Rusia ke arah Semenanjung Kamchatka di timur jauh Rusia.

    Kemudian rudal balistik Sineva dan Bulava ditembakkan dari kapal selam yang ada di Laut Barents dan Laut Okhotsk, serta rudal jelajah jarak jauh diluncurkan dari sejumlah pesawat pengebom strategis Tu-95 yang mengudara,

    Menteri Pertahanan Rusia, Andrei Belousov, mengatakan kepada Putin bahwa tujuan dari latihan tersebut adalah untuk berlatih melancarkan “serangan nuklir besar-bearan oleh pasukan ofensif strategis sebagai respons atas serangan nuklir musuh”.

    (nvc/ita)

  • Korut Bantah Kirim Tentara ke Rusia untuk Berperang di Ukraina

    Korut Bantah Kirim Tentara ke Rusia untuk Berperang di Ukraina

    New York

    Korea Utara (Korut) membantah laporan yang menyebut pihaknya mengirimkan tentara ke Rusia untuk mendukung sekutunya itu dalam perang di Ukraina. Pyongyang menyebut klaim yang dilontarkan Korea Selatan (Korsel), negara tetangganya, sebagai “rumor yang tidak berdasar”.

    Badan intelijen Korsel, pada Jumat (18/10), menyebut Korut telah mengirimkan pasukan dalam “skala besar” untuk membantu Rusia. Seoul mengklaim sekitar 1.500 tentara dari pasukan khusus Korut sudah berada di Rusia untuk pelatihan dan penyesuaian diri, dan akan segera dikirimkan ke garis depan pertempuran di Ukraina.

    Perwakilan Korut di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti dilansir AFP, Selasa (22/10/2024), menegaskan negaranya tidak pernah mengirimkan tentara ke Rusia untuk membantu Moskow bertempur melawan Kyiv.

    “Mengenai apa yang disebut sebagai kerja sama militer dengan Rusia, delegasi saya tidak merasa perlu mengomentari rumor stereotip yang tidak berdasar tersebut,” tegas salah satu perwakilan Korut dalam PBB, yang tidak disebut namanya, saat berbicara dalam Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS).

    Perwakilan Korut itu menyebut klaim yang dilontarkan Korsel baru-baru ini “bertujuan untuk mencoreng citra DPRK (Republik Demokratik Rakyat Korea – nama resmi Korut) dan merusak hubungan yang sah, bersahabat, dan kooperatif antara dua negara yang berdaulat”.

    Pyongyang dan Moskow semakin menjalin hubungan erat sejak Rusia melancarkan invasi terhadap Ukraina pada tahun 2022 lalu.

    Seoul dan sekutunya, AS, mengklaim pemimpin Korut Kim Jong Un telah mengirimkan pasokan senjata ke Rusia untuk digunakan dalam perang di Ukraina. Klaim ini juga telah dibantah oleh Pyongyang.

    Soal laporan pengiriman pasukan Korut, Rusia tidak mengonfirmasi juga tidak membantahnya. Dalam pernyataannya, Moskow membela kerja sama militer dengan Pyongyang.

    Sementara itu, Korsel baru saja memanggil Duta Besar Rusia di Seoul, Georgiy Zinoviev, pada Senin (21/10) untuk menyampaikan kritikan atas keputusan Korut mengirimkan tentaranya untuk mendukung perang Rusia di Ukraina. Otoritas Seoul menyerukan penarikan segera tentara-tentara Korut itu.

    Kepada Zinoviev, menurut Kementerian Luar Negeri Korsel, Wakil Menteri Luar Negeri Kim Hong Kyun menyatakan “kekhawatiran besar Seoul mengenai pengiriman pasukan Korea Utara ke Rusia baru-baru ini dan sangat mendesak penarikan segera pasukan Korea Utara dan penghentian kerja sama terkait”.

    Kim Hong Kyun mengingatkan Zinoviev bahwa pengiriman senjata dan pasukan oleh Korut ke Rusia untuk berperang di Ukraina “merupakan ancaman keamanan yang signifikan tidak hanya bagi Korea Selatan tapi juga bagi komunitas internasional”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Gelar KTT BRICS, Putin Ingin Saingi Hegemoni Barat

    Gelar KTT BRICS, Putin Ingin Saingi Hegemoni Barat

    Jakarta

    Pertemuan puncak para pemimpin negara anggota BRICS yang digelar di Rusia mulai Selasa (22/10) juga akan dihadiri oleh sejumlah pemimpin negara mitra dagang Rusia.

    Ini adalah pertemuan terbesar di Rusia sejak negara itu menginvasi Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha menunjukkan bahwa upaya Barat untuk mengisolasi Moskow telah gagal.

    Pemimpin Cina Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak yang diselenggarakan di Kota Kazan dari tanggal 22 hingga 24 Oktober.

    Xi sedang dalam perjalanan menuju pertemuan tersebut, kantor berita pemerintah Cina, Xinhua, melaporkan pada hari Selasa.

    Di Kazan, Putin akan bertemu secara terpisah dengan Modi dan Xi, serta para pemimpin Afrika Selatan dan Mesir pada hari Selasa, diikuti oleh pembicaraan terpisah dengan Erdogan dan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, pada hari Rabu (23/10).

    Agenda Putin: Konflik Timteng dan saingi SWIFT

    Moskow telah menjadikan perluasan kelompok BRICS (akronim dari nama anggota inti yakni Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) sebagai pilar kebijakan luar negerinya.

    Isu-isu utama dalam agenda tersebut mencakup gagasan Vladimir Putin untuk konflik di Timur Tengah dan alternatif sistem pembayaran bersama untuk menyaingi SWIFT. Jaringan keuangan internasional ini memblokir bank-bank Rusia pada tahun 2022.

    Pada awal September, Turki mengumumkan ingin bergabung dengan BRICS. Sementara Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mendadak membatalkan rencananya ke pertemuan ini setelah ia mengalami cedera kepala yang menyebabkan pendarahan otak ringan.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Amerika Serikat menolak gagasan bahwa BRICS dapat menjadi saingan geopolitik. Namun AS di sisi lain menyatakan kekhawatiran tentang Moskow yang memamerkan kekuatan diplomatiknya, di tengah masih berlangsungnya perang di Ukraina.

    Moskow belakangan ini terus maju di medan perang di Ukraina timur, sambil memperkuat hubungannya dengan Cina, Iran, dan Korea Utara, ketiga negara yang selama ini membuat Washington “sakit kepala”.

    Dengan mengumpulkan kelompok BRICS di Kazan, Kremlin “bertujuan untuk menunjukkan bahwa Rusia tidak hanya tidak terisolasi, tetapi juga memiliki mitra dan sekutu,” kata analis politik yang berbasis di Moskow, Konstantin Kalachev, kepada AFP.

    “Kali ini Kremlin ingin menunjukkan, alternatif terhadap tekanan Barat dan bahwa dunia dapat bersifat multipolar,” kata Kalachev, merujuk pada upaya Moskow untuk mengalihkan kekuasaan dari Barat ke kawasan lain.

    Kremlin mengatakan, menghendaki urusan global dipandu oleh hukum internasional, “bukan pada aturan yang ditetapkan oleh masing-masing negara, khususnya Amerika Serikat.”

    “Kami percaya bahwa BRICS adalah prototipe multipolaritas, sebuah struktur yang menyatukan belahan bumi Selatan dan Timur berdasarkan prinsip kedaulatan dan rasa hormat satu sama lain,” kata petugas urusan luar negeri Kremlin, Yuri Ushakov.

    “Apa yang dilakukan BRICS adalah secara bertahap, membangun jembatan menuju tatanan dunia yang lebih demokratis dan adil,” tambahnya.

    Ukraina protes rencana keharidan Sekjen PBB

    Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres diberitakan akan melakukan perjalanan pertamanya ke Rusia sejak April 2022 untuk menghadiri pertemuan ini. Ia akan bertemu dengan Putin pada hari Kamis (24/10), menurut program yang dibagikan oleh Ushakov.

    Kementerian Luar Negeri Ukraina mengecam rencana tersebut, dan mengungkit bahwa Sekjen PBB tidak mendatangi “pertemuan puncak perdamaian” yang digelar pada bulan Juni mengenai perang di Ukraina.

    “Sekretaris Jenderal PBB menolak undangan Ukraina ke Pertemuan Puncak Perdamaian Global pertama di Swiss,” kata kementerian tersebut dalam sebuah unggahan di platform media sosial X.

    “Namun, ia menerima undangan ke Kazan dari penjahat perang Putin. Ini adalah pilihan yang salah yang tidak memajukan tujuan perdamaian. Itu hanya merusak reputasi PBB.”

    KTT perdamaian di sebuah resor pegunungan Swiss pada pertengahan Juni lalu mempertemukan lebih dari 90 negara, mengecam invasi Rusia ke Ukraina dan mencari cara untuk mengakhiri konflik.

    Menjelang pertemuan puncak BRICS itu, wartawan AFP di Kazan melaporkan peningkatan langkah pengamanan dan kehadiran personel polisi. Pergerakan di sekitar pusat kota juga dibatasi, penduduk disarankan untuk tetap tinggal di rumah, dan mahasiswa pindah dari asrama mereka.

    ae/as (AFP, Reuters)

    (ita/ita)

  • Dimediasi UEA, Rusia-Ukraina Saling Tukar 190 Tahanan Perang

    Dimediasi UEA, Rusia-Ukraina Saling Tukar 190 Tahanan Perang

    Jakarta

    Rusia dan Ukraina melakukan pertukaran 190 tahanan perang. Setiap negara menukar 95 tentara yang ditawan yang ditengahi oleh Uni Emirat Arab (UEA).

    “Sebagai hasil dari proses negosiasi, 95 prajurit Rusia dikembalikan dari wilayah yang dikuasai oleh rezim Kyiv,” kata kementerian Pertahanan Rusia, dilansir AFP, Sabtu (19/10/2024).

    “Sebagai imbalannya, 95 tawanan perang tentara Ukraina diserahkan,” sambungnya. Kyiv belum mengonfirmasi pertukaran tersebut.

    Meskipun permusuhan terus berlanjut, Rusia dan Ukraina telah menukar ratusan tahanan sejak peluncuran ofensif Moskow pada tahun 2022, sering kali dalam kesepakatan yang ditengahi oleh Uni Emirat Arab, Arab Saudi, atau Turki.

    Pertukaran terakhir yang dilaporkan terjadi bulan lalu, ketika 206 tawanan perang dipertukarkan, dalam kesepakatan yang juga dimediasi oleh UEA.

    Sebelumnya pada hari Jumat, Kyiv mengatakan telah menerima jenazah 501 tentara yang tewas saat melawan pasukan Rusia, terutama di Ukraina timur, sebagai hasil dari tindakan pemulangan.

    Anggota parlemen Rusia Shamsail Saraliyev mengatakan kepada media RBK bahwa Rusia menerima 89 jenazah tentaranya sebagai balasan.

    (taa/taa)