Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar semua presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Usulan tersebut disampaikannya ketika ditanya soal adanya penolakan pemberian gelar
pahlawan nasional
kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia
Soeharto
.
“Bila perlu kami menyarankan semua tokoh-tokoh bangsa yang mantan-mantan presiden ini kalau bisa dapat dipertimbangkan untuk diberikan
gelar pahlawan nasional
, ya,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Dalam daftar 40 nama yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos), terdapat pula nama Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Selain Gus Dur, Bahlil juga mengusulkan agar Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie diberikan gelar pahlawan nasional.
“Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanya lah,” ujar Bahlil.
Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu juga menjawab soal adanya penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Menurutnya, jasa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia menjadi indikator kelayakan untuk menerima gelar pahlawan nasional.
“Negara ini, kita harus menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, ya. Jadi kita biasa saja. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Harto selama 32 tahun itu sesuatu yang luar biasa,” ujar Bahlil.
Bahlil mengatakan, penolakan merupakan hal yang lumrah karena tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.
Kendati demikian, ia mengungkit jasa Soeharto yang menciptakan swasembada pangan, lapangan pekerjaan, hingga membuat Indonesia dijuluki Macan Asia.
“Mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100 persen kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia di pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujar Bahlil.
Dok. KOMPAS/Charles Dharapak Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.
Sementara itu, 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI itu.
Penolakan itu ditegaskan dalam deklarasi di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). Aktivis HAM yang juga Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mendesak agar usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional dibatalkan.
Setidaknya ada empat alasan mengapa koalisi masyarakat sipil menolak gelar untuk Soeharto. Pertama, karena pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dipenuhi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kedua, pemerintah Soeharto dipenuhi oleh berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Yang ketiga, juga diikuti dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers sampai dengan kebebasan akademik,” ungkap Usman.
“Dan yang terakhir adalah adanya ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama pemerintahan Soeharto,” sambungnya menegaskan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Menteng
-

Polda Metro Jaya tangkap dua pria berikut 1.166 butir ekstasi
Jakarta (ANTARA) – Petugas Kepolisian dari Unit 4 Subdirektorat (Subdit) 4 Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya menangkap dua pria berikut barang bukti sebanyak 1.166 butir ekstasi yang siap diedarkan di Jakarta Selatan.
“Penangkapan dua pria berinisial I dan R dilakukan pada Rabu (5/11) sekitar pukul 20.30 WIB di kawasan Menteng Dalam, Jakarta Selatan,” kata Kepala Unit (Kanit) 4 Subdit 3 Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya AKP Rumangga dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dari lokasi kejadian, polisi juga menyita sejumlah barang bukti lain, di antaranya dua unit telepon genggam, dua timbangan digital, satu paket plastik klip kosong serta satu tas berisi plastik bening berisi pil ekstasi berwarna merah muda.
Penangkapan ini berawal dari informasi masyarakat mengenai dugaan peredaran narkoba di kawasan Menteng Dalam.
Barang bukti yang diamankan dari kedua tersangka pengedar Narkoba jenis sabu di Jakarta Selatan saat dibawa ke Ditresnarkoba pada Rabu (5/11/2025). ANTARA/HO-Ditresnarkoba Polda Metro Jaya
Menindaklanjuti laporan itu, tim melakukan penyelidikan dan pengintaian hingga akhirnya mengamankan kedua pelaku.
Rumangga menambahkan, berdasarkan keterangan tersangka, barang bukti ekstasi tersebut rencana diedarkan di wilayah Jakarta. “Ekstasi tersebut rencananya diedarkan di wilayah Jakarta dan sekitarnya,” katanya.
Saat ini, kedua tersangka beserta barang bukti telah dibawa ke Ditresnarkoba Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan dan penyidikan lebih lanjut.
“Tersangka dan barang bukti diamankan di Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya untuk penyidikan lebih lanjut,” katanya.
Pewarta: Ilham Kausar
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/11/02/6906c718946af.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Pendaftaran Kartu Gratis Lansia Diusulkan Dialihkan ke Kelurahan: Biar Lebih Manusiawi Megapolitan
Pendaftaran Kartu Gratis Lansia Diusulkan Dialihkan ke Kelurahan: Biar Lebih Manusiawi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
— Sejumlah warga mengusulkan Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk mengalihkan sistem pengurusan Kartu Layanan Gratis (KLG) untuk transportasi umum ke kantor kelurahan.
Hal itu disampaikan imbas kekacauan dalam proses pendaftaran Kartu Layanan Gratis (KLG) transportasi umum di area Car Free Day (CFD) Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (2/11/2025) pagi.
Sintawati (62) warga asal Menteng Atas, Jakarta Pusat, meminta Dishub mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan kantor kelurahan agar prosesnya lebih efisien.
“Seharusnya pelayanan pendaftaran dan foto aja di sini. Jadi yang kartunya udah jadi, lempar ke kelurahan,” usul Sinta saat ditemui Kompas.com di lokasi.
Dengan skema ini, warga tidak perlu kembali lagi ke CFD dan berdesakan hanya untuk mengambil kartu yang sudah jadi.
“Jadi habis foto, tinggal, ‘Nanti Ibu ambil di kelurahan kira-kira 3-4 hari setelah ini.’ Itu yang lebih bagus,” tegasnya.
Usulan ini muncul dari pengalamannya yang “dilempar-lempar” dari satu loket ke loket lain meski sudah sampai tahap foto.
“Seperti saya, maaf ya, saya sudah jadi, tinggal nunggu ambil. Saya sudah foto. Saya tadi dilempar ke sini, saya dilempar ke situ, muter-muter,” ujar Sinta.
Sinta yang juga antre sejak pukul 06.00 WIB, mengaku kasihan melihat para lansia lain yang harus menahan lelah akibat sistem yang tidak efisien.
“Kan kasihan itu orang-orang tua, lansia, usia 60, 70, harus disuruh berdiri berjam-jam panas gini. Ini kan hampir semuanya mayoritas lansia ya,” ucapnya.
Semrawutnya sistem ini bahkan sempat memicu amarah Sintawati kepada petugas.
“Saya ngamuk. Saya sampai teriak-teriak. ‘Enggak menghargai lu orang-orang tua,’ saya bilang,” tutur Sinta.
Akibat sistem yang masih belum teratur dan waktu layanan yang terbatas, banyak warga yang akhirnya gagal mendapatkan kartu pada hari ini.
Sayuti (70), warga Kemayoran, harus pasrah saat diminta kembali lagi pekan depan setelah tiga jam mengantre dan kelelahan.
“Udah capek begini berjam-jam, ujung-ujungnya ya saya disuruh balik lagi minggu depan. Yaudahlah mau gimana lagi,” ucapnya.
Kompas.com/Ridho Danu Prasetyo Pendaftaran kartu layanan gratis transportasi umum di Car Free Day Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (2/10/2025)
Dia mengaku kebingungan sejak awal harus mengantre di sebelah mana karena banyaknya warga yang baru datang berdesakan di bagian tengah.
“Tadi kalau ngantri ke pinggir saya bingung, panjang lagi. Akhirnya ngemper aja di sini (trotoar) sambil nunggu dipanggil,” sambung Sayuti.
Sayuti pun berharap agar pelaksanaan pengambilan KLG pekan depan dapat berjalan lebih baik dibanding hari ini.
“Ya semoga minggu depan langsung jadi lah tinggal ambil, enggak ngantri lagi, biar enak,” ucap Sayuti.
Sebelumnya diberitakan, ratusan warga mengikuti kegiatan pembuatan Kartu Layanan Gratis transportasi umum yang dihadirkan Dinas Perhubungan DKI Jakarta di Bundaran HI, Menteng, Jakarta Pusat pada Minggu (2/10/2025) pagi.
Kartu layanan tersebut dapat digunakan masyarakat Jakarta dari 15 golongan untuk bisa menggunakan transportasi Transjakarta, MRT, dan LRT secara gratis.
Pendaftaran kartu layanan gratis dibuka sejak pukul 06.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB di acara Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day.
Pantauan Kompas.com di lokasi hingga pukul 09.00 WIB, area Dishub yang digunakan sebagai tempat pendaftaran masih dipenuhi warga yang mengantre.
Di bawah teriknya matahari pagi, para warga yang didominasi oleh para lansia berdiri mengantre demi bisa mendapat layanan transportasi umum gratis.
Sejumlah orang mengantre sambil mengenakan payung untuk menghindari sengatan matahari.
Namun, antrean tersebut terlihat tidak teratur dengan semrawutnya kepadatan pengunjung yang berdesak-desakan di area tengah.
Antrean yang berada di barisan tengah terlihat berkumpul menjadi satu, tetapi saling serobot dan tidak sesuai urutan kedatangan.
Sementara itu, antrean juga mengular di sisi kanan dan kiri tenda, menimbulkan kebingungan sejumlah warga yang baru datang dan ingin masuk ke dalam antrean.
Berdasarkan keterangan sejumlah warga, mereka telah mengantre selama berjam-jam sejak layanan pendaftaran dibuka pada pagi hari.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Nyaris 60% Pekerja RI Kerja di Sektor Informal, Pemerintah Bisa Apa?
Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sekitar 60% pekerja di Tanah Air bekerja di sektor informal pada tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan bahwa jumlah tersebut diperoleh dari total 146 juta pekerja yang tercatat saat ini. Sementara itu, sekitar 40% sisanya bekerja di sektor formal.
“Mereka ini tersebar di berbagai sektor industri, dengan kondisi tempat kerja yang beragam dan tingkat kesejahteraan yang beragam,” kata Yassierli dalam temu media di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2025).
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mencoba mencari solusi terbaik agar tingkat kesejahteraan para pekerja dapat meningkat.
Upaya utama yang disampaikan Yassierli adalah kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang pada tahun ini ditetapkan satu angka, yakni 6,5% secara nasional.
Terkait kenaikan UMP 2026, Yassierli belum bersedia membocorkan formula perhitungan yang digunakan, tetapi menyampaikan komitmen untuk mengikis disparitas upah antardaerah.
Upaya lainnya adalah pemberian bonus hari raya bagi pengemudi dan kurir online, pemberian diskon 50% jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan kematian (JKM), hingga bantuan subsidi upah (BSU).
Mengenai serapan tenaga kerja, dia menyampaikan bahwa 2 juta pekerja formal terserap dari kenaikan investasi sebesar 14% secara tahunan (year-on-year) hingga September 2025, berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Yassierli melanjutkan, jumlah itu belum memperhitungkan serapan kerja dari berbagai program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, hingga Kampung Nelayan Merah Putih (KMNP).
Jumlah pekerja informal diperkirakan mencapai 2,5 juta orang pada setahun terakhir, misalnya dari program MBG dengan adanya dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) hingga ekosistem pendukung seperti pemasok bahan makanan.
“Kalau hitungan teori, ada 30.000 SPPG beroperasi, sementara 1 SPPG ada 50 orang. Berarti [serapan tenaga kerja] 1,5 juta orang. Ditambah ekosistemnya sekitar 2,5 juta,” tuturnya.
Kendati demikian, Yassierli menuturkan bahwa data tersebut akan divalidasi secara terperinci melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil sigi hingga periode Agustus 2025 akan dirilis pada November mendatang.
PHK dan Serapan Tenaga Kerja
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti lonjakan pekerja di sektor informal turut dipengaruhi tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan bahwa di tengah gejolak perekonomian saat ini, sejumlah sektor usaha mengalami tekanan kinerja, khususnya industri padat karya. Hal ini berbarengan dengan kurangnya penciptaan lapangan kerja pada sektor tersebut.
“Jadi tentunya memengaruhi lapangan pekerjaan. Kita juga lihat sekarang, kalau dilihat secara menyeluruh, [tenaga kerja] ini banyak beralih ke sektor informal,” ujar Shinta kepada Bisnis, dikutip Senin (13/10/2025).
Menurutnya, tren PHK dan pergeseran tenaga kerja ke sektor informal merupakan pertanda tekanan struktural perekonomian nasional, yang patut menjadi perhatian bersama. Tak hanya dari sisi perusahaan, Shinta menilai pemerintah dapat berperan dengan menggulirkan berbagai insentif ketenagakerjaan.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut, program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Desa Merah Putih hanya menyerap tenaga kerja informal.
Presiden KSPI dan Presiden Partai Buruh Said Iqbal memaparkan visi pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi perlu diimbangi dengan kebijakan pro-buruh, salah satunya dengan memberikan kepastian status kerja.
Dia tak menampik bahwa berbagai program prioritas pemerintah tersebut melibatkan banyak pekerja, tetapi menilai bahwa pemerintah seharusnya tak menghitung pekerja serabutan sebagai indikator capaian.
“Penyerapan tenaga kerja yang sekarang terjadi kan di sektor informal. Misalnya MBG, betul MBG menyerap tenaga kerja, tetapi informal. Gajinya di bawah upah minimum, tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada jaminan pensiun,” kata Said saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2025).
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi pekerja informal di Indonesia menjadi sekitar 86,58 juta orang atau 59,4% dari total penduduk bekerja per Februari 2025.
BPS mengategorikan kegiatan informal mencakup berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Berdasarkan hasil survei Satuan Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, terdapat tiga provinsi dengan persentase tertinggi pekerja informal, yakni Papua Pegunungan sebesar 94,71%, Papua Tengah sebanyak 88,51%, serta Nusa Tenggara Timur sebanyak 74,42%.
Sementara itu, Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Banten menjadi tiga provinsi teratas dengan persentase tertinggi penduduk yang bekerja formal, masing-masing sebesar 67,54% serta 62,05% dan 53,37%.
“Mayoritas penduduk di Indonesia bekerja di kegiatan informal. Pekerja informal lebih banyak pada laki-laki, sementara di perdesaan dan perkotaan berimbang banyaknya,” demikian catatan BPS dalam booklet Sakernas Februari 2025.
-

Mengapa Singapura Terobsesi dengan Pepohonan dan Tempat Teduh?
Jakarta –
Singapura telah lama menjadikan penghijauan dan penyediaan tempat teduh sebagai prioritas utama di setiap area. Mungkinkah kota-kota lain melakukan hal yang sama?
Panas adalah ancaman iklim paling mematikan bagi umat manusia karena merenggut lebih banyak nyawa setiap tahun ketimbang gabungan banjir, badai, dan kebakaran hutan.
Dan risiko paling besar ada di kota-kota, yang memanas dua kali lebih cepat daripada bagian lain planet ini akibat efek pemanasan perkotaan. Suhu udara di area perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Seiring meningkatnya suhu, para pemimpin kota di seluruh dunia, mulai dari Paris di Prancis hingga Phoenix di AS, berencana menambah jumlah tempat teduh secara strategis.
Namun, Singapura yang panas terik mungkin sudah memiliki infrastruktur naungan terbaik di antara kota mana pun di Bumi.
Orang-orang di Singapura sudah punya cara mereka sendiri untuk menghadapi hujan deras dan panas menyengat. Yang paling utama mungkin adalah trotoar beratap.
Asal usul naungan publik ini tidak jelas. Meskipun “jalur kaki lima” yang menembus lantai dasar toko-toko dan rumah-rumah beratap ini menyerupai portico Bologna, kemungkinan besar jalur ini berasal dari Asia Tenggara.
Raffles pernah mewajibkan pembangunan jalur pejalan kaki yang jelas, berkesinambungan, dan beratap di kedua sisi jalan demi menjamin kelancaran transportasi saat cuaca buruk. Namun, konsep “teras” beratap ini lambat laun ditinggalkan.
Jalan-jalan tersebut dihidupkan kembali dalam bentuk modern oleh Lee Kuan Yew, perdana menteri yang memimpin Singapura menuju kemerdekaan pada 1960-an.
Lee agak terlalu teliti dan memiliki minat khusus pada iklim dan kenyamanan. Ia yakin bahwa kelembapan menghambat produktivitas ekonomi negara.
Di dalam ruangan, ia mengubah Singapura menjadi apa yang disebut jurnalis Cherian George sebagai “negara ber-AC”. Di luar ruangan, ia fanatik terhadap tempat teduh.
Lee dikenal sering menguliahi bawahannya tentang desain jalan setapak dan promenade tempat jalan-jalan yang buruk. Dia terkadang berlutut di tanah yang panas membara untuk membuktikan suatu hal.
Ketika pemerintahan Lee membangun perumahan yang menjulang tinggi pada dekade 1960-an dan 1970-an, para perancang memastikan bahwa bagian lantai dasar setiap struktur tetap terbuka dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Para arsitek melestarikan lantai dasar tersebut sebagai “dek kosong” komunal yang memungkinkan warga berkumpul sambil menikmati angin sepoi-sepoi.
Selanjutnya, pada akhir 1980-an hingga 1990-an, badan perumahan dan transportasi Singapura mengambil langkah lain: mereka mengarahkan pemasangan kanopi logam mandiri di atas trotoar guna memastikan jalur menuju halte bus atau stasiun kereta tetap kering.
Saat ini, pihak berwenang mengklaim telah membangun sekitar 200 kilometer trotoar beratap.
Bayangkan, jika steger konstruksi yang tersebar di seluruh New York adalah arsitektur trotoar permanen pencapaian yang sangat tidak menarik, tetapi ternyata fungsional.
Di AS, pengembang properti diwajibkan untuk menjauhkan bangunan mereka dari jalan agar cahaya masuk lebih banyak.
Sebaliknya, di Singapura, mereka harus membuat kanopi pejalan kaki sepanjang 2,4 meter3,7 meter dari lantai dasar bangunan mereka.
Penelitian menunjukkan kanopi tersebut memiliki efek yang serupa dengan halte bus yang bersih dan dirancang dengan baik.
Baca juga:
Seperti kehadiran halte yang terasa bisa mempercepat waktu tunggu bus, warga Singapura juga melaporkan berjalan-jalan di trotoar terasa 14% lebih singkat daripada berjalan-jalan di bawah terik matahari.
“Anda berada di wilayah tropis yang selalu sangat panas, dan selalu sangat lembap,” kata Yun Hye Hwang, seorang arsitek lanskap dan profesor di Universitas Nasional Singapura.
Dengan suhu tinggi harian berkisar antara 31C33C sepanjang tahun, “kita selalu membutuhkan tempat teduh,” tambahnya.
Hampir semua orang lebih memilih naungan alami dari kanopi pohon daripada atap logam buatan.
Namun, menurut Lea Ruefenacht dari Cooling Singapore, pohon memiliki keterbatasan.
Walaupun pohon memberikan keteduhan dan mendinginkan melalui penguapan air, kelembapan tambahan yang dilepaskan di iklim Singapura yang sudah lembap dapat memperparah hawa panas.
Untuk kenyamanan, Ruefenacht merekomendasikan keseimbangan antara naungan hijau dan abu-abu.
Di Singapura, naungan abu-abu terpadat ditemukan di lantai beton hutan pencakar langit di pusat kota.
Pengembang properti kini diwajibkan oleh otoritas untuk menyediakan naungan yang dianggap “memadai” di plaza atau area terbuka.
Ketentuan spesifiknya adalah setidaknya 50% dari area tempat duduk harus tetap sejuk antara pukul 09.00 hingga 16.00 waktu setempat.
Naungan yang diwajibkan tersebut dapat berasal dari berbagai elemen seperti pohon, payung, atau tenda.
Namun, otoritas secara eksplisit menyebutkan dalam panduan desain bahwa bayangan dari menara atau bangunan tinggi di dekatnya juga dihitung sebagai sumber keteduhan.
Pendekatan ini sangat kontras dengan yang diterapkan di Kota New York. Di sana, bayangan yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap ruang terbuka tidak dianjurkan, dan potensi bayangan tersebut bahkan dapat menjadi penghalang utama bagi rencana pembangunan baru.
Di iklim yang lebih dingin ini, pengembang diinstruksikan untuk menempatkan plaza mereka di sisi selatan yang menghadap matahari, untuk menciptakan kehangatan musim dingin. Faktanya, plaza tidak diperbolehkan menghadap utara.
Singapura memiliki prioritas yang berbeda. Idealnya, pengembang menempatkan plaza di sisi timur bangunan mereka, sehingga dapat didinginkan oleh naungan di sore hari. Ini adalah sisi di mana bayangan perkotaan jarang dimanfaatkan publik.
“Di wilayah tropis di dunia, sebagian masalahnya selalu terletak pada kenyataan bahwa permukiman mewarisi aturan bangunan dari wilayah beriklim sedang, dan mereka tidak selalu memiliki sarana untuk meninjaunya dan bertanya, ‘apakah ini cocok untuk kita?’” kata Kelvin Ang, direktur konservasi di Otoritas Pembangunan Kembali Perkotaan Singapura.
“Di Singapura, entah bagaimana ada banyak kesadaran bahwa aturan bangunan dan tata ruang harus mendorong adanya naungan, karena intensitas matahari.”
Para perencana kota meyakini jika ruang publik tidak teduh, tidak akan ada yang menggunakannya.
Terlepas dari potensi dampaknya terhadap kelembapan, Perdana Menteri Lee menuntut adanya pepohonan di mana-mana karena yakin Singapura yang “bersih dan hijau” akan menarik bagi investor asing.
Di bawah komandonya, unit taman dan pepohonan yang baru dibentuk untuk merapikan jalan-jalan utama, menaunginya dengan kanopi lebar Angsana, trembesi, mahoni, dan akasia.
“Bunga boleh saja,” kata Lee kepada kepala departemen, “tapi beri saya naungan dulu”.
Pada 1970-an, ketika Lee menerapkan sistem penetapan harga kemacetan dan skema lain untuk mendorong warga beralih ke transportasi umum, ia menyadari adanya kendala: terik matahari yang menyengat di trotoar, penyeberangan, dan halte bus dapat membuat calon penumpang enggan menggunakan transportasi publik.
Oleh karena itu, ia mulai fokus pada perbaikan fasilitas tersebut.
Di Los Angeles, pohon-pohon adalah hal terakhir yang dipikirkan dalam perancangan jalan.
Mereka baru ditanam setelah semua pekerjaan utama selesaisaluran bawah tanah digali, trotoar dicor, tepi jalan dan saluran air dibangun, serta jalan masuk rumah dituang semen.
Akibatnya, pohon-pohon itu cuma “dipaksakan” masuk ke lubang beton kecil di trotoar, tanpa perencanaan yang layak.
Namun, di Singapura, Lee memberikan perintah agar para perencana kota memasukkan faktor bayangan tersebut sebagai pertimbangan sejak awal perencanaan.
Saluran listrik di atas tanah yang merusak trotoar Los Angeles dan membuat pepohonan menjadi kecil dan rindang jarang ditemukan.
Sebagian besar utilitas diletakkan di bawah tanah, dalam lubang-lubang kecil yang membentang di sepanjang pepohonan jalan dan akarnya.
Baca juga:
Infrastruktur hijau direncanakan oleh para perencana kota, direkayasa oleh badan pekerjaan umum, dan dikelola oleh dewan taman yang anggarannya meningkat sepuluh kali lipat di bawah kepemimpinan Lee.
Pendanaan dan koordinasi telah terbukti menjadi pembeda antara hutan kota yang subur dan sekumpulan pepohonan kota yang kumuh.
Selain jalan, para perencana kota Singapura mewajibkan penghijauan dalam pembangunan swasta, meregenerasi taman baru kota untuk mengkompensasi hutan hujan alami yang hampir punah.
Pemerintah Singapura memiliki banyak pengaruh. Melalui aturan pengambilalihan tanah oleh negara yang sangat kuat. Pemerintah memiliki sekitar 90% lahan, dan inspektur bangunan tidak akan mengizinkan sebuah bangunan untuk dihuni sampai mereka melihat pepohonan di tanah.
Kompleks perumahan umum Singapura yang luas juga dilengkapi dengan halaman berumput, halaman yang rindang, dan jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan yang terhubung dengan taman dan cagar alam.
Akibatnya, pepohonan hampir ada di mana-mana, baik di lingkungan kaya maupun miskin.
“Kami tidak membedakan antara wilayah kelas menengah dan kelas pekerja,” tulis Lee dalam memoarnya, mengklaim bahwa hal itu akan menjadi “bencana politik” bagi Partai Aksi Rakyat.
Hal ini membedakan Singapura dari kota-kota di Amerika, di mana naungan merupakan indikator yang andal untuk ketimpangan ekonomi.
Berkat kebijakan perencanaan kota yang cerdas termasuk pengembangan ribuan hektar taman lokal dan upaya reklamasi lahan yang sangat ambisius Singapura berhasil melakukan sesuatu yang luar biasa: kota ini menjadi lebih lebat dan lebih hijau secara bersamaan.
Pihak berwenang mengklaim hutan kota tumbuh dari 158.600 pohon pada 1974 menjadi 1,4 juta pada 2014, bahkan ketika kota tersebut bertambah tiga juta penduduk.
Saat ini, hampir separuh pulau ditutupi rerumputan, semak belukar, dan pepohonan berkanopi lebar. Hal ini meruntuhkan anggapan bahwa kota tidak dapat menyediakan ruang bagi alam seiring pertumbuhannya.
“Lingkungan biofisik lah yang menjadi faktor pembeda,” kata Daniel Burcham, mantan peneliti di dewan taman, ketika saya memintanya menjelaskan kesuksesan Singapura.
“Menanam pohon itu mudah, apalagi jika musim panas setiap hari dan curah hujan lebih dari 2 meter setiap tahun.”
Namun tanpa konsensus politik, tambahnya, tidak akan ada ruang yang tersisa bagi pohon-pohon itu untuk tumbuh.
“Ini adalah tujuan yang ingin mereka [pemerintahan Lee] kejar, dan itu adalah visi yang mereka semua sepakati bersama untuk mencapainya.”
Saat ini, Burcham mengajar arborikulturilmu budidaya pohon dan hutandi Colorado State University di Fort Collins.
Kota semi-kering ini memiliki sistem pemerintahan di mana pemimpin politik menjabat dalam periode singkathanya beberapa tahun, bukan puluhan tahun.
“Beberapa orang akan mencirikan Lee Kuan Yew sebagai orang kuat, atau tokoh semi-otoriter, dan sampai batas tertentu, itu memang benar,” kata Burcham.
“Tetapi ini adalah satu hal baik yang datang dari sistem itu. Dia menetapkan tujuan ini dan menyediakan sumber daya material serta memberikan dukungan politik bagi rakyat untuk mencapainya.”
Meskipun hal ini membutuhkan koherensi lintas pemerintahan, pada prinsipnya tidak ada alasan mengapa pemerintah yang dipilih secara demokratis di kota-kota tropis seperti Miami atau Honolulu tidak dapat mempertahankan proyek semacam itu.
Jadi, apakah semua naungan ini melindungi warga Singapura?
Pada sore hari, jalanan di kawasan bisnis Singapura, yang terbenam dalam bayang-bayang gedung pencakar langit, adalah yang paling sejuk di kota ini.
Efeknya berakhir ketika matahari terbenam, dan gedung-gedung melepaskan radiasi matahari yang diserapnya.
Pada malam hari, halaman hijau kompleks perumahan umum mungkin menawarkan kelegaan paling besar, karena udaranya 1C2C lebih dingin daripada angin yang berembus di kawasan komersial yang ramai.
Berdasarkan hubungan epidemiologis yang terbukti antara suhu udara dan penyakit akibat panas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang paling teduh di Singapura adalah lingkungan yang paling aman dari risiko penyakit terkait panas.
Infrastruktur peneduh seperti pepohonan dan bangunan tidak akan cukup untuk mengatasi semua efek pemanasan akibat perubahan iklim, tetapi akan memberikan dampak.
Efektivitas yang sama seperti yang ditunjukkan Singapura sebuah negara yang diperintah secara otokratis dan berfokus pada penyediaan naungan berkat obsesi pemimpinnya kemungkinan besar tidak akan tercapai oleh pemerintah di Amerika Serikat.
Sebagian besar kota di AS juga tidak cukup beruntung memiliki iklim ideal seperti Singapura untuk menanam pohon.
Meskipun demikian, Singapura menunjukkan apa yang dapat dilakukan dengan perencanaan naungan yang disengaja oleh pemerintah.
Kota yang lebih sejuk untuk semua orang itu sangat mungkin diwujudkan, jangan berpura-pura menganggapnya mustahil.
Versi bahasa Inggris dari artikel yang berjudul How Singapore became obsessed by shade dapat Anda baca di BBC Future.
Tonton juga Video: Makan Yamien Komplet dengan Suasana Asri Pepohonan di Menteng
(haf/haf)
/data/photo/2025/10/28/6900cd55dace1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4159852/original/024159600_1663256706-WhatsApp_Image_2022-09-15_at_18.29.30.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2023/12/15/657bfb2a47fe0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
