kab/kota: Menteng

  • Agar Hubungan Kita Semakin Dekat

    Agar Hubungan Kita Semakin Dekat

    Liputan6.com, Jakarta Jajaran elite DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyambangi Kantor DPP Partai Demokrat, di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025).

    Rombongan itu dipimpin langsung oleh Presiden PKS, Almuzzammil Yusuf. Hadir pula Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Muhammad Kholid hingga politikus PKS Mardani Ali Sera.

    Rombongan DPP PKS terlihat kompak mengenakan jas berwarna putih dengan logo khas PKS, langsung disambut Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas, dan jajaran partai lainnya.

    AHY mengatakan, kedatangan jajaran elit PKS ke DPP Demokrat, dalam rangka silaturahmi kebangsaan, di mana pihaknya menyambut baik kunjungan politik tersebut.

    Dalam kesempatan itu, AHY pun sempat mengenang pertemuan silaturahmi kebangsaan antara Ketua Majelis Syuro PKS Muhammad Sohibul Iman dan Presiden PKS sebelumnya yang digelar di kediaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas beberapa waktu lalu.

    AHY menyampaikan, pentingnya memperkuat silaturahmi politik antara Demokrat dan PKS sebagai modal kolaborasi dalam mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    “Alhamdulillah beliau senang sekali dan mendoakan agar hubungan kita semakin dekat dalam sinergi dan kolaborasi positif ke depan,” kata dia.

     

  • Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng Megapolitan 24 November 2025

    Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Sejumlah warga kolong, sebutan untuk orang-orang yang hidup di jalanan, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, mencoba terus bertahan tinggal di tepi rel kereta dan trotoar sempit meski sudah berulang kali ditertibkan aparat.
    Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, menegaskan, keberadaan
    warga kolong
    terus dipantau melalui patroli rutin.
    “Saat ini kita hanya penjangkauan atau patroli rutin. Kalau ada yang bandel baru kita lakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, kita kirim ke panti sosial,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/11/2025).
    Nanto menambahkan, pihaknya rutin melakukan patroli melalui pendekatan yang humanis dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
    “Kalau patroli rutin tiap hari. Kalau hambatan selama ini belum ada, hanya harus rajin di patroli saja,” kata dia.
    “Mereka pergi sebentar saat razia, tapi begitu patroli selesai, biasanya balik lagi ke kolong atau trotoar. Kami sudah terbiasa melihat itu,” kata Ningsih.
    Sementara itu, Riyan (31), pengemudi ojek pangkalan yang mangkal tak jauh dari lintasan rel, merasa kasihan dengan warga kolong.
    “Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya duit buat tempat tinggal. Kalau tidak ada alternatif, ya mereka kembali ke trotoar atau kolong. Mereka sudah biasa hidup di jalan,” ucapnya.
    Sejumlah warga kolong yang ditemui
    Kompas.com
    mengungkapkan alasannya tetap bertahan di trotoar dan tepi rel meski sering didatangi aparat.
    Salah satunya adalah Ale (40), warga asal Bogor, Jawa Barat, yang sudah hampir dua tahun tinggal di tepi rel dekat Latuharhary.
    “Awalnya cuma numpang lewat, nyari barang bekas. Lama-lama susah, jadi bertahan di sini saja. Uang enggak cukup buat kontrakan. Mau ke mana kalau pergi jauh?” katanya.
    Sehari-hari Ale mencari botol plastik dan kardus dari kantor serta pasar sekitar untuk dijual kembali.
    “Kalau ramai, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” ujarnya.
    Sukinem (38), perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, menuturkan pengalaman serupa.
    “Kadang pagi-pagi Satpol PP datang, suruh bubar. Saya ngerti, tapi mau pindah ke mana? Gerobak berat, barang banyak. Setelah mereka pergi, kami balik lagi,” katanya.
    Warga kolong lainnya, Sarwono (42) bercerita bahwa dirinya tinggal bersama istri dan anaknya di pertigaan dekat Kantor Komnas HAM.
    “Tempat ini agak aman, lampunya terang, dekat kantor pemerintah. Kalau malam tetap waspada, tapi di sini dekat jalur kerja mulung. Anak dan istri ikut, jadi pilih lokasi yang memungkinkan semua aman,” kata dia.
    Meski begitu, ia tak menampik bahwa tidur di atas trotoar tidaklah nyaman.
    “Pakai kardus atau terpal seadanya, sambil menaruh gerobak sebagai penghalang agar barang tidak dicuri,” ujarnya.
    Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menekankan bahwa warga kolong memilih lokasi secara strategis.
    “Mereka paham wilayah secara teritorial, menempati lokasi yang relatif aman dari razia Satpol PP, dan dekat dengan mata pencaharian,” kata Yayat.
    “Kalau mereka punya komunitas, ada keberanian untuk mencari ruang yang bisa digunakan bersama,” ujarnya.
    Yayat menjelaskan bahwa mobilitas warga kolong cukup terukur.
    “Radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya mereka menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” tuturnya.
    Dengan strategi ini, warga kolong bisa menjaga barang-barang, bekerja, dan bertahan di ruang publik dengan risiko minimal.
    Fenomena ini menunjukkan keterkaitan erat antara perilaku warga kolong dengan kondisi ekonomi dan kemampuan adaptasi terhadap ruang kota.
    “Kelompok ini termarjinalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” ujar Yayat.
    Di trotoar Latuharhary, Ale memilah-milah botol plastik dan kardus yang dikumpulkan dari kantor-kantor sekitar. Barang-barang ini dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    “Kalau sepi, hanya cukup buat makan. Kalau ramai, bisa sedikit lebih. Tapi tetap hidup seadanya,” kata Ale.
    Sukinem biasanya memulai pagi dengan berkeliling trotoar dan kantor-kantor Menteng untuk mengumpulkan plastik dan kardus.
    “Kalau hujan atau banyak penertiban, tidak dapat apa-apa. Tapi yang penting bisa hidup, bisa kirim sedikit ke anak di Brebes,” ujarnya.
    Ia tidur di kolong jembatan dekat terowongan kecil, menggunakan kardus dan terpal sebagai alas, sambil menjaga barang-barang agar tidak hilang.
    Sarwono menekankan pentingnya lokasi bagi keselamatan keluarganya.
    “Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Jadi kami bertahan di sini, walau tiap malam was-was. Gerobak kami taruh di depan sebagai penghalang,” katanya.
    Hidup di tepi rel dan trotoar membuat warga kolong harus menghadapi berbagai risiko, di antaranya hujan, kebisingan kereta, hingga potensi kehilangan barang.
    “Tidur malam selalu waspada. Kalau ada suara keras, langsung bangun. Barang-barang kami harus dijaga, gerobak jadi penghalang sekaligus tempat penyimpanan,” tutur Sarwono.
    Sukinem menambahkan, anak-anaknya tetap tinggal di kampung halaman karena keterbatasan ekonomi.
    “Kalau anak ikut, lebih sulit menjaga barang dan keamanan. Saya bertahan sendiri, kirim sedikit uang ke rumah. Hidup ini cuma buat makan dan bertahan,” katanya.
    Ale pun sependapat dengan Sukinem.
    “Kalau pergi jauh, mau tidur di mana. Uang enggak cukup buat kontrakan. Jadi tetap di sini, cari makan seadanya,” ujarnya.
    Yayat menekankan bahwa pilihan lokasi warga kolong sangat pragmatis.
    “Tempat itu relatif aman, tidak mengganggu warga, dekat mata pencaharian, dan ada kemudahan untuk kebutuhan sanitasi. Mereka memahami wilayah secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman,” ujarnya.
    Ketimpangan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap hunian layak membuat warga kolong harus mengisi ruang publik yang tersedia, sekaligus menyesuaikan diri dengan patroli aparat dan perubahan lingkungan sekitar.
    Menurut Yayat, adaptasi warga kolong mencakup berbagai strategi pemilihan lokasi yang aman, pengelolaan barang dan gerobak, mobilitas terukur, serta pembentukan jaringan komunitas untuk saling menjaga.
    “Mereka mengisi ruang kota yang gratis dengan strategi adaptasi yang sangat terukur,” ujarnya.
    Yayat menambahkan, komunitas ini memudahkan warga kolong menyesuaikan diri dengan patroli aparat. Dengan mengetahui lokasi yang aman, mereka dapat menghindari razia sementara dan kembali menempati ruang ketika situasi aman.
    “Mobilitas mereka terbatas, tapi efektif. Radius aktivitas hanya 1–3 km, cukup untuk mencari nafkah dan bertahan hidup,” tuturnya.
    Yayat menambahkan Patroli rutin Satpol PP tidak mengubah pola hidup mereka secara signifikan.
    Keberadaan mereka adalah hasil adaptasi terhadap kondisi ekonomi, keterbatasan ruang, dan kemampuan membentuk jaringan sosial yang memungkinkan bertahan hidup di kota besar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, "Terdampar" di Trotoar Megapolitan 24 November 2025

    Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, “Terdampar” di Trotoar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Di trotoar sempit yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, Ale (40) duduk bersandar pada dinding penuh coretan grafiti.
    Terlihat barang-barang miliknya tas, kantong plastik, dan gerobak kayu menempel di sampingnya.
    “Sudah hampir dua tahun saya di sini. Awalnya cuma numpang lewat nyari barang bekas, tapi lama-lama susah, jadi saya bertahan saja,” kata Ale warga kolong asal Bogor, saat ditemui
    Kompas.com
    di tepi rel Jalan Latuharhary, Menteng,
    Jakarta
    Pusat, Jumat (21/11/2025).
    Tak jauh dari lokasi itu, tumpukan karung dan kantong plastik hitam berisi barang bekas tampak rapi, siap dijual kembali.
    Seorang pria tampak memilah botol plastik, kardus, dan barang bekas lainnya, aktivitas yang menjadi sumber nafkah sehari-hari.
    Dua gerobak kayu besar yang sudah usang berdiri di dekatnya, menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan.
    Setelah beberapa kali dipindahkan dari kolong jembatan oleh petugas, mereka kini mengisi celah publik trotoar dan tepi rel untuk bertahan hidup.
    Karno (50), asal Banyumas, Jawa Tengah, sudah hampir tiga tahun hidup di tepi rel setelah penertiban kolong jembatan dekat stasiun.
    “Awalnya tidur di kolong jembatan, tapi sering ada penertiban. Akhirnya pindah ke tepi rel di sini. Agak aman, walau tetap harus waspada kalau malam,” ujar dia.
    Sukinem (38), perempuan asal Brebes, menceritakan pengalamannya yang berbeda. Ia datang ke Jakarta sendiri, meninggalkan anak-anaknya yang tinggal bersama orang tua di kampung.
    “Suami sudah tidak ada. Saya ke sini untuk cari uang. Kalau ada lebih, saya kirim. Tapi sehari-hari cukup buat makan. Kalau hujan atau banyak penertiban, ya tidak dapat apa-apa,” ujar dia sambil menata gerobak berisi kardus dan botol plastik.
    Sementara Sarwono (42) memilih pertigaan setelah kantor Komnas HAM sebagai tempat tinggal sementara bersama istri dan anaknya.
    “Kami tidur bertiga di pojokan pertigaan, pakai terpal dan kardus. Malam jarang tidur pulas, harus jaga anak dan barang. Dekat sini lebih mudah kerja, dekat kantor dan jalan-jalan Menteng,” ujar dia.
    Bagi mereka, pindah ke trotoar dan tepi rel bukan pilihan ideal, tapi terpaksa karena tidak ada alternatif tempat tinggal.
    Meski sempit dan berisiko, lokasi ini dianggap lebih aman daripada tidur di kolong jembatan yang sering menjadi sasaran penertiban.
    Hidup di jalanan berarti harus kreatif mencari penghasilan.
    Warga kolong mengandalkan barang bekas, botol plastik, kardus, dan sisa makanan dari pedagang pasar atau kantor di sekitar Menteng.
    “Kalau ada acara kantor atau pasar buang botol plastik, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” kata Ale.
    Pendapatannya juga tak menentu.
    Jika sedang banyak barang bekas, ia bisa mengantongi Rp 50.000. Paling sedikit, ia mendapat Rp 10.000.
    Uang tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari.
    Sementara Sukinem memiliki penghasilan yang lebih terbatas.
    “Rata-rata Rp 30.000–40.000. Kalau hujan atau ada penertiban, ya tidak dapat apa-apa. Yang penting bisa dikirim sedikit ke anak di kampung,” ujarnya.
    Pendapatan yang tidak menentu memaksa warga kolong hidup sederhana, berbagi barang, dan memaksimalkan apa yang mereka miliki.
    Gerobak dan karung menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan sementara barang-barang mereka.
    Kasatpol PP Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, memastikan penertiban dilakukan secara humanis.
    “Saat ini kami hanya melakukan penjangkauan dan patroli rutin. Kalau ada yang bandel, baru dilakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, mereka dikirim ke panti sosial,” jelasnya.
    Patroli rutin dilakukan tiap hari untuk menjaga ruang publik tetap aman.
    Namun kenyataannya, warga kolong tetap kembali ke trotoar atau tepi rel karena tidak memiliki alternatif tempat tinggal permanen.
    Ningsih (45), pemilik warung di dekat lintasan rel Jalan Guntur, mengamati fenomena ini dari dekat.
    “Kalau hujan, mereka pergi sebentar, lalu balik lagi. Ada bantuan pemerintah, tapi memang tidak mengubah pilihan mereka. Tetap hidup di jalan,” ujarnya.
    Warga sekitar sudah terbiasa melihat aktivitas warga kolong.
    “Liat saja mereka, kadang ke Pasar Rumput berpindah-pindah. Ada yang sama anaknya, ada yang berdua sama istrinya, atau ada yang sendiri,” ujar Ningsih.
    Sedangkan Riyan (31), ojek pangkalan di sekitar lokasi juga berpendapat mengenai keberadaan warga kolong.
    “Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya uang untuk tempat tinggal. Kalau tidak ada pilihan, mereka balik lagi ke kolong atau trotoar,” kata dia.
    Bagi warga kolong, Menteng dan sekitarnya bukan hanya sekadar lokasi, tetapi juga sumber mata pencaharian.
    “Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Dekat sini lebih mudah kerja mulung plastik dan kardus,” kata Ale.
    Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, warga kolong memilih lokasi strategis karena faktor ekonomi dan keamanan.
    “Mereka memilih tempat yang relatif aman dari razia Satpol PP, tidak mengganggu permukiman warga, dan dekat dengan mata pencaharian,” ujar Yayat saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
    Keberadaan komunitas juga penting.
    Dukungan komunitas memungkinkan warga kolong berbagi ruang, menjaga keamanan barang-barang mereka, dan mengurangi risiko gangguan dari aparat maupun warga sekitar.
    Selain itu, lokasi yang dekat fasilitas umum, seperti WC publik atau taman, juga memudahkan mereka memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
    “Gerobak berfungsi ganda sebagai tempat tinggal sekaligus alat kerja. Mereka memilih tempat dekat fasilitas umum untuk kebutuhan sanitasi,” tutur Yayat.
    Menurut Yayat Supriyatna, strategi warga kolong mencerminkan adaptasi terhadap keterbatasan ekonomi dan ruang kota.
    “Mobilitas mereka terbatas, radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” ujar dia.
    Yayat menekankan, perilaku warga kolong tidak sekadar soal kemiskinan, tetapi juga tentang pemahaman terhadap ruang kota.
    “Kelompok ini termarginalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” kata dia.
    Lokasi yang dipilih bukan sembarangan.
    “Mereka memahami wilayah itu secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman. Ini strategi bertahan hidup kelompok termarjinalkan yang sangat pragmatis,” ujar Yayat.
    Fenomena warga kolong di Menteng dan sekitar lintasan rel menjadi contoh nyata kompleksitas urban Jakarta.
    Kota yang berkembang pesat dengan kawasan elite tetap menyisakan ruang bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, memaksa mereka mengisi celah-celah kota yang bersifat publik.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ratusan warga dirikan rumah di TPU di Jaktim

    Ratusan warga dirikan rumah di TPU di Jaktim

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota Jakarta Timur segera menertibkan permukiman ratusan warga yang ada di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas dan Kober Rawa Bunga, Jatinegara.

    Penertiban dilakukan untuk mengembalikan fungsi TPU Kebon Nanas dan Kober Rawa Bunga serta mengatasi masalah krisis lahan makam yang kini dihadapi Provinsi DKI Jakarta.

    “Kami tidak bilang menggusur tapi kita minta dikembalikan. Minta dikembalikan lahan (makam) yang digunakan mereka,” kata Sekretaris Kota Jakarta Timur, Eka Darmawan saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

    Tercatat 69 TPU aset Dinas Pertamanan dan Hutan (Tamhut) Kota DKI Jakarta yang sudah penuh. Hanya tersisa sembilan TPU yang dapat digunakan untuk pemakaman warga.

    Berdasarkan data awal, tercatat 280 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 517 jiwa yang tinggal dengan mendirikan bangunan di lahan TPU Kebon Nanas dan Kober Rawa Bunga.

    Selain menata permukiman, pemerintah menilai pengembalian fungsi lahan akan meningkatkan pelayanan pemakaman karena jenazah dapat dimakamkan di wilayah yang lebih dekat dengan domisili.

    Eka mengungkapkan, banyak warga terpaksa memakamkan jenazah anggota keluarganya ke TPU Pondok Kelapa, Menteng Pulo atau lokasi lain yang jaraknya lebih jauh.

    “Kami menargetkan warga diberikan waktu dua pekan untuk pendataan dan persiapan relokasi ke rusunawa,” katanya.

    Sebagai langkah awal pengembalian fungsi lahan, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur melakukan sosialisasi kepada warga Kelurahan Cipinang Besar Selatan yang tinggal di lahan TPU Kebon Nanas.

    Sosialisasi digelar di aula Kantor Kecamatan Jatinegara yang diikuti sekitar 200 warga serta warga dari Kelurahan Rawa Bunga yang tinggal di lahan TPU Kober Rawa Bunga.

    “Sosialisasi dilakukan di aula Kantor Kecamatan Jatinegara pada Kamis (20/11) siang,” ujar Eka.

    Lahan TPU yang selama ini masih digunakan untuk mendirikan rumah akan dikembalikan sesuai fungsinya sehingga diharapkan akan menambah ketersediaan lahan makam.

    “Karena selama ini mereka (warga) menempati lahan (makam) dan belum memahami bahwa kebutuhan lahan (makam) yang ada di Provinsi DKI itu krisis, terutama di Jakarta Timur,” ujar Eka.

    Kepala Bidang Pemakaman Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Tamhut) DKI Jakarta, Siti Hasni menegaskan, pengembalian fungsi lahan pemakaman mendesak dilakukan karena ketersediaan petak makam di Jakarta semakin terbatas.

    Potensi penambahan petak makam bisa mencapai 450 unit di TPU Kober Rawa Bunga dan 1.500 unit di TPU Kebon Nanas.

    “Saya minta warga yang selama ini menggunakan area TPU agar memahami bahwa lahan itu perlu dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara luas,” kata Siti.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ngeri! Wagub Rano Sebut Kemang Terancam Tenggelam Gegara Hal Ini

    Ngeri! Wagub Rano Sebut Kemang Terancam Tenggelam Gegara Hal Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Rano Karno mengungkapkan, normalisasi Kali Krukut menjadi penting apabila tak ingin wilayah Kemang, Jakarta Selatan tenggelam dalam waktu dekat. 

    Rano Karno menuturkan, banjir yang rutin terjadi setiap hujan di wilayah Kemang sudah menjadi perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. 

    Untuk itu, dia menyatakan normalisasi Kali Krukut yang melintasi wilayah Jakarta Selatan, tepatnya Kemang, Cilandak Timur, dan Cipete Selatan perlu segera dilakukan. 

    “Kali Krukut itu kalau enggak lakukan normalisasi, daerah Kemang akan tenggelam,” kata Rano dalam acara tanam pohon yang digelar Bisnis Indonesia Group di Taman Menteng, Jakarta, Jumat (21/11/2025). 

    Pasalnya, Kali Krukut telah mengalami penyempitan dari yang semula memiliki lebar 20 meter, kini sebagian kali hanya tersisa tiga meter. Tak ayal bila air di kali tersebut meluap di wilayah Kemang. 

    Rano Karno menegaskan pihaknya akan mengambil sikap untuk menyelesaikan permasalahan tahunan di kawasan Kemang dan sekitarnya tersebut. 

    Bukan hanya Kemang, banjir juga terjadi di sejumlah wilayah di Jakarta. Baik banjir karena air laut atau banjir rob, hujan lokal, serta hujan kiriman. Sekalipun pemerintah telah menyiagakan mesin pompa untuk mengatasi banjir, tetapi pembuangan air pun menjadi masalah. 

    “Sekarang mesin pompa kami sediakan. Mau buangnya juga kemana? Air laut naik, sungainya wah udah [sempit], itulah Jakarta,” terangnya. 

    Belum lagi, Jakarta dilewati oleh 13 kali—termasuk Kali Krukut. Rano Karno memandang pembenahan dan normalisasi kali perlu segera ditindak agar banjir tak lagi terjadi. 

    Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyampaikan bahwa proyek normalisasi Kali Krukut di Jakarta Selatan kembali diprioritaskan oleh pemprov setelah insiden banjir besar di kawasan Kemang pada akhir Oktober 2025. 

    Pramono menegaskan bahwa normalisasi akan dilakukan sepanjang 1,3 kilometer, dimulai dari Kelurahan Petogogan hingga Jembatan Tendean. 

    Langkah ini diambil setelah ditemukan banyak bangunan berdiri di atas atau di badan kali, sehingga menyebabkan penyempitan aliran dan genangan saat hujan deras.

    Rencananya, proses pembebasan lahan dan penetapan lokasi (penlok) dimulai tahun 2026, dengan pendekatan dialog, kompensasi, dan relokasi jika diperlukan. Normalisasi akan dilakukan secara bertahap, didukung Dinas Sumber Daya Air dan Kementerian PUPR. 

    Dengan normalisasi ini, harapannya banjir di wilayah terdampak seperti Kemang dan Kebayoran Baru bisa berkurang hingga 50% dalam 3–5 tahun ke depan.

  • Rano sebut ruang hijau Jakarta jadi destinasi favorit warga

    Rano sebut ruang hijau Jakarta jadi destinasi favorit warga

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno mengatakan sejumlah ruang terbuka hijau (RTH), di antaranya Tebet Eco Park dan Taman Lapangan Banteng di Jakarta kini menjadi destinasi favorit warga.

    Dalam kegiatan menanam 40 pohon menteng di area Taman Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, dia menyebutkan tingginya antusiasme itu menunjukkan kebutuhan masyarakat akan ruang hijau semakin besar.

    Jakarta, kata dia, seharusnya memiliki 30 persen RTH. Sementara merujuk data Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, hingga 2023, luas RTH di Jakarta mencapai 33,34 juta meter persegi atau 5,2 persen dari total luas wilayah Jakarta.

    Maka dari itu, sambung dia, Pemprov DKI berupaya menambah RTH dengan memanfaatkan aset daerah yang dapat diubah menjadi taman dan ruang publik, termasuk area kolong tol.

    Saat ini, Pemprov DKI juga berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan, mitigasi perubahan iklim, serta konservasi alam. Upaya tersebut sejalan dengan arah pengembangan ekonomi hijau (green economy) yang sedang dibangun di Jakarta.

    Dalam kegiatan penanaman pohon itu, Rano juga mengingatkan pentingnya aksi nyata dalam menjaga lingkungan di tengah meningkatnya dampak perubahan iklim dan degradasi ekologis.

    “Kita butuh kontribusi nyata dalam pelestarian alam. Saat ini, kita merasakan langsung dampak perubahan iklim. Karena itu, kegiatan tanam pohon seperti ini sangat penting sebagai bagian dari upaya bersama merawat masa depan,” ujar Rano.

    Lebih lanjut, dia menyoroti manfaat ekologis pohon buah, termasuk pohon menteng, yang memiliki peran penting dalam menghidupkan kembali ekosistem perkotaan.

    Menurut dia, keberadaan tanaman buah dapat menarik berbagai jenis burung, sehingga taman bukan hanya hijau, tetapi juga hidup dan dinamis.

    “Dengan menanam pohon menteng, kita juga menghidupkan ekosistem, menghadirkan kembali burung-burung dan kehidupan lain di taman,” tutur Rano.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemahaman tugas PPID kelurahan di Jakarta diakui masih rendah

    Pemahaman tugas PPID kelurahan di Jakarta diakui masih rendah

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Informasi (KI) DKI Jakarta mengakui hingga saat ini, pemahaman sebagian badan publik terutama level kelurahan terkait tugas dan kewenangan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) masih rendah.

    “Sosialisasi keterbukaan informasi publik (KIP) perlu dilakukan baik internal maupun eksternal agar PPID memahami kewenangan dan masyarakat dapat merasakan manfaat keterbukaan informasi,” kata Wakil Ketua KI DKI Jakarta Luqman Hakim Arifin di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, pada hari kedelapan electronic monitoring and evaluation (E-Monev) telah diikuti oleh kelurahan, puskesmas, serta sejumlah suku dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) dengan paparan tentang capaian dan strategi dalam meningkatkan layanan keterbukaan informasi publik.

    E-Monev adalah sistem informasi berbasis digital yang dirancang untuk melaksanakan fungsi pengawasan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) terhadap pelaksanaan suatu rencana, program, kegiatan, atau proyek secara lebih efisien, transparan dan akuntabel.

    Berdasarkan paparan itu, Lugman menilai, sampai saat ini pemahaman sebagian badan publik, terutama kelurahan, terkait tugas dan kewenangan PPID masih perlu dikuatkan.

    Oleh karena itu, ia menegaskan, perlunya sosialisasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) secara berkala.

    Luqman juga meminta badan publik untuk menentukan target sosialisasi hingga ke masyarakat tingkat bawah serta menyatakan kesiapan KI DKI untuk berkolaborasi dalam peningkatan kualitas PPID itu.

    Ia memberikan contoh, Kelurahan Pinang Ranti yang belum memiliki centang biru pada akun media sosial resminya. Aktivitas kanal informasi juga dinilai masih minim dan tidak dikelola secara konsisten.

    “Media sosial kini menjadi wajah keterbukaan informasi. Banyak kanal dibuat, tetapi tidak aktif, ibarat papan tulis tanpa isi. Badan publik perlu fokus pada satu kanal yang benar-benar aktif dan dikelola dengan baik,” ujarnya.

    Wajib spanduk

    Sementara itu, Ketua Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Agus Wijayanto menekankan kewajiban pemasangan spanduk tentang alur permohonan informasi di kelurahan, khususnya Tugu Selatan, Tengah dan Pinang Ranti, agar masyarakat memahami mekanisme permintaan informasi.

    Agus juga menyoroti tantangan PPID ketika menghadapi permohonan informasi dengan alasan pengawasan publik (social control).

    “Seluruh informasi pada prinsipnya terbuka. Ketika pemohon meminta banyak data, PPID dapat memilah informasi yang paling relevan sesuai kebutuhan,” katanya.

    Ia menegaskan bahwa sengketa informasi bukanlah aib bagi badan publik, melainkan bagian dari proses layanan informasi.

    Data pribadi

    Pada kesempatan tersebut, Agus juga mengingatkan puskesmas untuk memperhatikan aspek perlindungan data pribadi, terutama terkait rekam medis sebagai dokumen yang dikecualikan.

    Sesi selanjutnya, Luqman sebagai tim penilai memberikan apresiasi kepada Puskesmas Matraman yang telah memiliki tanda centang biru pada akun media sosialnya, menandakan otoritas resmi badan publik.

    Namun demikian, ia menilai puskesmas perlu menambah fasilitas seperti “linktree” untuk memudahkan akses informasi, termasuk layanan PPID, pusat layanan (hotline) dan kanal pelayanan publik lainnya.

    Linktree adalah alat digital yang berfungsi sebagai “pohon tautan” atau halaman arahan (landing page) yang dikustomisasi secara ringkas sehingga memungkinkan pengguna dapat menampung banyak tautan (links) dalam satu URL tunggal yang mudah dibagikan.

    Luqman juga mendorong pemanfaatan platform Instagram dan TikTok sebagai kanal sosialisasi keterbukaan informasi, mengingat jumlah pengikutnya yang besar dan efektif untuk menjangkau masyarakat.

    Luqman juga mengingatkan pentingnya ketersediaan ruang PPID yang representatif di Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Sudin Dukcapil), lengkap dengan SOP dan publikasi resmi PPID.

    Berikut sejumlah peserta presentasi E-Monev Badan Publik Tahun 2025 yakni Kelurahan Tengah, Kelurahan Utan Kayu Utara, Kelurahan Tugu Selatan, Kelurahan Utan Panjang, Kelurahan Ujung Menteng, Kelurahan Utan Kayu Selatan, Puskesmas Cempaka Putih, Puskesmas Kelapa Gading dan Sudin Dukcapil Jakarta Pusat serta Sudin Kesehatan Kota Jakarta Timur.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Distamhut lakukan penopingan pohon serentak di Jakarta

    Distamhut lakukan penopingan pohon serentak di Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta menggelar kerja bakti penopingan pohon secara serentak di lima wilayah ibu kota.

    “Langkah antisipasi ini dilakukan guna menghadapi puncak musim hujan dan potensi angin kencang yang diprediksi berlangsung hingga akhir tahun,” kata Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta Fajar Sauri di Jakarta, Sabtu.

    Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah mengeluarkan peringatan mengenai peningkatan intensitas hujan, potensi angin kencang, serta hujan ekstrem yang dapat terjadi secara sporadis hingga akhir Desember 2025.

    Kondisi tersebut dapat memicu kerentanan pada pohon, terutama yang sudah menua, memiliki struktur batang rapuh, atau berada di titik-titik rawan.

    Untuk itu, kata Fajar, Distamhut DKI melakukan penopingan dan peremajaan pohon di enam lokasi prioritas yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.

    Pekerjaan tersebut dilaksanakan pada akhir pekan atau malam hari untuk meminimalkan gangguan terhadap aktivitas warga.

    Enam lokasi yang menjadi fokus penanganan itu meliputi:

    Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

    Jalan Prof. Moh. Yamin Sutan Syahrir, Menteng, Jakarta Pusat

    Jalan TB. Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

    Jalan Danau Sunter Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara

    Jalan Dr. KRT Radjiman Widyodiningrat, Cakung, Jakarta Timur

    Jalan MT Haryono, Tebet, Jakarta Selatan

    Fajar menjelaskan, selain kegiatan rutin penopingan yang dilakukan setiap hari Rabu, pihaknya juga meningkatkan intensitas pemangkasan dan pemeriksaan kesehatan pohon sepanjang tahun ini.

    “Sejak Januari hingga awal November 2025, sebanyak 63.444 pohon telah kami lakukan penopingan, dan 6.513 pohon sudah melalui pemeriksaan kesehatan. Ini merupakan langkah preventif untuk memastikan keamanan warga dan pengguna jalan,” terang Fajar.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ada Kesenjangan di Menteng, Menteri Ara Mau Poles Kawasan Kumuh

    Ada Kesenjangan di Menteng, Menteri Ara Mau Poles Kawasan Kumuh

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarat Sirait memyoroti kesenjangan yang masih terlihat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Untuk itu, dia berencana membenahi kawasan kumuh itu hingga memperbaiki ekosistem ekonominya.

    Pria yang akrab disapa Ara ini miris masih ada kawasan kumuh di pusat kota Jakarta. Bahkan, banyak pejabat yang tinggal di kawasan ini dan masih ada warga yang terbilang miskin di kawasan yang sama.

    “Kesenjangan di Menteng tinggi. Tadi Wapres tinggal di Menteng, Gubernur tinggal di Menteng, saya tinggal di Menteng, Panglima tinggal di Menteng, Kepala Staf Angkatan Laut tinggal di Menteng, dubes-dubes banyak, pengusaha banyak. Tapi yang miskin juga banyak,” tutur Ara, di Kantor Kementerian PKP, Jakarta, Jumat (14/11/2025).

    Atas hal tersebut, dia berencana untuk membenahi kawasan yang ekonominya terbilang rendah. Salah satunya memugar kawasan kumuh agar menjadi lebih baik lagi.

    Menteri Ara tak hanya bicara renovasi atau membangun rumah baru. Lebih dari itu, perlu adanya penguatan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.

    “Jadi saya mau buatin enggak hanya bangun rumah, hanya renovasi rumah, ekonominya enggak diperbaiki. Nanti kumuh lagi. Jadi bisa enggak hanya membangun dan renovasi rumah tanpa ekonominya ditingkatin? Enggak bisa, makanya, saya sebagai menteri harus berpikirnya jauh,” beber dia.

    Ketimpangan di Jakarta

    Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyoroti ketimpangan sosial yang masih tajam di Jakarta. Dia mengatakan, di sejumlah wilayah padat seperti Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, masih ditemukan keluarga besar tinggal di rumah berukuran sangat sempit.

     

     

  • 6
                    
                        Whoosh Vs Parahyangan: Dua Kereta yang Terluka
                        Regional

    6 Whoosh Vs Parahyangan: Dua Kereta yang Terluka Regional

    Whoosh Vs Parahyangan: Dua Kereta yang Terluka
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    RENCANA
    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memodernisasi jalur kereta api Bandung-Jakarta, mengangkat nama kereta Parahyangan dalam diskursus.
    Ini adalah kereta yang punya cengkeraman sejarah panjang—melintang hingga 31 Juli 1971. Satu masa di mana tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) dan tol Jakarta-Cikampek belum muncul dalam sejarah republik.
    Tujuh tahun selepas
    KA Parahyangan
    beroperasi, tol pertama di Tanah Air, yakni tol Jagorawi mulai beroperasi melayani kendaraan roda empat dari Jakarta-Bogor dan sebaliknya.
    Berikutnya, tahun 1988, tol Jakarta-Cikampek melengkapi jalur masuk dan keluar Jakarta ke Jawa Barat.
    Sejarah kereta api sebagai ikon transportasi modern dunia mengemuka sejak tahun 1800-an atau awal abad 19. Moda ini baru menclok ke negeri kita, hampir tujuh dekade kemudian, yaitu 17 Juni 1864, tatkala Belanda menjajah Indonesia.
    Riwayat itu memberi pijakan sejarah untuk menoleh kembali secara serius pada moda transportasi massal, kereta api.
    Memodernisasi jalur kereta Bandung-Jakarta, berarti mengurus jalur rel sepanjang 166 kilometer sehingga memungkinkan kereta Parahyangan melaju lebih kencang dan cepat. Dari durasi perjalanan tiga jam lebih sedikit menjadi 1,5 jam.
    PT Kereta Api Indonesia (KAI) menghitung, langkah memodernisasi jalur kereta Bandung-Jakarta yang telah ada saat ini, butuh dana Rp 8 triliun.
    Dana itu sangat murah dibandingkan membangun sarana dan prasarana kereta cepat Jakarta-Bandung,
    Whoosh
    , yang menelan 7,26 miliar dollar AS atau hampir Rp 120 triliun.
    Durasi perjalanan Whoosh cuma 36-43 menit. Kecepatannya sangat “whoosh”, dapat menembus 300 kilometer per jam.
    Cuma stasiun terluar kereta cepat ini berada di pinggiran kota, Stasiun Halim (Jakarta) dan Stasiun Tegalluar (Bandung).
    Sementara stasiun terluar KA Parahyangan berada di dalam kota, yakni Stasiun Gambir (Jakarta) dan Stasiun Bandung/Stasiun Hall.
    Saya pernah berutang budi pada KA Parahyangan antara tahun 2004-2005 silam. Saban Senin dan Jumat, kereta ini membawa saya ke Bandung dan Jakarta. Senin pagi, saya antre di Stasiun Bandung untuk berangkat kerja ke Jakarta menggunakan Parahyangan.
    Harga tiketnya saat itu sekitar Rp 45.000. Masih terjangkau oleh isi dompet saya yang ketika itu bekerja di sekitar Menteng, tak jauh dari Stasiun Gambir.
    Maka saya terperangah ketika presiden di masa itu, Joko Widodo, kebelet membangun kereta cepat Jakarta-Bandung untuk mempersingkat durasi perjalanan antardua kota menjadi 30 menitan.
    Pada 2015 itu, studi kelayakan oleh China menyebut potensi penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung mencapai 60.000per hari. Data ini diungkap oleh Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin dalam podcast “Mencintai Indonesia” (8/11/2025).
    Perkiraan penumpang itu ternyata terlampau tinggi. Setelah beroperasi pada Oktober 2023, Whoosh ternyata cuma mengangkut 16.000-18.000 penumpang per hari. Jadi, meleset total dari studi kelayakannya.
    Dengan cuma melayani seperempat penumpang dari target maksimal, Whoosh berakhir sebagai transportasi supercepat yang merugi, bikin tekor PT KCIC. Ternyata perhitungan di atas kertas itu kontras dengan kenyataan di lapangan.
    Whoosh juga menguak kisah BUMN yang dibebani penugasan oleh pemerintah. Setelah PT KAI, PT Wijaya Karya (WIKA) ikut bersuara ihwal kerugian yang harus ditanggungnya.
    Bersama tiga BUMN lain, WIKA tergabung dalam konsorsium yang membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia ( PSBI).
    Dengan kepemilikan saham 32 persen, WIKA menyetor Rp 6,1 triliun. Selain itu, BUMN ini menjadi kontraktor lokal yang tergabung dalam konsorsium dengan sejumlah kontraktor China. Posisi itu bukan bikin cuan, tapi merana.
    WIKA mengaku memiliki klaim atas pembengkakan biaya (
    cost overrun
    ) pembangunan kereta cepat senilai Rp 5,01 triliun. Namun, belakangan, hal itu masih jadi dispute (sengketa).
    PT PSBI memiliki saham hingga 60 persen di PT KCIC sebagai pemilik kereta cepat. Sisanya dikuasai konsorsium BUMN. Karena kereta cepat boncos, WIKA juga harus menanggung kerugian tadi.
    Kinerja keuangan WIKA sepanjang Januari-September 2025 menjadi merah, tekor Rp 3,21 triliun.
    Kerugian itu disumbang oleh keikutsertaannya dalam PT PSBI. Bandingkan dengan kinerja di periode yang sama tahun 2024 di mana WIKA menangguk laba Rp 741,43 miliar (
    Bisnis.com
    , 12/11/2025).
    WIKA adalah korban “business to business” yang tak berawal dari inisiatif BUMN sebagai perusahaan plat merah yang membawa misi meraih keuntungan.
    Seperti KAI, PT Jasa Marga Tbk dan PTPN VIII, WIKA menjadi pesakitan: Terbebani proyek mercusuar kereta cepat Jakarta-Bandung.
    Sepekan setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa dia mengambil alih masalah Whoosh, berikut utangnya, belum ada solusi solid dari pemerintah. Yang ada baru kepingan-kepingan rencana.
    Contohnya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara disebut akan mengambil penuh operasional Whoosh.
    Ini disebut bagian dari restrukturisasi untuk memperkuat kontribusi Whoosh terhadap mobilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
    Hal sama diutarakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bahwa modernisasi jalur kereta Bandung-Jakarta, dengan begitu mempersingkat atau mempercepat durasi perjalanan KA Parahyangan, dapat memudahkan mobilisasi masyarakat di wilayah Jawa Barat.
    Oh iya, selain itu Dedi bertekad memperbaiki jalur kereta Bandung-Banjar. Sang gubernur yang punya sapaan akrab KDM (Kang Dedi Mulyadi) sedang percaya diri lantaran provinsi yang dipimpinnya meraup pertumbuhan ekonomi di atas kinerja ekonomi nasional.
    Meski terlambat setidaknya satu dekade, ide KDM mengangkat Parahyangan menjadi kereta dengan kecepatan menengah, layak dihargai.
    Menurut saya, Whoosh dan Parahyangan sama-sama sedang “terluka”. Pada April 2010, Parahyangan sempat gulung tikar dan digantikan oleh Argo Parahyangan (hasil “peleburan” Parahyangan dan Argo Gede yang lux).
    Mulai 1 Februari 2025, KA Argo Parahyangan digantikan oleh KA Parahyangan. Sang legendaris hidup lagi. Kereta ini melayani kelas ekonomi dengan harga tiket Rp 150.000. Kemudian kelas eksekutif dengan harga tiket Rp 200.000-250.000. Ada pula kelas Panoramic dan Luxury Rp 435.000-450.000.
    Harga tiket kelas eksekutif dan lux itu setara tiket Whoosh. Bedanya, Whoosh punya waktu tempuh lebih cepat, tapi stasiun akhir di pinggiran kota Bandung dan Jakarta. Dalam skema KDM, tarif KA Parahyangan akan dimoderasi menjadi Rp 150.000-300.000.
    Jika ide KDM menjadi kenyataan–waktu tempuh Parahyangan jadi lebih singkat–akan terjadi persaingan sengit atau duel langsung dengan Whoosh.
    Perbandingannya 36 menit versus 90 menit. Dan harga tiket Parahyangan lebih murah dibandingkan Whoosh di hari normal.
    Apakah itu berarti Parahyangan akan merebut kembali pasarnya? Belum tentu. Mari kita cermati data berikut.
    Pada 2024, KA Argo Parahyangan–“pendahulu” Parahyangan–cuma mengangkut 301.737 penumpang. Tolong dicatat, ini dalam kondisi durasi perjalanan antara dua sampai 2,5 jam. Sedangkan sepanjang 2024, Whoosh mengklaim mengangkut 6,06 juta penumpang.
    Jika ide KDM terwujud, KAI berada di tengah-tengah. Dalam kasus Parahyangan ia menjadi pemain utama, tapi pada saat yang sama menjadi pemain penting di Woosh dengan kepemilikan saham mayoritas di PT PSBI, konsorsium yang menguasai 60 persen saham KCIC.
    Saya menduga isi hati dan pikiran PT KAI ada pada KA Parahyangan. Sebab, ia tak terbebani utang seperti kereta cepat Whoosh.
    Namun, entahlah di mana gerangan pemerintah pusat berdiri ketika presiden Prabowo mengambilalih utang Whoosh dan menganggap kereta cepat ini sebagai investasi sosial yang boleh diongkosi dengan APBN.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.