kab/kota: Madura

  • Kebutuhan Garam RI Tembus 4,9 Juta Ton per Tahun, Bidik Swasembada 2027

    Kebutuhan Garam RI Tembus 4,9 Juta Ton per Tahun, Bidik Swasembada 2027

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap rata-rata kebutuhan garam nasional setiap tahunnya terus mengalami peningkatan antara 4,6 juta ton hingga 4,9 juta ton.

    Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara menuturkan bahwa saat ini produksi garam di Indonesia diklaim masih belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut baik dari segi kuantitas, kualitas hingga kontinuitas.

    Meskipun demikian, dia mengaku optimistis peningkatan produksi bakal dapat dicapai hingga dapat swasembada mulai 2027.

    “Sebagai negara maritim dan negara kepulauan, sebenarnya potensi pengembangan garam rakyat dapat dilakukan dalam skala industri, sehingga kekurangan garam tersebut dapat dipenuhi dari dalam negeri,” jelasnya dalam Media Gathering di Jakarta, Jumat (1/7/2025).

    Upaya mendorong produksi garam nasional itu juga didukung langsung oleh Presiden Prabowo Subianto lewat Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional.

    Dalam beleid itu, Prabowo mengamanatkan capaian swasembada garam ditetapkan pada tahun 2027. 

    Dalam realisasinya, Direktur Sumber Daya Kelautan KKP, Frista Yoharnita menjelaskan bahwa upaya swasembada garam pada 2027 itu akan dilakukan lewat dua hal, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi garam.

    Dia merinci, percepatan produksi garam lewat program ekstensifikasi dilakukan dengan membuka daerah-daerah tambak garam baru yang direalisasikan dengan perhitungan matang.

    Kemudian, intensifikasi tambak garam yakni upaya meningkatkan produksi garam di tambak eksisting dengan mekanisasi. Dalam penjelasannya, intensifikasi akan dilakukan di empat daerah, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Madura, dan Kabupaten Sabu Raijua, NTT.

    “Kalau untuk intensifikasi, kami akan mulai dari menata lahannya supaya produksi garam ini memang mengikuti prosedur atau alur. Sehingga nanti endingnya itu memang kita akan mencapai produksi garam dengan harapan kami dengan angka setidaknya 200 ton per hektare,” pungkasnya.

    Berdasarkan catatan Bisnis, kebutuhan garam nasional hingga 2027 diperkirakan bakal mencapai 5,1 juta ton. Sementara, produksi garam nasional saat ini baru mencapai sekitar 3 juta ton.

    Dengan demikian, masih terdapat gap yang cukup besar yang harus dikejar agar Indonesia dapat swasembada garam pada 2027 baik untuk kebutuhan konsumsi dan industri.

  • PLN operasikan listrik pertama di Kawasan Konservasi Bandealit

    PLN operasikan listrik pertama di Kawasan Konservasi Bandealit

    Surabaya (ANTARA) – PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur mengoperasikan listrik pertama di kawasan konservasi Meru Betiri, Dusun Bandealit, Desa Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember.

    General Manager PLN UID Jawa Timur Ahmad Mustaqir di Surabaya, Jumat, mengatakan hadirnya listrik di kawasan ini menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia menandai era baru akses energi berkeadilan bagi masyarakat setempat.

    “Keberhasilan penyalaan listrik di Dusun Bandealit merupakan bagian dari program perluasan jaringan PLN yang terbagi dalam tiga tahap strategis,” katanya di Surabaya, Jumat.

    Untuk tahap pertama telah sukses beroperasi penuh menghadirkan listrik ke 40 pelanggan dengan pemasangan kabel terisolasi berpilin tegangan menengah sepanjang 5.023 meter sirkuit (ms) dan jaringan tegangan rendah sepanjang 150 ms.

    Untuk tahap kedua akan menambah pembangunan jaringan tegangan menengah dan tegangan rendah serta material lainnya dengan potensi melayani 125 pelanggan baru.

    Sementara tahap ketiga, akan kembali melakukan pembangunan jaringan dengan potensi melayani 65 pelanggan baru di area-area terpencil.

    Ahmad mengatakan kehadiran listrik kini membuka gerbang harapan, konektivitas dan ribuan peluang yang sebelumnya tak terjangkau serta mengubah lanskap kehidupan secara fundamental.

    Terlebih, ia mengatakan PLN percaya listrik adalah hak dasar yang akan mendorong kemajuan pendidikan, ekonomi lokal, dan peningkatan kualitas hidup.

    “Momen penyalaan listrik pertama di Dusun Bandealit ini adalah bukti nyata komitmen kami untuk mewujudkan pemerataan akses energi,” ujar dia.

    PLN berkomitmen terus melistriki dusun hingga kepulauaun terluar di Jawa Timur yang belum menikmati akses listrik.

    Pada 2025, PLN memproyeksikan melistriki 125 lokasi tersebar di berbagai wilayah seperti Madura, Kediri, Situbondo, Ponorogo, Jember dan Malang.

    Warga Dusun Bandealit Agus mengatakan bersyukur yang tak terhingga setelah listrik masuk ke wilayahnya yang berada di dalam Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru Betiri.

    “Terima kasih PLN dan Pemerintah Kabupaten Jember yang telah memberikan akses listrik di wilayah kami setelah selama ini nenek dan orang tua kami belum dapat menikmati. Semoga kedepannya dapat meningkatkan kesejahteraan wilayah kami,” kata Agus.

    Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Petronas Jadi Perusahaan Migas Pertama Gabung Program Kepatuhan KPPU

    Petronas Jadi Perusahaan Migas Pertama Gabung Program Kepatuhan KPPU

    Jakarta

    Petroliam Nasional Berhad (Petronas) mencatatkan diri sebagai perusahaan migas pertama yang bergabung dalam Program Kepatuhan Persaingan Usaha milik Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Petronas dinilai menunjukan komitmennya dalam membangun tata kelola bisnis yang sehat dan transparan di Indonesia.

    Penetapan ini diumumkan melalui sidang resmi KPPU terhadap tiga anak usaha Petronas, yakni PT PCM Kimia Indonesia, PC Ketapang II Ltd., dan PT Petronas Lubricants International Indonesia. PT PCM Kimia Indonesia dan PC Ketapang II Ltd. ditetapkan pada 23 Juli 2025, sementara PT Petronas Lubricants menyusul pada 30 Juli 2025. Program ini akan berjalan selama lima tahun.

    Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa menyampaikan apresiasi atas langkah Petronas, yang dinilai dapat menjadi contoh bagi pelaku usaha migas lainnya, termasuk BUMN.

    “Kami mengapresiasi inisiatif Petronas sebagai perusahaan migas pertama yang menjalankan program kepatuhan atas persaingan usaha di Indonesia. Seharusnya perusahaan migas dalam negeri, termasuk BUMN, tidak mau kalah dan menunjukkan kepatuhan yang sama,” ujar pria yang akrab disapa Ifan ini dalam keterangan tertulis, Jumat (1/8/2025).

    Program kepatuhan ini mencakup penyusunan kode etik, pelatihan internal, pedoman kepatuhan, hingga pelaporan berkala. Meskipun Petronas telah menerapkan standar global di lebih dari 50 negara, Indonesia menjadi negara pertama tempat mereka menjalankan program kepatuhan hukum persaingan secara formal.

    Sementara itu Chief Compliance Officer Petronas Tengku Mazura Tengku Ismit menegaskan bahwa kepatuhan bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan bagian dari budaya perusahaan.

    “Indonesia menjadi negara pertama di mana kami mengimplementasikan program kepatuhan atas hukum persaingan usaha secara formal. Kepatuhan pada hukum dan prinsip persaingan sehat sudah menjadi bagian dari budaya kami,” ungkap Tengku Mazura.

    Tengku Mazura menghadiri sidang bersama Senior Vice President and Group General Counsel Group Legal Petronas, Razman Hashim, pada Rabu (30/7).

    Ketiga anak usaha Petronas yang terlibat mewakili rantai bisnis energi dari hulu ke hilir:
    – PC Ketapang II Ltd.: pengelolaan migas lepas pantai di Madura
    – PT PCM Kimia Indonesia: perdagangan produk petrokimia
    – PT PLI Indonesia: distribusi pelumas dan cairan fungsional

    Langkah ini dinilai sebagai sinyal kuat bagi sektor strategis untuk membangun budaya kepatuhan yang lebih kokoh. Bagi Petronas, kepatuhan terhadap regulasi lokal juga menjadi bagian dari membangun kepercayaan publik dan pemerintah Indonesia atas integritas bisnis perusahaan global.

    KPPU menyatakan bahwa program kepatuhan ini merupakan kerangka kerja yang mendorong praktik bisnis yang sehat dan transparan, khususnya di tengah kompetisi yang semakin ketat.

    Sebagai informasi, Ketua Sidang Penetapan Kepatuhan Persaingan Usaha PT PCM Kimia Indonesia (PT PCM) adalah Anggota KPPU Gopprera Panggabean. Adapun Ketua Sidang Penetapan Kepatuhan Persaingan Usaha PC Ketapang II Ltd. (PC Ketapang) adalah Anggota KPPU Moh. Noor Rofieq, dan Ketua Sidang Penetapan Kepatuhan Persaingan Usaha PT Petronas Lubricants International Indonesia (PT PLI Indonesia) adalah Anggota KPPU Budi Joyo Santoso.

    Selain itu, Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa, Wakil Ketua KPPU Aru Armando, serta Anggota KPPU Rhido Jusmadi, Hilman Pujana, dan Mohammad Reza turut hadir sebagai Anggota Sidang.

    (ega/ega)

  • Achmad Baidowi sebut Suryadharma Ali sebagai panutan kader muda

    Achmad Baidowi sebut Suryadharma Ali sebagai panutan kader muda

    Jakarta (ANTARA) – Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi atau yang akrab disapa Mas Awiek, mengenang sosok almarhum Suryadharma Ali sebagai panutan kader muda.

    “Pak Suryadharma Ali adalah orang baik dan sangat berpengaruh, termasuk bagi saya yang dulu masih berkarier di media. Saya kenal beliau saat menjabat sebagai Menteri Koperasi. Beliau adalah sosok panutan bagi para juniornya,” kata Awiek di rumah duka di Jalan Cipinang Cempedak I Nomor 30, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis.

    Awiek menilai Suryadharma Ali merupakan pribadi yang baik, berpengaruh, dan menjadi teladan bagi dirinya.

    Almarhum dikenal sebagai sosok yang teguh pada prinsip dan keyakinan dalam mengambil keputusan.

    “Kalau beliau sudah yakin sesuatu itu benar, maka akan dijalankan tanpa keraguan. Itu yang membuat beliau layak menjadi contoh bagi tokoh-tokoh muda di Indonesia,” ujar mantan anggota DPR RI itu.

    Lebih dari sekadar figur pemimpin, Awiek juga mengingat almarhum sebagai pribadi yang hangat dan mudah diajak berkomunikasi.

    Meskipun menjabat sebagai menteri, almarhum yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PPP periode 2007-2014 itu juga dikenal sebagai sosok yang tetap menjaga hubungan baik dengan sesama kader partai.

    “Beliau mudah dihubungi dan tidak sulit diajak komunikasi. Bahkan ketika kami mengundang beliau dua kali ke pondok pesantren kami di Madura, beliau datang. Padahal lokasinya jauh. Tapi karena beliau menghargai hubungan sesama kader PPP, beliau menyempatkan hadir,” kenang Awiek.

    Awiek mengambil banyak pelajaran dari sosok Suryadharma Ali, baik dalam kepemimpinan, loyalitas, maupun konsistensi dalam berorganisasi.

    “Saya pribadi sangat kehilangan. Beliau bukan hanya pemimpin, tapi guru dalam banyak hal,” ucap Awiek.

    Sebelumnya, Menteri Agama RI periode 2009-2014 Suryadharma Ali meninggal dunia pada Kamis sekitar pukul 04.18 WIB di Rumah Sakit Mayapada, Jakarta.

    Sementara pemakaman akan digelar di Pondok Pesantren Miftahul ‘Ulum Jl. KH. Ahmad Kp. Mariuk, RT 002/RW 008, Desa Gandasari, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sosok Suryadharma Ali di Mata Kader PPP: Orang Baik dan Berintegritas – Page 3

    Sosok Suryadharma Ali di Mata Kader PPP: Orang Baik dan Berintegritas – Page 3

    Komisaris Utama PT ASDP Indonesia Ferry sekaligus kader PPP, Achmad Baidowi atau Awiek, mengenang SDA sebagai sosok pemimpin yang rendah hati dan mudah dijangkau, meskipun saat itu menjabat sebagai Menteri Koperasi.

    “Beliau mudah sekali diajak komunikasi, mudah dihubungi, meski posisinya sebagai menteri. Bahkan ketika diundang, sebisa mungkin beliau hadir,” ujar Awiek, Kamis (31/7).

    Awiek pun membagikan kenangan saat dua kali mengundang SDA ke pondok pesantren di pelosok Madura, Jawa Timur. Jarak dari Kota Pamekasan ke pondok sekitar 15 kilometer, namun hal itu tak menghalangi kehadiran SDA.

    “Beliau datang dan mau. Itu padahal pondok kami itu jauh dari Kota Pamekasan masih 15 kilo (meter),” kenang Awiek.

    Tak hanya sebagai pemimpin, SDA bagi Awiek juga adalah sosok guru. “Saya pun sekarang meskipun di BUMN banyak belajar dari beliau,” sambungnya.

    Di mata Awiek, SDA bukan sekadar tokoh senior di PPP, tetapi sosok yang berpengaruh besar dan menjadi panutan bagi para kader muda.

    “Pak SDA itu orang baik, sangat berpengaruh. Saya pribadi mengenal beliau sejak masih di media, waktu beliau menjabat sebagai Menteri Koperasi,” ujar Awiek.

    Menurutnya, SDA adalah figur yang teguh memegang prinsip dan tidak mudah goyah dalam mengambil keputusan.

    “Dia tidak bimbang apa yang dia ya beliau yakini benar ya udah itu dilaksanakan gitu. Saya kira menjadi dampak ya panutan dan petinggi politik bagi tokoh-tokoh muda di Indonesia,” pungkasnya.

  • Rumah Ibadah Dalam Jerat PBM 2006
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        31 Juli 2025

    Rumah Ibadah Dalam Jerat PBM 2006 Nasional 31 Juli 2025

    Rumah Ibadah Dalam Jerat PBM 2006
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    KITA
    kembali menyaksikan drama usang yang dipentaskan di panggung kebangsaan. Pembubaran paksa aktivitas di rumah doa di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (27/7) petang lalu, adalah episode terbaru dari serial panjang yang menyakitkan.
    Peristiwa ini, yang memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, bukanlah anomali atau insiden tunggal.
    Ia adalah semacam “déjà vu”, pengulangan dari pola
    intoleransi
    yang selama bertahun-tahun telah menggerogoti fondasi kerukunan kita.
    Pola ini tercatat dalam sejarah kelam persekusi, mulai dari penyegelan GKI Yasmin di Bogor, penolakan Gereja Filadelfia di Bekasi, hingga pengusiran dan ancaman senjata tajam terhadap jemaat di Sampang, Madura, dan berbagai daerah lainnya (Akurat.co, 13/10/2023).
    Setiap kali insiden baru meletus, seperti yang juga terjadi di Sukabumi belum lama ini, kita seolah terjebak dalam siklus yang sama: kekerasan terjadi, negara mengeluarkan respons seremonial, lalu semua kembali senyap menunggu ledakan berikutnya.
    Siklus ini dimulai dengan respons negara yang dapat ditebak. Menanggapi insiden di Padang, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama segera mengeluarkan pernyataan resmi.
    Isinya adalah ungkapan “keprihatinan mendalam”, disertai ajakan agar semua pihak mengedepankan dialog, menahan diri, dan menyelesaikan masalah melalui jalur hukum, bukan dengan main hakim sendiri (Kemenag.go.id, 24/7/2025).
    Tentu, imbauan ini bermaksud baik. Namun, dalam konteks kekerasan yang terus berulang, narasi ini terdengar lemah dan pasif.
    Ia menempatkan negara pada posisi sebagai mediator yang berjarak, bukan sebagai pemegang mandat Konstitusi yang wajib hadir secara tegas untuk melindungi setiap tetes darah dan rasa aman warga negaranya.
    Pendekatan ini lebih terasa sebagai prosedur standar pasca-kejadian ketimbang strategi pencegahan yang berwibawa.
    Sikap negara yang cenderung normatif ini kontras secara tajam dengan desakan dari kelompok masyarakat sipil.
    Amnesty International Indonesia, misalnya, tidak hanya mengecam keras perusakan di Padang, tetapi juga menunjuk langsung pada “kegagalan negara” dalam memberikan jaminan perlindungan.
    Mereka menuntut adanya “pengusutan tuntas” untuk memutus apa yang disebut sebagai “siklus impunitas”, di mana para pelaku persekusi kerap tidak tersentuh proses hukum yang adil, sehingga merasa leluasa untuk mengulangi perbuatannya (Amnesty.id, 25/7/2025).
    Kesenjangan cara pandang ini sangat fundamental. Di satu sisi, negara berbicara tentang “kerukunan”, sebuah konsep sosiologis.
    Di sisi lain, Amnesty berbicara tentang “hak asasi manusia”, sebuah kewajiban hukum yang mengikat.
     
    Selama negara belum bergeser dari sekadar mengimbau kerukunan menjadi penjamin aktif hak, maka rumah-rumah ibadah kelompok minoritas akan selalu berada dalam bayang-bayang ancaman.
    Di tengah pesimisme ini, secercah harapan sempat muncul. Merespons insiden serupa di Sukabumi, Kementerian Agama secara terbuka mengakui adanya kekosongan hukum dan mengumumkan rencana untuk menyiapkan “regulasi khusus rumah doa” (Kemenag.go.id, 1/8/2025).
    Pernyataan ini, pada tingkat permukaan, adalah kemajuan. Ia merupakan pengakuan implisit bahwa kerangka regulasi yang ada saat ini, yaitu Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, memang terbukti gagal.
    PBM 2006 telah menciptakan realitas pahit di mana banyak komunitas agama, terutama dari kelompok minoritas, tidak mampu memenuhi persyaratan administratifnya yang luar biasa berat.
    Akibatnya, mereka terpaksa menggunakan rumah tinggal sebagai “rumah doa”, sebuah status legal yang ambigu dan membuat mereka sangat rentan terhadap persekusi dengan dalih “tidak berizin”.
    Akan tetapi, janji hadirnya regulasi baru ini wajib kita kawal dengan skeptisisme yang sehat. Pertanyaan kritis harus diajukan: Apakah regulasi ini akan benar-benar menjadi jalan keluar, atau hanya akan menjadi labirin birokrasi baru?
    Apakah ia akan menghapus atau setidaknya mengurangi syarat persetujuan warga sekitar yang selama ini menjadi biang keladi utama konflik?
    Tanpa kejelasan substansi, janji ini bisa jadi hanyalah respons reaktif untuk meredam kemarahan publik sesaat.
     
    Sebab, akar masalah sesungguhnya bukanlah ketiadaan satu regulasi tambahan untuk “rumah doa”, melainkan keberadaan regulasi induk, PBM 2006, yang secara filosofis dan praktis justru menyuburkan diskriminasi.
    PBM 2006, dengan klausul yang mensyaratkan adanya dukungan dari 90 orang warga jemaat dan 60 orang warga sekitar yang disetujui oleh kepala desa, telah terbukti menjadi instrumen penolakan yang efektif bagi kelompok mayoritas.
    Syarat persetujuan warga inilah yang mengubah proses administratif menjadi kontestasi politik lokal yang rawan intimidasi.
    Berbagai penelitian, termasuk dari SETARA Institute, secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas sengketa pendirian rumah ibadah berakar dari pasal-pasal karet dalam PBM ini.
    Menciptakan “regulasi khusus” tanpa menyentuh jantung persoalan pada PBM 2006 ibarat membangun tanggul kecil di hilir sungai, sementara bendungan utama di hulu sudah retak dan siap jebol.
    Oleh karena itu, jika kita serius ingin memutus siklus intoleransi ini, arah tuntutan publik harus lebih tajam dan mendasar.
    Pertama, mendesak transparansi total dalam proses penyusunan “regulasi khusus rumah doa” dengan pelibatan aktif dari komunitas-komunitas korban dan organisasi masyarakat sipil.
    Kedua, tidak berhenti di situ, tetapi terus menyuarakan agenda utama: revisi menyeluruh atau pencabutan total PBM 2006.
    Hak untuk beribadah adalah hak konstitusional, bukan hadiah yang diberikan atas belas kasihan atau persetujuan tetangga. Mekanismenya harus diubah dari perizinan yang rumit menjadi pemberitahuan (notifikasi) yang sederhana.
    Pada akhirnya, kita harus menolak untuk terus menerus menjadi penonton drama usang ini. Cukup sudah ritual keprihatinan dan janji-janji manis pasca-insiden.
    Tolok ukur keberhasilan negara bukanlah pada seberapa cepat mereka mengeluarkan rilis pers yang menenangkan, melainkan pada nihilnya berita tentang rumah ibadah yang disegel, jemaat yang dibubarkan, dan rasa takut yang menghantui warganya saat hendak beribadah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Viral Video Perundungan di Bondowoso, Remaja Dihajar Bergantian di Tengah Sawah

    Viral Video Perundungan di Bondowoso, Remaja Dihajar Bergantian di Tengah Sawah

    GELORA.CO –  Baru-baru ini viral video di media sosial aksi perundungan yang melibatkan remaja di Bondowoso. Dalam rekaman berdurasi 1 menit 25 detik yang diunggah akun TikTok @andreanto768, tampak anak laki-laki menjadi korban kekerasan oleh dua remaja lain yang usianya terlihat lebih tua.

    Insiden tersebut diduga terjadi di area persawahan Desa Pengarang, Kecamatan Jambesari Darus Sholah, Bondowoso. Tampak korban dipukul dan ditendang secara bergantian oleh dua pelaku. Ironisnya, beberapa remaja lain tampak menyaksikan kejadian itu tanpa ada satu pun yang mencoba melerai.

    Korban yang disebut berasal dari Desa Mengok, Kecamatan Pujer, hanya bisa diam saat menerima kekerasan. Ia terlihat pasrah dan tidak memberikan perlawanan sedikit pun.

    Dalam video itu terdengar suara pelaku yang melontarkan kata-kata bernada mengejek dalam bahasa Madura. “Ayo kamu mengeluh. Makanya jangan sembarangan pakai. Lihat dulu. Mau nangis, kamu laki-laki.” ungkapnya. 

    Hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang terkait kapan tepatnya kejadian itu berlangsung. Namun sejumlah sumber menyebut insiden tersebut diduga terjadi pada 23 Juli 2025, dan mulai beredar luas di media sosial, terutama di TikTok. 

    Video tersebut menuai reaksi keras dari netizen. Banyak yang mengaku kecewa, terlebih karena pelaku disebut-sebut berasal dari komunitas pencak silat yang seharusnya menjunjung nilai-nilai kesatria dan melindungi yang lemah.

    “Sangat disayangkan, padahal PN mengajarkan kebaikan, mengajarkan untuk melindungi yang lemah bukan untuk menindas yang lebih lemah. Gak pantes melok PN iku mas, malah gor ngelek-elek PN neng mata masyarakat tok.” @つあんむだ***. 

    “Apakah pantas seorang pendekar memakai kekejaman? Apakah nggak bisa dibicarakan baik-baik?” @DENZ_A***. 

    “Cah gede-gede ngroyok cah cilik sing ra nglawan… Bangga pula pakek divideo. Mariki lak nangis kciduk.” @erixpradan***. 

  • Festival Pertunjukan Belum-Sudah 2025, Bertajuk “Gelagat Liar” Menampilkan Karya dari Seniman Berbagai Penjuru Nusantara

    Festival Pertunjukan Belum-Sudah 2025, Bertajuk “Gelagat Liar” Menampilkan Karya dari Seniman Berbagai Penjuru Nusantara

    YOGYAKARTA – Yogyakarta kembali menjadi panggung penting bagi perkembangan seni pertunjukan kontemporer Indonesia. Selama tujuh hari penuh, mulai 25 hingga 31 Juli 2025, Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival (FPB-S/N-YPF) hadir sebagai forum pertemuan seniman, akademisi, peneliti, dan penonton dalam menjelajahi kemungkinan seni yang belum selesai.

    Diselenggarakan oleh Garasi Performance Institute (GPI), festival ini tak sekadar menyuguhkan pertunjukan, melainkan juga membentuk ruang diskusi, refleksi, dan dokumentasi bersama. Mengusung tema “Gelagat Liar”, edisi perdana FPB-S/N-YPF memusatkan perhatian pada praktik seni pertunjukan yang berangkat dari celah-celah sejarah, arsip, norma sosial, konvensi artistik, ketegangan identitas, maupun skenario kuasa tertentu.

    Duo kurator gelaran ini, Mega Nur dan Taufik Darwis menyampaikan, “Dalam festival ini, penonton tidak diposisikan secara pasif tetapi diundang untuk terlibat aktif: melihat secara lekat, mencari, menavigasi, dan membincangkan bentuk-bentuk ‘keliaran’ yang tumbuh dari persimpangan dan percabangan pengalaman serta pengetahuan.”

    Ilustrasi konferensi pers Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival 2025 bertajuk “Gelagat Liar” (Sumber: Dok. Spesial)

    Tercatat sembilan karya dipentaskan di enam lokasi berbeda di Yogyakarta. Salah satunya adalah Yang Menyelinap Tak Mau Lesap oleh Studio Malya, Reza Kutjh, dan Rifki Akbar Pratama yang mengajak penonton mengalami pertunjukan naratif-gamifikasi di Museum Benteng Vredeburg. Ada pula Wicara Kepahitan oleh Putu Alit Panca & Taman Kata-Kata yang mengadaptasi karya Speak Bitterness dari kelompok Inggris Forced Entertainment, menghidupkan ruang pengakuan anonim atas sejarah kekerasan dan trauma kolektif.

    Karya lainnya, Kebun Warisan oleh Rachmat Mustamin & Studio Patodongi dari Makassar, membawa penonton ke dalam narasi tentang jejak konflik Darul Islam/TII dan mitos yang berkelindan dalam tubuh dan sejarah lokal. Di sisi lain, Autolysis oleh Enji Sekar menjadikan proses biokimia tubuh sebagai metafora koreografi yang terjadi dalam ruang gelap penuh nuansa sensorik.

    Tak kalah mencolok, Lampiran Cyclofemmes oleh Ishvara Devi menafsir ulang tokoh Mak Lampir dalam bingkai pengalaman transpuan dan estetika queer, sementara The Other Half: After-Forced dari Puri Senja menyelami relasi tubuh dan warisan militer.

    Sebagai penutup, 24 Jam Lembâna di Jogja mempersembahkan pengalaman kolektif tanpa jeda selama sehari penuh. Acara ini menyatukan berbagai performa, praktik ritual, hingga bentuk gerilya seni yang berpijak pada metode Madura dalam mengintervensi ruang dan waktu.

    Ilustrasi Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival 2025 bertajuk “Gelagat Liar” (Sumber: Dok. Spesial)

    Selain pertunjukan, FPB-S/N-YPF 2025 juga menghadirkan sepuluh sesi simposium bertajuk Kopi Pagi Majelis Dramaturgi. Simposium ini menjadi ruang refleksi dan pencatatan, dimulai dari pembacaan kuratorial hingga diskusi mendalam atas masing-masing karya yang ditampilkan. Formatnya tak kaku—lebih menyerupai obrolan terbuka lintas peran dan generasi.

    Ko-direktur artistik menyampaikan pesannya saat pembukaan festival ini pada Jumat, 25 Juli. Tutur Eka Wahyuni, “Banyak jejaring yang berjalan bersama untuk festival ini. Dengan festival ini, kita juga sama-sama bisa menatap tentang bagaimana hidup kita sekarang dan ke depannya.”

    Eka Putra Nggalu menambahkan lewat pesan teks singkat karena tak bisa hadir langsung dalam pembukaan. Pesannya, “Festival ini adalah jaringan dan kerja yang luas dan besar. FPB-S/N-YPF adalah satu potensi yang baik untuk saling berbagi sumber daya tetapi juga pelan-pelan membangun solidaritas dan kesetiakawanan. Apa yang disebut solidaritas itu, mungkin terdengar abstrak. Tapi lewat pertemuan, kerja bareng, dan pertukaran ini kita punya gambaran ideal soal bentuk nyata dari kesetiakawanan itu. Penting juga kita berupaya terus untuk membangun satu ekosistem yang saling jaga dan saling rawat. Dan itu adalah upaya yang terus dimiliki dan ditumbuhkan disetiap kerjanya karena disituasi saat ini, hal ini yang paling kita butuhkan.”

    Sebagai bagian dari dokumentasi pengetahuan, GPI turut meluncurkan buku Mukadimah Gelagat Liar: Surat Kepercayaan Pertunjukan dari Selatan yang memuat empat belas tulisan seniman dan inisiator proyek yang aktif dalam medan seni pertunjukan sejak 2017.

    Helatan ini hadir bukan hanya sebagai festival seni, melainkan sebagai medan kolektif untuk merayakan bentuk-bentuk keberanian, keragaman pengetahuan, dan estetika yang tumbuh dari bawah. Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival 2025 ini, didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui program Dana Abadi Kebudayaan. Beberapa mitra penyelenggara meliputi ARTJOG, IFI Yogyakarta, Kedai Kebun Forum, Museum Benteng Vredeburg, serta sejumlah media dan komunitas lokal.

  • Apen Singkong, Lezatnya Tradisi Rakyat Sumenep dalam Sekepal Rasa yang Autentik

    Apen Singkong, Lezatnya Tradisi Rakyat Sumenep dalam Sekepal Rasa yang Autentik

    Keunikan Apen juga tercermin dari peran sosialnya dalam masyarakat Sumenep. Ia tidak hanya diperlakukan sebagai kudapan biasa, melainkan sebagai simbol kebersamaan, terutama dalam acara-acara seperti pengajian, syukuran, atau ritual adat lokal seperti toronan dan ruwatan.

    Apen disajikan bersama teh tubruk hangat atau kopi pahit khas Madura sebagai pelengkap, menciptakan suasana keakraban yang mendalam. Bahkan dalam beberapa komunitas di pelosok desa, pembuatan Apen menjadi momen musyawarah antaribu-ibu atau ajang berbagi cerita antar generasi.

    Dengan demikian, Apen bukan hanya makanan, tapi juga media penyambung silaturahmi dan pelestari tradisi. Keberadaannya mencerminkan bagaimana kuliner bisa menjadi jembatan antara generasi tua dan muda, sekaligus pengingat akan nilai-nilai lokal yang tidak tergantikan oleh modernitas. Saat dunia semakin tergoda dengan makanan instan dan rasa artifisial, Apen justru menawarkan kejujuran rasa dari alam dan tangan-tangan masyarakat desa yang bekerja dengan cinta.

    Ia menjadi bukti bahwa singkong, bahan pangan yang sering dianggap kelas dua, bisa menjelma menjadi sajian istimewa dengan identitas kuat. Apen tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga membangkitkan kenangan dan rasa memiliki terhadap budaya lokal. Setiap gigitannya adalah sepotong sejarah yang hidup, mengajak siapa pun yang mencicipinya untuk menghargai proses, menghormati tradisi, dan mencintai kekayaan kuliner daerah.

    Maka tak heran jika Apen, yang mungkin tidak sefamiliar makanan-makanan viral di media sosial, justru memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Sumenep sebagai simbol rasa, budaya, dan kehangatan yang tak lekang oleh waktu.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

  • Rokok Ilegal Kian Merajalela Ancam Petani-Industri Tembakau

    Rokok Ilegal Kian Merajalela Ancam Petani-Industri Tembakau

    Jakarta

    Industri kecil menengah (IKM) rokok dinilai punya kontribusi nyata bagi perekonomian nasional. Anggota Komisi XI DPR RI, Eric Hermawan, meminta negara memastikan perlindungan bagi industri ini, jangan sampai upaya pemberantasan rokok ilegal justru mematikan pelaku usaha kecil di daerah.

    Eric mengapresiasi pembentukan Satgas Barang Kena Cukai (BKC) Ilegal sebagai langkah positif, tetapi ia mewanti-wanti implementasinya dilakukan secara adil dan transparan. “Kita tidak bisa mengabaikan dampak strukturalnya. Jika kebijakan yang diterapkan terlalu menekan produsen kecil-menengah, maka akan muncul efek domino, mulai dari pemutusan hubungan kerja hingga terganggunya perputaran ekonomi lokal. Ini tidak sejalan dengan Visi Asta Cita Presiden Prabowo,” ujar Eric, di Jakarta, Senin (21/7/2025).

    Politisi Golkar itu menegaskan, industri rokok rakyat yang tersebar di Madura, Malang, Jember, Pasuruan, Sidoarjo, Temanggung, dan daerah lainnya selama ini menyerap tenaga kerja besar dari petani tembakau, pedagang kecil, hingga pekerja informal.

    Eric meminta pengawasan Satgas BKC Ilegal juga menyasar perusahaan besar yang selama ini minim pelaporan. Ia menilai regulasi juga perlu mendukung pelaku kecil dengan akses cukai yang mudah, harga terjangkau, serta kebijakan harga eceran yang realistis untuk UMKM. “Kontribusi mereka terhadap penerimaan negara cukup signifikan, mencapai 10-15%. Pemerintah sebaiknya menggali potensi ini dengan menciptakan mekanisme cukai yang ramah bagi industri kecil menengah rokok,” jelasnya.

    Kepedulian industri rokok rakyat pada daerah juga diakui pemerintah daerah. Kepala Dinas PUPR Pamekasan, Amin Jabir, mengungkap lima perusahaan rokok lokal ikut membantu membangun jalan kabupaten karena keterbatasan anggaran Pemkab. “Penerapan itu merupakan wujud nyata kesadaran perusahaan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan,” katanya. Kelima perusahaan itu adalah PR Cahaya Pro, PR 1001 Alami, PR Empat Sekawan Mulya, PR HJS, dan PR Bawang Mas Group.

    Direktur Centre for Indonesian Social Studies Institute (CISSI), Agus Surono, menegaskan pelaku industri rokok dilindungi konstitusi, yakni Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 33 UUD 1945. Agus juga mengingatkan pentingnya persaingan usaha yang sehat agar iklim usaha kondusif dan berkelanjutan.

    Data Kementerian Perindustrian menunjukkan hingga 2024 ada lebih dari 1.100 IKM rokok yang menyerap sekitar 600.000 tenaga kerja langsung, belum termasuk jutaan pekerja di rantai distribusi, pengecer, dan pertanian.

    “Persaingan yang sehat akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, berkelanjutan, dan mendorong inovasi serta keseimbangan antara aspek ekonomi dan sosial demi cita-cita kesejahteraan rakyat,” ujar Agus.

    Tonton juga video “Cukai Hasil Tembakau, Peluang dan Tantangan dalam Pemberantasan Rokok Ilegal” di sini:

    (rrd/rir)