Jember (beritajatim.com) – Muhammad Khozin, legislator DPR RI dari Daerah Pemilihan Jember dan Lumajang, Jawa Timur, membeberkan sejumlah kelemahan dalam penyelenggaraan pemilu yang membutuhkan pembenahan.
Salah satu kelemahan yang menjadi isu adalah soal batasan dan definisi politik uang. “Secara normatif, money politics itu ada batasan nominal. Kalau enggak salah Rp 50 ribu, dilaksanakan pada saat masa kampanye,” kata Khozin, dalam sosialisasi dan pendidikan pemilu berkelanjutan tahun 2025 yang digelar Komisi Pemilihan Umum, di Hotel Aston, Jember, Minggu (11/5/2025).
“Nah, ketika kita melaksanakan pemberian uang tidak pada masa kampanye, maka itu tidak masuk politik uang. Atau kita memberikan tidak dalam bentuk uang, dalam bentuk voucher, secara makna itu tidak termasuk politik uang. Tapi secara substantif sebetulnya itu kan akal-akalan,” kata Khozin.
Hal seperti itu, menurut Khozin, harus diperbaiki melalui perubahan aturan dengan substansi. Praktk politik uang bukan hanya dalam bentuk uang tunai.
“Dalam bentuk apapun senyampang itu pemberian, baik uang, kupon, barang, kerudung, baju, segala macam yang bertujuan mendapatkan feedback suara, itu termasuk money politics,” kata politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Isu politik uang menjadi pekerjaan rumah bersama pemerintah, partai politik, parlemen, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat sendiri. Khozin mengaku pernah berdiskusi dengan anggota DPR RI yang hanya menemui konstituen di daerah pemilihan lima tahun sekali, jelang pemilu.
Alasan yang disodorkan sang anggota Dewan mengejutkan Khozin,. “Pemilu berapa tahun sekali? Lima tahun. Ya sudah turunnya lima tahun sekali. Tidak ada balas budi, karena mereka pilih saya setelah saya kasih uang,” kata sang anggota Dewan ditirukan kembali oleh Khozin.
Awalnya Khozin prihatin mendengar penjelasan sang anggota DPR RI itu. Hatinya berontak. “Kalau anggota DPR RI semua kayak begini kan, apa yang menjadi harapan masyarakat?” katanya.
Kendati tidak bisa menerima dalih itu, Khozin bisa memahami setelah menemui perbedaan nasib antara anggota DPR RI yang tidak pernah menyapa konstituen namun membagikan uang dan barang jelang pemilu, dengan anggota DPR RI yang rajin mendatangi konstituen selama lima tahun duduk di Senayan.
Anggota DPR RI yang jarang menemui konstituen justru terpilih. “Mereka punya pemikiran: saya kan sudah kasih uang, kamu kasih suara. Selesai. Ibarat di pasar, itu kan sudah jual beli. Dalam fikihnya itu sudah sama-sama rida,” kata Khozin.
“Jadi ketika Anda (masyarakat) mendatangi si calon yang sudah terpilih ini, untuk meminta sesuatu, dia membatin: ‘kemarin kamu memilih saya, sudah saya kasih’. Itu realitas kita. Kalau selama fenomena itu masih tetap lestari, jangan harap wakil-wakil kita itu bisa mendengar dan punya empati yang tinggi kepada kita,” kata Khozin/
Isu lainnya adalah soal perusakan terhadap alat peraga kampanye yang sulit dijerat hukum pidana, karena membutuhkan saksi dan bukti, terutama bukti otentik berupa video. Hal ini sulit dipenuhi oleh peserta pemilu.
“Misalkan Bawaslu menindak laporan dengan saksi dan bukti yang tidak lengkap dan tidak jelas, malah dilaporkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Mereka cisa ditegur, bahkan bisa diberhentikan,” kata Khozin.
Padahal, menurut Khozin, semua pemangku kepentingan, termasuk KPU dan Bawaslu, menginginkan pemilu yang jujur dan adil. “Tapi apalah daya, ketika aturan itu tidak cukup mengatur secara detail, maka mereka tidak bisa bergerak di luar aturan.,” katanya.
Saat ini Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan DPR RI Komisi II sedang melakukan kajian bersama dan memitigasi persoalab-persoalan yang muncul pada saat pemilu.
“Jadi apa sih masalah kita ini sekarang? Apakah sistemnya? Apakah sumber daya manusianya? Apakah pola evaluasinya? Apakah penganggarannya?” kata Khozin. Di sinilah revisi undang-undang kepemiluan diperlukan.
Khozin menyadari revisi undang-undang tidak akan menjamin pelaksanaan pemilu yang lebih baik dan demokratis.
“Satu-satunya yang pasti dalam politik adalah ketidakpastian. Ini urusan muamalah (kemasyarakatan). Bukan urusan masalah akidah, bukan masalah keyakinan. Yang selalu pasti dengan keyakinan itu adalah keimanan. Kalau ini kan bukan keimanan tapi rasionalitas,” katanya.
“Undang-undang tidak sama dengan keyakinan kita melihat Alqur’an, Undang-undang itu harus selalu relevan dengan tantangan dan kondisi zaman terbaru. Oleh sebab itu undang-undang dasar saja ada yang namanya amandemen, undang-undang ada yang namanya revisi,” kata Khozin.
Semua perubahan itu, kata Khozin, merupakan bagian untuk membuat aturan perundang-undangan lebih relevan. “Tidak statis, tapi dinamis. Kita semua tidak ada yang bisa menjamin. Tapi setidaknya dalam kajian akademik kita bisa melakukan analisis,” katanya. [wir]



/data/photo/2025/05/09/681df8d7373c5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/02/05/67a36a4f50a4c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3506454/original/048190800_1625843212-ilustrasi-gempa-bumi-istock--2_ratio-16x9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)