Cerita Warga Kebon Melati Terpaksa Buang Sampah ke Kali Krukut
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kondisi tumpukan sampah di bantaran Kali Krukut, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat menjadi bagian kehidupan sehari-hari warga.
Bau menyengat, air kehitaman, dan aliran yang makin menyempit sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa perubahan berarti.
Di tengah kepadatan permukiman RT 15, RT 16, dan RT 17 RW 14, kebiasaan warga membuang
sampah
langsung ke kali masih terjadi.
Meski tempat sampah tersedia di titik tertentu, akses jalan yang sempit dan pengangkutan tidak rutin membuat warga tetap mengandalkan aliran air sebagai tempat pembuangan akhir.
Pakar lingkungan sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa, menegaskan bahwa persoalan sampah di bantaran Kali Krukut tidak bisa dilihat hanya sebagai masalah perilaku warga.
“Permukiman padat, kumuh, dan kantong kemiskinan itu tidak datang tiba-tiba. Ini bukan fenomena spontan, tapi hasil proses panjang urbanisasi yang tidak terkendali,” kata Mahawan, Senin (25/11/2025).
Menurut dia, tekanan ekonomi di desa dan daya tarik kota membuat banyak pendatang menempati ruang-ruang marginal, seperti bantaran sungai dan tepian rel.
Tekanan hidup yang besar, tingginya biaya sewa, dan terbatasnya akses layanan dasar membuat warga bertahan di lokasi apa adanya.
“Ketika jumlah penduduk makin banyak, rumah-rumah makin padat, makin rapat, bahkan berdiri di atas sungai. Ini berimplikasi pada sanitasi dan kondisi lingkungan yang terdegradasi,” ujar Mahawan.
Ia menjelaskan, penyempitan sungai akibat bangunan dan sampah membuat fungsi hidrologis terganggu.
Sedimentasi meningkat karena limbah domestik masuk langsung ke badan air tanpa instalasi pengolahan.
“Risikonya banjir. Limpasan air yang tadinya normal berubah menjadi ancaman. Ditambah sampah dan limbah, kualitas air menurun, mengakibatkan risiko penyakit seperti diare, tipus, hingga penyakit kulit,” jelasnya.
Mahawan menolak anggapan sederhana bahwa warga malas membuang sampah pada tempatnya.
“Tidak serta merta karena budaya malas. Di wilayah-wilayah seperti ini, fasilitas pengelolaan sampah tidak berjalan baik,” kata dia.
“TPS jauh, tempat pembuangan sementara tidak memadai, pengangkutan tidak rutin. Masyarakat memilih lokasi yang menurut mereka paling mudah termasuk sungai,” lanjutnya.
Menurut Mahawan, solusi tidak bisa ditempuh hanya dengan sosialisasi atau penertiban.
“Relokasi terbatas tetap diperlukan, berbasis dialog. Tidak semua warga bisa dipindahkan jauh karena pekerjaan mereka dekat sini,” katanya.
Selain itu, sanitasi komunal, TPS 3R, penegakan aturan, hingga edukasi masyarakat perlu berjalan bersamaan.
“Ini persoalan struktural, tidak bisa seperti membalikkan tangan. Tapi harus dimulai. Keadilan layanan publik harus jadi prioritas,” ujar dia.
Mahawan menyebut hal ini sebagai konsekuensi besar dari tata ruang yang tidak berjalan dan fasilitas pengelolaan lingkungan yang minim.
“Selama sanitasi tidak dibenahi, TPS tidak disediakan, rumah berdiri di sempadan sungai, dan tidak ada penegakan aturan, kondisi begini akan terus berulang,” tegasnya.
Kompas.com menelusuri Jalan Awaludin II dan Kebon Pala III, yang mengarah ke permukiman padat di bantaran Kali Krukut.
Dari jalan kecil selebar dua sampai tiga meter, rumah-rumah warga berdiri rapat dengan material sederhana seperti seng, tripleks, dan papan lapuk.
Sebagian bangunan menjorok ke atas sungai, ditopang tiang-tiang kayu yang rapuh.
Di beberapa titik, pipa domestik terlihat langsung membuang limbah rumah tangga ke aliran kali.
Air kali berwarna hitam pekat, berbau menyengat, dan dipenuhi sampah plastik, kain bekas, potongan kayu, hingga styrofoam.
Anak-anak tampak bermain di tepian, duduk di antara tumpukan sampah sambil mengalirkan botol plastik layaknya perahu.
Motor-motor diparkir di teras rumah yang menjorok ke atas air, teras yang ditopang balok-balok keropos.
Di salah satu gang dalam, toilet umum tiga pintu berdiri dengan cat mengelupas.
Bagian dalamnya gelap, becek, dan pembuangannya langsung mengalir ke kali.
Toilet ini digunakan bergantian oleh beberapa kepala keluarga yang tidak memiliki fasilitas sanitasi mandiri.
Suryadi (43), warga RT 16 RW 14, mengatakan bahwa perilaku itu sudah mengakar sejak lama karena tidak ada sistem pengelolaan sampah yang benar-benar menjangkau wilayah mereka.
“Sampah kebanyakan dari warga, tapi kadang ada juga kiriman dari atas. Tempat sampah ada, tapi jauh dari gang sini. Petugas angkut juga jarang ke dalam,” ujarnya.
Karena situasi itu, ia menyebut sebagian warga memilih membuang sampah langsung ke kali sebagai metode tercepat.
“Banyak yang buang cepat ke kali, bukan karena mau, tapi karena kebiasaan dari dulu dan enggak ada pilihan lain. Orang berangkat kerja pagi-pagi, jadi buang di kali lebih gampang,” kata Suryadi.
Pengakuan serupa juga datang dari Rohmah (35), warga RT 17 RW 14, yang mengaku kerap menemui tumpukan sampah tepat di depan rumahnya setiap kali hujan membawa kiriman sampah dari bagian hulu.
“Iya, dari dulu sudah begini. Sampah warga banyak, tapi kalau hujan deras suka numpuk dari atas sana,” ujarnya.
Ia mengaku tidak setuju dengan praktik membuang sampah sembarangan, namun tekanan kondisi membuat beberapa warga tetap melakukannya.
“TPS jauh dan kecil. Kalau penuh, orang bingung mau buang ke mana. Kadang terpaksa buang ke kali, apalagi kalau malam,” tuturnya.
Sementara itu, Marlina (34), warga RT 15 RW 14, menilai masalah buang sampah ke kali bukan sekadar persoalan moralitas, tetapi keterbatasan ruang dan fasilitas.
“Kalau dibilang warga malas, ya enggak juga. TPS jauh, jalannya sempit. Kadang-kadang terpaksa, apalagi kalau malam,” katanya.
Ia menambahkan bahwa warga sebenarnya ingin lingkungan yang lebih bersih, tetapi sistem pengelolaan sampah yang tidak berjalan membuat perubahan sulit diwujudkan.
“Kami mau kok lingkungan bersih. Tapi kalau tempat sampahnya jauh dan enggak ada yang ngangkut rutin, ya pasti sampah numpuk. Akhirnya ya banyakan yang jatuhnya ke kali,” ucapnya.
Saat Kompas.com berada di lokasi, petugas SDA terlihat mengangkat lumpur hitam dengan alat berat kecil.
Ruang kerja mereka hanya beberapa meter dari dinding rumah warga yang menempel ke bibir kali.
Pengerukan dilakukan sepanjang 10 meter, sebagai upaya darurat untuk mengurangi sedimentasi.
Namun, tumpukan sampah yang terus datang dari permukiman membuat upaya ini tidak cukup.
“Kalau nggak dikeruk, air makin sempit. Tapi kalau warga masih buang sampah, ya balik lagi penuh,” kata Rahmat, petugas SDA.
Sedimentasi yang menumpuk mengurangi kedalaman kali, membuat aliran melambat dan memicu banjir di musim hujan.
Di tengah kondisi yang semakin runyam, warga memiliki satu harapan yang sama yaitu pengerukan dan
normalisasi kali
.
“Kalau aliran lancar, banjir bisa berkurang,” ujar Suryadi.
Sementara Marlina ingin ada perubahan nyata yang bisa dirasakan.
“Normalisasi penting. Biar air nggak diam dan bau. Kami juga maunya lingkungan bersih,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Kebon Melati
-
/data/photo/2025/11/25/69249c43a2784.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Warga Kebon Melati Terpaksa Buang Sampah ke Kali Krukut Megapolitan 25 November 2025
-

Dulu Ramai, Kini Pasar Lontar Jadi Deretan Kontrakan Kumuh
Jakarta –
Pasar tradisional masih menjadi salah satu pusat perputaran ekonomi warga sekitar. Namun, kondisi sejumlah pasar di Jakarta malah tampak sangat memprihatinkan karena tak terurus.
Salah satunya Pasar Lontar Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang dibiarkan terbengkalai dalam kondisi usang usai peristiwa kebakaran pada Agustus 2023 lalu. Bahkan saat ini kawasan pasar tradisional itu sudah mulai beralih fungsi menjadi tempat permukiman kumuh.
Seorang pedagang Pasar Lontar Kebon Melati, Waluyo, mengatakan di bangunan blok pasar paling barat tempat lapaknya berada, kini hanya dihuni oleh tujuh orang pedagang sembako termasuk dirinya. Di luar itu menurutnya hanya ada segelintir penjual makanan dan beberapa pedagang perabot rumah tangga.
Selebihnya, lapak-lapak kios di kawasan itu malah dijadikan tempat tinggal. Sebagian besar yang menempati lapak-lapak tersebut adalah pedagang kaki lima pinggir jalan, pengamen, hingga kuli harian.
Bahkan salah satu area yang sempat terbakar pada 2023 lalu, dan hingga kini hanya menyisakan tanah lapang, sudah berubah menjadi lapak kontrakan. Beruntung kala itu api tidak menjalar sampai ke warungnya yang tepat berada di samping lokasi kebakaran.
“Yang jual sembako di sini nggak sampai tujuh orang. Kemarin habis tutup lagi satu itu. Ini yang kebakaran sebenarnya bukan ditempatin orang dagang, orang tidur,” kata Waluyo kepada detikcom di lokasi, Kamis (18/9/2025).
Waluyo yang sudah berdagang di kawasan itu sejak 1983 menjelaskan, pada awalnya kawasan itu merupakan Pasar Inpres Kebon Melati, yang kemudian diambil alih oleh Pemprov Jakarta sekitar tahun 1985. Saat itulah bangunan pasar berwarna dasar kuning yang kini sudah sangat kumuh itu dibangun.
Sementara untuk dua blok di sebelahnya, kala itu Pemprov Jakarta baru melakukan pembebasan lahan, namun belum sempat melakukan pembangunan. Sehingga bangunan pasar dibuat secara mandiri oleh para pedagang.
Menurutnya banyak kios beralih fungsi jadi lapak tempat tinggal karena sepinya pasar sejak 2019, sebelum pandemi Covid-19 melanda. Hal itu membuat sejumlah pedagang yang tak sanggup lagi berjualan menjadikan lapaknya sebagai kontrakan.
“Karena keadaan buat berdagang ini susah, itu akal-akalan yang punya kios dijadikan kontrakan biar ada pemasukan. Biar bisa buat bayar sewa kios. Tapi sebenarnya peraturan sih nggak boleh. Sering ada razia dari pusat,” jelasnya.
“Harusnya nggak boleh. Tapi karena memang nggak punya modal buat usaha, tapi perlu ada pemasukan, akhirnya pada dikontrakan. Yang mengontrak sih orang pada dagang juga. Tapi kan pada dagang keluar gitu, nggak di sini,” sambung Waluyo.
Menurutnya kawasan ini cukup ‘laku’ digunakan sebagai permukiman kuli harian dan pedagang kaki lima karena harganya yang sangat murah, berkisar antara Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu per bulan.
“Kalau ngontrak di sini kan paling yang Rp 300 ribu, Rp 400 ribu, segituan paling. Kan kalau kuli sehari-hari di luar juga mereka, ini cuma dipakai untuk tempat tidur,” terangnya.
Berdasarkan pengamatan detikcom, lorong antar kios yang berada di bangunan Pasar Lontar Kebon Melati memang terasa sempit dan gelap karena bercampur dengan kontrakan warga. Terlihat dinding-dinding kayu menjadi pembatas tempat tinggal warga sekitar.
Meski lorong pasar terlihat gelap, namun pada celah dinding tempat tinggal warga terlihat ada pencahayaan diiringi suara-suara perbincangan mereka yang tinggal di sana. Sesekali terlihat ada pintu kios yang terbuka, memperlihatkan ruangan yang berisi tikar dan kipas angin.
Selain itu pada siang hari, detikcom juga melihat ada seorang ibu paruh baya tengah memasak di lorong pasar, tepat di samping lapak kontrakannya. Ada juga satu orang tengah memeras pakaian dari dalam ember di lorong pasar yang lain.
Kondisi ini sangat berbeda dengan dua blok Pasar Lontar Kebon Melati di sebelahnya, yang masih digunakan untuk tempat berdagang. Secara keseluruhan mayoritas lapak di kawasan itu juga masih buka.
“Kalau di sini nggak ada yang untuk tempat tinggal, buat dagang semua,” kata Faris, seorang pedagang kelapa parut di blok dekat pembuangan sampah.
Selain di dalam bangunan pasar lama, area kontrakan terpusat di kawasan seberang pasar, yang pada bagian dasar bangunan-bangunannya banyak digunakan sebagai lapak dagangan.
“(Di luar area pasar) kontrakan paling di seberang itu, ruko-ruko kan banyak yang tingkat tuh, nah itu orang pada tinggal di sana. Cuma itu kan punya pribadi ya, dulunya memang tempat tinggal saja, cuma lama-lama banyak yang pindah jualan juga di seberang,” terangnya.
Tonton juga video “Pasta Premium ‘Hidden Gem’ di Dalam Pasar Santa” di sini:
(igo/fdl)
-
/data/photo/2025/09/14/68c699e667c05.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Janji Revitalisasi Pasar Lontar Jakpus Tak Kunjung Terealisasi, Pedagang: Sampai Capek Dengarnya Megapolitan 14 September 2025
Janji Revitalisasi Pasar Lontar Jakpus Tak Kunjung Terealisasi, Pedagang: Sampai Capek Dengarnya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dua tahun sudah berlalu sejak Pasar Lontar Kebon Melati, Tanahabang, Jakarta Pusat terbakar pada 2023 lalu.
Hingga kini, belum ada perbaikan yang dilakukan untuk membereskan masalah di pasar tersebut.
Menurut Parno (40), rencana revitalisasi sudah dijanjikan kepada pedagang bahkan sebelum api melahap blok belakang pasar.
“Rencananya memang katanya mau dibangun lagi, tapi sampai sekarang belum ada, sampai pedagang capek dengarnya,” ujar Parno saat ditemui di lokasi, Minggu (14/9/2025).
Meskipun sudah lelah dengan janji tersebut, Parno masih berharap agar revitalisasi bisa direalisasikan. Apalagi setelah pasar tersebut terbakar.
Menurut Parno, pasar tempat ia berdagang saat ini tak terlihat seperti pasar sama sekali.
Kondisinya kumuh, lorong antar kios sempit. Selain itu, kios juga bercampur dengan kontrakan warga di bangunan kayu itu.
“Tapi ya kalau bisa sih beneran dibangun lagi lah. Soalnya beda banget sama yang di atas (Pasar Inpres), lebih kelihatan kayak pasar,” tutur pedagang toko plastik dan kelontong itu.
Toko Parno mulanya ikut terdampak kebakaran saat itu. Untuk terus memenuhi permintaan pelanggan tetapnya, Parno pun mengambil kios di blok depan pasar dan kembali berdagang.
“Ini dulu awalnya di sana (belakang), baru pindah ke sini, karena masih ada pembeli yang datang, biasanya buat jualan lagi juga,” tutur dia.
Sementara itu, beberapa pedagang lain memilih berpindah ke tempat lain, salah satunya pinggir jalan di depan pasar.
Pasar Lontar Kebon Melati adalah salah satu pasar yang terbengkalai dan paling kumuh menurut Pusat Koperasi Pedagang Pasar (Puskoppas) DKI Jaya.
“Pasar dengan kondisi terparah yaitu Pasar Blok G Tanah Abang dan Pasar Lontar Kebon Melati,” kata Kepala Puskoppas DKI Jaya, Gusnal, dalam keterangannya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/14/68c699e667c05.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Ruslan, Satu dari Sedikit Pedagang yang Bertahan dengan Kumuhnya Pasar Lontar Jakpus Megapolitan 14 September 2025
Cerita Ruslan, Satu dari Sedikit Pedagang yang Bertahan dengan Kumuhnya Pasar Lontar Jakpus
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pasar Lontar Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat makin sepi seiring pedagang yang angkat kaki dari sana.
Sejak terbakar pada 2023, pasar ini belum direvitalisasi.
Pedagang pakaian, perabotan, dan sebagainya yang sebelumnya mengisi blok belakang pasar satu per satu meninggalkan lapak.
Kini tersisa pedagang di blok depan yang menyatu dengan kontrakan warga.
Berdasarkan pantauan
Kompas.com,
Minggu (14/9/2025) siang, hanya kurang dari 15 pedagang yang masih berjualan di sana.
Salah satunya Ruslan (60). Dengan mengenakan kemeja batik merah, Ruslan duduk di depan toko sembakonya sambil melihat lalu lalang warga maupun kendaraan di jalan yang posisinya lebih tinggi dari pasar.
Banyak rekan pedagang Ruslan yang sudah tak berjualan lagi.
Kata dia, beberapa kios tutup karena pedagang meninggal dan tak ada keluarga yang mau meneruskan.
“Teman-teman di sini sudah enggak dagang juga karena sudah pada meninggal. Anaknya enggak mau lanjutin usaha. Anak sekarang kan jarang ada yang mau dagang, termasuk anak saya,” kata dia saat ditemui di Pasar Lontar, Minggu.
Toko Ruslan masih sesekali didatangi warga sekitar yang membeli kebutuhan sehari-hari. Namun, pendapatannya sudah turun drastis sejak pandemi Covid-19.
“Jauh (turunnya). Ibaratnya kalau dulu misalnya dapat misalnya Rp 1 juta per bulan, sekarang jadi Rp 500.000 saja, parah lah,” ujar dia.
Menurut Ruslan, saat ini warga Jakarta tidak banyak yang berminat belanja ke pasar, terlebih jika kondisi pasar tak terawat.
Keberadaan warung kelontong di tengah masyarakat pun disebut sering menjadi alternatif pasar. Ditambah dengan fenomena belanja
online
yang membuat masyarakat tak perlu keluar rumah.
“Memang daya beli masyarakatnya juga sudah rendah, apalagi buat ke pasar, sudah banyak nyari ke warung di pinggir-pinggir. Dan ada pengaruh online juga kayaknya,” kata dia.
Ruslan masih bertahan di pasar yang sudah kumuh itu karena tak menemukan tempat baru untuk berdagang.
Ia pun sudah tak tahu harus bekerja apa lagi di usianya yang sudah lanjut.
“Mau pindah ke mana juga enggak tahu. Enggak ada tempatnya. Akhirnya daripada di rumah, sudah tua begini, ya sudah kemari, nongkrong lah minimal,” tutur Ruslan.
Kata Ruslan, tidak ada lagi pedagang baru yang masuk ke pasar. Hanya pedagang lama yang masih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pedagang yang terdampak kebakaran keluar dari pasar, atau dengan usaha sendiri berpindah dari blok belakang ke blok depan pasar.
Ruslan berpendapat, perbaikan tak kunjung dilakukan karena tidak ada lagi pedagang di blok belakang pasar.
“Soalnya sudah banyak ditinggal, sudah pada kosong. Kalau yang di atas (Pasar Inpres) kan pedagangnya banyak, makanya langsung dibangunin lagi,” kata dia.
Ruslan berharap, pemerintah mau membantu pedagang untuk segera merenovasi pasar demi kenyamanan mereka dan pembeli.
“Harapannya ya direhab lagi lah, dibangun baru lagi karena ini kumuh sekali, enggak kayak yang di atas sana,” ujar dia.
Ruslan juga meminta agar pasar dilengkapi fasilitas yang memadai, seperti toilet dan air bersih.
Menurut Kepala Pusat Koperasi Pedagang Pasar (Puskoppas) DKI Jaya, Gusnal, fenomena pedagang yang pamit dari pasar disebabkan karena pedagang kesulitan membayar kewajibannya di tengah perekonomian yang menurun.
Seperti membayar retribusi, parkir, mandi cuci kakus (MCK), listrik, dan biaya lainnya.
“Saat ini pedagang dalam keadaan sangat sulit sehingga susah untuk bertahan dalam berusaha, apalagi untuk memenuhi kewajibannya,” kata Gusnal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/17/6878d83f43f36.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemprov DKI Akan Revitalisasi Pasar Minggu dan Pasar Tradisional Lain secara Bertahap Megapolitan 13 September 2025
Pemprov DKI Akan Revitalisasi Pasar Minggu dan Pasar Tradisional Lain secara Bertahap
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan melakukan revitalisasi pasar tradisional secara bertahap.
Program ini dimulai dengan lima pasar, termasuk Pasar Minggu yang menjadi proyek terbesar.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, menjelaskan revitalisasi penting untuk menciptakan pasar yang lebih modern, aman, dan nyaman bagi pedagang maupun pengunjung.
Ia optimistis kondisi pasar tradisional yang selama ini identik dengan kumuh dan tidak layak bisa segera teratasi.
“Memang belum bisa serentak, ada lima pasar segera kita revitalisasi dan yang paling besar adalah Pasar Minggu,” kata Rano, Kamis (11/9/2025), dikutip dari situs resmi Pemprov DKI Jakarta.
Menurut Rano, perbaikan Pasar Minggu tidak hanya mencakup pembangunan gedung dan infrastruktur, tetapi juga pengembangan hunian di bagian atas pasar.
Proses ini akan dikerjakan oleh Perumda Pasar Jaya yang sudah menyiapkan anggaran dan perencanaan.
“Mudah-mudahan tahun depan satu pasar bisa selesai,” ujarnya.
Data Perumda Pasar Jaya menunjukkan, dari 153 pasar tradisional yang mereka kelola, sekitar 60 pasar dalam kondisi kumuh dan rawan banjir.
Ketua Umum Pusat Koperasi Pedagang Pasar (Puskoppas) DKI Jakarta, Gusnal, bahkan menyebut 40 persen pasar berada dalam kondisi memprihatinkan, seperti becek, bocor, rawan kebakaran, hingga tidak nyaman ditempati pedagang.
Beberapa pasar yang disebut dalam kondisi terburuk tersebar di berbagai wilayah Jakarta.Di antaranya, seperti:
Kondisi terparah ada di Pasar Blok G Tanah Abang dan Pasar Lontar Kebon Melati.
Selain persoalan infrastruktur, pedagang pasar juga menghadapi beban biaya tinggi.
Gusnal menuturkan, banyak pedagang kesulitan bertahan karena harus membayar retribusi, parkir, kebersihan, listrik, hingga perpanjangan hak pakai (PHP).
Ia menilai pola pembangunan pasar selama ini lebih menguntungkan pengembang dan Perumda Pasar Jaya.
“Yang membangun pihak pengembang, kemudian dijual kepada pedagang. Keuntungan didapatkan pengembang dan Pasar Jaya, sementara pedagang semakin terbebani,” kata Gusnal.
Pedagang berharap revitalisasi tidak sekadar mempercantik bangunan, tetapi juga memperhatikan regulasi yang berpihak pada keberlangsungan usaha mereka.
Bagi pedagang, pasar tradisional bukan hanya ruang transaksi ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas sosial budaya masyarakat Jakarta.
Dengan perbaikan infrastruktur dan kebijakan yang mendukung, mereka berharap daya saing pasar tradisional bisa kembali meningkat di tengah gempuran pusat perbelanjaan modern dan platform digital.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Viral Sopir Truk Dipalak Preman di Tanah Abang, Pelaku Ditangkap
Jakarta –
Viral seorang sopir truk pengangkut barang menjadi korban pemalakan seorang pria. Pemalakan ini terjadi di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kejadian pemalakan sopir truk ini pun viral di media sosial (medsos) usai sang sopir merekam proses pemalakan yang dialaminya. Dari video tersebut, sang sopir seolah hendak memberi laporan kepada pihak bosnya bahwa harus membayar uang ke pria tersebut jika ingin melintas di lokasi.
“Bos, kita nih ada kawalan Bos, nih buktinya ini, si abang ini, ya kan, takut saya ngebohong atau apa, tuh berapa?” ujar si sopir dalam video yang dilihat detikcom, Rabu (29/7/2025).
“Kuitansinya ada Bos,” sahut pria pemalak.
“Berapa? seratus?” tanya si sopir.
“Seratus ribu,” jawab pemalak.
“Iya, iya, iya,” jawab pemalak.
Dihubungi, Kapolsek Metro Tanah Abang Kompol Haris Akhmat membenarkan adanya kejadian pemalakan tersebut. Dia menjelaskan pelaku pemalakan pun saat ini sudah ditangkap.
“Sudah tertangkap (pelaku), inisial MR 33 tahun,” jelas Haris kepada wartawan, Rabu (30/7/2025).
Haris menjelaskan, setelah diperiksa, MR mengaku telah memeras sopir-sopir yang melintasi kawasan tersebut sebanyak tiga kali.
“Pengakuannya sudah tiga kali melakukan pemerasan,” tuturnya.
(mea/mea)
-
/data/photo/2025/07/15/687641b0e8775.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Melihat Kondisi Kali Krukut di Tanah Abang, Banyak Sampah dan Bau Menyengat Megapolitan 15 Juli 2025
Melihat Kondisi Kali Krukut di Tanah Abang, Banyak Sampah dan Bau Menyengat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –Kali Krukut
di Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampak dipenuhi
sampah
yang berserakan.
Berdasarkan pantauan
Kompas.com
pada Selasa (15/7/2025) sore, terlihat puluhan kantong plastik serta styrofoam dan bungkus makanan mengambang di permukaan air kali.
Aliran Kali Krukut ini berada di tengah permukiman warga. Lebarnya sekitar 6 meter, sementara kedalamannya diperkirakan hanya sekitar 40 sentimeter.
Dasar kali tampak dipenuhi endapan lumpur berwarna hitam pekat yang terlihat dari permukaan. Airnya juga tampak keruh dan berwarna gelap.
Selain itu, sebagian besar sampah tampak mengendap dan menyumbat aliran air, menyebabkan aliran kali terhambat. Beberapa jenis sampah bahkan terlihat seperti baru dibuang.
Seorang warga terlihat tanpa rasa bersalah melemparkan sampah ke kali dari atas jalan.
Saat
Kompas.com
mencoba menelusuri bantaran kali sejauh sekitar 200 meter, bau menyengat tercium dan menusuk hidung.
Namun, warga yang tinggal di bantaran kali tetap terlihat asyik melakukan aktivitasnya, seperti tak terganggu dengan bau tidak sedap tersebut.
Salah seorang warga sekitar bernama Eva (30) mengatakan, setiap hari kali tersebut dibersihkan oleh petugas kebersihan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
“Kalau setiap pagi pasti ada petugas yang bersihkan kali ini, terus sampahnya diangkut,” ujarnya kepada
Kompas.com
di bantaran kali, Selasa.
Namun, Eva menyayangkan masih adanya perbuatan tak bertanggung jawab dari beberapa warga.
“Tapi warganya emang susah dikasih tahunya, tetap aja ada yang buang sampah, padahal mereka tahu kali ini udah kotor,” ucapnya.
Eva berharap pemerintah setempat dapat memberikan imbauan dan tindakan tegas kepada warga yang masih membuang sampah ke kali.
“Ya mudah-mudahan bisa ada imbauan dan pemberitahuan kepada warga, dan ada tindakan, supaya warga-warga yang begitu juga pada engga mengulangi ke depannya,” imbuhnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.


