kab/kota: Karanganyar

  • Rombongan Pendaki Gunung Lawu Asal Karanganyar Diblacklist, Ini Pelanggarannya

    Rombongan Pendaki Gunung Lawu Asal Karanganyar Diblacklist, Ini Pelanggarannya

    Magetan (beritajatim.com) — Salah satu penyelenggara open trip dan ketua rombongan pendakian tektok ke Gunung Lawu via Cemoro Sewu resmi diblacklist dari seluruh jalur pendakian di kawasan selingkar Lawu. Keputusan ini diambil oleh Paguyuban Giri Lawu (PGL), organisasi relawan yang bertugas di jalur pendakian Gunung Lawu, setelah rombongan tersebut terbukti melanggar prosedur pendakian.

    Ketua PGL, Miko Wicaksono, menyampaikan bahwa rombongan asal Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah itu mendaki tanpa mengantongi Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi). Mereka juga tidak melakukan registrasi di pos masuk resmi Cemoro Sewu.

    “Ketua rombongan ada 13 orang, ada lima yang masuk tanpa registrasi resmi. Parahnya, saat mendaki ada yang mengalami masalah. Biasanya karena capek atau karena kondisi kurang fit. Akhirnya justru membuat petugas kewalahan, menyulitkan para tim rescue gunung,” ujar Miko pada Selasa (13/5/2025).

    Pendakian tektok merupakan aktivitas pendakian pulang-pergi yang dijalankan dalam satu hari tanpa menginap. Aktivitas ini dipilih karena alasan efisiensi waktu, terutama bagi para pendaki yang memiliki keterbatasan waktu.

    Dari total 82 orang yang tergabung dalam pendakian tektok tersebut, sembilan orang dilaporkan mengalami kendala fisik selama perjalanan. Kondisi ini menyulitkan proses penanganan oleh tim relawan dan dinilai sebagai akibat dari kurangnya persiapan sebelum pendakian.

    Miko menekankan pentingnya profesionalisme penyelenggara open trip, serta ketaatan terhadap prosedur keselamatan. Menurutnya, pendakian gunung bukan aktivitas yang bisa dilakukan sembarangan, mengingat risiko tinggi terhadap keselamatan peserta.

    “Terlebih kami menekankan agar siapapun yang hendak melakukan pendakian dengan keperluan apapun (ritual atau rekreasi) tetap melakukan registrasi dan melalui jalur yang resmi. Karena jika mendaki tanpa ada registrasi ini sama saja tidak ada izin. Kami petugas akan kesulitan memantau. Kami mohon pengertiannya dari para pendaki,” pungkasnya. [fiq/beq]

  • Kisah Catur Rahayu, Buruh Tekstil di Karanganyar Digaji Rp15 Ribu Sebulan – Halaman all

    Kisah Catur Rahayu, Buruh Tekstil di Karanganyar Digaji Rp15 Ribu Sebulan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Catur Rahayu, seorang buruh tekstil berusia 44 tahun asal Desa Waru, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, mengungkapkan kondisi memprihatinkan yang dialaminya.

    Ia hanya menerima gaji sebesar Rp15.000 untuk satu bulan kerja, meskipun telah bekerja di perusahaan tersebut sejak tahun 2001.

    Menurutnya, baru kali ini dirinya mengalami perlakuan yang menurutnya sangat tidak adil.

    “Saya sudah 24 tahun bekerja di perusahaan itu. Tapi baru sekarang saya digaji hanya Rp15 ribu sebulan,” ujarnya saat ditemui wartawan, Jumat (2/5/2025).

    Menurut Catur, ia hanya masuk kerja dua hari dalam sebulan dan dibayar sesuai hari masuk.

    Pembayaran gajinya pun dipotong untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, sehingga sisa yang ditransfer ke rekeningnya hanya Rp15 ribu.

    “Gaji dua hari langsung dipotong BPJS, sisanya cuma segitu,” jelasnya.

    Perubahan Jadwal Kerja Sepihak

    Catur juga mengeluhkan ketidakjelasan status kerja dan perubahan jadwal kerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan.

    “Tanpa ada kesepakatan, jadwal kerja kami diubah sepihak. Akhirnya, gaji kami dihitung hanya berdasarkan jumlah hari masuk kerja,” jelasnya.

    Ia dan rekan-rekannya meminta perusahaan untuk membayar gaji secara adil sesuai kesepakatan.

     “Kalau kami kerja 18 hari, ya digaji 18 hari. Jangan asal ubah,” tegasnya.

    Catur menyatakan bahwa mereka telah melakukan upaya hukum dan memenangkan gugatan hingga tingkat Mahkamah Agung.

    “Kami menang di pengadilan dari PHI Semarang hingga MA, tapi sampai sekarang perusahaan belum membayar hak kami,” tuturnya.

    Catur berharap perusahaan segera menyelesaikan persoalan ini secara adil.

    “Kalau memang tidak ingin mempekerjakan kami lagi, silakan PHK sesuai prosedur. Jangan menggantung seperti ini. Kami butuh kepastian,” pungkasnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Nasib Catur Rahayu, Buruh Tekstil di Karanganyar Tak Jelas, Digaji Rp15 Ribu untuk Hidup Sebulan.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Polisi di Indramayu Patroli Cari Preman Malah Dapat Pelajar Berseragam Lagi Mabuk Miras – Halaman all

    Polisi di Indramayu Patroli Cari Preman Malah Dapat Pelajar Berseragam Lagi Mabuk Miras – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Anggota Polsek Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat lakukan Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) dengan sasaran premanisme, Jumat (2/5/2025).

    Bukan preman yang didapat, anggota polisi justru temukan sekelompok pelajar yang masih mengenakan seragam tengah mabuk minuman keras (miras) di sebuah warung.

    Para pelajar tersebut ditemukan polisi dalam kondisi mabuk di sebuah warung di Desa Karanganyar, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat malam sekitar pukul 21.00 WIB.

    Saat itu, anggota polisi tengah melakukan penyisiran lokasi.

    Mereka lantas menemukan sekelompok pelajar dalam kondisi lemas dan mencurigakan.

    Setelah diperiksa, keenam pelajar tersebut diduga mabuk miras.

    Mereka masing-masing berinisial AN (16), A (17), RP (16), GS (16), T (15), dan RP (16).

    Demikian yang disampaikan Kapolsek Kandanghaur, AKP Surahmat.

    “Mereka dalam keadaan lemas dan terindikasi mengonsumsi miras,”

    “Kami langsung amankan dan mendata identitas masing-masing. Selanjutnya kami lakukan pembinaan awal di lokasi,” kata AKP Surahmat, Sabtu (3/5/2025).

    Pihak kepolisian juga langsung menghubungi tim medis dari RS Bhayangkara Losarang.

    Enam pelajar tersebut lantas dibawa ambulans untuk mendapatkan penanganan medis di rumah sakit.

    “Kami juga menghubungi para orang tua dan pamong desa masing-masing untuk penanganan lanjutan,”

    “Langkah ini kami ambil agar ada perhatian bersama terhadap perilaku remaja yang mulai menyimpang,” tegasnya.

    Belasan Pelajar Diamankan

    Sementara itu, pada 24 April 2025 lalu, belasan pelajar di Cirebon diamankan di kawasan Gelanggang Olahraga (GOR) Bima, Kota Cirebon.

    Mereka diamankan saat tengah mendukung sekolahnya yang bertanding dalam kejuaraan futsal.

    Meski terlihat mendukung, namun mereka diamankan karena tertangkap basah menenggak miras di belakang lokasi.

    Iptu Suganda, Kapolsek Kesambi mengonfirmasi hal tersebut.

    “Awalnya anggota Polsek Kesambi yang berjaga melakukan patroli dan mendapati sekelompok remaja sedang berkumpul dengan gerak-gerik mencurigakan di belakang GOR Bima.”

    “Setelah diperiksa, ternyata mereka sedang mengonsumsi miras,” ujar Suganda, Kamis (24/4/2025). 

    Sebanyak 19 pelajar diamankan ke Mapolsek Kesambi beserta barang bukti.

    “Kami juga memanggil pihak sekolah dan orang tua masing-masing.”

    “Mereka membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya,” ucapnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Polisi di Indramayu Temukan Sekelompok Pelajar Lemas Mencurigakan, Diduga Habis Pesta Miras

    (Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunJabar.id, Handika Rahman/Eki Yulianto)

  • 5
                    
                        Digaji Rp 1.000 Per Bulan, Karyawan Perusahaan Tekstil Ungkap Alasannya 
                        Regional

    5 Digaji Rp 1.000 Per Bulan, Karyawan Perusahaan Tekstil Ungkap Alasannya Regional

    Digaji Rp 1.000 Per Bulan, Karyawan Perusahaan Tekstil Ungkap Alasannya
    Tim Redaksi
    KARANGANYAR, KOMPAS.com –
    Bakdi (50), seorang karyawan perusahaan tekstil di Gempol, Jati, Jaten,
    Karanganyar
    , Jawa Tengah, mengalami nasib tragis setelah
    dirumahkan
    pada Februari 2025.
    Ia kini hanya menerima upah sebesar Rp 1.000 per bulan, meskipun telah bekerja di perusahaan tersebut sejak tahun 1995.
    Dalam perbincangan di rumah ketua Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Gas Bumi dan Umum (SPKET), Danang Sugiyatno, pada Jumat (3/5/2025), Bakdi menjelaskan bahwa dirinya dirumahkan dengan alasan efisiensi.
    Bakdi mengaku telah bekerja di perusahaan tersebut sejak tahun 1995 di bagian weaving. Namun, pada Februari 2025, ia dirumahkan dengan alasan efisiensi.
    Sejak saat itu, status Bakdi di perusahaan menjadi tidak jelas. Ia masih berstatus sebagai karyawan, tetapi tidak lagi dipekerjakan.
    Ia juga tidak menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) secara resmi. Karena kondisi tersebut, Bakdi hanya menerima gaji sebesar Rp 1.000 setiap bulan.
    “Hampir 30 tahun sejak 1995 – sekarang. Seribu rupiah baru tahun ini. Satu bulan dapat seribu. Alasan dibayar seribu itu dirumahkan dan juga tidak dipekerjakan di perusahaan, tidak diberhentikan. Istilahnya digantung,” jelasnya.
    Bakdi mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut baru diterapkan perusahaan dalam setahun terakhir.
    Ia menyebutkan, ada sekitar 200 karyawan lain yang mengalami nasib serupa. Umumnya, para pekerja itu telah mengabdi selama 20 hingga 30 tahun.
    “Ada sekitar 200 orang, rata-rata sudah bekerja selama 20-30 tahun,” kata dia.
    Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Bakdi kini beralih profesi menjadi buruh bangunan. Ia harus menafkahi istri dan seorang anak yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
    Sementara itu, Danang Sugiyatno menyebutkan bahwa ada sekitar 100 orang di perusahaan tersebut yang juga melaporkan kejadian serupa. Mereka belum menerima surat PHK secara resmi.
    “Mereka itu belum di-PHK, jadi pembiaran. Status mereka itu mengambang,” ujarnya.
    Menurut Danang, para karyawan tersebut mulai dirumahkan sejak tahun 2024.
    Sebelumnya, mereka masih menerima gaji sebesar 25 persen sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 1988. Namun, sejak September 2024 hingga Januari 2025, mereka hanya menerima gaji Rp 1.000 per bulan.
    “Rekan-rekan yang dibayar itu siap bekerja semua, tetapi perusahaan tidak mempekerjakan. Berarti harus dibayar
    full
    kecuali ada kesepakatan tertentu,” tegasnya.
    Kasus ini kini telah sampai pada tahap putusan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cerita Miris Sugiyatmo, Buruh Tekstil di Karanganyar Cuma Digaji Rp1.000 per Bulan – Halaman all

    Cerita Miris Sugiyatmo, Buruh Tekstil di Karanganyar Cuma Digaji Rp1.000 per Bulan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Peringatan Hari Buruh pada Kamis (1/5/2025), menyisakan cerita pahit dari seorang buruh di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

    Ia adalah Sugiyatmo (50) yang berprofesi sebagai buruh tekstil di sebuah perusahaan di Kabupaten Karanganyar.

    Sugiyatmo bercerita, dirinya digaji Rp1.000 per bulan sejak Juli 2024 setelah dirumahkan oleh pihak perusahaan.

    “Pada awalnya saya dirumahkan oleh perusahaan sejak Juli 2024 sampai sekarang dan ternyata mereka mengirim gaji saya setiap bulan ke rekening saya hanya Rp 1.000,” kata Sugiyatmo, Kamis, dikutip dari Tribun Solo.

    Sugiyatmo pun lantas melaporkan pihak perusahaan ke Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSP KEP) Karanganyar, Danang Sugiyatno.

    Setelah itu, pihak personalia dari perusahaan tempatnya bekerja langsung dipanggil oleh Dinas Perdagangan Perindustrian Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Karanganyar.

    Sugiyatmo mengatakan perusahaannya berdalih menggaji dirinya Rp1.000 agar rekening miliknya tetap bisa berfungsi.

    “HRD sempat dipanggil Dinas terkait pemberian upah seribu rupiah per bulan, alasan mereka bilang ini bukan mainan dan beralasan itu untuk menghidupkan rekening bank para buruh biar nggak mati,” ujar dia.

    Setelah mengetahui alasan tersebut, Sugiyatmo bersama rekannya yang senasib menggugat perusahan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

    Adapun putusan dari hakim adalah mengabulkan gugatan Sugiyatmo, yaitu perusahaan wajib membayar hak-hak dari dirinya dan rekannya yang senasib.

    Namun, putusan tersebut tidak bisa langsung dilakukan lantaran perusahaan diberi waktu selama 14 hari untuk memberikan tanggapan.

    Di sisi lain, Sugiyatmo bekerja serabutan selama dirinya dirumahkan sejak tahun lalu.

    Dia pun mengaku sudah bekerja di perusahaan tersebut sejak puluhan tahun lalu.

    “Saya sudah kerja di perusahaan sejak 1993 atau sudah 32 tahun lulus dari STM saya langsung kerja di sini, namun baru kali ini saya diperlakukan seperti ini,” ungkap dia.

    Sementara, Ketua FSP KEP Karanganyar, Danang Sugiyatno, mengecam tindakan dari perusahaan tersebut.

    Dia mengungkapkan fenomena tersebut benar-benar terjadi di dunia kerja Karanganyar.

    “Ada banyak pekerja yang hanya mendapatkan upah hanya seribu rupiah per bulan, dan ini bukan omong kosong bukan retorika belaka, ini realita terjadi di perburuhan Kabupaten Karanganyar,” kata Danang.

    Tak cuma terkait gaji tak layak, Danang juga mengungkapkan ada buruh yang diperkerjakan meski sudah masuk usia pensiun.

    Namun, hak-hak mereka sebagai pekerja tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan.

    Ia menyebut kasus tersebut terjadi lingkungan pabrik di bidang tekstil.

    “Kondisi perburuhan Kabupaten Karanganyar saat ini tidak baik-baik saja, dan beberapa kasus ini sudah diadvokasi dan sudah putusan,” kata dia.

    Ketua DPC KSPN Karanganyar, Haryanto, meminta kepada pemerintah kabupaten (Pemkab) Karanganyar untuk melakukan Law Enforcement, yaitu penegakan hukum ketenagakerjaan.

    Pasalnya, masih banyak pelanggaran yang terjadi di lapangan.

    “Banyak pengusaha nakal yang tidak memberikan hak karyawan, kami minta Law Enforcement ditegakkan benar-benar,” kata Haryanto.

    Ia mengatakan, banyak buruh yang dirumahkan namun tidak dibayar, terjadi PHK menjelang hari raya.

    Dia mengatakan ada enam poin tuntutan yang disampaikan dalam aksi buruh yaitu Law Enforcement, setop PHK Massal, berikan perlindungan kepada buruh yang di-PHK, buat UU yang lebih baik dari UU Cipta Kerja, hapus sistem kerja outsourcing, serta lawan korupsi.

    “Mereka menampung saja namun akan ditindaklanjuti yang bisa ditindaklanjuti Pemkab Karanganyar karena sifatnya nasional dan akan direkomendasikan dari DPR RI ke Pemerintah Pusat,” ujar dia.

    Sebagian artikel telah tayang di Tribun Solo dengan judul “Buruh Tekstil di Karanganyar Ini Terima Upah Hanya Rp1.000/Bulan, Berawal dari Dirumahkan Juli 2024”

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Tribun Solo/Mardon Widiyanto)

  • Menyelisik Urgensi Kota Solo Diusulkan jadi Daerah Istimewa

    Menyelisik Urgensi Kota Solo Diusulkan jadi Daerah Istimewa

    JAKARTA – Kota Solo sedang menjadi sorotan. Usulan menjadikan Solo sebagai daerah istimewa disebut berkaitan dengan kepentingan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    Selain sebagai kota pensiunnya Jokowi yang membuat rumahnya sering dikunjungi masyarakat, bahkan belakangan sederet menteri juga datang menyambangi. Publik juga menyoroti karena kota ini masuk daftar daerah otonomi baru sebagai daerah istimewa.

    Menurut informasi, Kementerian Dalam Negeri mendapat usulan sejumlah daerah yang menginginkan adanya status keistimewaan. Ada enam daerah yang mengusulkan wilayahnya menjadi daerah istimewa.

    Sejauh ini daerah yang paling santer terdengar adalah Solo Raya, yang terdiri dari satu kota episentrum, Surakarta, dan enam kabupaten di sekitarnya: Boyolali, Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, dan Wonogiri.

    Selain Solo di Jawa Tengah, ada enam provinsi yang menginginkan adanya status daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Sumatra Barat, Riau, dan dua usulan dari Sulawesi Tenggara.

    Suasana Keraton Surakarta Hadiningrat, Jalan Kamandungan, Baluwarti, Surakarta. (Unsplash/fala.syam)

    Usulan agar Kota Solo menjadi daerah istimewa dilontarkan Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima. Menurut politikus PDIP tersebut, Kota Solo termasuk satu dari enam daerah yang meminta status istimewa.

    “Seperti daerah saya, Solo meminta pemekaran dari Jawa Tengah dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta,” kata Bima usai rapat kerja komisi bidang pemerintahan DPR dengan Kementerian Dalam Negeri.

    Namun usulan agar Kota Solo menjadi daerah istimewa menuai polemik. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah bahkan menilai gagasan tersebut berkaitan erat dengan kepentingan Jokowi.

    Sudah Tidak Relevan

    Pasal 18B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, negara mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang berstatus istimewa dan khusus. Pasal tersebut menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

    Saat ini, Indonesia memiliki dua provinsi yang bersifat istimewa. Pertama, Daerah Istimewa Yogyakarta yang diatur melalui UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Di antara bentuk keistimewaan kota ini adalah terkait tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Berbeda dengan daerah lain yang gubernurnya dipilih lewat pemilihan kepala daerah, untuk Yogyakarta diusulkan kesultanan atau kadipaten.

    Yogyakarta juga memiliki keistimewaan dalam hal kewenangan kelembagaan, tata ruang, pertanahan, dan kebudayaan.

    Selain Yogyakarta, ada Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang memiliki status istimewa. Kekhususannya diatur melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

    Jalan Jenderal Sudirman di kawasan Balai Kota Solo, Jawa Tengah, 5 Maret 2025. (ANTARA/Mohammad Ayudha)

    UU tersebut menyatakan Aceh bersifat istimewah dan memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Bentuk keistimewaan Aceh ada pada penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada asas keislaman atau Qanun Aceh.

    Direktur IPO Dedi Kurnia Syah memandang usulan agar Kota Solo menjadi daerah istimewa tidak relevan, karena sebagai negara kesatuan sudah waktunya Indonesia kembali pada konsep tunggal.

    Menurutnya, seharusnya daerah yang sekarang berstatus istimewa perlu dievaluasi. Karena secara politik yang dibutuhkan sekarang adalah otonomi daerah secara total atau desentralisasi.

    “Jika ada hal krusial seperti sejarah kultural, maka cukup budaya saja yang diistimewakan, bukan daerahnya secara politik dan pemerintah,” kata Dedi kepada VOI.

    Kegagalan Otonomi Daerah

    Dedi menambahkan, usulan status istimewa bagi Surakarta berlebihan dan potensial tidak produktif. Ia menganggap usulan ini hanya wacana kekuasaan, bukan soal pemerataan pembangunan.

    “Bahkan wacana semacam ini bisa menimbulkan sikap sparatisme di daerah lain atau wilayah bekas kerajaan di masa silam,” ujarnya.

    Patut dicurigai usulan ini demi kepentingan sedikit pihak, terlebih itu daerah keluarga Jokowi, bisa ditafsir sebagai bagian dari upaya peluang kekuasaan keluarga Jokowi secara politik,” Dedi menambahkan.

    Intinya, kata Dedi, usulan itu tidak diperlukan bagi negara ini, justru bisa menjadi beban dan ketimpangan sosial.

    Penari mengenakan kostum berhias daun pada Festival Solo Menari 2025 di Ngarsopuro, Solo, Jawa Tengah, Selasa (29/4/2025). (ANTARA/Mohammad Ayudha)

    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona memiliki pandangan lain. Gagasan pembentukan daerah istimewa baru, menurut Yance adalah akibat kegagalan otonomi daerah.

    Sekarang ini pemerintah pusat cenderung sentralistis, padahal semua daerah seharusnya memiliki keleluasaan mengatur diri sendiri.

    “Gagasan daerah istimewa muncul sebagai perlawanan terhadap sentralisasi pemerintah pusat karena regulasi yang ada tidak mampu memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur diri sendiri,” tuturnya.

    Menurut Yance, otonomi daerah belum mampu menampung kekhususan dan kekhasan setiap daerah sehingga sejumlah daerah mengajukan status istimewa.

    Karena dengan menjadi istimewa, wilayah tersebut punya payung hukum yang bisa mengakomodasi kekhasan daerahnya. Dengan demikian, mereka memiliki keleluasaan berbeda dari daerah lain.

    Keuntungan menjadi daerah istimewa dan khusus akan bergantung pada kebutuhan masing-masing. Contohnya, kata Yance, jika Bali berstatus istimewa ada kemungkinan muncul regulasi keimigrasian berbeda yang diterapkan di sana karena Bali memiliki banyak destinasi wisata yang dikunjungi turis mancanegara.

    “Jadi banyak argumen yang dibuat di daerah sesuai dengan kebutuhan, termasuk Solo nantinya,” kata Yance lagi.

  • Tersangka Dugaan Korupsi Hibah Ternak dari Kementerian di Karanganyar Ditahan

    Tersangka Dugaan Korupsi Hibah Ternak dari Kementerian di Karanganyar Ditahan

    TRIBUNJATENG.COM, KARANGANYAR – Satreskrim Polres Karanganyar menangkap dan menahan tersangka dugaan korupsi hibah bantuan dari kementrian berinisial, TM.

    Polisi melakukan penangkapan terhadap tersangka TM di kediamannya wilayah Kecamatan Jaten pada Selasa (29/4/2025).

    Seperti diketahui, TM ditetapkan sebagai tersangka karena merekayasa pembuatan proposal untuk hibah 20 ekor sapi kepada kelompok ternak.

    Tindakan tersebut menimbulkan kerugian sebesar Rp 269,6 juta.

    Setelah hibah diterima diketahui tersangka menjual 11 ekor sapi, menyewakan 7 ekor sapi tanpa seizin Dinas Pertanian dan 2 ekor lainnya mati karena tidak dirawat.

    Kapolres Karanganyar AKBP Hadi Kristanto melalui Kasatreskrim, AKP Bondan Wicaksono menyampaikan, penangkapan terhadap tersangka perlu dilakukan untuk mempermudah dan mempercepat proses penanganan perkara tersebut.

    “Dikarenakan sudah ada penetapan tersangka. Perhitungan kerugian keuangan negara sudah keluar serta guna memenuhi beberapa petunjuk sebagai kelengkapan berkas. Selanjutnya kepada tersangka dilaksanakan penahanan di tahanan Polres Karanganyar,” katanya kepada wartawan, Kamis (1/5/2025).

    Dia menuturkan, tersangka sudah menjalani pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan layak untuk dilakukan penahanan. Di samping itu polisi telah memberitahukan kepada pihak keluarga mengenai penahanan tersebut.

    “Selanjutnya penyidik melengkapi berkas perkara dan melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri Karanganyar,” terang AKP Bondan. (Ais)

  • Menilik Desa Girilayu di Lereng Lawu, Kekayaan Motif Batik yang Gigih Lestari – Halaman all

    Menilik Desa Girilayu di Lereng Lawu, Kekayaan Motif Batik yang Gigih Lestari – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha

    TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR – Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar, adalah rumah bagi motif-motif batik yang lahir dari perenungan panjang sejarah dan budaya.

    Motif Tugu Tri Dharma misalnya, menjadi simbol ikonik yang mengikat dua tokoh besar: Pangeran Sambernyawa dari era Mangkunegaran, dan Presiden Soeharto dari masa republik.

    Monumen kecil itu berdiri hening di antara dua kompleks pemakaman agung: Astana Mangadeg dan Astana Giribangun.

    Namun dari keheningan makam itulah, lahir suara-suara baru lewat guratan canting.

    “Setiap motif di sini punya makna, bukan asal corak. Ada filosofi pengabdian, persatuan, dan semangat spiritual di baliknya,” ujar Partinah, pemilik usaha batik tulis Giri Wastra Pura.

    Ia menunjukkan selembar batik bergambar Tugu Tri Dharma, panjangnya 2,6 meter, lebar hampir satu setengah meter.

    Kain itu belum diwarnai, tetapi pancaran nilainya sudah terasa dalam tiap garisnya.

    Selain Tugu Tri Dharma, motif-motif klasik seperti Wahyu Tumurun, Gringsing, hingga Parang dan Truntum masih lestari.

    Muncul pula motif-motif baru, hasil inovasi dari para pengrajin muda yang mulai memberi warna segar pada kanvas budaya tua.

    “Anak-anak muda sekarang ikut terlibat. Sekitar 30 hingga 40 persen dari total pengrajin adalah generasi baru,” terang Partinah.

    Ia adalah generasi keempat pembatik di keluarganya, dan kini ia mulai menanamkan nilai membatik pada cucunya, Camelia, yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP.

    Sejak kelas 4 SD, Camelia sudah memegang canting.

    Mulanya hanya menggambar pola, kini mulai belajar teknik pewarnaan.

    “Kalau libur sekolah, saya ajak dia bantu. Yang bisa dikerjakan ya saya serahkan,” kata Partinah sambil tersenyum.

    Membatik di Girilayu bukan hanya soal estetika, tapi juga tentang waktu dan kesabaran.

    Satu lembar kain bisa dikerjakan hingga empat bulan, apalagi saat musim hujan yang memperlambat proses pengeringan.

    Kain batik dari Giri Wastra Pura dijual mulai Rp 500 ribu untuk batik mentah, hingga lebih dari Rp 1,5 juta untuk batik jadi dengan pewarnaan alami.

    Harga itu sebanding dengan ruh yang tertanam dalam tiap lekuk motifnya.

    Tak hanya dari rumahnya di Dukuh Wetankali, batik-batik ini juga dipasarkan melalui kerja sama dengan lokasi strategis seperti Hotel Nava dan Rumah Atsiri di kawasan Tawangmangu.

    Girilayu memang terpencil, tapi napas batiknya menjangkau Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga Sumatra dan Kalimantan.

    Di tengah arus digitalisasi, Giri Wastra Pura juga ikut beradaptasi.

    Akun Instagram dikelola, QRIS disediakan, dan pembayaran non-tunai jadi bagian dari kebiasaan baru.

    Bahkan kini, galeri batik itu tak hanya menjual kain, tapi juga pengalaman.

    Pengunjung bisa belajar membatik langsung, menjadikan Giri Wastra Pura sebagai ruang eduwisata budaya yang hidup.

    “Banyak tamu dari hotel datang ke sini untuk praktik membatik. Mereka jadi tahu prosesnya tidak mudah,” tutur Partinah.

    Girilayu bukan hanya rumah bagi Giri Wastra Pura.

    Ada 12 kelompok pembatik di desa ini, dan Partinah memimpin salah satunya: komunitas GWP (Giri Wastra Pura) yang beranggotakan 24 perempuan.

    Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang dulunya hanya buruh batik.

    Kini mereka menjadi pelaku penuh—dari menggambar pola, mencanting, mewarnai, hingga menjual sendiri karya mereka.

    “Dulu kami cuma ngerjain setengah jadi, lalu dikirim ke Solo. Sekarang bisa dari awal sampai akhir di sini,” kenangnya.

    Mereka membatik di sela waktu mengurus keluarga.

    Kain-kain dikerjakan setelah pekerjaan rumah rampung, sembari menjaga anak, dan hasilnya bisa langsung dijual untuk menambah penghasilan.

    BRI lewat program BRIncubator ikut memberi dorongan pada komunitas ini.

    Pelatihan, pendampingan usaha, hingga bantuan dana CSR sebesar Rp 15 juta pada 2022 menjadi bahan bakar kebangkitan pasca pandemi.

    “Alhamdulillah, sangat membantu. Kami jadi lebih mandiri, dan yakin kalau batik tulis bisa terus hidup,” ujar Partinah.

     

     

    BRI Dorong UMKM Naik Kelas

    GWP dalam radar program BRIncubator, sebuah inisiatif untuk mendorong usaha kecil naik kelas.

    Bukan sekadar pelatihan, program itu membuka jalan baru bagi Partinah dan kelompoknya untuk mengenali kekuatan dari usaha mereka sendiri.

    Melalui pendampingan intensif, mereka belajar memahami pasar, membaca tren, dan mengemas produk batik dengan nilai lebih tinggi.

    Pendampingan itu juga mengajarkan bagaimana tradisi bisa tumbuh beriringan dengan teknologi.

    “Banyak yang kami pelajari, terutama soal pemasaran dan pengembangan usaha,” ujar Partinah, mengenang masa-masa awal bergabung dengan BRIncubator.

    Tiga tahun berselang, pada 2022, dukungan itu kembali datang dalam bentuk bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp15 juta.

    Jumlah itu bukan sekadar angka, melainkan bahan bakar untuk melanjutkan mesin tradisi yang sempat terhenti karena pandemi.

    Dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli kain, malam, hingga peralatan produksi lainnya yang dibutuhkan para pembatik di Girilayu.

    Termasuk untuk pelatihan 24 pengrajin batik yang tergabung dalam GWP.

    Bagi Partinah, bantuan itu datang di saat yang tepat, ketika para pembatik tengah berjuang bangkit setelah terpukul oleh sepinya pesanan selama Covid-19.

    “Alhamdulillah, sangat membantu saat kondisi belum pulih sepenuhnya,” ucapnya.

    Bantuan modal tersebut sejalan dengan misi BRI dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.

    Demikian dikatakan oleh Direktur Bisnis Mikro BRI Supari dalam keterangan tertulisnya.

    “Secara umum, strategi Bisnis Mikro BRI ke depan akan fokus pada pemberdayaan berada di depan pembiayaan. BRI sebagai bank yang berkomitmen kepada UMKM, telah memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai dari fase dasar, integrasi hingga interkoneksi,” terang Supari.

    Program Desa

    Sebuah badan usaha milik desa tersebut terlibat menjadi motor penggerak bagi perempuan dan pemuda lokal untuk mandiri, melalui lembaran batik tulis yang sarat makna.

    Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Girilayu lahir pada tahun 2017, dengan visi besar memberdayakan masyarakat dan mendorong ekonomi desa agar tak sekadar berjalan, tapi melesat.

    “BUMDes ini kami bentuk bukan cuma untuk menjalankan usaha, tapi untuk membawa manfaat langsung bagi warga,” ujar Kepala Desa Girilayu, Slamet, dihubungi terpisah. 

    Dari unit simpan pinjam hingga pengelolaan air dan jasa, BUMDes Girilayu terus bertumbuh, namun sektor batik tetap menjadi nadi utamanya, bukan hanya sebagai produk unggulan, melainkan juga sebagai warisan yang dirawat dan dibagikan.

    Saat ini, sebanyak 12 perajin batik aktif bekerja sama di bawah naungan BUMDes, tergabung dalam paguyuban pembatik bernama Giri Arum.

    Mereka bukan sekadar pengrajin, tapi pelaku sejarah yang meneruskan tradisi batik tulis yang telah hidup di Girilayu sejak zaman Mangkunegaran.

    Pendataan para pengrajin dilakukan secara terbuka melalui sistem pendaftaran, lalu dilanjutkan dengan pembinaan.

    Tak berhenti pada produksi, BUMDes juga mengembangkan eduwisata batik, membuka ruang belajar bagi wisatawan yang ingin mengenal proses batik tulis dari dekat.

    “Produk turunan batik seperti pakaian jadi dan cendera mata sedang kami dorong, sekaligus edukasi membatik untuk pengunjung,” jelasnya.

    Media sosial dan pameran menjadi jembatan penting dalam pemasaran.

    Melalui akun digital, mereka membangun jejak daring untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

    Pendampingan dari berbagai pihak memperkuat gerak BUMDes ini.

    Dari dinas koperasi, dinas pariwisata, hingga kampus-kampus besar seperti UNS, ISI, dan UMS, semua ikut hadir mendampingi melalui pelatihan dan penelitian.

    “Dukungan itu sangat berarti. Kami diberi pelatihan pengelolaan, bahkan bantuan peralatan dari dinas,” kata Slamet.

    Pemerintah desa sendiri sangat terlibat aktif, mulai dari administrasi, penyusunan regulasi, hingga koordinasi lapangan, agar operasional BUMDes berjalan lancar dan transparan.

    Meskipun sistem keuangan masih dilakukan secara manual dan sederhana, laporan keuangan sudah diaudit oleh dinas terkait dan dinyatakan cukup baik, meski butuh pembenahan lebih lanjut.

    “Pendanaan masih dari dana desa. Tapi yang penting, semua tercatat dan bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

    BUMDes Girilayu memang masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia unggul yang bisa mengelola usaha secara profesional.

    Namun Slamet yakin, dengan menguatkan pemahaman kerja dan sistem organisasi, semua perlahan bisa ditangani.

    “Harapan kami sederhana, tapi besar: semoga BUMDes bisa terus berkembang, bisa membuka unit usaha besar ke depan—termasuk sektor wisata yang lebih terintegrasi,” ucapnya penuh semangat.

    (*)

  • Cerita Generasi Kelima Pengrajin Batik Giri Wastra Pura, Menolak Harta Leluhur Sirna – Halaman all

    Cerita Generasi Kelima Pengrajin Batik Giri Wastra Pura, Menolak Harta Leluhur Sirna – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha

    TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR – Partinah generasi keempat penerus UMKM Batik Tulis Giri Wastra Pura, di Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar adalah penjaga nilai-nilai luhur dari warisan budaya yang diwariskan turun-temurun di desanya.

    “Batik tulis ini bukan sekadar kain bercorak. Ini warisan leluhur. Kalau tidak kita yang jaga, siapa lagi?” tuturnya sambil menatap cucunya yang sedang sibuk memberi warna pada sehelai kain, pada Kamis (10/4/2025).

    Cucu yang dimaksud itu bernama Camelia, generasi kelima pengrajin batik tulis Giri Wastra Pura.

    Ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP.

    Camelia kini mulai akrab dengan dunia batik, dunia yang bagi banyak anak seusianya mungkin terdengar kuno.

    Namun bagi Camelia, batik adalah rumah—tempat pulang bagi nilai-nilai dan identitas keluarga.

    Sejak duduk di bangku kelas 4 SD, Camelia sudah dilibatkan dalam proses membatik. Mulanya menggambar pola, lalu membantu proses pewarnaan.

    Kini, tangan kecilnya mulai luwes memainkan kuas dan canting.

    “Cucu saya sudah saya libatkan sejak kecil. Supaya tahu, supaya merasa memiliki. Paling tidak bisa menggambar dan mewarnai,” ucap Partinah dengan nada penuh harap.

    Para pengrajin batik yang merupakan penerus warisan pembatik Girilayu

    Bagi Partinah, regenerasi pengrajin bukan sekadar soal kelangsungan usaha.

    Ia percaya, melibatkan anak-anak sejak dini adalah kunci agar batik tulis tak hanya bertahan, tapi juga berkembang.

    “Cucu-cucu kami tak mau warisan ini sirna. Eman kalau sampai hilang,” katanya dengan sorot mata teduh.

    Desa Girilayu memang dikenal sebagai sentra batik tulis di Karanganyar.

    Namun, seperti banyak kerajinan tradisional lainnya, tantangan zaman membuat jumlah pengrajin semakin berkurang, terutama dari kalangan usia muda.

    Saat ini, dari sekitar 300-an pengrajin batik di desa tersebut, hanya sekitar 30 hingga 40 persen yang berasal dari kelompok usia muda.

    Sebagian besar di antaranya adalah anak dan cucu dari pengrajin lama, seperti Camelia.

    Bagi Partinah dan para perajin senior lain, penting untuk mulai memberi ruang kepada generasi muda untuk belajar sambil terjun langsung.

    “Saya biasakan. Apa yang bisa mereka kerjakan ya saya serahkan. Kalau ada pesanan dari tamu, saya ajak mereka bantu saat libur sekolah,” ujar Partinah.

    Regenerasi Warisan Batik Girilayu

    Wakil Dekan FSRD Universitas Sebelas Maret, Dr. Desy Nurcahyanti, S.Sn., M.Hum, melalui penelitiannya di Desa Girilayu melahirkan buku berjudul Dinamika Regenerasi Perajin Batik Eksplorasi, Model dan Motif Mbok Semok pada 2024.

    Buku tersebut juga menjelaskan isi tentang regenerasi pengrajin batik di Girilayu.

    Dalam wawancara bersama Tribunnews pada Jumat (18/4/2025), Desy menyampaikan, keahlian membatik perempuan Girilayu diajarkan secara turun-temurun melalui pembelajaran contoh dan pelibatan anak dalam proses membatik, terutama anak perempuan.

    “Kegiatan dan aktivitas berulang adalah konsep afirmatif, sehingga menstimulasi anak untuk mencoba (membatik),” jelasnya.

    Menurutnya, tidak ada konsep paksaan dalam pewarisan membatik di Girilayu.

    Setelah anak mengutarakan maksud belajar membatik pada ibunya, maka pembelajaran dasar membatik pun dimulai.

    Nurcahyanti dalam bukunya tersebut menguraikan material wajib yang harus ada di depan rumah warga Girilayu.

    POLA BATIK – Partinah membuat pola motif batik produksi Giri Wastra Pura

    Meliputi Gawangan (kayu panjang berkaki untuk menempatkan kain sewaktu proses pencantingan), kain mori, kompor, wajan, malam, canting dan dingklik (bangku kecil dari kayu beralaskan spon atau kain batik bekas untuk alas duduk setengah jongkok).

    Dari buku Dinamika Regenerasi Perajin Batik Eksplorasi, Model dan Motif Mbok Semok, Desy  menuliskan, perempuan Jawa saat ini lebih leluasa untuk bertindak dan mengambil keputusan sepihak.

    Leluasa untuk memilih membeli lauk daripada memasak.

    Leluasa untuk mengadopsi, melahirkan dengan proses caesar (bukan karena keputusan medis), atau tidak hamil dan memiliki anak.

    Leluasa untuk menggunakan gaun atau setelan jas seperti laki-laki, bahkan bergaya maskulin atau androgini.

    “Semua terjadi karena akses pendidikan. Perempuan diizinkan untuk menjadi pandai, sehingga tidak ada tuntutan untuk menjadi perempuan seperti konsep konvensional,” ungkapnya.

    Ia melanjutkan, batik adalah representasi perempuan dan perempuan mampu merepresentasikan setetika batik dengan paripurna.

    Garis lengkung dan meliuk adalah citra feminimitas. Seluruh jiwa yang  bersentuhan dengan proses batik akan terbentuk sebagai pribadi berlogika rasa.

    “Pekerjaan tang membutuhkan konsentrasi tinggi untuk menyambung titik dan garis menggunakan canting, paling sesuai dikerjakan perempuan,” papar dia.

    Kemudian terkait regenerasi pembatik Girilayu, Desy menyinggung perihal status.

    “Membatik membuat lebih sempurna untuk ukuran sosial di wilayah tersebut,” tegasnya.

    Adapun dalam buku karya Desy pada 2024 halaman 69 diuraikan, mayoritas perempuan pembatik di Girilayu adalah ibu rumah tangga.

    bagi perempuan pekerja (guru, karyawan) di Girilayu, membatik dilakukan pada waktu senggang, semacam kebahagiaan atau waktu khusus versi mereka.

    Konsep membatik bagi perempuan Girilayu hingga saat ini belum dianggap sebagai sumber nafkah karena sumber daya alam dan pariwisata cukup menggerakkan roda perekonomian di wilayah tersebut

    Adapun Desa Girilayu merupakan lokasi makam penguasa dan kerabat Mangkunegaran, terdiri dari lima dusun dengan luas wilayah 311.366 hektare.

    Berdasar data dari Bappeda Kabupaten Karanganyar pada 2024, jumlah penduduk Girilayu sekitar 3.779 jiwa.

    Girilayu memiliki brbagai potensi yang dikembangkan menjadi tujuan wisata dan resmi dibuka pada 2017.

    Girilayu dengan masyarakat di dalamnya memelihara semboyan Tri Dharma yang diwariskan kepada generasi sebelumnya menjadi pedoman kehidupan sehari-hari, termasuk dalam praktik membatik.

    (Nurcahyanti, 2024) Tri Dharma terdiri dari tiga ajaran: rumangsa melu handarbeni (kesadaran dan tanggung jawab untuk memiliki, wajib melu hangrungkepi (kewajiban untuk menjaga), dan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri dan berani bertindak untuk kebaikan).

    Ketiga prinsip ini mengalir dalam kehidupan membatik menjadikannya sebagai simbol regenerasi yang lebih dari sekedar proses reproduksi, namun mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual.

    (*)

  • Batik Giri Wastra Pura, Warisan Budaya di Tanah Wingit Makam Raja dan Presiden – Halaman all

    Batik Giri Wastra Pura, Warisan Budaya di Tanah Wingit Makam Raja dan Presiden – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha

    TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR – Di lereng Gunung Lawu yang berselimut kabut dan udara sejuk, terbentang sebuah desa yang menyimpan warisan tak ternilai bernama Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar.

    Untuk mencapainya, pengunjung harus menyusuri jalanan berkelok khas pegunungan selama sekitar satu jam dari pusat kota Solo, menempuh jarak 34 kilometer yang terasa seperti perjalanan melintasi ruang sejarah dan kebudayaan.

    Di desa yang diapit dua kompleks makam bersejarah di Jawa Tengah, yakni Astana Mangadeg dan Astana Giribangun, hidup sebuah karya budaya yang tetap bernapas dari zaman raja hingga kini.

    Astana Mangadeg adalah tempat peristirahatan terakhir Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said, pendiri Pura Mangkunegaran generasi Mataram Islam pelopor gerakan perlawanan terhadap penjajah.

    Masih di area pemakaman, dimakamkan juga Mangkunegara II, Mangkunegara III dan kerabat dekat.

    Sementara tak jauh dari sana, Astana Giribangun menjadi saksi sejarah Indonesia modern, terdapat kompleks makam keluarga Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, beserta Tien Soeharto.

    Di antara keheningan pusara agung itulah, kain batik tulis Giri Wastra Pura lahir dan tumbuh menjadi simbol warisan budaya yang tak lekang oleh zaman.

    Partinah, seorang perempuan berusia 57 tahun, menjadi sosok penjaga warisan itu, sekaligus pelaku sejarah kecil yang membentangkan kebudayaan dengan canting dan malam.

    Ia adalah generasi keempat dari keluarga pembatik di Girilayu, sebuah garis keturunan yang mengalir sejak era Mangkunegaran berdiri sekitar tahun 1775.

    Usahanya yang bernama Giri Wastra Pura bukan hanya menjadi penghidupan, tapi juga simbol dari kelangsungan tradisi batik tulis yang kini makin langka.

    Pada 2019, Giri Wastra Pura terpilih menjadi bagian dari program BRI Incubator, sebuah dukungan untuk pelaku UMKM agar mampu berkembang di era digital dan kompetitif.

    Namun lebih dari itu, nilai istimewa Giri Wastra Pura terletak pada ciri khas motif, salah satunya adalah motif Tugu Tri Dharma, monumen kecil yang berdiri hening di antara dua tokoh besar yang bersemayam di Girilayu.

    Tugu itu bukan sekadar bentuk, tetapi simbol yang memuat filosofi persatuan, pengabdian, dan semangat spiritual yang diwariskan dari Pangeran Sambernyawa hingga Presiden Soeharto.

    “Muncul pula motif-motif batik lain seiring perkembangan batik kontemporer, tentu motif batik klasik seperti Wahyu Tumurun, Gringsing, Sido Luhur, Parang hingga Truntum juga masih dilestarikan,” ujarnya mengawali perbincangan dengan Tribunnews pada Kamis (10/4/2025).

    Motif-motif batik lainnya juga merefleksikan alam sekitar dan nilai luhur budaya Jawa.

    Semuanya dikerjakan dengan teknik tulis manual yang memerlukan kesabaran dan ketelitian tinggi.

    Dari galeri batik Giri Wastra Pura, Partinah menunjukkan sehelai kain batik yang mencapai 2,6 meter panjangnya, dengan lebar antara 1,2 hingga 1,5 meter.

    Cukup luas untuk menjadi bahan pakaian maupun pajangan artistik.

    Harga kain bervariasi tergantung kompleksitas motif dan proses pengerjaan, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta untuk batik mentahan yang belum diwarnai.

    Sedangkan batik yang sudah melalui proses pewarnaan lengkap, seringkali dengan teknik pewarnaan alamiah, dibanderol mulai dari Rp 1,5 juta hingga lebih.

    Mewarnai selembar batik bukanlah pekerjaan sehari dua hari, prosesnya bisa memakan waktu empat bulan bahkan enam bulan jika musim hujan memperlambat pengeringan.

    Dalam balutan waktu yang panjang itulah kualitas batik tulis Giri Wastra Pura tumbuh, setiap guratan canting adalah hasil dari konsentrasi, pengalaman, dan cinta terhadap budaya.

    Meski berada di desa kecil, pemasaran batik ini tak sebatas pada area lokal.

    Partinah memasarkan produknya langsung dari rumahnya di Dukuh Wetankali, tapi juga bekerja sama dengan beberapa lokasi strategis seperti Hotel Nava dan Rumah Atsiri di kawasan wisata Tawangmangu.

    Dari titik-titik itu, batik Giri Wastra Pura mengalir ke berbagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga melintasi pulau ke Sumatra dan Kalimantan.

    Adaptasi Dunia Digital

    Kini, Giri Wastra Pura juga mulai beradaptasi dengan dunia digital.

    Partinah mengelola akun Instagram dan sudah membuka opsi pembayaran non-tunai menggunakan QRIS, menyesuaikan dengan kebiasaan belanja masyarakat masa kini.

    Tak hanya menjual kain batik lembaran, Giri Wastra Pura juga menerima pesanan baju batik yang kerap dijadikan suvenir resmi oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar.

    STUDIO BATIK – Studio batik di Galeri Batik Tulis Giri Wastra Pura

    Baju-baju batik tersebut dikemas dalam kotak eksklusif, mencerminkan nilai budaya yang dibalut estetika modern.

    “Alhamdulillah, kalau ada tamu dari Pemkab Karanganyar, sering kali pesan suvenirnya dari sini,” tutur Partinah dengan senyum bangga.

    Selain batik tulis, Giri Wastra Pura juga terbuka untuk menerima pesanan batik printing, meski pengerjaannya dilakukan lewat kemitraan dengan pelaku usaha lain.

    Usaha ini bukan semata produksi dan penjualan, melainkan juga ruang belajar dan pelestarian budaya.

    Pengunjung yang datang tidak hanya bisa membeli batik, tapi juga merasakan pengalaman membatik secara langsung—sebuah bentuk eduwisata yang mulai menarik banyak wisatawan.

    Bekerja sama dengan Hotel Nava dan Rumah Atsiri, Partinah membuka ruang praktik membatik bagi tamu-tamu yang ingin menyentuh langsung proses penciptaan karya batik.

    Tak jarang pula, Partinah diundang sebagai narasumber pelatihan membatik, baik di dalam maupun luar Pulau Jawa.

    Pada Agustus 2022, ia menghabiskan hampir sepuluh hari di Sulawesi Selatan, memberi pelatihan intensif di dua kota sekaligus: Makassar dan Pare-pare.

    “Selama sembilan hari penuh kami pelatihan, antusiasme peserta luar biasa,” kenangnya.

    Gandeng Warga

    Partinah tak hanya membatik untuk dirinya sendiri, ia menggandeng tangan-tangan terampil di sekitarnya, membentuk sebuah komunitas pembatik yang ia beri nama Giri Wastra Pura atau GWP.

    Bukan sekadar kelompok kerja, GWP adalah rumah bagi 24 perempuan, mayoritas ibu rumah tangga, yang bersama-sama menjaga nyala warisan batik tulis agar tak padam ditelan zaman.

    Kelompok ini merupakan satu dari 12 komunitas pembatik yang kini tumbuh di Desa Girilayu, desa batik yang mekar di bawah bayang-bayang Gunung Lawu.

    “Kami mulai membentuk kelompok sekitar tahun 2019, tujuannya supaya batik tulis tetap hidup di sini, dan ibu-ibu juga punya penghasilan sendiri,” ungkap Partinah.

    Ia menuturkan bahwa dahulu para perempuan di desanya hanyalah buruh batik, bekerja dari balik dinding rumah mereka, lalu menyerahkan hasil kerjanya kepada pemilik usaha batik di Solo.

    Saat itu, pekerjaan mereka terbatas pada proses awal, mencanting atau membuat pola di atas kain, sebelum kemudian dibawa ke kota untuk pewarnaan dan penyelesaian akhir.

    PIALA BATIK – Deretan piala penghargaan di Giri Wastra Pura

    “Dulu hanya ngerjakan di rumah, nanti setengah jadinya dikirim ke Solo untuk diselesaikan. Warga sini cuma dapat bagian awal,” kisahnya, mengenang masa ketika nilai karya belum sepenuhnya milik tangan pembuatnya.

    Namun keadaan itu perlahan berubah.

    Melalui pelatihan, ketekunan, dan dorongan untuk mandiri, kini para perempuan di Girilayu mampu menyelesaikan sendiri seluruh proses pembuatan batik, dari menggambar pola, mencanting, mewarnai, hingga menjualnya secara langsung.

    “Sekarang ibu-ibu sudah bisa semua prosesnya. Jadi batik dari awal sampai jadi ya diselesaikan di sini, dipasarkan juga sendiri,” ujarnya bangga.

    Tak sedikit dari mereka yang tetap bekerja dari rumah, membatik di sela-sela waktu mengurus keluarga.

    Pekerjaan tersebut juga turut menambah penghasilan keluarga, membantu para suami yang kebanyakan berprofesi sebagai petani sesuai dengan wilayah geografis Girilayu kaya akan sawah pegunungan.

    Aktivitas membatik pun menjadi bagian dari rutinitas harian yang menyatu dengan kehidupan desa.

    “Biasanya ngerjakan setelah pekerjaan rumah selesai. Nyanting sambil jaga anak, nanti kalau selembar kain selesai, bisa langsung dijual dan dapat uang,” tambah Partinah.

    BRI Dorong UMKM Naik Kelas

    GWP dalam radar program BRIncubator, sebuah inisiatif untuk mendorong usaha kecil naik kelas.

    Bukan sekadar pelatihan, program itu membuka jalan baru bagi Partinah dan kelompoknya untuk mengenali kekuatan dari usaha mereka sendiri.

    Melalui pendampingan intensif, mereka belajar memahami pasar, membaca tren, dan mengemas produk batik dengan nilai lebih tinggi.

    Pendampingan itu juga mengajarkan bagaimana tradisi bisa tumbuh beriringan dengan teknologi.

    “Banyak yang kami pelajari, terutama soal pemasaran dan pengembangan usaha,” ujar Partinah, mengenang masa-masa awal bergabung dengan BRIncubator.

    Tiga tahun berselang, pada 2022, dukungan itu kembali datang dalam bentuk bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp15 juta.

    Jumlah itu bukan sekadar angka, melainkan bahan bakar untuk melanjutkan mesin tradisi yang sempat terhenti karena pandemi.

    Dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli kain, malam, hingga peralatan produksi lainnya yang dibutuhkan para pembatik di Girilayu.

    Termasuk untuk pelatihan 24 pengrajin batik yang tergabung dalam GWP.

    Bagi Partinah, bantuan itu datang di saat yang tepat, ketika para pembatik tengah berjuang bangkit setelah terpukul oleh sepinya pesanan selama Covid-19.

    “Alhamdulillah, sangat membantu saat kondisi belum pulih sepenuhnya,” ucapnya.

    Bantuan modal tersebut sejalan dengan misi BRI dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.

    Demikian dikatakan oleh Direktur Bisnis Mikro BRI Supari dalam keterangan tertulisnya.

    “Secara umum, strategi Bisnis Mikro BRI ke depan akan fokus pada pemberdayaan berada di depan pembiayaan. BRI sebagai bank yang berkomitmen kepada UMKM, telah memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai dari fase dasar, integrasi hingga interkoneksi,” terang Supari.

    Program Desa

    Sebuah badan usaha milik desa tersebut terlibat menjadi motor penggerak bagi perempuan dan pemuda lokal untuk mandiri, melalui lembaran batik tulis yang sarat makna.

    Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Girilayu lahir pada tahun 2017, dengan visi besar memberdayakan masyarakat dan mendorong ekonomi desa agar tak sekadar berjalan, tapi melesat.

    “BUMDes ini kami bentuk bukan cuma untuk menjalankan usaha, tapi untuk membawa manfaat langsung bagi warga,” ujar Kepala Desa Girilayu, Slamet, dihubungi terpisah. 

    Dari unit simpan pinjam hingga pengelolaan air dan jasa, BUMDes Girilayu terus bertumbuh, namun sektor batik tetap menjadi nadi utamanya, bukan hanya sebagai produk unggulan, melainkan juga sebagai warisan yang dirawat dan dibagikan.

    Saat ini, sebanyak 12 perajin batik aktif bekerja sama di bawah naungan BUMDes, tergabung dalam paguyuban pembatik bernama Giri Arum.

    Mereka bukan sekadar pengrajin, tapi pelaku sejarah yang meneruskan tradisi batik tulis yang telah hidup di Girilayu sejak zaman Mangkunegaran.

    Pendataan para pengrajin dilakukan secara terbuka melalui sistem pendaftaran, lalu dilanjutkan dengan pembinaan.

    Tak berhenti pada produksi, BUMDes juga mengembangkan eduwisata batik, membuka ruang belajar bagi wisatawan yang ingin mengenal proses batik tulis dari dekat.

    “Produk turunan batik seperti pakaian jadi dan cendera mata sedang kami dorong, sekaligus edukasi membatik untuk pengunjung,” jelasnya.

    Media sosial dan pameran menjadi jembatan penting dalam pemasaran.

    Melalui akun digital, mereka membangun jejak daring untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

    Pendampingan dari berbagai pihak memperkuat gerak BUMDes ini.

    Dari dinas koperasi, dinas pariwisata, hingga kampus-kampus besar seperti UNS, ISI, dan UMS, semua ikut hadir mendampingi melalui pelatihan dan penelitian.

    “Dukungan itu sangat berarti. Kami diberi pelatihan pengelolaan, bahkan bantuan peralatan dari dinas,” kata Slamet.

    Pemerintah desa sendiri sangat terlibat aktif, mulai dari administrasi, penyusunan regulasi, hingga koordinasi lapangan, agar operasional BUMDes berjalan lancar dan transparan.

    Meskipun sistem keuangan masih dilakukan secara manual dan sederhana, laporan keuangan sudah diaudit oleh dinas terkait dan dinyatakan cukup baik, meski butuh pembenahan lebih lanjut.

    “Pendanaan masih dari dana desa. Tapi yang penting, semua tercatat dan bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

    BUMDes Girilayu memang masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia unggul yang bisa mengelola usaha secara profesional.

    Namun Slamet yakin, dengan menguatkan pemahaman kerja dan sistem organisasi, semua perlahan bisa ditangani.

    “Harapan kami sederhana, tapi besar: semoga BUMDes bisa terus berkembang, bisa membuka unit usaha besar ke depan—termasuk sektor wisata yang lebih terintegrasi,” ucapnya penuh semangat.

    (*)