kab/kota: Kalibata

  • Bupati Pohuwato Keluhkan Akses Jalan di Sandalan, Wamentrans Siap Bantu dan Dukung
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        15 Desember 2025

    Bupati Pohuwato Keluhkan Akses Jalan di Sandalan, Wamentrans Siap Bantu dan Dukung Regional 15 Desember 2025

    Bupati Pohuwato Keluhkan Akses Jalan di Sandalan, Wamentrans Siap Bantu dan Dukung
    Penulis
    KOMPAS.com
    – Bupati Pohuwato Saipul A. Mbuinga mengatakan bahwa program transmigrasi yang ada di wilayahnya sudah ada sejak 1981. 
    Dalam perjalanan waktu, Saipul mengatakan bahwa program itu mampu mengubah kehidupan transmigran menjadi sejahtera. Kawasan transmigrasi yang ada pun sekarang menjadi sentra tanaman pangan.
    Hal tersebut dikatakan 
    Bupati Pohuwato
    Saipul A. Mbuinga kepada Wakil Menteri Transmigrasi (
    Wamentrans
    ) Viva Yoga Mauladi di Gedung C, Kantor Kementerian Transmigrasi (Kementrans), Kalibata, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Meski sukses, Saipul mengungkapkan, ada kendala dalam mengembangkan salah satu lokasi transmigrasi, yakni Sandalan. Hal ini karena akses jalan yang belum sesuai dengan warga transmigran dan masyarakat lainnya.
    “Akses itu menghubungkan Sandalan ke ibu kota kecamatan. Akses penting untuk mengirimkan berbagai produk pertanian”, ungkap Saipul dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (15/12/2025).
    Oleh karena itu, ia meminta bantuan ke Kementrans untuk membangun akses jalan dan jembatan yang menghubungkan dari dan ke Sandalan. Pasalnya Kabupaten Pohuwato memiliki keterbatasan dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
    Wamentrans Viva Yoga menyatakan, siap mendukung pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi di kabupaten yang berada paling barat di Gorontalo itu.
    “Ok, siap mendukung”, ujar Wamentrans.
    Wamentrans Viva Yoga mengatakan, di Kabupaten Pohuwato memiliki satu kawasan transmigrasi bidang dan satu kawasan Satuan Permukiman (SP) Bina yang berlokasi di Sandalan. Di Lokasi ini ada 165 kepala keluarga.
    “Sebab masih di bawah pembinaan Kementrans, kita wajib memonitor, mengawasi, dan membantu pembangunan di sana”, ujarnya.
    Selain masalah infrastruktur, Wamentrans Viva Yoga juga mengatakan, ada masalah lain yang menjadi tantangan pembangunan di Sandalan, yaitu sebanyak 94 bidang kawasan yang masuk dalam HPK (Hutan Produksi yang Bisa dikonversi).
    Viva Yoga mengatakan, keputusan rapat Komisi V DPR meminta pemerintah untuk mengeluarkan seluruh kawasan hutan yang berada di kawasan transmigrasi, harus dilepaskan status kawasan hutannya.
    “Berdasarkan keputusan DPR maka apa yang terjadi di Sandalan bisa dituntaskan. Permasalah pertanahan harus diselesaikan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari”, tegasnya.
    Dalam membangun kawasan transmigrasi, mantan Anggota Komisi IV DPR dua periode itu mengatakan, Kementrans tidak bisa bekerja sendirian.
    Kementerian ini harus bersinergi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Pertanian; pemerintah daerah serta badan usaha milik negara (BUMN).
    “Kita juga akan bersinergi dengan Permodalan Nasional Madani (PNM) dalam memberdayakan warga transmigran. Banyak bantuan dari PNM yang bisa disalurkan di kawasan transmigrasi”, ungkapnya.
    Selain itu, ada juga program penanaman kelapa di Pohuwato dari Kementerian Pertanian yang bisa disinergikan dengan Kementrans.
    “Kita jadikan Pohuwato tidak hanya menjadi sentra beras dan jagung namun juga kelapa. Bila perlu ada rumah produksi olahan kelapa. Kita dorong Sandalan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru”, harap pria asal Lamongan, Jawa Timur itu.
    Untuk mewujudkan keinginan itu, Kementrans memberi bantuan Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp 1,3 miliar kepada wilayah transmigrasi, termasuk di Pohuwato. Bantuan ini untuk rehabilitasi sekolah dan peningkatan fasilitas umum. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mata Elang dan Privatisasi Kekerasan di Jalanan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        15 Desember 2025

    Mata Elang dan Privatisasi Kekerasan di Jalanan Megapolitan 15 Desember 2025

    Mata Elang dan Privatisasi Kekerasan di Jalanan
    Polisi Militer TNI Angkatan Darat
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    ISTILAH
    “Mata Elang” kini tidak lagi sekadar julukan bagi ketajaman visual, melainkan telah menjadi sinyal teror di ruang publik.
    Di sudut-sudut jalan kota besar, kelompok penagih utang (
    debt collector
    ) ini beroperasi dengan modus operandi yang kian canggih: berbekal aplikasi pelacak pelat nomor yang terhubung basis data debitur secara
    real-time.
    Namun, fenomena ini bukan sekadar urusan kredit macet; ini adalah manifestasi dari transformasi penagihan utang menjadi aksi kepolisian swasta (
    private policing
    ) yang koersif dan berbahaya.
    Secara yuridis, keberadaan jasa penagihan pihak ketiga memang diakui legalitasnya. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35 Tahun 2018 memperbolehkan perusahaan pembiayaan bekerja sama dengan pihak lain untuk fungsi penagihan, asalkan berbadan hukum dan bersertifikasi.
    Namun, ada jurang menganga (gap) antara norma hukum (
    das sollen
    ) dan realitas jalanan (
    das sein
    ). Regulasi mensyaratkan penagihan dilakukan tanpa ancaman, kekerasan, atau tindakan yang mempermalukan.
    Faktanya, yang terjadi adalah intersepsi paksa di jalan raya, perampasan kunci kontak, hingga intimidasi fisik.
    Tindakan mencegat dan merampas kendaraan di jalan raya jelas merupakan anomali dalam negara hukum.
    Ketika seorang penagih utang mengambil paksa barang milik debitur dengan kekerasan atau ancaman, tindakan tersebut telah bergeser dari ranah perdata ke ranah pidana.
    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 tentang pemerasan dan Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan secara tegas melarang praktik ini.
    Yurisprudensi pun telah ada; pengadilan negeri pernah memvonis
    debt collector
    dengan hukuman penjara karena terbukti melakukan perampasan motor di jalan dengan dalih penunggakan.
    Di Medan, misalnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada empat
    debt collector
    yang merampas mobil korban di Jalan Stadion, tepatnya di depan Kantor Polsek Medan Kota (
    Antaranews.com
    , 5 November 2025).
    Dari kacamata kriminologi, fenomena
    Mata Elang
    menunjukkan gejala erosi otoritas negara. Ketika negara kewalahan memonopoli penggunaan upaya paksa, ruang kosong tersebut diisi oleh aktor non-negara.
    Akibatnya, muncul “pengadilan jalanan”: penagih menghukum debitur dengan perampasan sepihak, dan masyarakat merespons balik dengan vigilantisme atau main hakim sendiri.
    Insiden berdarah di Kalibata beberapa waktu lalu, adalah bukti nyata bagaimana konflik privat ini dapat bereskalasi menjadi gangguan keamanan publik yang fatal.
    Dua Mata Elang tewas dikeroyok saat hendak mengambil paksa motor di jalan. Enam polisi yang melakukan pengeroyokan sudah ditangkap dan dijadikan tersangka.
    Untuk mengakhiri normalisasi premanisme berkedok penagihan ini, diperlukan solusi yang menyentuh akar masalah.
    Pertama, penegakan hukum harus bersifat represif dan tanpa kompromi. Kepolisian tidak boleh sekadar menunggu laporan viral.
    Setiap aksi perampasan paksa di jalan raya harus diproses sebagai tindak pidana murni—baik itu pemerasan maupun pencurian dengan kekerasan—demi memberikan efek jera.
    Perlindungan hukum harus hadir nyata, di mana korban didorong untuk melapor dan laporan tersebut diproses hingga tuntas.
    Kedua, regulator perlu mempertegas aturan main. Tidak cukup hanya dengan POJK; diperlukan payung hukum setingkat Undang-Undang yang mengatur profesi penagihan secara spesifik.
    Aturan ini harus memuat larangan mutlak terhadap eksekusi jaminan fidusia di jalan raya tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dan pendampingan aparat resmi.
    Ketiga, akuntabilitas korporasi. Perusahaan pembiayaan tidak bisa lepas tangan dengan dalih
    outsourcing.
    Jika pihak ketiga yang mereka sewa melakukan kekerasan, perusahaan pemberi kuasa harus turut dimintai pertanggungjawaban hukum.
    Membiarkan “Mata Elang” beroperasi dengan cara-cara premanisme sama halnya dengan membiarkan hukum rimba berlaku di jalanan kita.
    Sudah saatnya negara mengambil alih kembali otoritasnya dan memastikan bahwa eksekusi jaminan dikembalikan ke jalur hukum yang bermartabat, bukan diselesaikan lewat adu otot di aspal panas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Segini Gaji Mata Elang di Indonesia, Setimpal dengan Risikonya?

    Segini Gaji Mata Elang di Indonesia, Setimpal dengan Risikonya?

    Jakarta, Beritasatu.com – Profesi mata elang kembali menjadi perbincangan publik setelah munculnya sejumlah peristiwa penagihan yang berujung konflik di kawasan TMP Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan.

    Insiden tersebut berujung pada aksi protes, perusakan, hingga pembakaran warung dan kendaraan di sekitar lokasi. Kejadian ini menegaskan bahwa profesi mata elang memiliki risiko tinggi, mulai dari ancaman fisik hingga konflik sosial.

    Risiko tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari pekerjaan, terutama ketika proses penagihan berhadapan dengan debitur yang menolak atau bersikap agresif.

    Kejadian tersebut membuka kembali diskusi tentang pekerjaan debt collector, mulai dari besaran gaji yang diterima hingga risiko besar yang harus dihadapi di lapangan.

    Dengan tingkat bahaya yang tidak kecil, banyak pihak mempertanyakan apakah penghasilan mata elang sebanding dengan tekanan dan ancaman yang melekat pada profesi ini.

    Gambaran Umum Profesi Mata Elang

    Mata elang merupakan sebutan populer untuk debt collector yang bekerja membantu perusahaan pembiayaan atau lembaga keuangan dalam menagih kewajiban debitur yang menunggak.

    Mereka biasanya bertindak sebagai pihak ketiga yang diberi kuasa untuk melakukan penagihan, baik melalui komunikasi jarak jauh maupun penagihan langsung.

    Dalam praktiknya, mata elang memiliki peran penting dalam menjaga kelancaran arus pembayaran kredit. Meski demikian, tugas ini menuntut ketegasan, kemampuan komunikasi yang baik, serta kesiapan menghadapi situasi tidak terduga di lapangan.

    Sistem Pembayaran dan Komisi Mata Elang

    Penghasilan mata elang umumnya ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan perusahaan leasing. Skema pembayaran biasanya berupa komisi atau fee atas keberhasilan penarikan aset pembiayaan.

    Kesepakatan ini dibuat ketika surat kuasa resmi diterbitkan oleh perusahaan leasing kepada perusahaan jasa penagihan eksternal.

    Besaran fee juga bergantung pada jenis unit yang diamankan. Sebagai contoh, kendaraan keluaran terbaru umumnya memiliki nilai komisi lebih tinggi dibandingkan kendaraan produksi lama.

    Selain itu, setiap perusahaan jasa penagihan memiliki standar penentuan fee sendiri yang sering kali dipengaruhi oleh rekam jejak atau track record perusahaan tersebut.

    Besaran gaji mata elang tidak bersifat tunggal dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor paling menentukan adalah pengalaman kerja.

    Semakin lama seseorang berkecimpung di dunia penagihan, biasanya semakin besar pula peluang memperoleh gaji yang lebih tinggi.

    Selain pengalaman, lokasi kerja juga berperan signifikan. Mata elang yang bertugas di kota-kota besar seperti Jakarta umumnya menerima bayaran lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja di daerah dengan skala ekonomi lebih kecil.

    Kisaran Gaji Mata Elang di Indonesia

    Secara umum, gaji debt collector atau mata elang di Indonesia berada pada rentang tertentu sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Berdasarkan data terkini, penghasilan bulanan dapat dimulai dari sekitar Rp 3 juta hingga Rp 8 juta.

    Untuk posisi yang lebih senior, terutama di perusahaan besar atau dengan tanggung jawab pengelolaan utang yang lebih luas, gaji tersebut bisa meningkat.

    Bahkan, data dari Indeed menunjukkan bahwa rata-rata gaji debt collector di Jakarta mencapai sekitar Rp 10,4 juta per bulan, dengan estimasi penghasilan harian sekitar Rp 451.000.

    Meski gaji awal terlihat tidak terlalu tinggi, profesi ini tetap menawarkan peluang peningkatan penghasilan. Dengan pengalaman, keterampilan negosiasi, serta reputasi kerja yang baik, mata elang dapat membangun karir yang lebih stabil dan berpenghasilan lebih besar.

    Regulasi dan Legalitas Profesi Mata Elang

    Profesi debt collector di Indonesia memiliki dasar hukum yang jelas. Keberadaannya diizinkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan POJK 22 Tahun 2023 tentang Penyelenggara Jasa Keuangan.

    Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa penagihan wajib dilakukan sesuai norma masyarakat dan ketentuan perundang-undangan.

    Penyelenggara jasa keuangan diwajibkan memastikan bahwa proses penagihan tidak dilakukan dengan ancaman, intimidasi, atau tindakan yang mempermalukan konsumen. Penagihan juga tidak boleh bersifat terus-menerus dan mengganggu.

    Selain itu, aturan menetapkan bahwa penagihan hanya boleh dilakukan di alamat domisili atau alamat penagihan konsumen pada hari Senin hingga Sabtu, di luar hari libur nasional, dengan rentang waktu pukul 08.00 sampai 20.00 waktu setempat. Penagihan di luar ketentuan tersebut hanya diperbolehkan jika mendapat persetujuan dari konsumen.

    Apa Itu Mata Elang atau Debt Collector Menurut OJK?

    Debt collector adalah individu atau kelompok yang ditugaskan oleh bank atau lembaga pemberi pinjaman untuk menagih kewajiban debitur yang menunggak.

    Mereka berfungsi sebagai pengingat agar peminjam segera menyelesaikan kewajiban finansialnya. Sebagai imbalan, debt collector dapat memperoleh komisi dari jumlah utang yang berhasil ditagih.

    Otoritas Jasa Keuangan menegaskan bahwa debt collector memiliki peran strategis dalam proses penagihan kredit atau pembiayaan. Namun, mereka diwajibkan mematuhi kode etik yang ketat agar praktik penagihan tetap sah dan tidak melanggar hak konsumen.

    Jika komunikasi awal tidak membuahkan hasil, mata elang dapat melakukan penagihan langsung dengan mendatangi tempat tinggal atau tempat kerja debitur. Apabila tidak ada itikad baik, kasus tersebut dapat diteruskan ke jalur hukum atas nama kreditur.

    Regulasi di Indonesia mengharuskan debt collector berbentuk badan hukum dan memiliki izin resmi. Etika penagihan mencakup kewajiban menggunakan kartu identitas, larangan melakukan kekerasan atau ancaman, serta tidak mengganggu konsumen melalui alat komunikasi.

    Penagihan juga harus dilakukan pada jam yang telah ditentukan dan di lokasi yang disepakati. Ketentuan ini bertujuan melindungi konsumen sekaligus menjaga profesionalisme mata elang dalam menjalankan tugasnya.

    Melihat besaran gaji, sistem komisi, serta peluang karir yang ada, profesi mata elang memang menawarkan potensi penghasilan yang cukup menarik. Namun, risiko tinggi di lapangan, tekanan psikologis, serta tuntutan kepatuhan terhadap aturan membuat pekerjaan ini tidak bisa dianggap ringan.

  • Anggota DPR Desak OJK Hentikan Praktik Premanisme Penagih Utang

    Anggota DPR Desak OJK Hentikan Praktik Premanisme Penagih Utang

    Jakarta, Beritasatu.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak menghentikan perusahaan jasa keuangan yang melakukan penagihan utang melalui pihak ketiga. Desakan muncul setelah sejumlah kasus menimbulkan korban dan praktik penagihan dengan cara premanisme yang meresahkan masyarakat.

    Desakan itu muncul setelah peristiwa penagihan utang di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Kamis (11/12/2025), yang menimbulkan korban jiwa.

    Anggota Komisi III DPR Abdullah menyoroti praktik penagihan utang yang melibatkan pihak ketiga. Ia menilai aturan ini tidak efektif dan berisiko menimbulkan tindak pidana. Abdullah, yang akrab disapa Abduh, menegaskan ini bukan kasus pertama.

    “Ini kedua kalinya. Saya minta OJK menghapus aturan yang membolehkan pihak ketiga menagih utang,” ujar Abduh di Jakarta, Senin (15/12/2025). Ia menilai Peraturan OJK Nomor 35 Tahun 2018 dan Nomor 22 Tahun 2023 bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen.

    Abduh menjelaskan, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak memberi mandat penagihan utang kepada pihak ketiga. “Hanya kreditur yang berhak menagih. OJK harus mengawasi dan memitigasi risiko, bukan hanya membuat peraturan,” katanya.

    Ia menambahkan, praktik penagihan pihak ketiga juga terjadi di Jalan Juanda, Depok, Sabtu (13/12/2025). “Kembalikan penagihan kepada pelaku usaha jasa keuangan. Perbaiki tata kelola dan lindungi konsumen,” ujarnya.

    Abduh meminta OJK dan kepolisian menindak tegas pelaku usaha yang melanggar. Ia menekankan investigasi harus dilakukan, dan pelanggar mendapat sanksi baik etik maupun pidana.

  • 8
                    
                        Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Penegakan Hukum yang Kebablasan?
                        Megapolitan

    8 Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Penegakan Hukum yang Kebablasan? Megapolitan

    Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Penegakan Hukum yang Kebablasan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kriminolog Havina Hasna menilai, kasus pengeroyokan terhadap debt collector atau mata elang di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, sebagai gagalnya aparat kepolisian dalam mengendalikan emosi.
    Salah satu persoalan utama dalam kasus ini adalah kegagalan pelaku memisahkan emosi personal dengan peran profesional sebagai penegak hukum.
    Konflik di lapangan yang seharusnya dapat dihadapi secara prosedural justru menjadi pengeroyokan.
    “Pelaku gagal memisahkan identitas personal (tersinggung, marah, merasa direndahkan) dengan peran profesional (aparat penegak hukum yang wajib mengendalikan diri),” kata Havina saat dihubungi, Minggu (14/12/2025).
    Kegagalan semacam ini bukan fenomena baru, terutama pada profesi yang memiliki otoritas besar.
    “Kegagalan ini sering muncul pada profesi berotoritas tinggi jika kontrol internal dan budaya reflektif lemah,” kata dia.
    Menurut Havina, tindakan kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian tersebut tidak dapat dilihat sebagai insiden biasa.
    Ia menjelaskan, polisi memang memiliki kewenangan sah atau
    legitimate power
    untuk menggunakan kekuatan dalam situasi tertentu.
    Namun, penggunaan kekuasaan tersebut memiliki batas yang jelas dan harus dilakukan sesuai konteks tugas serta prosedur hukum.
    “Ketika kekuasaan itu dipakai di luar konteks tugas dan prosedur, maka kekerasan berubah dari penegakan hukum menjadi tindak pidana, bahkan lebih serius karena dilakukan oleh aparat negara,” jelas dia.
    Havina menyebut kasus pengeroyokan ini dapat dikategorikan sebagai c
    rimes of the powerful
    , yakni kejahatan yang dilakukan oleh pihak berkuasa dengan dampak yang lebih luas.
    “Kejahatan oleh aktor berkuasa selalu berdampak ganda, Ada korban langsung, Ada kerusakan kepercayaan publik terhadap institusi. Oleh sebab itu, secara kriminologis, kasus ini lebih serius daripada pengeroyokan biasa,” ujar dia.
    Sebelumnya, dua orang
    debt collector
    atau
    mata elang
    tewas setelah mengalami kekerasan di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
    Peristiwa tersebut terjadi saat kedua korban diduga menghentikan seorang pengendara sepeda motor di lokasi kejadian.
    Situasi itu kemudian menarik perhatian sebuah mobil yang melaju tepat di belakang motor tersebut.
    Lima orang penumpang mobil itu turun dan menghampiri lokasi untuk membela pengendara motor yang dihentikan.
    Sejumlah warga yang berada di sekitar lokasi menyebutkan, kelima orang tersebut kemudian melakukan pemukulan terhadap dua mata elang secara bersama-sama.
    Kedua korban bahkan diseret ke sisi jalan sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
    Akibat pengeroyokan tersebut, dua mata elang meninggal dunia.
    Kematian kedua korban memicu reaksi dari kelompok sesama mata elang.
    Mereka melampiaskan amarah dengan merusak dan membakar sejumlah lapak serta kios milik pedagang di sekitar lokasi kejadian.
    Atas kejadian ini, Polda Metro Jaya telah menetapkan enam polisi sebagai tersangka.
    Mereka berinisial JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AN. Keenamnya merupakan anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri.
    Para tersangka dijerat Pasal 170 ayat (3) KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Selain pidana, keenamnya juga dijerat pelanggaran kode etik profesi Polri dengan kategori berat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengacara Habib Rizieq Nilai 6 Polisi Pengeroyok Mata Elang di Kalibata Tak Patut Dipenjara

    Pengacara Habib Rizieq Nilai 6 Polisi Pengeroyok Mata Elang di Kalibata Tak Patut Dipenjara

    GELORA.CO –  Advokat sekaligus pengacara Habib Rizieq Syihab (HRS), Aziz Yanuar mendukung langkah tegas 6 (enam) anggota kepolisian dari Pelayanan Masyarakat (Yanma) Mabes Polri yang melakukan tindakan keras kepada oknum anggota debt collector (DC) di kawasan Kalibata Jakarta Selatan.

    Menurutnya, langkah yang dilakukan keenam anggota Kepolisian tersebut sudah benar. Karena dalam konteks membela diri setelah mencoba melindungi masyarakat dari tindak pidana kekerasan dan upaya perampasan paksa kendaraan.

    “Menagih jaminan fidusia itu ada aturannya. Tidak bisa seenaknya menghentikan orang di jalan lalu merampas motor. Kalau tanpa prosedur dan dokumen resmi, itu bukan penagihan, tapi perampokan,” kata Aziz dalam keterangannya kepada Holopis.com, Minggu (14/12/2025).

    Saat ini, keenam anggota Kepolisian tersebut tengah ditahan dan dilakukan penempatan khusus (patsus) karena dituding melakukan pelanggaran etik berat.

    Namun demikian, Aziz malah memohon agar Ditreskrimum Polda Metro Jaya melepaskan keenam anggota Kepolisian tersebut.

    “Kami meminta aparat penegak hukum membebaskan enam anggota polisi yang terlibat insiden pengeroyokan terhadap kelompok mata elang (matel) atau debt collector,” ujarnya.

    Karena dalam perspektifnya, keenam polisi tersebut justru bertindak untuk membantu pengendara motor yang diberhentikan secara paksa dan melindungi diri dari upaya perampasan kendaraan.

    Diketahui, keenam anggota Polri yang ditangkap dan ditahan dalam perkara tersebut antara lain ; JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AN.

    Sebagai praktisi hukum, Aziz menegaskan bahwa fidusia hanya dapat dilakukan oleh kreditur secara profesional dan sesuai hukum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia serta POJK Nomor 35/POJK.05/2018. Proses tersebut harus diawali dengan somasi, surat peringatan, hingga surat kuasa eksekusi, dan bila perlu dilakukan melalui lelang eksekusi.

    “Kalau tidak menunjukkan sertifikat fidusia dan surat kuasa eksekusi, lalu mengambil paksa barang di jalan, itu maling dan rampok,” ujarnya.

    Di sisi lain, Aziz juga mempertanyakan penegakan hukum terhadap kelompok debt collector yang bertindak anarkis. Ia menilai, ketika aksi perampasan ilegal dilawan lalu menimbulkan korban, kemudian disusul pengerahan massa yang mengamuk dan melakukan kekerasan, maka pelaku utama seharusnya adalah pihak yang melakukan perampasan ilegal tersebut.

    “Ketika maling dan rampok dilawan lalu ada korban, kemudian gerombolan pro-maling mengamuk dan anarkis, apa hukumannya? Ini yang harus dijawab aparat penegak hukum,” tukas Aziz.

    Baca juga: DPR Sentil Polisi Doyan Tunggu Laporan, Harus Lebih Proaktif

    Ia menegaskan, negara tidak boleh tunduk pada praktik premanisme yang berlindung di balik label penagihan utang.

    “Negara tidak boleh kalah oleh preman dan garong. Polisi yang menjalankan tugas melindungi masyarakat justru harus dilindungi, bukan dikriminalisasi,” pungkasnya.

  • Kasus 2 Matel Tewas di Kalibata Jakarta, Gubernur NTT Minta Penegakan Hukum Terbuka
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Desember 2025

    Kasus 2 Matel Tewas di Kalibata Jakarta, Gubernur NTT Minta Penegakan Hukum Terbuka Regional 14 Desember 2025

    Kasus 2 Matel Tewas di Kalibata Jakarta, Gubernur NTT Minta Penegakan Hukum Terbuka
    Tim Redaksi
    KUPANG, KOMPAS.com
    — Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Melki Laka Lena menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya 2 warga asal NTT yang diduga menjadi korban penganiayaan oleh 6 anggota kepolisian di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
    Dua korban tersebut diketahui bernama Miklon Edisafat Tanone (41) dan Noverge Aryanto Tanu (32), yang disebut-sebut berprofesi sebagai
    debt collector
    atau mata elang.
    Keduanya meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan.
    “Atas nama Pemerintah Provinsi NTT dan seluruh masyarakat NTT, saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya dua anak NTT di Jakarta yang didianiaya oleh oknum polisi,” ujar Melki, saat dihubungi
    Kompas.com
    , Minggu (14/12/2025).
    Melki menegaskan, tertangkapnya 6 oknum polisi yang diduga terlibat harus diikuti dengan proses hukum yang tegas dan adil.
    Ia meminta aparat penegak hukum tidak ragu menerapkan pasal-pasal pidana yang sepadan dengan perbuatan penganiayaan yang berujung pada hilangnya nyawa.
    “Dengan tertangkapnya 6 oknum polisi tersebut, kami meminta agar segera diproses hukum dan dikenakan pasal yang sepadan dengan penganiayaan hingga menyebabkan kematian anak-anak kita ini,” tegasnya.
    Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan, tidak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi masyarakat NTT dan masyarakat Indonesia bagian timur secara umum.
    “Kami berharap dan meminta agar polisi benar-benar menerapkan pasal-pasal yang memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban, rakyat NTT, dan masyarakat Indonesia timur,” lanjut Melki.
    Melki juga menyatakan pihaknya bersama jejaring masyarakat NTT di Jakarta akan terus mengawal proses hukum terhadap keenam pelaku.
    Ia meminta agar penanganan kasus dilakukan secara terbuka agar publik memperoleh kepastian hukum.
    “Kami mendorong agar proses hukum terhadap enam pelaku dilakukan secara transparan dan terbuka, sehingga ada kepastian dan keadilan bagi keluarga korban,” ujarnya.
    Melki berharap peristiwa tragis ini menjadi yang terakhir dan tidak boleh terulang kembali di masa mendatang.
    Ia juga mengimbau masyarakat NTT yang berada di Jakarta untuk tetap tenang dan mempercayakan sepenuhnya proses hukum kepada aparat kepolisian.
    “Kami mengimbau keluarga besar NTT di Jakarta agar menyerahkan seluruh proses hukum kepada polisi dan tidak melakukan tindakan di luar hukum,” kata Melki.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus 2 Matel Tewas di Kalibata Jakarta, Gubernur NTT Minta Penegakan Hukum Terbuka
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Desember 2025

    Kriminolog: Mata Elang Kerap Meresahkan, tapi Jangan Dilawan Kekerasan Megapolitan 14 Desember 2025

    Kriminolog: Mata Elang Kerap Meresahkan, tapi Jangan Dilawan Kekerasan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kriminolog Havina Hasna menegaskan, pelanggaran administratif yang kerap dilakukan
    debt collector
    atau mata elang memang meresahkan masyarakat.
    Namun, hal ini tidak lantas menjadi pembenaran bagi penegak hukum untuk menindaknya dengan kekerasan.
    Hal itu ia sampaikan menanggapi kasus pengeroyokan terhadap mata elang di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan.

    Debt collector
    memang sering dikritik karena menarik kendaraan tanpa prosedur, Intimidatif, dan abu-abu secara hukum perdata. Namun, pelanggaran administratif bukan berarti bisa melakukan justifikasi kekerasan fisik,” kata dia saat dihubungi, Minggu (14/12/2025).
    Ia mengingatkan, jika kekerasan dijadikan respons, maka prinsip negara hukum berada dalam ancaman serius karena hukum digantikan oleh tindakan main hakim sendiri.
    “Jika setiap pelanggaran non-kekerasan dibalas dengan kekerasan, maka negara hukum runtuh dan kekerasan menjadi alat penyelesaian konflik sosial,” ujar dia.
    Havina juga menyoroti kuatnya stereotip negatif terhadap
    debt collector
    yang kerap memengaruhi cara pandang publik ketika kelompok tersebut menjadi korban kekerasan.
    Stigma tersebut, membuat sebagian masyarakat cenderung membenarkan kekerasan yang terjadi.
    Padahal, stigma tersebut tidak pernah menghapus hak dasar seseorang di mata hukum.
    “Padahal stereotip tidak menghapus hak hidup, label negatif tidak menghilangkan perlindungan hukum. Jika stereotip ini dibiarkan maka kekerasan menjadi ‘normal’ dan korban tertentu dianggap ‘layak disakiti’,” tutur dia.
    Havina menilai, peristiwa pengeroyokan di Kalibata tidak bisa dipandang sebagai ledakan emosi sesaat atau eskalasi spontan di lapangan, melainkan menunjukkan kegagalan pengendalian diri.
    “Ini bukan murni spontan karena pelaku lebih dari satu, terjadi pengeroyokan, tidak ada upaya deeskalasi, dan tidak ada satu pun yang menghentikan,” kata dia.
    Havina menyebut kekerasan yang dilakukan oleh aparat justru memiliki bobot pelanggaran yang lebih serius, karena pelaku memiliki kekuasaan dan mandat negara.
    Dalam kasus pengeroyokan tersebut, pelaku gagal menempatkan diri secara profesional.
    Emosi personal seperti rasa tersinggung dan marah justru mengambil alih peran sebagai penegak hukum yang seharusnya mampu mengendalikan diri meski berniat membantu.
    “Dalam Teori
    Role Conflict,
    pelaku gagal memisahkan Identitas personal (tersinggung, marah, merasa direndahkan) dengan Peran profesional (aparat penegak hukum yang wajib mengendalikan diri).” ujar dia.
    Sebelumnya, dua orang mata elang tewas setelah dikeroyok di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
    Peristiwa tersebut terjadi saat kedua korban diduga menghentikan seorang pengendara sepeda motor di lokasi kejadian.
    Situasi itu kemudian menarik perhatian sebuah mobil yang melaju tepat di belakang motor tersebut.
    Lima orang penumpang mobil itu turun dan menghampiri lokasi untuk membela pengendara motor yang dihentikan.
    “Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” ujar Kapolsek Pancoran Kompol Mansur saat dikonfirmasi, Kamis.
    Sejumlah warga yang berada di sekitar lokasi menyebutkan, kelima orang tersebut kemudian melakukan pemukulan terhadap dua mata elang secara bersama-sama.
    Kedua korban bahkan diseret ke sisi jalan sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
    Akibat pengeroyokan tersebut, dua
    debt collector
     meninggal dunia.
    Kematian kedua korban memicu reaksi dari kelompok sesama mata elang.
    Mereka melampiaskan amarah dengan merusak dan membakar sejumlah lapak serta kios milik pedagang di sekitar lokasi kejadian.
    Adapun keenam tersangka pengeroyokan merupakan anggota aktif Polri yang bertugas di Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri.
    Mereka adalah Brigadir IAM, Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, Bripda BN, dan Bripda AM.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Kala Kuasa Penegakan Hukum Keluar Jalur
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        14 Desember 2025

    Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Kala Kuasa Penegakan Hukum Keluar Jalur Megapolitan 14 Desember 2025

    Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Kala Kuasa Penegakan Hukum Keluar Jalur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kriminolog Havina Hasna menilai, pengeroyokan terhadap
    debt collector
    atau mata elang di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, yang dilakukan oleh anggota kepolisian, merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan.
    Havina menegaskan, tindakan kekerasan tersebut tidak bisa diposisikan sebagai bagian dari penegakan hukum.
    Sebaliknya, peristiwa itu justru mencerminkan kejahatan yang dilakukan oleh aparat yang seharusnya menjadi penjaga hukum.
    “Ini dibaca sebagai
    institutional deviance
    atau
    occupational crime,
    kejahatan yang dilakukan oleh individu yang justru diberi mandat menjaga hukum,” kata Havina saat dihubungi, Minggu (14/12/2025).
    Ia menjelaskan, polisi memang memiliki kewenangan sah atau legitimate power untuk menggunakan kekuatan dalam situasi tertentu.
    Namun, kewenangan tersebut harus dijalankan secara terbatas, proporsional, dan sesuai prosedur.
    Menurut Havina, ketika kekuasaan itu digunakan di luar tugas dan aturan hukum, maka kekerasan yang terjadi tidak lagi bisa disebut sebagai penegakan hukum, melainkan tindak pidana.
    “Ketika kekuasaan itu dipakai di luar konteks tugas dan prosedur, maka kekerasan berubah dari ‘penegakan hukum’ menjadi tindak pidana, bahkan lebih serius karena dilakukan oleh aparat negara,” ujar dia.
    Havina juga menyoroti kegagalan para pelaku dalam menjaga batas antara emosi pribadi dan peran profesional sebagai aparat penegak hukum.
    Dalam kasus ini, konflik yang seharusnya bisa diselesaikan secara prosedural justru berujung pada pengeroyokan hingga menimbulkan korban jiwa.
    “Kegagalan ini sering muncul pada profesi berotoritas tinggi jika kontrol internal dan budaya reflektif lemah,” ujar dia.
    Havina menyebut kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai
    crime of the powerful.
     
    Artinya, kejahatan yang dilakukan oleh aktor yang memiliki kekuasaan dan berdampak lebih luas dibandingkan tindak kekerasan biasa.
    Meski praktik penarikan kendaraan oleh debt collector kerap menuai kritik karena dianggap intimidatif dan sering dilakukan di luar prosedur, Havina menegaskan bahwa pelanggaran semacam itu tidak pernah bisa menjadi alasan pembenaran kekerasan fisik.

    Debt collector
    memang sering dikritik karena menarik kendaraan tanpa prosedur, intimidatif, dan abu-abu secara hukum perdata. Namun, pelanggaran administratif bukan berarti bisa melakukan justifikasi kekerasan fisik,” kata dia.
    Ia mengingatkan, jika kekerasan terus dinormalisasi sebagai respons atas pelanggaran non-kekerasan, maka prinsip negara hukum akan tergerus.
    “Jika setiap pelanggaran non-kekerasan dibalas dengan kekerasan, maka negara hukum runtuh dan kekerasan menjadi alat penyelesaian konflik sosial,” ujar dia.
    Sebelumnya, dua orang debt collector atau
    mata elang
    dilaporkan tewas setelah mengalami kekerasan di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
    Peristiwa tersebut terjadi saat kedua korban diduga menghentikan seorang pengendara sepeda motor di lokasi kejadian.
    Situasi itu kemudian menarik perhatian sebuah mobil yang melaju tepat di belakang motor tersebut.
    Lima orang penumpang mobil itu turun dan menghampiri lokasi untuk membela pengendara motor yang dihentikan.
    “Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” ujar Kapolsek Pancoran Kompol Mansur saat dikonfirmasi, Kamis.
    Sejumlah warga yang berada di sekitar lokasi menyebutkan, kelima orang tersebut kemudian melakukan pemukulan terhadap dua mata elang secara bersama-sama.
    Kedua korban bahkan diseret ke sisi jalan sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
    Akibat pengeroyokan tersebut, dua
    debt collector
     meninggal dunia.
    Kematian kedua korban memicu reaksi dari kelompok sesama mata elang.
    Mereka melampiaskan amarah dengan merusak dan membakar sejumlah lapak serta kios milik pedagang di sekitar lokasi kejadian.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polisi Sebut Dua Matel Tewas Dikeroyok dengan Tangan Kosong: Tanpa Sajam dan Senpi

    Polisi Sebut Dua Matel Tewas Dikeroyok dengan Tangan Kosong: Tanpa Sajam dan Senpi

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Metro Jaya mengungkapkan pemicu dua debt collector tewas, MET dan NAT, diduga dikeroyok enam anggota polisi di Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).

    Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Budi Hermanto menjelaskan kejadian itu bermula saat tersangka berinisial AM diberhentikan oleh dua debt colletor atau kerap disebut mata elang di mana kedua debt colletor sempat terlibat cek-cok dengan AM.

    Tak berselang lama, terjadi penarikan kunci motor oleh debt collector. Hal ini yang memantik keributan antara kedua belah pihak.

    “Pada saat terjadi penarikan kunci kontak dicabut pihak anggota polri tadi tidak terima atas perbuatan tersebut. Sehingga terjadi cek-cok dan terjadilah penganiayaan pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia,” kata Budi dikutip Minggu (14/12/2025).

    Budi mengatakan lima tersangka lainnya berada di lokasi yang sama sehingga mereka berenam mengeroyok dua debt colletor itu. Budi menegaskan bahwa pengeroyokan tidak menggunakan senjata api maupun senjata tajam.

    Hal itu sesuai hasil visum kepada dua korban yang telah dilakukan autopsi.

    “Ini luka-luka ataupun itu pukulan dari benda tumpul, artinya tangan kosong. Tidak ada menggunakan barang-barang berbahaya lainnya. Sementara itu hasil dari visum,” kata Budi.

    Menurut Budi, belakangan ini tindakan tarik paksa oleh debt collector kerap terjadi tanpa adanya pemberitahuan lebih awal kepada nasabah. Pihak penagih, katanya, harus memberikan imbauan jatuh tempo pembayaran kepada nasabah.

    Dia menyampaikan peristiwa ini menjadi evaluasi bagi seluruh pembiayaan leasing-leasing untuk bisa mengatur regulasi yang tepat. 

    “Jadi bukan mengambil, memberhentikan secara paksa terkait tentang customer yang ada di jalanan. Ini yang menjadi perhatian kita bersama dan ini,” 

    Di sisi lain, Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan enam anggota merupakan satuan Yanma Mabes Polri berinisial JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AM.

    “Keenam Tersangka tersebut merupakan anggota dari Satuan Pelayanan Markas di Mabes Polri,” ujar Trunoyudo di Polda Metro Jaya, Jumat (12/12/2025).