kab/kota: Jember

  • PKB Jember: Gus Imin akan Jadi Kekuatan Besar Pilgub Jatim

    PKB Jember: Gus Imin akan Jadi Kekuatan Besar Pilgub Jatim

    Jember (beritajatim.com) – Survei terbaru Accurate Research Consulting Indonesia (ARCI) untuk Pemilihan Gubernur Jawa Timur menunjukkan popularitas Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar mencapai 98,6 persen.

    Besarnya peluang Muhaimin Iskandar menjadi gubernur Jatim disambut baik Ketua Dewan Pimpinan Cabang PKB Jember Ayub Junaidi. “Info resminya belum ada. Hanya muncul di media sosial. Kami sih siap saja, siapapun yang diusung PKB. Apalagi kalau betul (Muhaimin). Kami kan sudah berpengalaman menghadapi pilkada,” katanya, Rabu (27/3/2024) malam.

    Ayub menilai munculnya nama Muhaimin adalah bentuk aspirasi. “Sabtu besok seluruh DPC PKB di Jatim dikumpulkan. Mungkin ada informasi itu,” katanya.

    Ayub yakin Muhaimin akan menjadi kekuatan besar saat dicalonkan menjadi gubernur Jatim. “Gus Imin bisa diterima. Apalagi sekarang pilkada serentak. Semua punya kepentingan bersama. Saya ingin PKB bisa mencalonkan sendiri untuk pemilihan gubernur, karena itu nanti ke bawah bisa sama situasinya,” katanya.

    Sebelumnya, Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim Fauzan Fuadi berharap yang terbaik untuk Muhaimin. “Kami ikuti saja perkembangannya seperti apa. Itu (wacana Gus Imin maju Pilgub Jatim 2024) kan baru gosip. Semakin digosok semakin sip,” katanya, kepada beritajatim.com, Senin (25/3/2024). [wir]

  • PKB Ingin Kader Terbaik NU Pimpin Jember

    PKB Ingin Kader Terbaik NU Pimpin Jember

    Jember (beritajatim.com) – Partai Kebangkitan Bangsa ingin kader terbaik Nahdlatul Ulama bisa memimpin Kabupaten Jember, Jawa Timur. Kuncinya adalah kekompakan PKB dan NU.

    Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Jember Ayub Junaidi, dalam acara silaturahim calon anggota legislatif DPRD Jember terpilih, di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember, Rabu (27/3/2024) malam.

    “Kita akan sering melakukan koordinasi dan konsiltasi untuk menghadapi pemilihan kepala daerah. Kita ingin dalam pemilihan bupati, kader terbaik NU yang memimpin Kabupaten Jember. Kalau NU dan PKB kompak, Jember dipimpin kader terbaik NU,” kata Ayub.

    Menurut Ayub, momentum itu sudah hadir. “Tinggal apakah bisa dilaksanakan dengan kekompakan dan kebersamaan. Kalau tidak kompak, kocar-kacir,” katanya.

    Ayub berkomitmen untuk selalu berkomunikasi dengan Pengurus Cabang NU Jember dan Kencong. “Kami sudah memtuskan desk pilkada diketuai Gus Fuad Akhsan,” katanya.

    Munculnya sejumlah nama calon bupati saat ini, menurut Ayub, akan dipertimbangkan. “Itu salah satu bentuk aspirasi. Apakah aspirasi itu betul atau tidak, kami akan cross check. Kalau di PKB dan NU tak hanya sebatas survei. Survei langit penting,” katanya.

    “Kalau survei di bawah kayak begitu (bagus), tapi survei langitnya tidak kena, tidak bisa jadi acuan di PKB. Baru nanti nama-nama itu sudah kami godok, baru diajukan ke Dewan Pimpinan Pusat,” kata Ayub.

    Bagaimana peluang Bupati Hendy Siswanto dan Wakil Bupati Firjaun Barlaman untuk diusung PKB? “Hubungan kami selama ini baik. Biar pun kami bukan partai pengusung. Tapi komunikasi kami baik. Dengan NU juga baik. Silakan saja,” kata Ayub.

    Ayub menekankan pentingnya kemaslahatan calon bupati dan wakil bupati untuk NU jika terpilih. “Semua masih terbuka. Hari ini yang muncul siapapun, tapi pada Juni-Juli baru ketemu nama yang dicalonkan,” katanya. [wir]

  • PKB Siap Lanjutkan Koalisi Pilpres untuk Pilkada Jember

    PKB Siap Lanjutkan Koalisi Pilpres untuk Pilkada Jember

    Jember (beritajatim.com) – Partai Kebangkitan Bangsa siap melanjutkan koalisi partai saat pemilihan presiden untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Jember, Jawa Timur.

    “Hari ini yang terpenting adalah memastikan PKB punya tiket, karena kursi kami kan masih kurang. Baru delapan kursi,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang PKB Jember Ayub Junaidi, usai acara silaturahim calon anggota legislatif DPRD Jember terpilih, di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember, Rabu (27/3/2024) malam.

    PKB Jember akan akan berkomunikasi dengan semua partai. “Khususnya partai yang selama ini bareng dalam Koalisi Perubahan untuk pilpres. Komunikasi kami terus berjalan baik. Komunikasi kami dengan PKS baik, dengan Nasdem baik. Kami akan teruskan bersama. Chemistry sudah ada,” kata Ayub.

    Selain dengan partai-partai Koalisi Perubahan, PKB juga punya relasi baik dengan partai lain. “Saya dengan Gerindra kuran baik apa? Baik semua. Tinggal bagaimana bertemu. Yang penting tiket ini dulu. Kalau tiket sudah aman, baru kita omong orang dan sebagainya,” kata Ayub.

    Dewan Pimpinan Cabang PKB Jember sudah membentuk desk pilkada yang diketuai Fuad Akhsan. Desk ini berfingsi menjaring nama-nama calon bupati dan wakil bupati. Mereka juga berkonsultasi dengan pengurus NU Jember dan Kencong.

    “Kami akan selalu berkomunikasi dengan PCNU. Banyak kader terbaik NU yang siap menjadi bupati Jember. Nanti kami akan olah dengan baik,” kata Ayub.

    Sebagai awal, PKB telah melaporkan hasil pemilu di kantor PCNU Jember. “PKB masih eksis dengan perolehan suara sangat banyak berkat bantuan dari NU. Kami memperoleh delapan kursi di DPRD Jember, dan perolehan suara meningkat dari 193 ribu pada 2019 menjadi 236 ribu tahun ini,” kata Ayub.

    DPC PKB Jember masih menanti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis desk pilkada ini. “Apakah kami harus membuka pendaftaran atau jemput bola. Yang terpenting kami berkomunikasi dengan NU dulu agar bisa bareng-bareng,” kata Ayub. [wir]

  • Petani Minta Bupati Jember Mediasi Konflik Pembabatan Kopi

    Petani Minta Bupati Jember Mediasi Konflik Pembabatan Kopi

    Jember (beritajatim.com) – Petani meminta Bupati Hendy Siswanto agar memediasi konflik pembabatan kurang lebih tiga ribu batang pohon kopi robusta varietas baru Milo Pace, yang ditanam di atas lahan tanah kas desa seluas tiga hektare.

    Varietas Milo Pace ditanam dan dikembangkan Hasan Putra bersama petani lainnya dan sudah didaftarkan sebagai kopi dengan indikasi geografis khas Jember. Pembabatan oleh Kepala Desa Muhammad Farhan terjadi pada medio Februari 2024, justru setelah varietas Milo Pace didaftarkan Bupati Hendy ke Direkrotat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

    “Pak Bupati sebagai pemangku kebijakan saja dilecehkan, apalagi kami. Tapi jangan anggap kami diam. Kami akan bergerak. Saya minta tolong ke depan kalau ada masalah seperti ini, tolong segera tindaklanjuti,” kata Ketua Forum Petani Jember Jumantoro, Rabu (27/3/2024).

    Jumantoro mengatakan siap menunggu bupati. “Kalau mau, saya tunggui itu Pak Bupati. Cuma kan tidak etis, karena ada wakil rakyat,” katanya.

    Alananto, kuasa hukum petani, menegaskan, petani kopi di Pace menghormati Bupati Hendy Siswanto. Apalagi pendaftaran varietas ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual atas nama bupati.

    “Bupati memiliki kewajiban hukum maupun moral terhadap apa yang terjadi di Desa Pace ini. Karena sampai detik ini, kami menanyakan petani, belum ada tanggapan sama sekali, apa langkah ke depan untuk menyelesaikan permasalahan ini,” kata Alananto.

    Petani ingin tahu langkah bupati. “Tapi kami juga membatasi waktu. Kalau dalam beberapa waktu ke depan tidak ada upaya mediasi atau langkah-langkah yang diambil Bapak Bupati dalam menyelesaikan permasalahan ini, kami tentu tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut,” tambah Alananto.

    Sebagai representasi pemerintah, Camat Silo Joni Pelita mengaku sudah berusaha mencegah aksi pembabatan ini begitu Farhan menerbitkan surat peringatan pertama untuk Hasan. Masa sewa lahan Hasan memang berakhir pada Desember 2023.

    Joni mengundang Farhan untuk hadir di ruang kerjanya untuk membicarakan persoalan tersebut. “Saya memang belum bisa mempertemukan Pak Haji Hasan dengan Farhan. Kalau saya mempertemukan mereka, bisa-bisa saya dituduh membela Pak Haji Hasan,” katanya.

    Perselisihan antara Farhan dan Hasan tak lepas dari urusan perbedaan dukungan saat pilkades. Hasan bukan pendukung Farhan. “Ini semua karena politik,” kata Joni.

    Joni juga mendekati tokoh masyarakat untuk meredam konflik. “Ternyata tokoh juga tidak mampu,” katanya.

    Joni menegaskan posisinya netral sebagai camat kepada Farhan. “Kalau tidak ada kopi (di atas lahan yang disewa Hasan), slakan mau diapakan,” katanya.

    Setelah pembabatam, Joni sempat menelepon Farhan. Adu mulut terjadi. “Kalau begini, saya gagal memimpin Anda,” kata Joni saat itu.

    Joni menilai Farhan memang sengaja berniat membabat kopi yang ditanam Hasan. “Muspika tidak diberitahu (sebelum pembabatan). Kalau Muspika tahu, saya bisa blokade kebun itu agar tidak ada yang masuk,” katanya.

    Joni berharap Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Jember juga dilibatkan menyelesaikan persoalan di Pace. “Kami tetap bertanggung jawab di wilayah. Tanggung jawab di wilayah berat, katena dinamikanya luar biasa,” katanya.

    Fenomena kepala desa bertindak semaunya bukan fenomena baru. “Persoalan kepala desa memang luar biasa. Pemerintahan desa adalah pemerintahan terendah dalam bingkai NKRI. Tapi dia berani ke atasan. Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk membenahi itu. Kenapa kepala desa kok begitu,” kata Joni.

    Sejumlah camat juga pernah mengeluhkan perilaku kepala desa lepada Joni. Joni lantas mengusulkan agar tingkat kepatuhan kades dikaitkan dengan alokasi anggaran di desa tersebut. “Biar ada takutnya. Kalau seperti ini dibiarkan, bupati saja dilawan, apalagi camat. Saya minta data saja sulit. Lain dengan zaman Orde Baru,” katanya.

    DPRD Jember sudah melakukan rapat gabungan Komisi A dan Komisi B di gedung parlemen, Senin (25/3/2024) malam dengan mengundang Dinas TPHP Jember, camat Silo, penyewa, dan kepolisian. Namun Kepala Desa Pace Muhammad Farhan tidak hadir. [wir]

  • Kopi Dibabat, Kuasa Hukum Petani Beri Kesempatan Bupati Jember Memediasi

    Kopi Dibabat, Kuasa Hukum Petani Beri Kesempatan Bupati Jember Memediasi

    Jember (beritajatim.com) – Alananto, kuasa hukum petani kopi yang menjadi sasaran pembabatan oleh Pemerintah Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur, memberikan kesempatan kepada Bupati Hendy Siswanto untuk memediasi konflik.

    Pemerintah Desa Pace membabat kurang lebih tiga ribu batang pohon kopi robusta varietas baru Milo Pace yang ditanam di atas lahan tanah kas desa seluas tiga hektare medio Februari 2024. Varietas itu ditanam dan dikembangkan Hasan Putra bersama petani lainnya dan sudah didaftarkan sebagai kopi dengan indikasi geografis khas Jember.

    Tim kuasa hukum petani sebenarnya sudah menyiapkan konstruksi hukum untuk ditindaklanjuti. Alananto sudah mempelajari dokumen terkait persoalan itu. “Saya sangat kaget, betapa mudahnya oknum dengan enaknya menebang habis kopi yang menjadi varietas unggulan,” kata Alananto, ditulis Rabu (27/3/2024).

    Yunizar Wahyu, salah satu anggota tim advokasi petani, melihat perusakan kopi itu sudah terukur. Dia sudah ke lokasi kejadian dan melihat ada tanaman kopi lain yang dalam kondisi aman. Perusakan hanya terjadi terhadap kopi yang ditanam Hasan.

    Namun Alananto memilih mediasi sebagai langkah terbaik. “Kalau tinggal lapor saja, gampang. Kami tinggal datang ke teman-teman kepolisian, dibuatkan laporan, tinggal ditindaklanjuti. Tapi lagi-lagi kami memegang teguh upaya mediasi,” katanya.

    Menurut Alananto, petani kopi di Pace menghormati Bupati Hendy Siswanto. Apalagi pendaftaran varietas ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual atas nama bupati.

    “Bupati memiliki kewajiban hukum maupun moral terhadap apa yang terjadi di Desa Pace ini. Karena sampai detik ini, kami menanyakan petani, belum ada tanggapan sama sekali, apa langkah ke depan untuk menyelesaikan permasalahan ini,” kata Alananto.

    Petani ingin tahu langkah bupati. “Tapi kami juga membatasi waktu. Kalau dalam beberapa waktu ke depan tidak ada upaya mediasi atau langkah-langkah yang diambil Bapak Bupati dalam menyelesaikan permasalahan ini, kami tentu tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut,” tambah Alananto.

    Apalagi sebagian petani sebenarnya sudah telanjur geram, salah satunya adalah Ketua Forum Petani Jember Jumantoro. “Alhamdulillah saya bisa mengerem beliau. Beliau sudah mau melaporkan saja persoalan ini ke polisi. Tapi saya bilang jangan dulu. Kami ingin mencari upaya mediasi,” kata Alananto.

    Jumantoro membenarkan jika berang dengan pembabatan itu. “Saya ini cuma alumni Politabeh, Politeknik Tengah Sabeh (politeknik di tengah sawah, red). Bisa ngawur saya. Tapi kami akan menjaga kondusivitas wilayah. Kalau itu yang tanda tangan permohonan sertifikasi bukan Pak Bupati, saya sudah e pecapat (balas balik, red),” katanya. [wir]

  • Camat Silo Jember Sempat Tak Percaya Kopi Varietas Baru Dibabat

    Camat Silo Jember Sempat Tak Percaya Kopi Varietas Baru Dibabat

    Jember (beritajatim.com) – Joni Pelita, Camat Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur, sempat tak percaya kopi varietas baru Milo Pace dibabat oleh Pemerintah Desa Pace pada medio Februari 2024. Pembabatan tersebut dipicu oleh perbedaan dukungan saat pemilihan kepala desa.

    Hasan menyewa tanah kas Desa Pace seluas tiga hektare untuk membudidayakan kopi Milo Pace. Ia sudah menyewa tanah kas desa itu sejak 1998 dan tidak ada masalah selama ini, termasuk dengan Kepala Desa Muhammad Farhan saat awal menjabat.

    Namun pemilihan kepala desa tahun lalu rupanya memecah kongsi Hasan dan Farhan. Hasan sempat memberitahu Joni Pelita soal kemungkinan sewa tanah kas desa tak diperpanjang oleh Pemerintah Desa Pace.

    “Saat hendak pelaksanaan pemilihan kepala desa,Pak Haji Hasan menyampaikan kepada saya, bahwa nanti ketika Pak Farhan menang pilkades, itu (tanah kas desa yang ditanami) kopi tidak akan disewakan dan akan dibabat,” kata Joni, ditulis Rabu (27/3/2024).

    Joni saat itu tidak percaya. “Saya bilang begini: tidak mungkinlah. Masa kopi sebagus itu dibabat,” katanya. Apalagi selama dua periode menjabat kepala desa, hubungan Farhan dengan Hasan baik-baik saja.

    Joni meminta kepada Hasan untuk tidak banyak berkomentar agar suasana tidak memanas. “Saya selalu menyampaikan ke Pak Haji Hasan, nanti kalau dikomentari nanti tambah ramai,” katanya.

    Sebelumnya, Joni juga sempat terkejut karena kopi varietas baru itu tumbuh di atas lahan tanah kas desa. “Kalau tumbuh di lahan tanah kas desa akan riskan,” katanya.

    Setelah memenangi pilkades, menurut Joni, Farhan melayangkan tiga surat peringatan kepada Hasan. “Terakhir pada 28 Desember 2023. Isinya, pengosongan lahan, termasuk gedung kecil untuk istirahat di situ,” katanya.

    Sebelum pembabatan kopi milik Hasan, Joni mendekati Farhan dan sejumlah tokoh masyarakat. Ia juga bertemu Hasan dan Zainal Arifin, petani rekan Hasan, dua hari jelang pemilu. Ia minta mereka mendekati beberapa tokoh masyarakat.

    Joni meminta seorang tokoh agar bekerja sama dengan Hasan untuk mencegah pembabatan. “Kopi itu seharusnya pada 1 Januari 2024 dibabat Pak Farhan, karena 28 Desember 2023 adalah warning terakhir untuk mengosongkan lahan,” kata Joni.

    Joni mencoba melakukan mediasi agar permasalahan itu segera selesai. “Ini ada kopi varietas (baru) yang jadi brand. Saya berupaya menyelamatkan kopi. Tapi saya gagal, karena pada Februari 2024 terjadi pembabatan. Itu pun mau pembabatan tidak memberitahu Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan),” katanya.

    Joni baru tahu setelah mendapat informasi dari Kepolisian Sektor Sempolan. “Pagi itu saya telepon Pak Farhan, tidak bisa. Saya coba telepon perangkat desa lain, juga tidak bisa. Pada saat itu berbarengan ada orang yang mati gantung diri di Desa Harjomulyo. Saya ke sana dulu,” katanya.

    Dari Harjomulyo, Joni langsung meluncur ke Pace untuk mencegah pembabatan. “Tapi ternyata di situ sudah dibabat habis. Akhirnya saya langsung ke balai desa. Karena sudah rusak, kami tak bisa berupaya kembali. Saya berusaha melakukan mediasi ke Pak Farhan, tetap tidak bisa,” katanya.

    Beberapa hari setelah kejadian, Hasan dan Ketua Forum Petani Jember Jumantoro menemui Joni di Pendapa Wahyawibawagraha. “Kebetulan saya ada acara di pendapa. Ada Pak Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Imam Sudarmaji,” kata Joni.

    Dari kronologi peristiwa itu, Joni menyimpulkan, konflik terjadi karena pilkades. Namun budidaya kopi di atas tanah kas desa juga memunculkan pertanyaan. “Tanah kas desa itu sewanya per tahun. Kok ditanami kopi? Kopi ini di peraturan bupati tentang pengelolaan aset desa, maksimal perpanjangan sewanya tiga tahun. Kalau di bawah itu tidak ada masalah, asalkan ada peraturan desanya. Itu peraturan desanya (menyebutkan) satu tahun,” katanya.

    Ini yang menurut Joni tidak sesuai dengan kondisi tanaman. “Kalau satu tahun kan palawija yang umurnya pendek. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya ujug-ujug ditanami kopi,” katanya.

    DPRD Jember melakukan rapat gabungan Komisi A dan Komisi B di gedung parlemen, Senin (25/3/2024) malam dengan mengundang Dinas TPHP Jember, camat Silo, penyewa, dan kepolisian. Namun Kepala Desa Pace Muhammad Farhan tidak hadir. [wir]

  • Polisi Belum Terima Laporan Pembabatan Kopi Varietas Baru di Jember

    Polisi Belum Terima Laporan Pembabatan Kopi Varietas Baru di Jember

    Jember (beritajatim.com) – Polisi belum menerima laporan pembabatan pohon kopi varietas baru Milo Pace milik Hasan Putra di Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Polisi menekankan pentingnya menjaga stabilitas daerah.

    Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Kepolisian Resor Jember Inspektur Dua Naufal Muttaqin mengatakan, pihaknya melihat kondusivitas keamanan dan hukum. “Pertama, kami sampaikan kepada para petani dan warga untuk bersama menjaga kondusivitas keamanan lingkungan sekitar,” katanya, ditulis Selasa (26/3/2024).

    Naufal menyerukan warga tak melakukan tindakan yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. “Dilihat dari permasalahan ini, terkait penebangan tanaman kopi milik Haji Hasan, ada dua langkah yang dapat ditempuh, bisa melalui perdata dan pidana,” katanya.

    Jika terkait tindak pidana, menurut Naufal, setiap orang berhak melaporkan permasalahan yang ada kepada kantor kepolisian terdekat. “Tapi Pak Haji Hasan belum membuat laporan ke kantor polisi. Jadi kami tidak mengambil tindakan,” katanya. Jika hendak menggugat secara perdata, Naufal menyarankan semua aspek legal disiapkan.

    Zainal Arifin, petani di Pace, mengatakan, kurang lebih ada 4.500 pohon kopi Milo Pace yang dikembangkan di atas tanah kas Desa Pace seluas tiga hektare. Setelah tiga tahun masa budidaya, varietas baru kopi Milo Pace yang ditemukan Hasan itu akhirnya berproduksi 1,5 ton. “Dengan harga sangat bagus, Rp 100 ribu per kilogram,” katanya.

    Namun perbedaan politik antara Hasan dan calon petahana Muhammad Farhan, membuat kopi varietas baru yang dibudidayakan itu pun dibabat. “Tanahnya memang tanah kas desa. Tapi apakah kemudian itu hak milik mutlak kepala desa? Kan tidak. Begitu jabatan kades sudah habis, dia tidak menguasai,” kata Zainal.

    Menurut Zainal, kopi tersebut seharusnya bisa dikelola Pemerintah Desa Pace melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). “Varietas ini kebanggaan Jember. Saya kasihan kepada bupati dan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan, karena slogan beliau adalah menjadikan Jember sebagai pusat kopi robusta terbaik di Indonesia. Ini baru berkembang, sudah dimusnahkan,” katanya.

    Zainal tidak tahu bagaimana prosedur hukum seharusnya dijalankan dalam menangani persoalan ini. “Oleh sebab itu, kami langsung ke DPRD Jember untuk mengetahui bagaimana sikap DPRD Jember dan Dinas TPHP terkait pemusnahan varietas ini,” katanya.

    Hasan sudah menyewa tanah kas desa itu sejak 1998. “Awalnya memang bukan menanam kopi, tapi pepaya. Tapi karena ada bantuan tanaman kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, akhirnya kami bermusyawarah dengan kepala desa untuk ditanan di sana,” kata Zainal.

    Petani pun memperpanjang masa sewa setiap tahun sejak masa kepemimpinan Kepala Desa Pace Nur Ahmad, Karyoso, sampai Muhammad Farhan yang menjabat dua periode. “Dalam peraturan di desa, setiap kali masa sewa habis, maka penyewa akan diberi undangan untuk ditanyakan apakah akan memperpanjang masa sewa atau tidak. Ini tidak ada undangan, tahu-tahu ada surat bahwa sewa itu diputus,” kata Zainal.

    Hasan Putra menambahkan, selama ini tidak pernah ada masalah dalam soal sewa lahan tanah kas Desa Pace. Ia juga tak pernah minta keringanan harga sewa. “Malah Pak Karyoso dulu ikut bekerja sama untuk kemajuan desa,” katanya.

    Hasan menyewa tanah kas desa pada masa pemerintahan Farhan sebesar Rp 1,5 juta per hektare setiap tahun. Masa sewa tersebut habis pada Desember 2023, dan oa terlambat memperpanjang masa sewa kurang lebih 1,5 bulan. “Bukan saya tidak mau memperpanjang, tapi karena saya tidak diundang,” katanya.

    Sebelum pohon kopi dibabat, Hasan tidak pernah menerima pemberitahuan dari Pemerintah Desa Pace. “Cuma pemerintah desa merasa keberatan, karena saya di sana bikin pondok di sana. Listrik masuk, jaringan wifi masuk,” katanya.

    Pondok itu dibangun untuk menerima tamu-tamu dari luar daerah yang datang ke Pace untuk melakukan studi banding soal kopi. “Kalau tidak ada pondoknya, mau ditaruh di mana. Apalagi sampai bupati berkunjung ke sana,” kata Hasan.

    Hasan sendiri tidak pernah menginap di pondok tersebut. “Kepentingan saya cuma untuk kunjungan-kunjungan agar agak tenang,” katanya.

    DPRD Jember melakukan rapat gabungan Komisi A dan Komisi B di gedung parlemen, Senin (25/3/2024) malam dengan mengundang Dinas TPHP Jember, camat Silo, penyewa, dan kepolisian. Namun Kepala Desa Pace Muhammad Farhan tidak hadir. [wir]

  • Komisi A DPRD Jember: Klaim Tanah Ahli Waris Warga Jerman Berpeluang Untungkan Rakyat

    Komisi A DPRD Jember: Klaim Tanah Ahli Waris Warga Jerman Berpeluang Untungkan Rakyat

    Jember (beritajatim.com) – Komisi A Komisi A DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, tak serta-merta menolak klaim ahli waris warga Jerman Victor Clemens Boon atas tanah seluas 2.100 hektare, asalkan rakyat memperoleh manfaat penguasaan lahan sebagaimana dijanjikan Perkumpulan Penggarap Tanah Telantar (P2T2).

    “Kami ingin tahu persoalan secara keseluruhan itu apa dan mencari solusi. Kita semua wakil rakyat, rakyat di depan. Ketika itu menguntungkan buat rakyat, kita bersama rakyat, kita beri ruang rakyat sebesar-besarnya,” kata Ketua Komisi A Tabroni, ditulis Selasa (26/3/2024).

    Tabroni menjelaskan, tanah yang diklaim ahli waris Clemens Boon berada di Kecamatan Silo, Rambipuji, dan Puger. “Tanah itu ada yang sudah dididiami warga. Tapi sebagian besar jadi hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara,” katanya.

    Tanah tersebut dibeli Clemens Boon pada 1930 saat masih tak berpenghuni. P2T2 yang mewakili ahli waris Clemens Boon tengah berusaha mendapatkan kembali hak atas tanah yang sekarang dikuasai perkebunan negara.

    Mereka berjanji hanya akan mencari lahan-lahan yang telantar atau tak terurus untuk dikuasai. Sementara lahan yang sudah dikuasai dan diduduki warga selama puluhan tahun akan dilepaskan dan disertifikasi untuk warga bersangkutan.

    “Kami tidak gila dengan tanah itu. Kami ingin ikut bareng-bareng membuktikan, bahwa keluarga ini tidak jahat. Kalau keluarga ini jahat, pakai preman mengusir-usir. Ini tidak. Kami datang ke bupati, DPRD, Kapolres, Kajari, meminta agar GTRA digerakkan. Paling kami berharap, ada sisa tanah yang bisa dibagi, ahli waris berharap dapat. Itu saja. Yang lain tidak,” kata Ketua Pendiri P2T2 Iskandar Sitorus.

    P2T2 tidak menempuh jalur pengadilan. “Mereka ingin GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) masuk ke dalam problem ini dan menjadi eksekutor penyelesaian masalah tanah yang mereka klaim sebagai bagian dari hak waris keluarga. Victor Clemens Boon ini menikah dengan warga Indonesia dan meninggal di Jember,” kata Tabroni.

    Tabroni mencoba melihat persoalan ini dari perspektif rakyat yang selama bertahun-tahun menempati tanah negara yang dikuasai perusahaan perkebunan. “Mereka tidak punya dokumen, sehingga tidak bisa dilakukan apapun atas tanah tersebut. Mereka hanya bisa mendiami,” katanya.

    “Nah, maksudnya, ketika mereka (ahli waris Clemens Boon) menyoal ini lewat GTRA, maka ketika (klaim atas tanah itu) memang benar, semua tanah yang didiami warga ya diberikan kepada warga melalui GTRA. Diberikan SHM (Sertifikat Hak Milik) agar tanah tersebut menjadi lebih produktif secara ekonomi,” kata Tabroni.

    Kondisi ini, menurut Tabroni, lebih menguntungkan bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah bisa memperoleh pemasukan melalui pembayaran pajak dan pengurusan akta tanah. Sementara status tanah bagi warga menjadi lebih jelas.

    “Tapi tentu kita harus membuktikan apakah benar tanah yang diklaim tersebut adalah punya ahli waris Victor Clemens Boon yang sudah menikah dengan orang Indonesia. Jadi kami tidak dalam posisi akan merugikan warga di Jember. Kami ada di posisi warga,” kata Tabroni.

    “Kalau misalkan tanah (hak waris Clemens Boon) di Puger yang sudah dihuni ratusan orang warga diberi sertifikat, maka akan terjadi perputaran ekonomi secara cepat. Kalau hari ini tidak ada, karena mereka tidak punya kekuatan hukum atas tanah yang mereka tempati. Tapi ini harus dibuktikan apakah benar ini milik ahli waris Pak Victor Clemens Boon,” kata Tabroni.

    Sementara itu, anggota Komisi A dari Gerindra Sunardi menegaskan, pemilik tanah wajib mendapat ganti rugi jika tanahnya digunakan oleh pihak lain, sesuai Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. “UUPA ini berlaku sejak 5 September 1960. Sebelum UUPA berlaku, siapapun berhak datang ke Indonesia, termasuk orang Jerman. Ketika UUPA diatur, ada batasan,” katanya.

    Sunardi mengingatkan, dokumen Letter C tidak bisa digunakan untuk klaim hak kepemilkan. “Yang disebut hak kepemilikan tetap sertifikat. Kalau kita bicara UUPA Pasal 19 ayat 2, di sini harus ada pembukuan. Jadi harus betul-betul terdaftar. Kalau memang di Kantor Pertanahan ada, harus ada pembukuan dan setelah itu harus ada pendaftaran. Mengganjalnya kan di sana. Jadi kalau pada 1960 tidak mendaftar, maka oleh pemerintah mungkin tanah itu dianggap tanah tak bertuan,” katanya.

    Sunardi menyarankan Komisi A mengundang Badan Pertanahan Nasional untuk membicarakan persoalan ini. “Ini adalah perwakilan ahli waris yang bukan penjajah, karena dari Jerman. Kita tidak berandai-andai, kita sama-sama berpendapat. Jadi kalau ingin clear and clean, kita ke BPN (Badan Pertanahan Nasional),” katanya.

    Menanggapi hal itu, Sitorus menjelaskan, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikelir. “Itu sesungguhnya perampasan tanah-tanah orang asing, khususnya penjajah,” katanya.

    Menurut Sitorus, undang-undang tersebut sesungguhnya tidak lahir pada 1958 tapi 1960. “Itu back date. Itu hasil pertemuan Soekarno dengan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy agar Indonesia bisa dapat modal,” katanya.

    Sitorus menyadari jika langkah P2T2 ini dicurigai sebagai manuver untuk mengembalikan lahan kepada warga negara asing. “Namanya manusia. Tidak ada yang bisa mempertegas dan mengklaim dirinya yang paling benar. Biarlah mekanisme (GTRA) itu yang membuktikan orang itu benar atau tidak,” katanya.

    Sitorus menegaskan, Clemens Boon bukan orang asing. Dia menikah dengan warga Jember, Kartini binti Pak Suna, pada 1939 dan memiliki anak bernama Ineke Irawati. “Perspektif keluarga mereka bukan orang asing. Ada keterangan dari Balai Harta Peninggalan pada 1957, 1967, dan 1973. Buktinya di semua peradilan, pernikahan Victor Clemens Boon dengan orang Jember diakui. Kuburannya juga di Jember,” katanya.

    Niat baik P2T2 diawali dengan datang ke DPRD Jember dengan membawa solusi moderat, yakni penyelesaian persoalan melalui mekanisme di GTRA. Sitorus tidak akan mendikte penyelesaiannya, dan menegaskan komitmen P2T2 untuk menyerahkan tanah ahli waris untuk didaftarkan sebagai milik warga yang sudah menempati tanah itu bertahun-tahun. “Kami berharap ini berproses lebih baik lagi,” katanya.

    Tabroni setuju BPN diikutkan dalam proses penyelesaian masalah ini. “Ketua harian GTRA dari BPN. Yang kita garis bawahi adalah tanah (milik ahli waris Clemens Boon) yang sudah didiami warga di tiga kecamatan tidak akan dirampas. Malah akan dikuatkan. Mereka punya kepastian SHM (Sertifikat Hak Milik) melalui GTRA,” katanya. [wir]

  • Legislator PKS Tolak Klaim Tanah Ahli Waris Warga Jerman Era Kolonial di Jember

    Legislator PKS Tolak Klaim Tanah Ahli Waris Warga Jerman Era Kolonial di Jember

    Jember (beritajatim.com) – Nurhasan, legislator Partai Keadilan Sejahtera di DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, menolak klaim ahli waris warga Jerman, Victor Clemens Boon, yang diwakili Perkumpulan Penggarap Tanah Telantar (P2T2) atas tanah seluas 2.100 hektare di Kabupaten Jember.

    Ketua Pendiri P2T2 Iskandar Sitorus menyatakan, tanah yang terletak di Kecamatan Puger, Rambipuji, dan Silo itu dibeli Clemens Boon pada 1930, saat belum dihuni warga. Kendati membayar pajak hingga 1957, Clemens Boon akhirnya kehilangan hak atas tanah setelah Presiden Soekarno menasionalisasi seluruh aset yang dikuasai pihak asing. Clemens Boon bangkrut.

    Saat ini, P2T2 tengah berusaha mendapatkan kembali hak atas tanah yang sekarang dikuasai perkebunan negara. Mereka berjanji hanya akan mencari lahan-lahan yang telantar atau tak terurus untuk dikuasai. Sementara lahan yang sudah dikuasai dan diduduki warga selama puluhan tahun akan dilepaskan dan disertifikasi untuk warga bersangkutan.

    “Intinya P2T2 ingin mempertemukan pengelola lahan hari ini dengan ahli waris untuk mencari solusi jalan tengah. Sedangkan secara de facto tanah-tanah yang dikuasai masyarakat itu hari ini diklaim milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara),” kata Nurhasan, ditulis Selasa (26/3/2024).

    Nurhasan mengaku bingung dengan permintaan P2T2. “Selama ini kita tidak menyangka. Banyak persoalan yang masuk ke Komisi A soal permohonan masyarakat untuk menguasai tanah yang mereka garap kepada PT Perkebunan. Secara de jure mereka (perusahaan perkebunan negara) yang memiliki, tapi secara de facto dikuasai masyarakat tapi tak punya bukti apapun secara hukum,” katanya.

    Nurhasan khawatir obyek tanah yang dimohonkan P2T2 sama dengan yang dipersoalkan warga. “Semoga saja beda obyek,” katanya.

    Menurut Nurhasan, tanah peninggalan Belanda di Kecamatan Kencong dan Semboro sangat banyak. “Cuma tidak ada orang dari Belanda yang datang ke Indonesia untuk menuntut. Saya baru ngeh, orang yang dulu menjajah kita, menguasai tanah-tanah itu mungkin tidak dengan membeli tapi merampas, sekarang datang mau menguasai lagi,” katanya.

    “Saya sebagai anggota DPRD Jember tidak rela, kalau ceritanya kayak begini. Saya tidak mendukung sama sekali, karena mereka pada 1930 masih menjajah bangsa ini. Mereka tidak akan membeli (tanah). Potong jari saya, kalau mereka membeli dari masyarakat pada waktu itu. Mereka bisanya hanya merampas hak milik masyarakat pribumi,” kata Nurhasan.

    “Setelah kita merdeka, mereka minggat ke negara masing-masing. Tanah dikuasai pemerintah. Pemerintah tidak bisa menggarap dan digarap oleh masyarakat. Saya seratus persen tidak mendukung rencana P2T2. Biarkan saja tanah itu dikuasai masyarakat tetap atas nama PTP,” kata Nurhasan.

    Nurhasan yakin tanah yang dikuasai Clemens Boon juga diakuisis dari masyarakat dengan memaksa. “Saya yakin itu. Jadi saya secara pribadi tidak mendukung gerakan penguasaan tanah-tanah itu oleh Wong Londo,” katanya.

    Sitorus membantah anggapan Nurhasan. “Victor Clemens Boon bukan penjajah. Dia pengusaha. Pertama, dia warga negara Jerman, bukan warga negara Belanda. Lalu pada 1930, dia bayar pajak. Artinya orang yang patuh pada aturan,” katanya.

    Menurut Sitorus, istri Clemens Boon adalah perempuan pribumi Jember dan dimakamkan di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates. “Jadi perspektif penjajah itu jahat iya. Tapi bukan berarti semua orang yang datang ke Indonesia dulu itu orang jahat. “Coba di mana kah orang ini (Clemens Boon) disebut orang jahat? Dia bayar pajak,” katanya.

    Pemerintah menasionalisasi tanah yang dikuasai warga asing untuk kemudian dikelola menjadi perusahaan perkebunan negara pada 1957. “Ciri-ciri tanah peninggalan Belanda yang kemudian menjadi tanah negara berstatus HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), atau hutan,” kata Sitorus.

    Clemens Boon meninggal dunia pada 14 Agustus 1963. Istrinya, Kartini, meninggal tiga dasawarsa kemudian, yakni pada 16 November 1994. Ineke meninggal dunia pada 3 Agustus 2007 dan suaminya, Slamet, wafat pada 12 Desember 2013 meninggalkan dua orang anak, Winangku Prihatiningsih dan Bagus Ari Wibowo.

    Sitorus mengatakan, penyelesaian masalah tanah ini bukan oleh P2T2, melainkan oleh pemerintah dan parlemen daerah melalui GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria). “Kami mendorong pemerintah agar Forkopimda dan bupati bisa tergerak menuntaskan hal-hal yang kami sajikan sesuai dokumen yang ada,” katanya. [wir]

  • Ahli Waris Warga Jerman Era Kolonial Klaim 2.000 Hektare Tanah di Jember

    Ahli Waris Warga Jerman Era Kolonial Klaim 2.000 Hektare Tanah di Jember

    Jember (beritajatim.com) – Ahli waris warga Jerman, Victor Clemens Boon, yang diwakili Perkumpulan Penggarap Tanah Telantar (P2T2) Jawa Timur mengklaim kurang lebih 2.100 hektare tanah di Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang mayoritas berstatus hak guna usaha perkebunan milik negara.

    Mereka meminta kepada Pemerintah dan DPRD Kabupaten Jember untuk menggerakkan mekanisme GTRA (Gugus Tugas Reformasi Agraria) terhadap seluruh tanah eks verponding Indonesia atas nama Victor Clemens Boon, di Kecamatan Puger, Rambipuji, dan Silo.

    “Tanah ini dibeli Victor Clemens Boon. Dia masuk pada 1930 belum ada warga. Itu bisa dideteksi. Catatannya di Balai Harta Peninggalan, di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Lantas Clemens Boon bayar pajak sampai 1957,” kata Ketua Pendiri P2T2 Iskandar Sitorus, dalam rapat dengar pendapat di Komisi A DPRD Jember, Senin (25/3/2024).

    Sekitar dua ribu hektare tanah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Silo, yang berbatasan dengan hutan diklaim menjadi hak milik Clemens Boon. Sementara letak tanah milik Clemens Boon di Kecamatan Rambipuji terletak di utara stasiun dengan luas 4,5 hektare dan 3 hektare terletak di sisi utara alun-alun Kecamatan Puger. Lahan tersebut saat ini dihuni masyarakat Puger.

    Menurut Sitorus, istri Clemens Boon adalah perempuan pribumi Jember dan dimakamkan di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates. “Jadi perspektif penjajah itu jahat iya. Tapi bukan berarti semua orang yang datang ke Indonesia dulu itu orang jahat,” katanya.

    Berdasarkan berkas dokumen yang diberikan P2T2 ke Komisi A, diketahui bahwa Clemens Boon menikah dengan Kartini binti Pak Suna pada 1939 dan memiliki anak bernama Ineke Irawati.

    “Victor Clemens Boon bukan penjajah. Dia pengusaha. Pertama, dia warga negara Jerman, bukan warga negara Belanda. Lalu pada 1930, dia bayar pajak. Artinya orang yang patuh pada aturan,” kata Sitorus.

    Namun pada 1957, pemerintah menasionalisasi tanah yang dikuasai warga asing untuk kemudian dikelola menjadi perusahaan perkebunan negara. “Ciri-ciri tanah peninggalan Belanda yang kemudian menjadi tanah negara berstatus HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), atau hutan,” kata Sitorus.

    Clemens Boon meninggal dunia pada 14 Agustus 1963. Istrinya, Kartini, meninggal tiga dasawarsa kemudian, yakni pada 16 November 1994. Ineke meninggal dunia pada 3 Agustus 2007 dan suaminya, Slamet, wafat pada 12 Desember 2013 meninggalkan dua orang anak, Winangku Prihatiningsih dan Bagus Ari Wibowo.

    Berbeda dengan klaim atas tanah di Dago Elos di Bandung, Jawa Barat, yang justru berkonflik dengan warga, Sitorus mengatakan, klaim atas tanah oleh ahli waris Clemens Boon tidak akan memicu konflik dengan warga. Hal ini dikarenakan P2T2 menempuh jalur kebijakan politik melalui GTRA dan bukan jalur peradilan. “Usul inisiasi bagaimana ditetapkan, kami manut,” kata Sitorus.

    Selain itu, lanjut Sitorus, ahli waris hanya mencari tanah hak milik mereka yang masih kosong atau telantar. Sementara untuk tanah yang sudah dihuni warga, ahli waris Clemens Boon mengikhlaskan. “Kami membantu warga untuk hendak sertifikasi tanah, kami secara hukum akan melepaskannya,” katanya.

    P2T2 mengantongi dokumen buku verponding sejak era sebelum kemerdekaan RI dan bukti pajak sampai 1957 sebagai bukti hak atas tanah. Sitorus berharap DPRD Jember dapat memfasilitasi penyelesaian tuntutan hak atas tanah ini melalui GTRA.

    “Kami sudah mendeteksi di lapangan dan melihat apapun yang diperlukan kami ikut manut sebagaimana diharapkan tim Gugus Tugas Reforma Agraria. Ini bagaimana everybody happy,” kata Sitorus.

    Langkah yang diambil P2T2 tak lepas dari adanya sejumlah lahan yang saat ini dikuasai perkebunan negara tidak dimanfaatkan alias telantar. “Kami hakkul yakin sebagian tanah PTP telantar. Maka itu bisa ada penggarap di atas tanah HGU (Hak Guna Usaha),” kata Sitorus.

    Klaim ahli waris Clemens Boon itu akan menjadi pintu masuk bagi redistribusi tanah untuk warga. P2T2 bersedia membantu ahli waris mendapatkan hak atas tanah yang saat ini dikuasai negara, dengan syarat tanah yang sudah dihuni warga tidak diklaim juga. Justru Sitorus ingin klaim ahli waris atas lahan itu bisa menjadi solusi atas sengketa antara warga dengan perkebunan milik negara di beberapa titik.

    “Kami yakinkan keluarga ahli waris agar tidak egois. Pemerintah sudah mengatur dan secara faktual rakyat sudah ada di atas tanah itu. Oleh sebab itu lebih baik berkolaborasi. Mereka setuju,” kata Sitorus.

    Ada sejumlah tanah di sebelas kabupaten dan kota di Jawa Timur. P2T2 mendekati masyarakat di atas lahan itu. “Pemilik pun setuju mengikhlaskan tanah itu. Pertama dilepas dulu ke negara, jadi ketika masyarakat dapat, mereka tidak iri dan marah,” kata Sitorus.

    “Kami berharap DPRD Kabupaten Jember bisa menata kelola dua ribu hektare lebih tanah. Bukan kita mau membongkar-bongkar atau membangkitkan masa lalu. Tapi bagaimana baiknya mekanisme yang dikendalikan pemerintah daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah bisa lebih mumpuni,” kata Sitorus.

    Sitorus memperkirakan, jika 2.100 hektare itu didistribusikan, maka setidaknya rakyat bisa menerima 60 persen dari seluruh HGU perkebunan negara. “Itu jika perusahaan itu tidak terbukti menelantarkan tanah yang dikuasainya,” katanya.

    Sitorus mengingatkan, perusahaan perkebunan negara tidak pernah membeli dan mengganti rugi atas tanah yang dikuasai saat ini. “Mendapatkannya hanya dengan keputusan negara melalui Menteri Dalam Negeri pada masa itu. Setelah mereka lebih dari 60 tahun menata kelola tanah itu, tidak elok juga kalau tanah itu tidak pernah terdistribusi kepada masyarakat,” katanya.

    Sitorus meminta Komisi A DPRD Jember menelusuri penetapan HGU perkebunan negara dan hutan. “Yang kami mau tahu adalah rasa keadilan atas tanah yang ‘dirampas’ dan ditetapkan menjadi HGU atau ‘dirampas’ dan ditetapkan menjadi hutan,” katanya.

    Kebijakan pemerintahan Joko Widodo membuka peluang untuk redistribusi tanah. “Pada masa pemerintahan saat ini, hampir tiga juta hektare hutan dilepaskan menjadi tidak berfingsi hutan. Kenapa di Jember, Jawa Timur, hal itu tidak bisa diberlakukan seperti wilayah lain,” kata Sitorus.

    Sitorus yakin redistribusi lahan milik Clemen Boon yang saat ini dikuasai perkebunan negara justru akan menguntungkan Pemerintah Kabupaten Jember. “Jika tanah-tanah itu diredistribusi kepada warga kisaran 40 persen saja, maka secara administratif ada 800 hektare tanah yang akan bersertifikat dan jadi milik rakyat,” katanya.

    “Kalau dari 800 hektare ini lahir SPPT PBB dan transaksi jual-beli antarwarga masyarakat, tumbuh kembang BPHTB, dan ada retribusi untuk pembangunan rimah dan lain-lan, akan memberikan pendapatan asli daerah,” kata Sitorus. [wir]