kab/kota: Jati

  • 4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    DI TENGAH
    riuhnya janji desentralisasi dan otonomi khusus, narasi ironis kembali mencuat dari ujung barat Nusantara: kisah “hilangnya” empat pulau dari pangkuan Aceh.
    Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
    Keputusan ini, yang menguap begitu saja dari meja birokrasi Jakarta, memicu gelombang protes dan kebingungan di Bumi Serambi Mekkah, merobek kain perdamaian yang terjahit.
    Fakta ini, yang secara gamblang memperlihatkan arogansi kekuasaan pusat, dapat dianalogikan sebagai Jakarta yang seolah sedang bermain papan Monopoli, menggeser kepulauan seperti pion, tanpa sedikit pun mendengar suara lokal.
    Ini bukan sekadar sengketa batas wilayah administratif semata. Lebih dari itu, kasus ini adalah cerminan telanjang dari krisis legitimasi dan efektivitas otonomi khusus Aceh pasca-MoU Helsinki.
    Insiden ini secara fundamental mempertanyakan sejauh mana otonomi khusus benar-benar memberikan kekuasaan substantif, ataukah ia hanya menjadi simbol kosong di tengah upaya resentralisasi pusat yang tak kunjung berhenti?
    Sengketa empat pulau ini bukanlah fenomena baru, melainkan episode terbaru dari ketegangan historis yang tak kunjung usai antara Jakarta dan Aceh.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui bahwa konflik ini telah berlangsung sejak tahun 1928.
    Pola intervensi pusat yang berulang ini menunjukkan bahwa relasi kuasa antara Jakarta dan Aceh selalu diwarnai tarik ulur, bahkan setelah era Reformasi. Ini adalah “penyakit turunan” dalam hubungan pusat-daerah yang terus kambuh.
    Pasca-Orde Baru, Indonesia mengadopsi desentralisasi secara besar-besaran pada 2001. Kebijakan ini, sebagaimana dianalisis oleh Ostwald (2016), dapat termotivasi secara politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan separatisme yang mengancam stabilitas nasional setelah jatuhnya rezim Soeharto.
    Namun, Hadiz (2010) dalam karyanya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    menunjukkan bahwa desentralisasi, alih-alih menyelesaikan masalah, justru dapat membuka medan konflik kewenangan yang baru.
    Elite-elite lokal memang memanfaatkan ruang otonomi. Namun, mereka tetap berhadapan dengan logika dominasi pusat dan seringkali terjerat dalam sistem kekuasaan “predatory” yang memanfaatkan desentralisasi untuk kepentingan elite.
    Dalam sengketa pulau ini, terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat memilih untuk menunjukkan amnesia historis yang mencolok di hadapan klaim Aceh.
    Aceh bersandar pada bukti-bukti historis, sosiologis, bahkan administratif yang kuat: KTP warga yang menetap di pulau-pulau tersebut adalah KTP Aceh, infrastruktur fisik seperti prasasti, mushala, dan dermaga dibangun dengan dana Pemerintah Aceh pada tahun 2012, dan batas wilayah telah diketahui turun-temurun oleh masyarakat lokal.
    Namun, Kementerian Dalam Negeri justru menolak peta topografi tahun 1978 dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sebagai referensi resmi, mendasarkan keputusannya pada analisis spasial yang “lebih relevan”.
    Pendekatan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah pusat untuk mengabaikan konteks historis dan realitas lokal yang mengakar demi “kebenaran” administratif yang lebih baru dan sepihak.
    Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mengindikasikan bahwa keputusan pusat mungkin didorong oleh motif tersembunyi.
    Salah satu motif yang paling santer terdengar adalah potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di sekitar pulau-pulau yang disengketakan, serta rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di sana.
    Jika ini benar, maka sengketa ini bukan lagi sekadar masalah administratif, melainkan konflik yang didorong oleh kepentingan sumber daya.
    Aspinall (2014) dalam analisisnya tentang “predatory peace” di Aceh, mengemukakan bagaimana elite pasca-konflik, termasuk mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi yang seringkali terkait dengan sumber daya alam.
    Kondisi ini memperkuat narasi dominasi pusat yang berorientasi pada ekstraksi ekonomi, bukan pada keadilan administratif atau penghormatan otonomi.
    Ini menguatkan kecurigaan bahwa “permainan Monopoli” Jakarta adalah manuver strategis untuk keuntungan ekonomi, bukan sekadar ketepatan batas wilayah.
    Pemberian otonomi khusus Aceh, yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UU Pemerintahan Aceh) pasca-MoU Helsinki 2005, merupakan proyek kompromi monumental yang membuka jalan damai setelah konflik bersenjata berkepanjangan.
    UU ini memberikan kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur urusan lokal, termasuk kehidupan beragama, pendidikan, adat, pengelolaan sumber daya alam, dan pembentukan partai politik lokal.
    Namun, Aspinall (2014) mengindikasikan bahwa otonomi khusus ini “tidak menyentuh akar konflik relasi kuasa Jakarta–Aceh”.
    Kasus sengketa pulau ini menjadi bukti nyata kegagalan otonomi khusus dalam mencegah intervensi pusat yang bersifat sepihak, meskipun UU 11/2006 telah memberikan otonomi yang luas, pemerintah pusat tetap mempertahankan “kewenangan Pemerintah” dalam bidang-bidang strategis seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, dan moneter/fiskal nasional.
    Pemerintah Aceh memiliki bukti historis dan administratif yang kuat atas kepemilikan empat pulau tersebut.
    Selain KTP warga dan pembangunan infrastruktur, terdapat pula dokumen resmi seperti Kesepakatan Bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Aceh Tahun 1988.
    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan bahwa Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini “cacat formil” karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya.
    Lebih lanjut, MoU Helsinki merujuk pada batas wilayah 1 Juli 1956.
    Tindakan pemerintah pusat yang menggunakan regulasi di bawah undang-undang untuk mengubah batas wilayah yang diatur oleh undang-undang dan dirujuk dalam perjanjian damai menunjukkan pengikisan hierarki hukum.
    Apabila keputusan menteri dapat secara sepihak mengubah batas yang ditetapkan oleh UU dan diperkuat kesepakatan internasional seperti MoU Helsinki, maka hal ini secara fundamental merusak prinsip negara hukum dan asas
    lex superior derogat legi inferiori
    (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah).
    Ini berarti status “khusus” Aceh bukan lagi hak konstitusional yang kokoh, melainkan hak istimewa yang rapuh dan mati di mata kehendak pusat.
    Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum bagi Aceh, tetapi juga menetapkan preseden berbahaya bagi daerah otonom lainnya di Indonesia, mengancam stabilitas hubungan pusat-daerah di seluruh Nusantara.
    Ironisnya, pengikisan ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, yang notabene adalah mantan Panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    Kehadirannya di kursi pemerintahan seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun justru menjadi saksi bisu betapa rapuhnya janji-janji pusat di hadapan realitas kekuasaan.
    Krisis ini juga mengancam rapuhnya kepercayaan pasca-konflik di Aceh. Otonomi khusus adalah hasil dari kompromi besar, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “rela mengubur mimpi merdekanya menjadi otonomi khusus” demi perdamaian.
    Ketika perdamaian telah dicapai, Aceh justru kehilangan empat pulaunya. Tentu, itu sangat menyakitkan hati, seperti diungkapkan oleh Alkaf.
    Perasaan dikhianati ini sangat dalam, mengingat pengorbanan besar yang telah dilakukan. Bräuchler (2015) dalam karyanya
    The Cultural Dimension of Peace
    menekankan pentingnya memahami dan menghormati konsepsi lokal tentang konflik, keadilan, dan rekonsiliasi, yang seringkali berakar pada narasi budaya dan historis.
    Mengabaikan dimensi ini, seperti yang dilakukan pemerintah pusat, dapat membahayakan upaya rekonsiliasi.
    Pelanggaran kepercayaan ini berisiko menghidupkan kembali keluhan historis dan sentimen alienasi dari negara Indonesia, berpotensi memicu bentuk-bentuk resistensi baru dan merongrong perdamaian yang telah susah payah dibangun.
    Resistensi masyarakat Aceh terhadap pemindahan empat pulau ini melampaui sekadar masalah batas wilayah administratif; ini adalah perjuangan yang mendalam untuk mempertahankan “harga diri” atau “marwah Aceh” dan identitas politik yang telah lama diperjuangkan.
    Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, secara tajam menyatakan bahwa bagi masyarakat Aceh, keputusan ini “bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar”.
    Pernyataan ini menggarisbawahi betapa teritori terkait erat dengan narasi historis dan jati diri kolektif masyarakat Aceh.
    Dalam konteks ini, perlawanan Aceh mencerminkan bagaimana desentralisasi, seperti yang dijelaskan oleh Bräuchler (2015), seharusnya membuka ruang bagi ekspresi identitas lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap “kewajaran” negara pusat.
    Penekanan pada bukti-bukti sosiologis dan historis yang diwariskan turun-temurun, seperti pengakuan warga yang ber-KTP Aceh di pulau-pulau tersebut dan penggunaan dana Aceh untuk pembangunan infrastruktur di sana, adalah manifestasi dari perlawanan yang mengakar pada legitimasi lokal dan historis.
    Ini adalah upaya untuk menegaskan kembali keberdayaan dan identitas mereka di hadapan pemaksaan dari pusat.
    Bagi daerah pasca-konflik dengan identitas yang kuat, integritas teritorial tidak dapat dipisahkan dari martabat kolektif dan narasi sejarah mereka.
    Tindakan sepihak oleh pusat, meskipun mungkin dibenarkan secara administratif dari perspektif mereka, secara tidak sengaja dapat memicu kebencian yang mendalam dan memobilisasi perlawanan berbasis identitas, yang pada akhirnya mengancam perdamaian dan stabilitas.
    Para akademisi, anggota DPR RI dari Aceh, dan aktivis telah memperingatkan secara eksplisit bahwa keputusan sepihak ini berpotensi memicu ketegangan baru dan “memanaskan kembali relasi hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat”.
    Mereka menyebutnya sebagai risiko “api dalam sekam” yang dapat mengancam stabilitas pasca-konflik, mengingat sejarah panjang perjuangan Aceh untuk otonomi dan bahkan kemerdekaan yang berdarah-darah.
    Desakan agar Presiden Prabowo mengambil alih persoalan ini dan membatalkan SK Kemendagri menunjukkan tingkat urgensi dan kekhawatiran akan eskalasi.
    Ironisnya, kebijakan desentralisasi yang menurut Ostwald (2016) awalnya dirancang sebagai manuver politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan meningkatkan stabilitas pasca-Soeharto, kini justru menjadi pemicu ketidakstabilan baru.
    Hadiz (2010) telah mengkritik bahwa desentralisasi seringkali menciptakan “arena baru konflik” di mana elite lokal memanfaatkan peluang untuk kepentingan mereka.
    Dalam kasus ini, ambiguitas administratif atau intervensi pusat yang berlebihan telah menciptakan titik nyala baru.
    Ini mengungkapkan paradoks mendasar: kebijakan yang dirancang untuk mencegah separatisme dan meningkatkan stabilitas dapat, jika diimplementasikan dengan buruk atau ditegakkan secara sepihak, menjadi sumber ketidakstabilan baru.
    Desentralisasi yang sejati membutuhkan bukan hanya kerangka hukum, tetapi juga kemauan politik yang konsisten, penghormatan terhadap otonomi lokal, dan proses konsultatif yang transparan untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan yang mengancam kohesi nasional.
    Kasus sengketa empat pulau ini secara brutal menelanjangi kerapuhan otonomi khusus Aceh di hadapan dominasi pusat.
    Jika hak dasar atas teritori, yang merupakan inti dari kedaulatan lokal dan identitas politik, dapat digeser begitu saja dengan keputusan sepihak Kemendagri, maka otonomi khusus yang dijanjikan dalam MoU Helsinki dan UU 11/2006 tak lebih dari simbol kosong.
    Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat perdamaian dan kompromi yang telah dicapai dengan pengorbanan besar.
    Dugaan adanya kandungan migas di pulau-pulau yang disengketakan memperkuat narasi bahwa dominasi pusat seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi yang terselubung, bukan semata-mata efisiensi administrasi.
    Ini sejalan dengan kritik Aspinall (2014) tentang “predatory peace” di Aceh, di mana elite pasca-konflik, termasuk mantan GAM, terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi, seringkali terkait dengan sumber daya alam, dan dana otonomi khusus pun belum berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
    Konflik ini menggarisbawahi bahwa relasi kuasa Jakarta–Aceh masih didominasi oleh logika ekstraksi sumber daya, yang mengabaikan hak-hak dan martabat lokal.
    Peristiwa ini secara telanjang menunjukkan bagaimana pemerintah pusat telah mengabaikan hierarki hukum, mengkhianati kepercayaan yang dibangun pasca-konflik, dan meremehkan bobot simbolis teritori bagi identitas Aceh.
    Tindakan unilateral yang dianggap sewenang-wenang ini, yang tercermin dalam analogi “Jakarta bermain Monopoli,” secara fundamental mempertanyakan ketulusan desentralisasi dan otonomi khusus.
    Mungkin sudah saatnya kita menyebutnya apa adanya: otonomi kerdil, hak istimewa yang telah dimutilasi, hanya ada di atas kertas, namun mati di lapangan.
    Dalam negara kepulauan yang beragam seperti Indonesia, integrasi nasional bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara otoritas pusat dan
    otonomi daerah
    , yang dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati.
    Ketika kekuasaan pusat dipersepsikan tidak terkendali, sepihak, dan didorong oleh kepentingan ekstraktif, hal itu berisiko mengasingkan daerah-daerah, terutama yang memiliki sejarah konflik.
    Ini dapat menyebabkan kebangkitan sentimen separatis atau ketidakpuasan yang meluas, yang pada akhirnya merongrong persatuan yang ingin dipertahankan oleh pemerintah pusat.
    Untuk menjaga keutuhan bangsa dan merawat perdamaian yang telah diraih dengan susah payah, pemerintah pusat harus segera meninjau ulang keputusan ini.
    Dialog konstruktif yang menghormati sejarah, identitas, dan martabat masyarakat lokal adalah satu-satunya jalan ke depan.
    Mengabaikan suara lokal dan menggeser batas wilayah seperti pion di papan Monopoli hanya akan menabur benih konflik baru, mengancam fondasi perdamaian dan integrasi nasional yang rapuh.
    Tanpa penghormatan tulus terhadap kekhususan dan kedaulatan teritori, otonomi khusus Aceh akan selamanya menjadi janji hampa, sebuah ironi pahit di tengah upaya membangun Indonesia yang adil dan beradab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polri Masih Telusuri Keluarga Bocah yang Ditemukan Penuh Luka di Jaksel

    Polri Masih Telusuri Keluarga Bocah yang Ditemukan Penuh Luka di Jaksel

    Jakarta

    Bocah perempuan berinisial MK (7) yang ditemukan dalam kondisi sekujur tubuh penuh luka dan lemas di atas kardus pada lorong Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan tengah dirawat intensif. Polri saat ini masih menelusuri identitas keluarga si bocah.

    Diketahui MK ditemukan pada Rabu (11/6) pagi. Pada hari yang sama MK langsung mendapat perawatan medis dari RSUD Kebayoran Lama. Adapun kini bocah kecil itu telah dipindahkan ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

    “Dapat kami jelaskan bahwa terkait identitas anak dan keluarganya masih kami dalami karena kondisi kesehatan anak belum memungkinkan untuk dimintai keterangan,” kata Direktur PPA-PPO Bareskrim Polri, Brigjen Nurul Azizah saat dihubungi, Sabtu (14/6/2025).

    Nurul menyebut kondisi MK terus membaik. Dia menyatakan, saat ini tim dokter sedang melakukan berbagai tindakan medis untuk pemulihan MK.

    Adapun MK, lanjutnya, sepenuhnya dalam pendampingan oleh Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Sebab, identitas keluarganya masih dicari tahu.

    “Yang damping dari kita (Polri) dan KemenPPPA. Kami akan melakukan berbagai upaya untuk menemukan identitas anak dan keluarganya,” ucap Nurul.

    “Fokus utama saat ini tentu pemulihan dan keselamatan korban, tanpa meninggalkan proses penegakan hukum,” tuturnya.

    Terpisah, Wakil Kepala RS Polri Kramat Jati Kombes dr Erwin Zainul Hakim mengungkapkan MK banyak mengalami kondisi medis yang serius. Mulai infeksi tulang hingga mengalami gizi buruk.

    Rencananya, operasi terhadap M dilakukan hari ini. Terhadap MK akan dilakukan operasi tulang lengan kanan oleh dr Zarkasih SpOT.

    (ond/mea)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Anak Telantar di Kebayoran Lama Alami Luka Bakar di Wajah 
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        14 Juni 2025

    Anak Telantar di Kebayoran Lama Alami Luka Bakar di Wajah Megapolitan 14 Juni 2025

    Anak Telantar di Kebayoran Lama Alami Luka Bakar di Wajah
    Tim Redaksi
     
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut MK (7), anak perempuan yang ditemukan telantar di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengalami luka bakar di bagian wajah.
    Hal itu diketahui Komisioner KPAI Subklaster Anak Korban Perlakuan Salah dan Penelantaran, Kawiyan, bersama tim dari Direktorat PPA dan PPO Bareskrim Polri saat mengunjungi MK di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (12/6/2025).
    “Kami melihat dari dekat bekas luka bakar di wajah MK, tangan kanan yang patah masih dibungkus dengan gips,” ujar Kiwayan dalam keterangan tertulis yang diterima
    Kompas.com,
    Sabtu (14/6/2025).
    Berdasarkan keterangan dari salah satu perawat di RS Polri, ungkap Kiwayan, tangan MK yang patah itu sempat terlihat tulangnya.
    Kendati demikian, MK secara fisik disebut sudah ada perkembangan yang menggembirakan dibandingkan ketika pertama kali dipindahkan dari Puskesmas di Kebayoran Lama.
    “Kami berharap MK akan berangsur-angsur sembuh sehingga dapat menikmati masa tumbuh-kembang seperti anak-anak yang seusia pada umumnya,” ujar dia.
    Kiwayan meminta doa agar MK segera sembuh sehingga dapat diajak berbicara dan memberikan informasi terkait kekerasan yang dialaminya.
    “Sampai saat ini pihak Bareskrim Polri belum banyak mendapatkan informasi untuk dapat mengungkap kasus kekerasan dan penelantaran tersebut. Karena itu, penting sekali agar Ananda MK segera dapat disembuhkan dan agar sehat kembali,” tegas dia.
    Diberitakan sebelumnya, MK pertama kali ditemukan dalam kondisi memprihatinkan. Ia ditemukan tertidur di lorong Pasar Kebayoran Lama dengan alas kardus.
    Wajahnya tampak dipenuhi luka bakar dan memar di bawah mata.
    Petugas Satpol PP kemudian membawa korban ke Puskesmas Cipulir 2 untuk mendapatkan penanganan awal.
    Di puskesmas, anak tersebut mengaku lapar kepada petugas bernama Eko, tetapi kesulitan makan karena wajahnya kerap dipukul oleh ayahnya.
    Hasil pemeriksaan medis menunjukkan banyak luka di tubuh korban. Salah satunya adalah patah tulang di bahu, dengan kondisi tulang mencuat keluar dari kulit.
    “Ternyata setelah dibuka ini tulangnya nongol keluar. Jadi bekas dipelintir. Itu mungkin sudah lama. Jadi sudah hitam,” jelas Eko saat ditemui di lokasi penemuan, Rabu.
    Setelah kasus ditangani oleh pihak kepolisian, terungkap bahwa korban dan ayahnya baru tiba di Jakarta dari Surabaya.
    Mereka berangkat menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Turi pada Senin (9/6/2025) dan tiba di Jakarta pada Selasa (10/6/2025).
    Berdasarkan informasi tersebut, polisi menduga penganiayaan terjadi saat keduanya masih berada di Surabaya. Oleh karena itu, penanganan kasus kini dilimpahkan ke Bareskrim Polri.
    “Penanganan akan diambil alih Bareskrim, karena TKP penganiayaan di Surabaya,” jelas Kasi Humas Polres Jakarta Selatan Komisaris Murodih, saat dikonfirmasi, Rabu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Enam dokter RS Polri tangani anak yang disiksa orang tuanya di Jaksel

    Enam dokter RS Polri tangani anak yang disiksa orang tuanya di Jaksel

    Pemerintah Kota Jakarta Selatan melalui Suku Dinas Kesehatan dan Suku Dinas Sosial membantu penanganan anak korban penyiksaan oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (11/6/2025). (ANTARA/HO-Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan)

    Enam dokter RS Polri tangani anak yang disiksa orang tuanya di Jaksel
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Sabtu, 14 Juni 2025 – 10:25 WIB

    Elshinta.com – Sebanyak enam dokter Rumah Sakit (RS) Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, menangani anak berinisial MK (7) yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

    “Rumah Sakit Bhayangkara Tk I Pusdokkes Polri (RS Polri) atas arahan pimpinan telah menyiapkan enam dokter secara berkolaborasi,” kata Wakil Kepala Rumah Sakit (Wakarumkit) Bhayangkara Tk I Pusdokkes Polri Kombes Polisi Erwinn Zainul Hakim saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.

    Erwinn menyebutkan, korban telah dirujuk dari RSUD Kebayoran Lama pada Kamis (12/6) dan tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada pukul 21.54 WIB.

    “Upaya maksimal yang kita bisa berikan untuk pasien bersama enam dokter sekarang dari perawatan intensif di ruang ‘Pediatric Intensive Care Unit’ (PICU),” ujar Erwinn.

    Erwinn memastikan, pihak rumah sakit akan terus memantau perkembangan kondisi pasien dan memberikan kabar terbaru selanjutnya sesuai prosedur. MK (7) yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengalami dehidrasi dan luka akibat benda tajam saat ditemukan pertama kali.

    Awalnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kebayoran Lama sedang melakukan patroli di kawasan Pasar Kebayoran Lama pada Rabu (11/6) pukul 07.20 WIB. Sang anak ditemukan seorang diri dan mengaku telah disiksa oleh orang tuanya. Posisinya di atas kardus dan sedang tertidur di lorong pasar.

    Namun anak tersebut belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut terkait penyiksaan atau penganiayaan yang dialami lantaran masih kesulitan bicara. Untuk menindaklanjuti temuan anak yang diduga disiksa oleh orang tuanya tersebut, Satpol PP Kebayoran Lama telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan.

    Sumber : Antara

  • Begini kondisi seorang anak yang disiksa oleh orang tuanya di Jaksel

    Begini kondisi seorang anak yang disiksa oleh orang tuanya di Jaksel

    Jakarta (ANTARA) – Rumah Sakit Bhayangkara Tk I Pusdokkes Polri (RS Polri) Kramat Jati, Jakarta Timur, mengungkapkan beberapa kondisi serius pada tubuh anak berinisial MK (7) yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

    “Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, ditemukan beberapa kondisi medis serius,” kata Wakil Kepala Rumah Sakit (Wakarumkit) Bhayangkara Tk I Pusdokkes Polri Kombes Pol Erwinn Zainul Hakim saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.

    Pihak rumah sakit, kata dia, masih terus memantau perkembangan kondisi pasien.

    Erwinn menyebutkan, hasil pemeriksaan awal ditemukan beberapa kondisi medis serius, antara lain patah tulang pada lengan kanan, dugaan infeksi tulang, gizi buruk, anemia berat dan adanya bekas luka bakar di area wajah.

    “Kami mengerahkan enam dokter untuk pengobatan intensif pasien di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU),” ujar Erwinn.

    Arsip foto – Pemerintah Kota Jakarta Selatan melalui Suku Dinas Kesehatan dan Suku Dinas Sosial membantu penanganan anak korban penyiksaan orangtua di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (11/6/2025). (ANTARA/HO-Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan)

    Adapun rencana penanganan yang disiapkan tim medis meliputi perbaikan kondisi umum kesehatan pasien sebagai prioritas awal.

    Lalu, tindakan operasi untuk memperbaiki patah tulang lengan kanan akan dilakukan apabila kondisi pasien sudah cukup stabil.

    “Selain itu, perawatan luka dan penanganan kondisi lainnya juga akan dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan medis,” katanya.

    Korban telah dirujuk dari RSUD Kebayoran Lama pada Kamis (12/6) dan tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Polri Kramat Jati pada pukul 21.54 WIB.

    MK (7) yang diduga disiksa orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengalami dehidrasi dan luka akibat benda tajam saat ditemukan pertama kali.

    Arsip foto – Satpol PP Kebayoran Lama mengamankan seorang anak yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025). (ANTARA/HO-Satpol PP Kebayoran Lama.)

    Awalnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kebayoran Lama sedang melakukan patroli di kawasan Pasar Kebayoran Lama pada Rabu (11/6) pukul 07.20 WIB.

    Sang anak ditemukan seorang diri dan mengaku telah disiksa oleh orang tuanya. Posisinya di atas kardus dan sedang tertidur di lorong pasar.

    Namun anak tersebut belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut terkait penyiksaan atau penganiayaan yang dialami lantaran masih kesulitan bicara.

    Untuk menindaklanjuti temuan anak yang diduga disiksa oleh orang tuanya, Satpol PP Kebayoran Lama telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Wali Kota Mojokerto Lepas Kontingen SBH dan Sampaikan Bangga Pramuka

    Wali Kota Mojokerto Lepas Kontingen SBH dan Sampaikan Bangga Pramuka

    Mojokerto (beritajatim.com) – Semangat Pramuka membara dalam seremoni pemberangkatan Kontingen Saka Bakti Husada (SBH) Kota Mojokerto yang akan mengikuti Perkemahan Tingkat Daerah (Pertida) VII Jawa Timur. Acara pelepasan digelar khidmat di Pendopo Sabha Mandala Tama, Balai Kota Mojokerto, Jumat (13/6/2025).

    Kontingen ini akan bergabung dengan ratusan Pramuka dari berbagai kabupaten/kota se-Jawa Timur di Bumi Perkemahan Alas Soeko, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, pada tanggal 17–20 Juni 2025. Mereka mengemban misi besar, menimba ilmu, memperluas wawasan, serta menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan kepedulian sosial.

    Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari menyampaikan rasa bangganya atas semangat para generasi muda. Menurutnya, kegiatan Pramuka menjadi sarana efektif dalam menanamkan nilai-nilai karakter positif. “Melalui Pramuka, saya melihat ada penanaman pendidikan karakter yang luar biasa. Kemandirian, kepedulian, dan empati sosial terbentuk dari aktivitas-aktivitas Pramuka,” ungkapnya.

    Ning Ita (sapaan akrab, red) pun mendorong peserta untuk memanfaatkan kegiatan ini sebaik mungkin. Sebab, Pertida bukan sekadar kegiatan rekreasi, melainkan proses pembentukan jati diri. Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto bersama Gerakan Pramuka telah memberikan pembinaan maksimal kepada peserta.

    “Kolaborasi ini diharapkan mencetak generasi unggul, calon pemimpin masa depan yang tumbuh dari Kota Mojokerto. Semoga saat kembali ke Kota Mojokerto nanti, para peserta membawa pulang ilmu dan pengalaman yang akan menjadi bekal berharga untuk masa depan,” imbuhnya.

    Dengan semangat dan tekad tinggi, para anggota kontingen dilepas dengan doa dan harapan. Mereka diharapkan mampu membawa harum nama Mojokerto dalam ajang yang bukan hanya perkemahan, tetapi juga wadah pembelajaran karakter bagi para pemuda Jawa Timur. [tin/but]

  • Pemuda 24 Tahun Nyaris Bunuh Diri di Tiang Sutet Cilangkap

    Pemuda 24 Tahun Nyaris Bunuh Diri di Tiang Sutet Cilangkap

    JAKARTA – Seorang pemuda bernama Ari Mukti (24) nyaris mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari tiang SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) yang berada di kawasan waduk Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Jumat (13/6/2025) dini hari.

    Warga lainnya yang mengetahui kejadian tersebut langsung melaporkan ke Sudin Gulkarmat Jakarta Timur untuk bantuan evakuasi terhadap korban. Belakangan diketahui, korban tercatat sebagai warga RT 10/02, Kecamatan Jati Rangon.

    Setelah menerima laporan, sebanyak 3 tim rescue langsung menuju lokasi kejadian. Belum diketahui motif korban hingga nekat hendak mengakhiri hidupnya.

    “Objek percobaan bunuh diri,” kata perwira piket Damkar dalam laporannya, Jumat (13/6/2025).

    Area lokasi tempat korban naik ke tiang sutet berada di area joging track wadul Cilangkap, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

    Sebanyak 15 orang petugas damkar yang dikerahkan ke lokasi kemudian mengevakuasi korban menggunakan tali pengaman.

    “Evakuasi berlangsung mulai pukul 00.07 WIB dan selesai pukul 02.30 WIB,” ujarnya.

    Proses evakuasi korban pun diakhiri dan korban pun selamat. Petugas membawa korban ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan medis.

    “Evakuasi selesai,” ucapnya.

    Sementara kasusnya dalam penyelidikan Polsek Cipayung.

  • 10 kereta api jarak jauh berhenti di Jatinegara pada 15 Juni 2025

    10 kereta api jarak jauh berhenti di Jatinegara pada 15 Juni 2025

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    10 kereta api jarak jauh berhenti di Jatinegara pada 15 Juni 2025
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 13 Juni 2025 – 14:51 WIB

    Elshinta.com – Sebanyak 10 perjalanan kereta api jarak jauh (KAJJ) keberangkatan Stasiun Gambir akan berhenti di Stasiun Jatinegara pada 15 Juni 2025, yang bertepatan dengan pelaksanaan LPS Monas Half Marathon 2025.

    Manager Humas PT KAI Daop 1 Jakarta, Ixfan Hendriwintoko di Jakarta, Jumat mengatakan ke-10 kereta itu pada hari-hari biasa tidak berhenti di Stasiun Jatinegara.

    “Perubahan pola operasi tersebut untuk memberikan pilihan kepada penumpang KA yang akan berangkat dari Stasiun Gambir agar tidak terjebak macet akibat penutupan jalan menuju Stasiun Gambir,” kata dia.

    Ke-10 kereta itu, yakni KA 6 Argo Semeru (Gambir-Surbaya Gubeng), KA 132 Parahyangan (Gambir-Bandung),KA 46 Taksaka (Gambir-Yogyakarta, KA 2 Argo Bromo Anggrek (Gambir-Surabaya Pasar Turi).

    Lalu, KA 16 Argo Dwipangga (Gambir-Solo), KA 118 Gunung Jati (Gambir-Semarang Tawang), PLB 7006 Batavia (Gambir-Solo), KA 40 Sembrani (Gambir-Surabaya Pasar Turi), KA 62 Manahan (Gambir-Solo), dan KA 122 Cakrabuana (Gambir-Cirebon).

    PT KAI Daop 1 Jakarta mengimbau seluruh pelanggan yang memiliki tiket keberangkatan dari Stasiun Gambir pada 15 Juni 2025 untuk datang lebih awal ke stasiun, atau langsung menuju Stasiun Jatinegara, sesuai jadwal keberangkatan yang tertera pada tiket.

    Hal itu untuk menghindari risiko keterlambatan akibat kemacetan atau pengalihan arus lalu lintas selama kegiatan berlangsung.

    Adapun LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) Monas Half Marathon 2025 itu didukung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan diikuti 6.000 pelari.

    Lomba akan dilaksanakan pada Minggu (15/6) mulai pukul 03.00 hingga 12.00 WIB, dengan titik mulai di kawasan Tugu Monas dan titik akhir di Stadion Gelora Bung Karno.

    Sejumlah ruas jalan di sekitar kawasan Monas, termasuk akses menuju Stasiun Gambir akan mengalami rekayasa lalu lintas selama kegiatan berlangsung.

    Sumber : Antara

  • 10 kereta api jarak jauh berhenti di Jatinegara pada 15 Juni 2025

    10 kereta api jarak jauh berhenti di Jatinegara pada 15 Juni 2025

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    10 kereta api jarak jauh berhenti di Jatinegara pada 15 Juni 2025
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 13 Juni 2025 – 14:51 WIB

    Elshinta.com – Sebanyak 10 perjalanan kereta api jarak jauh (KAJJ) keberangkatan Stasiun Gambir akan berhenti di Stasiun Jatinegara pada 15 Juni 2025, yang bertepatan dengan pelaksanaan LPS Monas Half Marathon 2025.

    Manager Humas PT KAI Daop 1 Jakarta, Ixfan Hendriwintoko di Jakarta, Jumat mengatakan ke-10 kereta itu pada hari-hari biasa tidak berhenti di Stasiun Jatinegara.

    “Perubahan pola operasi tersebut untuk memberikan pilihan kepada penumpang KA yang akan berangkat dari Stasiun Gambir agar tidak terjebak macet akibat penutupan jalan menuju Stasiun Gambir,” kata dia.

    Ke-10 kereta itu, yakni KA 6 Argo Semeru (Gambir-Surbaya Gubeng), KA 132 Parahyangan (Gambir-Bandung),KA 46 Taksaka (Gambir-Yogyakarta, KA 2 Argo Bromo Anggrek (Gambir-Surabaya Pasar Turi).

    Lalu, KA 16 Argo Dwipangga (Gambir-Solo), KA 118 Gunung Jati (Gambir-Semarang Tawang), PLB 7006 Batavia (Gambir-Solo), KA 40 Sembrani (Gambir-Surabaya Pasar Turi), KA 62 Manahan (Gambir-Solo), dan KA 122 Cakrabuana (Gambir-Cirebon).

    PT KAI Daop 1 Jakarta mengimbau seluruh pelanggan yang memiliki tiket keberangkatan dari Stasiun Gambir pada 15 Juni 2025 untuk datang lebih awal ke stasiun, atau langsung menuju Stasiun Jatinegara, sesuai jadwal keberangkatan yang tertera pada tiket.

    Hal itu untuk menghindari risiko keterlambatan akibat kemacetan atau pengalihan arus lalu lintas selama kegiatan berlangsung.

    Adapun LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) Monas Half Marathon 2025 itu didukung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan diikuti 6.000 pelari.

    Lomba akan dilaksanakan pada Minggu (15/6) mulai pukul 03.00 hingga 12.00 WIB, dengan titik mulai di kawasan Tugu Monas dan titik akhir di Stadion Gelora Bung Karno.

    Sejumlah ruas jalan di sekitar kawasan Monas, termasuk akses menuju Stasiun Gambir akan mengalami rekayasa lalu lintas selama kegiatan berlangsung.

    Sumber : Antara

  • Jumat, Samsat Keliling tersedia di 22 lokasi di Jadetabek

    Jumat, Samsat Keliling tersedia di 22 lokasi di Jadetabek

    Jakarta (ANTARA) – Subdit Registrasi dan Identifikasi (Regident) Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya telah menyediakan layanan 22 lokasi Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (samsat) Keliling di 14 wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek), Jumat.

    Info akun X resmi TMC Polda Metro Jaya @tmcpoldametro menyebutkan masyarakat mendapatkan sejumlah manfaat seperti, layanan pengesahan STNK setiap tahun, pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Santunan Wajib Dana Kecelakaan Lalu-lintas (SWDKLLJ).

    Samsat keliling biasanya tersebar di beberapa daerah agar masyarakat mudah untuk menjangkau dan tak perlu untuk mendatangi kantor pusat.

    Berikut sebaran layanannya:

    1. Jakarta Pusat di halaman parkir Samsat dan Lapangan Banteng pukul 08.00-14.00 WIB

    2. Jakarta Utara di halaman parkir Samsat dan Mall Artha Gading pukul 08.00-14.00 WIB

    3. Jakarta Barat di Mall Citraland dan Universitas Binus pukul 08.00-14.00 WIB

    4. Jakarta Selatan di halaman parkir Samsat pukul 08.00-15.00 WIB dan Kantor Walikota pukul 09.00-15.00 WIB

    5. Jakarta Timur di halaman parkir Samsat dan Pasar Induk Kramat Jati pukul 08.00-14.00 WIB

    6. Kota Tangerang di halaman parkir Samsat pukul 08.00-14.00 WIB

    7. Serpong di halaman parkir Samsat pukul 08.00-14.00 WIB dan ITC BSD pukul 16.00 – 19.00

    8. Ciledug di Kantor Kecamatan Pinang dan Rukan Fresh Market pukul 09.00 – 12.00 WIB

    9. Ciputat di Kantor Kelurahan Pondok Betung pukul 09.00-12.00 WIB

    10. Kelapa Dua di Pasar Intermoda dan halaman Gtown house pukul 08.00-14.00 WIB

    11. Kota Bekasi di halaman Parkir Samsat pukul 09.00-14.00 WIB

    12. Kabupaten Bekasi di halaman Parkir Samsat pukul 09.00-14.00 WIB

    13. Depok di halaman parkir Samsat pukul 08.00-14.00 WIB

    14. Cinere di halaman parkir Samsat pukul 08.00-14.00 WIB

    Masyarakat diminta membawa beberapa persyaratan untuk melakukan pembayaran pajak kendaraan anda, seperti KTP asli pemilik kendaraan, BPKB, dan STNK, masing-masing disertai fotokopi, pemohon juga tidak memiliki tunggakan pajak kendaraan bermotor lebih dari satu tahun.

    Gerai ini hanya melayani pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) tahunan, sedangkan untuk pembayaran pajak kendaraan lima tahunan dan ganti plat nomor kendaraan pemohon harus datang langsung ke kantor Samsat terdekat.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.