kab/kota: Jati

  • KPAI desak pemerintah reintegrasi sosial anak ditelantarkan di Jaksel

    KPAI desak pemerintah reintegrasi sosial anak ditelantarkan di Jaksel

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah menyiapkan reintegrasi sosial bagi anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

    “Pemerintah harus menyiapkan reintegrasi sosial,” kata Komisioner KPAI Diyah Puspitarini saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

    Reintegrasi sosial adalah mempersiapkan anak siap untuk berinteraksi kembali dan juga diterima oleh lingkungan sekitar.

    Jika nantinya pelaku penelantaran atau penyiksaan anak merupakan ayah kandung, maka pemerintah harus juga memastikan kesiapan keluarga.

    “Penting adanya kesiapan keluarga besar, keluarga inti lainnya, khawatirnya anak masih terintimidasi,” katanya.

    Kemudian, dia meminta pemerintah bersama Dinas Sosial untuk memastikan apakah anak ini harus pengasuhan ketiga atau menjadi anak negara.

    Dalam arti anak ini juga diutamakan untuk mendapatkan pelindungan dan terjamin haknya seperti hak pendidikan.

    “Memastikan hak anak ini baik dari pendidikan, kesehatan, kemudian hak sipil dan juga pengasuhan ini bisa maksimal karena dengan kondisi anak saat ini memang diperlukan upaya yang lebih preventif,” ujarnya.

    Lalu, tak kalah penting, yakni anak harus mendapatkan rehabilitasi medis dan pendampingan psikososial sampai anak tidak lagi trauma.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, apabila pelakunya adalah orang tua, hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman pidana pokok yang tercantum.

    “Jadi tidak ada kata pemaafan ataupun juga pengampunan untuk orang tua yang melakukan kekerasan pada anak,” tegasnya.

    Kondisi anak berinisial MK (7) yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mulai pulih usai menjalani operasi tulang di Rumah Sakit Bhayangkara Tk I Pusdokkes Polri (RS Polri) Kramat Jati, Jakarta Timur.

    Awalnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kebayoran Lama sedang melakukan patroli di kawasan Pasar Kebayoran Lama pada Rabu (11/6) pukul 07.20 WIB.

    Sang anak ditemukan seorang diri dan mengaku telah disiksa oleh orang tuanya. Posisinya di atas kardus dan sedang tertidur di lorong pasar.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Parkir liar hambat pemadaman kebakaran di Palmerah

    Parkir liar hambat pemadaman kebakaran di Palmerah

    Jakarta (ANTARA) – Pemadaman kebakaran rumah tinggal di Jalan Tomang Pulo 2, RT 18 RW 06, Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, terhambat akibat sejumlah mobil yang diparkir secara liar di jalan menuju lokasi yang terbakar.

    “Kendala di sini tanggul, jalan sempit dan ada mobil-mobil parkir (liar),” ujar Kepala Seksi Operasi Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta Barat, Syarifudin di Jakarta, Selasa.

    Meskipun pemadaman telah rampung, Syarif meminta kepada Dinas Perhubungan untuk menertibkan kendaraan-kendaraan yang diparkir liar tersebut.

    “Nah ini tolong untuk dinas terkait, parkir di jalan tanggul ini, (kendaraan) yang pada parkir di jalan ini (ditertibkan),” ujar Syarif.

    Pihaknya mengerahkan total 75 personel dan 15 unit kendaraan pemadam untuk mengatasi kebakaran yang terjadi sekitar pukul 14.25 WIB tersebut.

    Awalnya, kata Syarif, pemilik salah satu rumah menyadari bahwa plafon rumahnya sudah terbakar.

    “Menurut pemilik rumah, api sudah terlihat membesar dari plafon rumah lantai 2, kemudian ia melaporkan ke Satgas Kelurahan Jati Pulo dan segera ditindaklanjuti oleh petugas,” ujar Syarif.

    Kebakaran yang diduga terjadi akibat hubungan arus pendek listrik (korsleting) itu menyebabkan 50 jiwa kehilangan tempat tinggal. “Jumlah kepala keluarga dan jiwa yang terdampak itu 5 KK dengan 50 jiwa,” katanya.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Seorang pria terluka parah saat bantu padamkan kebakaran di Palmerah

    Seorang pria terluka parah saat bantu padamkan kebakaran di Palmerah

    Jakarta (ANTARA) – Seorang pria bernama Yanto terluka parah saat membantu memadamkan kebakaran yang melanda enam rumah tinggal di Jalan Tomang Pulo 2, RT 18 RW 06, Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, pada Selasa.

    “Tadi ketika petugas sudah sampai di sana, korban sudah dilarikan ke rumah sakit,” kata Kepala Seksi Operasi Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta Barat, Syarifudin saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

    Menurut warga, kata dia, korban terluka saat berusaha membantu memadamkan api. Korban mengalami luka bakar pada beberapa bagian tubuh dan kepalanya terluka parah.

    “Luka bakar dan kepala luka. Warga atas nama Yanto dan sudah dibawa ke Rumah Sakit Tarakan,” ujar Syarif.

    Pihaknya mengerahkan total 75 personel dan 15 unit kendaraan pemadam untuk mengatasi kebakaran yang terjadi sekitar pukul 14.25 WIB tersebut.

    Awalnya, kata Syarif, pemilik salah satu rumah menyadari bahwa plafon rumahnya sudah terbakar.

    “Menurut pemilik rumah, api sudah terlihat membesar dari plafon rumah lantai 2. Kemudian ia melaporkan ke Satgas Kelurahan Jati Pulo dan segera ditindaklanjuti oleh petugas,” ujarnya.

    Kebakaran yang diduga terjadi akibat hubungan arus pendek listrik (korsleting) itu menyebabkan 50 jiwa kehilangan tempat tinggal. “Jumlah kepala keluarga dan jiwa yang terdampak itu 5 KK dengan 50 jiwa,” katanya.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR minta klarifikasi Fadli Zon soal tak ada pemerkosaan massal ’98

    DPR minta klarifikasi Fadli Zon soal tak ada pemerkosaan massal ’98

    Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani bakal meminta klarifikasi kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai pernyataan tidak ada pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.

    Dia menilai pernyataan tersebut berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Menurut dia, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.

    “Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah,” kata Lalu dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Dia mengungkapkan DPR RI saat ini sedang berada dalam masa reses. Ketika memasuki masa sidang, Komisi X DPR pun akan mempertanyakan ucapan tersebut ketika rapat kerja yang mengundang Fadli Zon.

    Dia menekankan bahwa tragedi 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual.

    Menurut dia, penyangkalan terhadap fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998, sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menghambat proses pemulihan serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.

    “Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka,” katanya.

    Dia mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Menurut dia, sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa.

    “Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” katanya.

    Pimpinan komisi yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan itu juga berkomitmen bakal mengawal Kementerian Kebudayaan yang tengah melakukan penulisan revisi sejarah Indonesia. Dia memandang bahwa penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa, bukan hanya domain kementerian.

    “DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif,” kata dia.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi X akan raker dengan Fadli Zon soal 1998 saat masa sidang dibuka

    Komisi X akan raker dengan Fadli Zon soal 1998 saat masa sidang dibuka

    Jakarta (ANTARA) – Komisi X DPR RI akan menggelar rapat kerja (raker) dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat DPR RI kembali membuka masa sidang baru guna meluruskan wacana yang berkembang di publik terkait penulisan ulang sejarah Indonesia, termasuk diantaranya terkait pernyataannya soal peristiwa pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998.

    “Kami ada rencana akan raker setelah masa sidang di buka untuk meluruskan wacana yang berkembang di publik, tentu pada saat raker, salah satu yang akan kami pertanyakan adalah hal tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Dia memandang pernyataan Fadli Zon terkait kasus perkosaan pada Tragedi Mei 1998 berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.

    “Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah,” ujarnya.

    Dia menekankan bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual.

    Untuk itu, dia mengatakan bahwa pengingkaran terhadap peristiwa tersebut merupakan bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.

    “Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan,” ucapnya.

    Dia juga menilai menutupi fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998 sama saja dengan merendahkan martabat dan menghambat proses pemulihan nama baik para korban, serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.

    Dia mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan dan untuk menyenangkan penguasa, tetapi harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif.

    “Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” tuturnya.

    Dia pun menekankan DPR RI akan mengawal penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan Kementerian Kebudayaan karena penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa sehingga bukan hanya domain suatu kementerian saja.

    “Sejarah bukan milik kementerian, tapi milik rakyat. DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif,” katanya.

    Lalu menyoroti pula minimnya partisipasi publik dan komunitas akademik dalam proses penyusunan ulang sejarah yang dilakukan Kementerian Kebudayaan. Menurut dia, jika masyarakat hanya boleh mengkritik setelah draf selesai maka hal itu bukanlah partisipasi, tetapi hanyalah konsumsi pasif.

    Di sisi lain, dia mengkritik penggunaan istilah Sejarah Resmi dalam proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan yang menurutnya sebagai warisan cara berpikir otoriter.

    “Kita belajar dari masa lalu, ketika sejarah digunakan untuk membungkam, bukan mencerminkan keberagaman bangsa,” ucapnya.

    Dia meyakini bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya dan menuliskannya secara jujur, bukan dengan menutupinya.

    “Jika sejarah hanya ditulis untuk menyenangkan penguasa, maka ia bukan warisan bangsa, melainkan propaganda,” katanya.

    Lebih lanjut, dia menolak upaya pelabelan terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan Pemerintah, seperti disebut ‘radikal’ atau ‘sesat sejarah’.

    “Sejarah bukan dogma. Ia ruang tafsir. Negara seharusnya menjadi fasilitator yang adil, bukan produsen tunggal narasi sejarah nasional,” paparnya.

    Dia pun menegaskan Komisi X DPR RI akan mendorong evaluasi kritis terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional agar tetap sejalan dengan prinsip ilmiah, etika akademik, dan semangat kebangsaan yang plural.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tabur Bunga di TMP Kalibata, Wagub Rano Karno: Kita Berjuang Bangun Jakarta – Page 3

    Tabur Bunga di TMP Kalibata, Wagub Rano Karno: Kita Berjuang Bangun Jakarta – Page 3

    Sebagai informasi, Jakarta kota global menjadi tema besar yang diusung untuk memperingati hari jadi yang ke-498 pada 22 Juni mendatang. Jakarta didorong untuk terus bertumbuh dan bertransformasi, namun tetap berpijak kuat pada akar budaya dan jati dirinya.

    Pemprov Jakarta melalui situs resminya mengatakan, Peringatan HUT ke-498 juga menjadi momentum kolaborasi dan aktivasi seluruh warga kota untuk bersama-sama mewujudkan Jakarta 500 tahun – kota yang inklusif, berdaya saing, dan berkelas dunia. 

    “Tahun ini, logo HUT ke-498 Jakarta dibuat dengan perpaduan element, warna, motif, hingga memasukan beberapa unsur ikonik Jakarta, untuk memberikan rasa Modern, Meriah, dan terasa sangat Jakarta,” tulis Pemprov melalui situs resminya.

     

  • Polemik Fadli Zon soal Perkosaan Massal 98, Wakil Ketua Komisi X DPR: Jangan Tutupi Sejarah! – Page 3

    Polemik Fadli Zon soal Perkosaan Massal 98, Wakil Ketua Komisi X DPR: Jangan Tutupi Sejarah! – Page 3

    Legislator dari Dapil Nusa Tenggara Barat II ini mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Ia menegaskan, sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa.

    “Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” ucap Lalu.

    Pimpinan komisi yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan itu juga menekankan, DPR akan mengawal Kementerian Kebudayaan yang tengah melakukan penulisan revisi sejarah Indonesia. Lalu menyatakan, penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa, bukan hanya domain kementerian.

    “Sejarah bukan milik kementerian, tapi milik rakyat. DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif,” sebutnya.

     

  • Politik Adiluhung

    Politik Adiluhung

    Politik Adiluhung
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DI KAMPUNG
    tua Jawa, politik dulu tidak disebut sebagai “kuasa”. Ia disebut sebagai
    pangreh
    —pemangku, pengayom. Bukan penguasa.
    Di sana,
    kekuasaan
    tidak berdiri di atas takut, tapi pada kesanggupan untuk halus, menimbang, dan mendengarkan.
    Dan dari sinilah mungkin kita bisa memulainya lagi: bahwa politik, dalam jati dirinya yang terdalam, pernah—dan seharusnya masih—adiluhung.
    Tidak kasar. Tidak memaksa. Tidak menyumpal mulut atau menutup pintu.
    Adiluhung bukan sekadar luhur. Ia juga halus. Ia punya tata, punya rasa, punya jeda. Dalam adiluhung, kuasa bukan tentang menang, tetapi tentang menahan. Dalam adiluhung, negara bukan semata mesin, tapi tubuh yang bernapas.
    Kita lupa bahwa politik, sejatinya, adalah cara paling manusiawi untuk mengelola perbedaan. Ia bukan perang. Bukan transaksi. Bukan seni tipu. Ia adalah seni kesepakatan: ruang tempat kehendak kolektif disampaikan dengan keluhuran, bukan kelicikan.
    Di dunia adiluhung, kekuasaan bukan sekadar kedudukan. Ia adalah laku. Sebuah cara berjalan. Cara bertindak. Bahkan cara diam.
    Seorang pemimpin tak cukup hanya membuat keputusan. Ia mesti mengukur getar tanah tempat ia berpijak. Ia tidak bertanya “apa yang mungkin?” tapi “apa yang pantas?”
    Di negeri yang sibuk dengan prosedur, kita lupa dengan rasa. Hukum bisa benar, tapi tidak bijak. Keputusan bisa legal, tapi tak berpihak. Aturan bisa ditegakkan, tapi melukai.
    Adiluhung mengajarkan bahwa politik bukan hanya tentang hasil, tapi juga tentang cara. Bukan hanya soal yang dikatakan, tapi juga cara mengatakan. Bukan hanya mengurus negara, tapi juga merawat manusia.
    Kita sering menyamakan wibawa dengan kekuasaan. Padahal dalam kebudayaan adiluhung, wibawa bukan dari volume suara. Ia dari kedalaman. Seorang raja besar bisa duduk diam, dan itu cukup untuk menggerakkan orang.
    Kini kita melihat kebalikannya. Politik menjadi panggung pencitraan. Suara harus keras. Gaya harus meledak. Pidato harus panjang. Keberpihakan harus diumumkan, bahkan dengan ancaman.
    Namun sesungguhnya, yang adiluhung tidak perlu dipamerkan.
    Ada pemimpin yang cukup berjalan perlahan, dan rakyat mengikutinya. Ada tokoh yang cukup berkata sedikit, tapi kita semua tersentuh olehnya. Bukan karena ia memaksa, tapi karena ia hadir dari kedalaman.
    Adiluhung tidak gaduh. Justru karena itu, ia memikat.
    Adiluhung juga mengajarkan kita tentang sesuatu yang kini makin langka: kepantasan. Bahwa ada hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan. Meski bisa, meski punya kuasa, meski diperbolehkan, tapi tidak pantas.
    Politik hari ini terlalu sering kehilangan rasa malu. Jabatan diraih tanpa pantas.
    Kekuasaan
    dibangun dengan kedekatan, bukan kepercayaan. Kita melihat orang-orang yang mengatur hidup orang lain, padahal tak sanggup mengatur nafsunya sendiri.
    Di masa adiluhung, malu adalah pagar. Dalam tata krama kekuasaan lama, bahkan bernafas terlalu keras di hadapan rakyat dianggap tidak pantas.
    Kini, yang dianggap pantas adalah yang bisa menang. Tidak peduli caranya. Padahal politik bukan hanya soal menang. Politik adalah panggung etik, bukan hanya strategi.
    Dunia modern memuja data. Adiluhung tidak bicara statistik. Ia bicara rasa.
    Ketika seorang pemimpin menolak bantuan karena “tidak etis”, itu bukan karena ia takut melanggar hukum. Karena ia tahu, rasa lebih dulu tahu mana yang boleh dan mana yang tidak.
    Rasa adalah sensor halus yang tak bisa digantikan regulasi. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal bisa diukur angka. Ada luka yang tak bisa dilihat. Ada harapan yang tak bisa dipetakan grafik. Ada harga diri rakyat yang tak bisa dibayar bansos.
    Dan justru di situlah seni politik menemukan bentuk terbaiknya: saat ia tidak hanya menghitung, tapi juga merasakan.
    Adiluhung juga adalah soal ingatan. Kita tidak membangun negeri ini dari kekosongan. Kita mewarisi banyak hal: nilai, tata, kebiasaan, bahkan cara bicara.
    Namun kini, banyak politisi bersikap seolah mereka penemu segalanya. Mereka berdiri tanpa akar, berbicara tanpa sejarah. Mereka bicara pembangunan tanpa tahu tanah siapa yang sedang mereka gusur.
    Politik adiluhung
    mengingatkan kita untuk tidak menyakiti masa lalu. Untuk tidak merendahkan tradisi hanya karena ia tidak cocok dengan logika pasar.
    Sebab bangsa yang kehilangan adab pada sejarahnya, hanya akan mengulang luka. Dan politik yang kehilangan akar, hanya akan tumbuh menjadi mesin kekuasaan tanpa arah.
    Dalam dunia yang penuh dendam dan caci, adiluhung memberi tawaran yang sederhana dan dalam: pemaafan.
    Politik seharusnya bukan tempat mengumpat, tapi tempat bertemu dan memaafkan. Tempat berbeda, tapi tidak bermusuhan. Tempat kalah, tapi tidak dihina. Tempat menang, tapi tidak pongah.
    Namun hari ini, debat publik sering jadi ladang kebencian. Kekalahan jadi bahan olok-olok. Kemenangan jadi panggung balas dendam.
    Kita lupa bahwa demokrasi bukan tentang siapa lawan, tapi siapa kawan sebangsa.
    Dalam dunia adiluhung, pemaafan bukan kelemahan. Ia keberanian tertinggi. Ia bentuk tertinggi dari kekuasaan yang sudah tidak lagi butuh pengakuan.
    Politik bisa menjadi kotor, tapi ia tak harus begitu. Ia bisa adiluhung—jika kita memilihnya demikian.
    Jika kita memilih kehalusan, bukan hanya kekuatan. Jika kita memilih tata, bukan hanya target. Jika kita memilih kepantasan, bukan hanya keuntungan.
    Politik adiluhung tidak datang dari sistem, tapi dari manusia. Dari cara kita melihat kekuasaan bukan sebagai milik, tapi sebagai amanat. Dari cara kita berbicara, berjalan, dan diam di ruang publik.
    Dan dari cara kita mengakui: bahwa dalam hidup bersama, yang paling sulit bukan membuat aturan, tapi menjaga rasa.
    Jika hari ini kita haus akan keteladanan, mungkin yang kita rindukan bukan sekadar pemimpin, tapi pamomong—mereka yang memimpin dengan hati, bukan hanya tangan.
    Sebab politik, dalam bentuk terbaiknya, bukan sekadar menang atau kalah. Tapi tentang apakah kita masih bisa hidup bersama, tanpa kehilangan kemanusiaan kita.
    Itulah adiluhung. Dan itulah politik yang seharusnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamendikdasmen: Belajar ke Luar Negeri untuk Serap Ide Kemajuan Barat

    Wamendikdasmen: Belajar ke Luar Negeri untuk Serap Ide Kemajuan Barat

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat menegaskan bahwa tujuan studi ke luar negeri bukanlah untuk meniru budaya barat, melainkan menyerap ide-ide kemajuan demi membangun Indonesia.

    Pernyataan tersebut disampaikan Atip saat memberikan pembekalan kepada para penerima Beasiswa Indonesia Maju (BIM) Angkatan IV dan Beasiswa Garuda 2025 di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Senin (16/6/2025).

    “Yang harus kita tiru bukan budayanya, tapi ide-ide kemajuannya. Kalau yang maju berasal dari timur atau bahkan dari bangsa kita sendiri, itu yang harus kita ambil,” tegas Atip.

    Ia mengingatkan, banyak generasi muda yang kehilangan jati diri setelah menimba ilmu di luar negeri. Mereka terlalu terpukau oleh gaya hidup dan nilai-nilai barat, hingga melupakan akar budaya bangsa.

    Menurut Atip, semangat membangun negeri harus tetap menjadi fondasi utama. Para penerima beasiswa didorong untuk fokus pada riset dan inovasi yang bermanfaat bagi Indonesia.

    “Mereka yang belajar ke luar negeri harus membawa pulang semangat riset dan keingintahuan yang tinggi, bukan pulang lalu lupa makan nasi atau tak lagi berbahasa Indonesia,” ujarnya.

    Atip berharap, para siswa dan mahasiswa penerima beasiswa mampu menjadi agen perubahan dengan tetap memegang teguh identitas bangsa sambil membawa pulang gagasan-gagasan besar dari dunia internasional.

  • Mayat Pria Ditemukan dalam Rumah di Cipayung, Diduga Meninggal karena Sakit
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        16 Juni 2025

    Mayat Pria Ditemukan dalam Rumah di Cipayung, Diduga Meninggal karena Sakit Megapolitan 16 Juni 2025

    Mayat Pria Ditemukan dalam Rumah di Cipayung, Diduga Meninggal karena Sakit
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ramai di media sosial terkait
    penemuan mayat
    pria di sebuah rumah wilayah Lubang Buaya, Cipayung Jakarta Timur, pada Minggu (15/6/2025) malam.
    Dalam video yang diunggah akun Instagram @kabar_lubangbuaya, tampak anggota kepolisian tengah mengevakuasi jenazah yang telah dibungkus kain untuk dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati guna pemeriksaan lebih lanjut.

    Menurut informasi yang diterima mayat tersebut adalah penjaga rumah yang pemiliknya, sedang keluar kota dan mayat tersebut diduga sudah meninggal kurang lebih 2-3 hari yang lalu. Mayat tersebut sudah dibawa ke RS polri,
    ” tulis akun instagram
    @
    kabar_lubangbuaya dalam video yang diunggah.
    Sehubungan dengan video tersebut, Kanit Reskrim Polsek Cipayung Iptu Edi Handoko mengatakan, mayat pria itu berinisial HS (67). Ia diduga meninggal dunia karena sakit.
    “Dugaan sementara karena sakit. Keterangan dari para saksi menyebut korban memang sedang sakit. Tidak ditemukan indikasi penyebab lain,” ujar Edi saat dikonfirmasi, Senin (16/6/2025).
    Edi menambahkan, polisi tidak menemukan tanda-tanda kekerasan saat melakukan pemeriksaan tubuh korban.
    “Dia juga sedang berada di rumah sendiri,” tutur Edi.
    Polisi telah memeriksa tiga orang saksi yang merupakan tetangga korban terkait kejadian tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.