Ada bagian dalam prosesi ini di mana bayi akan diarahkan untuk memilih benda-benda tertentu yang sudah disusun di hadapannya misalnya pensil, uang logam, cermin, kitab, atau mainan kecil lainnya. Tiap benda memiliki makna simbolik tersendiri pensil bisa berarti kecerdasan, uang logam menandakan rezeki, kitab mencerminkan kesalehan, dan sebagainya.
Tradisi ini disebut niti barang, dan dipercaya sebagai gambaran awal karakter atau minat sang anak di masa mendatang. Meskipun secara ilmiah hal ini belum tentu terbukti, namun secara psikologis dapat menjadi awal yang baik bagi orang tua untuk mengamati dan memahami perkembangan anak mereka.
Tradisi ini juga menjadi bentuk ikatan emosional antara anak dan komunitas, karena seluruh keluarga dan tetangga biasanya turut hadir, menyaksikan, dan memberikan restu dalam kebersamaan yang hangat.
Selain aspek spiritual dan simbolik, Turun Tanah juga mengandung nilai sosial yang sangat kuat. Upacara ini menjadi ajang untuk mempererat tali silaturahmi antaranggota keluarga, tetangga, serta masyarakat luas.
Kegiatan ini biasanya disertai dengan jamuan makanan khas Sunda seperti nasi kuning, tumpeng mini, urap, atau kue tradisional seperti nagasari dan surabi. Dalam suasana yang penuh kekeluargaan, Turun Tanah menjelma menjadi pesta budaya kecil yang menghidupkan kembali semangat gotong royong dan kebersamaan. Tak jarang, dalam beberapa daerah di Tatar Sunda, upacara ini juga diiringi dengan musik tradisional, seperti degung atau kecapi suling, yang menambah kesakralan suasana. Di tengah arus modernitas yang kian deras, tradisi ini tetap mampu bertahan dan dihidupkan ulang oleh generasi muda yang sadar akan pentingnya melestarikan warisan leluhur.
Bahkan, di beberapa kota besar, keluarga Sunda yang hidup di perantauan pun masih menggelar Turun Tanah meski dengan bentuk yang lebih sederhana, demi menjaga jati diri dan akar budaya mereka. Turun Tanah bukan hanya menjadi cerminan kekayaan budaya Sunda, tetapi juga merupakan perwujudan dari cinta kasih yang dalam antara orang tua dan anak, serta antara manusia dan alam.
Di balik kesederhanaan upacara ini, tersimpan filosofi kehidupan yang luhur bahwa setiap langkah pertama anak di dunia harus disambut dengan kesadaran, kehati-hatian, dan harapan.
Tradisi ini mengajarkan bahwa kehidupan bukan hanya tentang tumbuh secara fisik, melainkan juga tentang membentuk karakter, membangun hubungan spiritual dengan lingkungan, dan merawat nilai-nilai kemanusiaan sejak dini.
Dalam suasana yang penuh khidmat dan kehangatan, Turun Tanah bukan sekadar mengenalkan bayi pada bumi, tetapi juga membuka jalan bagi tumbuhnya manusia yang selaras dengan alam, masyarakat, dan dirinya sendiri.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2853760/original/041099000_1563182041-20190715-Tradisi-Turun-Tanah-Bayi-di-Aceh-AFP-6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/29/68613022db296.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3872626/original/037854000_1640921650-photo-1611501355758-0d8b8208e1ab.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)




