kab/kota: Helsinki

  • Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Yusril: Perjanjian Helsinki Tak Berlaku

    Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Yusril: Perjanjian Helsinki Tak Berlaku

    Depok, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Perjanjian Helsinki tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam penentuan status empat pulau yang saat ini dipersengketakan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).

    Pernyataan itu disampaikan Yusril saat menghadiri kegiatan di Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Minggu (15/6/2025). “Perjanjian Helsinki bukan dasar penetapan tapal batas wilayah. Hal itu adalah kewenangan menteri dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah,” tegas Yusril.

    Sebanyak empat pulau yang menjadi polemik adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang. Sebelumnya, pulau-pulau tersebut dianggap bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, tetapi kini dimasukkan ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut berdasarkan keputusan Kemendagri.

    Yusril menjelaskan, belum ada peraturan menteri yang secara spesifik menetapkan batas wilayah antara Kabupaten Singkil dan Tapanuli Tengah. Yang ada saat ini hanya berupa keputusan pengkodean wilayah.

    “Masalah empat pulau itu belum ada peraturan mendagri yang mengatur batas wilayah. Yang ada baru keputusan mendagri soal pengkodean pulau-pulau itu,” ujarnya.

    Yusril menegaskan, pemerintah tengah berupaya menuntaskan persoalan ini dengan cara terbaik. Ia juga menyebut tengah berkomunikasi intens dengan Mendagri Tito Karnavian serta akan segera bertemu Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumut Bobby Nasution.

    “Kami berupaya mencari solusi terbaik dan meminta semua pihak bersabar karena keputusan batas wilayah belum bersifat final,” imbuh Yusril.

    Yusril juga menekankan, penentuan batas wilayah tidak hanya berdasarkan aspek geografis semata. Menurutnya, perlu mempertimbangkan juga aspek sejarah, budaya, dan kepentingan masyarakat lokal. 

    “Penetapan wilayah harus mempertimbangkan berbagai dimensi demi kepentingan bangsa dan masyarakat setempat,” katanya.

    Sengketa muncul setelah Kementerian Dalam Negeri menetapkan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Sumatera Utara. Keputusan ini memicu protes dari pihak Aceh, yang mengeklaim pulau-pulau itu secara historis masuk ke dalam wilayah Aceh Singkil.

  • Yusril Ungkap Alasan Perjanjian Helsinki dan UU 24/1956 Tak Bisa Jadi Rusukan Sengketa 4 Pulau

    Yusril Ungkap Alasan Perjanjian Helsinki dan UU 24/1956 Tak Bisa Jadi Rusukan Sengketa 4 Pulau

    Yusril Ungkap Alasan Perjanjian Helsinki dan UU 24/1956 Tak Bisa Jadi Rusukan Sengketa 4 Pulau
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
    Yusril Ihza Mahendra
    menyebut
    Perjanjian Helsinki
    dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan status kepemilikan
    empat pulau
    di Aceh dan Sumatera Utara.
    Keempat pulau itu adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
    “Sederhana saja. Perjanjian Helsinki menyebutkan bahwa wilayah Aceh adalah wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara,” kata Yusril, melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Selasa (17/6/2025).
    Yusril menjelaskan bahwa
    UU Nomor 24 Tahun 1956
    hanya menyebutkan bahwa Provinsi Aceh terdiri atas beberapa kabupaten tanpa menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas, baik antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara, maupun batas antar kabupaten di Provinsi Aceh sendiri.
    Dia mengatakan, Kabupaten Aceh Singkil yang sekarang bersebelahan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah belum ada pada tahun 1956.
    Keempat pulau itu juga tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 tersebut maupun dalam Perjanjian Helsinki.
    Oleh karena itu, Yusril menilai, kedua instrumen hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar penyelesaian status keempat pulau yang dipermasalahkan.
    Sementara itu, menurut Yusril, UU Nomor 24 Tahun 1956 itu bisa dijadikan dasar bagi keberadaan Kabupaten Aceh Singkil sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1999.
    “Keempat pulau yang dipermasalahkan antara Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara sekarang ini tidak sepatah katapun disebutkan, baik dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 maupun dalam MoU Helsinki. Karena itu, saya mengatakan bahwa MoU Helsinki dan UU Nomor 24 Tahun 1956 tidak bisa dijadikan sebagai referensi utama penyelesaian status empat pulau yang dipermasalahkan,” ujar dia.
    Menurut Yusril, penyelesaian batas wilayah, baik darat maupun laut antar daerah, kini harus merujuk pada Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 9 Tahun 2015.
    Dalam praktiknya, beberapa undang-undang pemekaran daerah telah mencantumkan titik koordinat yang jelas, namun ada pula yang belum.
    “Pemekaran provinsi hanya menyebutkan terdiri atas kabupaten dan kota, sedangkan pemekaran kabupaten/kota hanya menyebutkan kecamatannya saja. Selanjutnya, UU memberikan delegasi kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur tapal batas wilayah dengan Peraturan Mendagri,” tutur dia.
    Namun, hingga saat ini, belum ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
    Dia mengatakan, saat ini hanya diatur dalam Keputusan Mendagri (Kepmendagri) terkait kode wilayah administrasi yang mencantumkan keempat pulau tersebut dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
    “Keputusan Mendagri (Kepmendagri) inilah yang memicu kehebohan beberapa hari terakhir ini. Saya berpendapat bahwa Kepmendagri ini nanti harus direvisi segera setelah terbitnya Permendagri yang mengatur tapal batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah,” ucap dia.
    Diberitakan sebelumnya, empat pulau yang berada di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, menjadi sorotan karena diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
    Hal itu dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
    Pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Keputusan tersebut direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
    Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Empat pulau sengketa harus dikembalikan ke Pangkuan Tanah Rencong

    Empat pulau sengketa harus dikembalikan ke Pangkuan Tanah Rencong

    Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin. (foto: ist)

    LSM PENJARA 1 bela kedaulatan wilayah Aceh

    Empat pulau sengketa harus dikembalikan ke Pangkuan Tanah Rencong
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Selasa, 17 Juni 2025 – 11:43 WIB

    Elshinta.com – Jakarta – Polemik seputar status kepemilikan empat pulau di perairan barat Sumatera, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, yang kini dicantumkan secara administratif ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, menuai kecaman keras dari berbagai elemen masyarakat Aceh.

    Sorotan juga datang dari Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin, yang menyatakan bahwa keputusan Kemendagri melalui Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 sebagai bentuk kekeliruan administratif dan pengabaian terhadap sejarah serta konstitusi.

    “Kami menyatakan dengan tegas bahwa empat pulau tersebut adalah bagian sah dari wilayah Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang diperkuat kembali dalam MoU Helsinki tahun 2005. Keputusan sepihak Kemendagri sangat berbahaya, karena mengoyak legitimasi otonomi khusus Aceh yang dijamin oleh konstitusi dan perjanjian damai nasional,” ujar Arifin dalam pernyataan resmi di Jakarta.

    LSM PENJARA 1: Langkah Pemerintah Pusat Cacat Historis dan Formil
    Mengacu pada penjelasan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, bahwa batas wilayah Aceh mengacu pada peta 1 Juli 1956 sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki Pasal 1.1.4, LSM PENJARA 1 memandang bahwa keputusan pemerintah pusat telah menyalahi acuan hukum yang sah. Terlebih lagi, ketetapan tersebut diambil tanpa pelibatan pemangku kepentingan dari Aceh, sehingga mencerminkan pengambilan keputusan yang elitis dan tidak demokratis.

    “Alasan geografis seperti kedekatan lokasi dengan Sumut bukanlah dasar hukum yang sah untuk pengalihan wilayah. Jika itu dijadikan tolok ukur, maka banyak wilayah Indonesia bisa digugat. Prinsip teritorial tak boleh disederhanakan menjadi sekadar jarak,” tegas Arifin.

    Empat Pulau: Simbol Harga Diri dan Marwah Aceh
    Menurut LSM PENJARA 1, keempat pulau ini bukan sekadar entitas geografis, melainkan juga menyangkut nilai-nilai identitas, budaya, serta kontrol sumber daya pesisir yang telah sejak lama dikelola oleh masyarakat Aceh, khususnya Aceh Singkil.

    “Ini bukan hanya tentang tanah dan air, tapi tentang martabat. Kalau hari ini Aceh didiamkan kehilangan empat pulau, besok bukan mustahil wilayah laut, hutan, bahkan adat akan dirampas dengan dalih administratif,” tambah Arifin.

    Tuntutan LSM PENJARA 1
    Mendesak Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri mencabut atau menangguhkan Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 dan melakukan kaji ulang bersama Pemerintah Aceh, para ahli hukum tata negara, dan lembaga adat.
    Mendorong DPR Aceh dan Gubernur Aceh untuk segera menempuh jalur konstitusional, termasuk pengajuan judicial review atau sengketa kewenangan antar lembaga ke Mahkamah Konstitusi.
    Mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh di perantauan maupun di tanah kelahiran untuk menyuarakan penolakan terhadap keputusan yang melecehkan kehormatan Aceh.
    Meminta Presiden Republik Indonesia bertindak sebagai penengah yang adil demi menjaga semangat rekonsiliasi dan penghormatan terhadap semangat Helsinki.

    Klaim sepihak yang mendalilkan “jarak lebih dekat” sebagai justifikasi administratif bukan hanya melanggar logika hukum, tetapi juga melecehkan integritas sejarah bangsa. LSM PENJARA 1 akan terus mengawal persoalan ini dengan pendekatan konstitusional, moral, dan legal untuk memastikan bahwa hak Aceh tidak dikaburkan oleh kepentingan sesaat.

    “Aceh bukan tanah pemberian. Ia adalah warisan sejarah yang dijaga dengan darah dan damai. Keputusan yang menindas martabat Aceh adalah keputusan yang melukai keutuhan NKRI itu sendiri,” tutup Teuku Z. Arifin. (Dd)

    Sumber : Sumber Lain

  • Perjanjian Helsinki: Begini Isi, Proses Perdamaian, hingga Dampaknya

    Perjanjian Helsinki: Begini Isi, Proses Perdamaian, hingga Dampaknya

    Jakarta, Beritasatu.com – Kesepakatan Helsinki kembali menjadi sorotan setelah munculnya sengketa mengenai empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar.

    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menjadi salah satu tokoh penting dalam proses perdamaian ini, menegaskan bahwa wilayah Aceh merujuk pada batas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

    Perjanjian yang dicapai pada 2005 ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perdamaian Indonesia, khususnya dalam mengakhiri konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat.

    Lantas, apa sebenarnya isi, proses terjadinya, dan dampak dari kesepakatan Helsinki ini? Dihimpun dari berbagai sumber, berikut penjelasannya!

    Isi Kesepakatan Helsinki

    Mengacu pada dokumen resmi kesepakatan Helsinki yang dipublikasikan oleh PPID Provinsi Aceh, isi perjanjian ini terdiri dari enam poin utama:

    1. Pemerintahan Aceh

    Bagian pertama membahas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, termasuk pengakuan atas batas wilayah berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara.

    Aceh mendapatkan hak otonomi khusus, pembentukan peraturan daerah (Qanun), dan kehadiran lembaga adat seperti Wali Nanggroe. Selain itu, partisipasi politik masyarakat Aceh juga dijamin secara sah.

    2. Hak asasi manusia (HAM)

    Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya terhadap Kovenan Internasional HAM PBB, termasuk pembentukan Pengadilan HAM di Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

    3. Amnesti dan reintegrasi

    Pemerintah memberikan amnesti kepada anggota GAM dengan syarat tertentu, serta memungkinkan mereka yang sempat kehilangan kewarganegaraan untuk kembali menjadi warga Indonesia.

    4. Pengamanan

    Kesepakatan Helsinki juga mencakup penyerahan senjata oleh GAM, demobilisasi pasukan mereka, serta penghentian kekerasan oleh semua pihak. Pemerintah diwajibkan menarik pasukan militer dan polisi nonorganik dari Aceh.

    5. Misi pemantauan Aceh

    Uni Eropa dan sejumlah negara ASEAN membentuk Misi Monitoring Aceh (AMM) untuk mengawasi implementasi perjanjian dan memastikan kepatuhan dari semua pihak.

    6. Penyelesaian perselisihan

    Jika terjadi perselisihan dalam implementasi perjanjian, penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah melalui kepala AMM. Bila musyawarah gagal, masalah akan dilaporkan kepada menkopolhukam RI, pimpinan GAM, dan pihak internasional terkait.

    Proses Terbentuknya Kesepakatan Helsinki

    Kesepakatan Helsinki tidak terjadi begitu saja. Salah satu pemicunya adalah bencana dahsyat tsunami Aceh pada akhir 2004. Secara umum, ada tiga faktor utama yang mendorong GAM dan pemerintah Indonesia untuk duduk bersama:

    Bencana tsunami 2004 yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh.Pelemahan kekuatan militer GAM setelah diberlakukannya darurat militer pada 2003.Naiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla yang dikenal memiliki komitmen terhadap demokrasi dan penyelesaian konflik secara damai.

    Putaran pertama (28-30 Januari 2005)

    Diselenggarakan di Vantaa, Finlandia, suasana awal perundingan berlangsung cukup menegangkan. Meski begitu, kedua belah pihak menyetujui untuk melanjutkan perundingan.

    Putaran kedua (21-23 Februari 2005)

    Fokus utama diskusi adalah mengenai otonomi khusus untuk Aceh. Meskipun belum menghasilkan kesepakatan final, dialog tetap berjalan.

    Putaran ketiga (12-16 April 2005)

    Ketegangan mulai mencair. Kedua pihak bertukar rancangan tertulis terkait keinginan masing-masing. Salah satu hasil penting adalah komitmen bersama untuk tidak mengerahkan pasukan dan menyepakati transparansi dalam pengelolaan dana.

    Putaran keempat (26-31 Mei 2005)

    Pembahasan berfokus pada pembentukan partai politik lokal. Meskipun cukup kompleks, disepakati bahwa poin ini akan dimasukkan dalam draf kesepakatan sebagai bagian dari otonomi khusus.

    Putaran kelima (12-17 Juli 2005)

    Dalam pertemuan penutup ini, naskah memorandum of understanding (MoU) dirumuskan dan ditandatangani oleh Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia, Malik Mahmud dari pihak GAM, dan Martti Ahtisaari selaku fasilitator internasional.

    Dampak Kesepakatan Helsinki

    Menurut Komnas HAM, Kesepakatan Helsinki memberi dampak besar dalam menghentikan konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia. Ini tidak hanya menghentikan pertumpahan darah, tapi juga membawa perubahan positif di berbagai bidang.

    1. Stabilitas keamanan

    Pasca penandatanganan, konflik bersenjata di Aceh berhenti total. Masyarakat bisa kembali hidup dalam suasana damai dan aman.

    2. Pembangunan sosial dan ekonomi

    Dengan terciptanya perdamaian, pembangunan kembali dilakukan. Infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan fasilitas air bersih dibangun kembali. Bantuan sosial dan kemanusiaan juga meningkat.

    3. Representasi politik

    Aceh memperoleh hak membentuk partai lokal. Hal ini memperkuat demokrasi lokal dan memberikan ruang lebih luas untuk keterwakilan masyarakat Aceh dalam pemerintahan.

    4. Pengakuan sejarah

    Sebagaimana disampaikan oleh Jusuf Kalla, wilayah seperti Pulau Panjang dan Pulau Lipan memiliki ikatan historis dengan Aceh. Kesepakatan Helsinki mengacu pada UU 1956, yang menjadi dasar pengakuan atas wilayah Aceh, menjadikannya relevan dalam isu batas wilayah yang kini kembali diperbincangkan.

    Kesepakatan Helsinki merupakan hasil dari niat baik dan kesungguhan semua pihak dalam menyelesaikan konflik Aceh secara damai dan bermartabat. Perjanjian ini menjadi simbol keberhasilan diplomasi dan dialog dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. 

  • Konflik 4 Pulau: Ujian Negara Jaga Damai Aceh

    Konflik 4 Pulau: Ujian Negara Jaga Damai Aceh

    Konflik 4 Pulau: Ujian Negara Jaga Damai Aceh
    Dosen Prodi Geografi FKIP Universitas Islam 45 (UNISMA) dan Pemerhati Sosial dan Kependudukan
    KONFLIK
    klaim atas empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukanlah sekadar persoalan administratif antardaerah.
    Isu ini menyentuh ranah yang jauh lebih mendalam, yakni soal identitas, rasa keadilan masyarakat, ketahanan sosial budaya dan dugaan politik penguasaan sumber daya alam.
    Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat, persoalan ini berpotensi mengusik stabilitas kawasan dan merusak semangat persatuan yang telah dibangun pascareformasi.
    Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan bukan titik kosong di peta. Di sana hidup komunitas masyarakat yang secara turun-temurun terikat dengan tanah Aceh, baik secara adat, sejarah, hingga jejaring sosial.
    Masyarakat di kawasan itu tidak sekadar tinggal, tapi memiliki keterhubungan batin dengan wilayah yang mereka anggap sebagai bagian dari identitas kolektifnya.
    Aceh juga bukan daerah biasa. Sebagai provinsi yang memiliki kekhususan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), setiap kebijakan terkait dengan wilayah Aceh, terutama yang menyangkut perubahan batas harus dilakukan dengan kehati-hatian dan partisipasi bermakna dari masyarakat lokal.
    Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dapat mengabaikan aspek fundamental bernegara, berimplikasi tidak hanya cacat prosedur, tapi juga dapat dianggap melukai semangat rekonsiliasi pascaperjanjian Helsinki.
    Sayangnya, pendekatan yang diambil oleh Kemendagri terkesan terlalu teknokratis. Sekadar mengandalkan peta dan perangkat administratif tanpa menyentuh dimensi sosial dan historis.
    Hal ini justru berpotensi memperkeruh suasana dan mengabaikan realitas sosiokultural yang hidup di tengah masyarakat.
    Berdasarkan perspektif geografi politik, sebagaimana dijelaskan R.D. Dikshit (2004), batas wilayah bukanlah sekadar garis spasial, melainkan simbol kekuasaan, identitas, dan legitimasi.
    Perubahan batas tanpa kesepahaman bersama dapat menimbulkan gejolak sosial karena adanya persepsi kehilangan ruang hidup yang bermakna secara simbolik dan historis.
    Lebih lanjut, teori
    Territoriality
    dari Robert Sack (1986) juga menegaskan bahwa wilayah merupakan ekspresi dari eksistensi kolektif suatu komunitas.
    Ketika ekspresi ini diganggu secara sepihak, respons resistensi akan muncul karena masyarakat merasa dirampas ruang simboliknya.
    Di sinilah pentingnya negara bertindak bukan hanya sebagai pemangku administratif, tapi sebagai penjaga keadilan ruang.
    Terlebih, konflik empat pulau yang disengketakan diduga tidak lepas dari kepentingan politik penguasaan wilayah, terutama karena adanya potensi cadangan migas di Blok Sibolga yang letaknya berdekatan dengan wilayah sengketa.
    Indikasi ini memperkuat asumsi bahwa sengketa wilayah bukan sekadar soal batas administratif, melainkan juga upaya menguasai sumber daya alam strategis yang bernilai ekonomi.
    Presiden Prabowo Subianto diharapkan dapat dengan bijak menyelesaikan problematika ini. Butuh kajian komprehensif yang menyentuh aspek historis, sosial, budaya, dan hukum.
    Penanganan konflik batas tidak bisa hanya berdasar pada peta baru, tetapi harus pula melihat peta sejarah dan perasaan publik.
    Proses ini penting untuk mencegah munculnya rasa ketidakadilan yang bisa menimbulkan delegitimasi terhadap institusi negara.
    Langkah berikutnya, negara mesti membentuk tim independen yang melibatkan akademisi, tokoh adat, dan masyarakat sipil dari kedua belah pihak. Dari sana dapat dirumuskan pendekatan penyelesaian yang partisipatif dan berkeadilan.
    Perlu kita refleksikan, Aceh merupakan wilayah dengan sejarah panjang perjuangan dan konflik. Perdamaian yang tercipta pascaperjanjian Helsinki adalah modal besar yang harus dirawat dengan empati dan keadilan.
    Jangan biarkan pendekatan sempit atas konflik empat pulau ini menjadi bara dalam sekam yang merusak kohesi nasional.
    Negara tidak boleh abai, apalagi diam. Negara perlu hadir sebagai pengayom yang memahami bahwa menjaga wilayah bukan hanya soal batas, tapi soal kepercayaan rakyat terhadap ujian negara dalam menjaga damai Aceh yang selama ini terjaga.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polemik Batas 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Praktisi Hukum Desak Evaluasi Kepmendagri

    Polemik Batas 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Praktisi Hukum Desak Evaluasi Kepmendagri

    Liputan6.com, Jakarta – Polemik penetapan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara kembali mengemuka setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Keputusan ini menetapkan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penetapan tersebut mendapat keberatan dari Pemerintah Provinsi Aceh yang menilai keputusan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum administrasi negara yang baik dan berpotensi mengabaikan norma konstitusional terkait kekhususan Aceh.

    Berdasarkan sejumlah dokumen resmi lintas instansi, Pemerintah Aceh menyatakan selama ini telah mengelola keempat pulau tersebut baik secara administratif maupun sosial. Bukti-bukti yang diajukan antara lain Surat Keputusan Inspeksi Agraria tahun 1965, dokumen kepemilikan lahan sejak 1980, serta Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri. Fasilitas publik seperti musala, dermaga, dan prasasti pemerintahan yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil turut memperkuat pengelolaan faktual yang berkesinambungan.

    Di sisi lain, Kemendagri mendasarkan keputusannya pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi tahun 2008 yang menyebutkan keempat pulau tersebut tidak tercatat dalam wilayah administratif Aceh. Namun, Pemerintah Aceh menegaskan data tersebut telah dikoreksi secara resmi karena terdapat kekeliruan koordinat yang merujuk pada gugusan Pulau Banyak. Mereka menilai koreksi tersebut belum menjadi pertimbangan substansial dalam pengambilan keputusan.

    Praktisi dan konsultan hukum asal Kendari Sugihyarman Silondae pun menyoroti Permendagri tersebut. Pria yang sering menangani perkara lintas wilayah dan kewenangan ini menilai penetapan batas wilayah antarprovinsi tidak bisa semata-mata didasarkan pada pendekatan teknis dan spasial.

    “Dalam hukum administrasi negara, keputusan publik harus sah secara prosedural dan adil secara substantif. Ini menyangkut asas legalitas, kejelasan objek hukum, serta prinsip proporsionalitas,” kata Sugihyarman kepada Liputan6.com, Minggu (15/6).

    Menurutnya, jika terdapat dokumen hukum yang sah dan keberatan formal dari pemerintah daerah namun diabaikan tanpa proses uji silang, konsultasi terbuka, atau klarifikasi administratif, maka keputusan tersebut berpotensi cacat hukum.

    “Keputusan administratif terkait batas wilayah bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut hak. Dan setiap hak administratif wajib dijaga melalui mekanisme yang adil dan transparan,” tegasnya.

    Sugihyarman menekankan, status Aceh sebagai daerah otonomi khusus berdasarkan MoU Helsinki 2005 dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh membawa implikasi hukum yang mengikat, khususnya dalam pengakuan batas wilayah historis. Salah satu ketentuannya adalah pengakuan atas batas wilayah Aceh sebagaimana berlaku sebelum tahun 1956.

    Ia menilai, jika pengaturan dari kementerian mengabaikan kekhususan Aceh, maka hal itu dapat dianggap melanggar hirarki norma dalam sistem hukum nasional.

    “Dalam konteks ini, prinsip lex specialis derogat legi generali harus menjadi acuan utama. Ketika ada aturan khusus yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang dan perjanjian politik, maka peraturan umum tidak boleh mengabaikan kekhususan tersebut,” jelasnya. 

     

  • JK: Secara Historis 4 Pulau yang Disengketakan Masuk Wilayah Aceh!

    JK: Secara Historis 4 Pulau yang Disengketakan Masuk Wilayah Aceh!

    Jakarta, Beritasatu.com – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut), yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, adalah milik Aceh.

    “Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” kata JK dalam keterangan resminya kepada media, Minggu (15/6/2025).

    Secara historis, JK mengaitkan polemik tersebut dengan kesepakatan perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada 2005.

    Dalam perundingan tersebut, kata dia, disepakati perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

    UU tersebut meresmikan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkan wilayah tersebut dari Sumatera Utara.

    “Dalam sejarahnya, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil. Bahwa letaknya dekat Sumatera Utara, itu biasa,” ucap ketua umum PMI itu dikutip dari Antara.

    JK menegaskan kedudukan UU tersebut lebih tinggi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumatera Utara.

    “UU lebih tinggi dibanding kepmen. Jadi tidak mungkin bisa dibatalkan dengan kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” kata JK.

    Kendati demikian, JK menghormati Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengeluarkan kepmen tersebut karena pertimbangan efisien dan dekat. Tetapi, dia mengingatkan agar juga tidak melupakan aspek historis.

    Terkait usulan agar empat pulau tersebut dikelola bersama oleh Aceh dan Sumatera Utara, JK menilai tidak ada daerah yang bisa mengelola sumber daya alam (SDA) secara bersama-sama. Terlebih, menurutnya, saat ini belum ada faktor penting yang dimiliki pulau tersebut.

    Dirinya pun berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan polemik ini dengan baik.

    “Ini masalah peka sehingga kita berharap pemerintah menemukan penyelesaian yang baik,” ujarnya.

  • Jusuf Kalla sebut empat pulau yang disengketakan adalah milik Aceh

    Jusuf Kalla sebut empat pulau yang disengketakan adalah milik Aceh

    “Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,”

    Jakarta (ANTARA) – Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, mengatakan bahwa empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut), yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, adalah milik Aceh.

    “Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” kata JK, sapaan akrabnya, dilansir dari keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Secara historis, JK mengaitkan polemik tersebut dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada tahun 2005 silam.

    Dalam perundingan tersebut, kata dia, disepakati bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam undang-undang (UU) UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

    UU tersebut meresmikan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkan wilayah tersebut dari Sumatera Utara.

    “Dalam sejarahnya, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa,” ucapnya.

    Lebih lanjut, Ketua Umum PMI tersebut menilai bahwa UU berkedudukan lebih tinggi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumatera Utara.

    “UU lebih tinggi dibanding Kepmen. Jadi tidak mungkin bisa dibatalkan dengan Kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” kata JK.

    Kendati demikian, JK menghormati Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengeluarkan kepmen tersebut karena pertimbangan efisien dan dekat. Akan tetapi, dia mengingatkan agar juga tidak melupakan aspek historis.

    Terkait usulan agar empat pulau tersebut dikelola bersama oleh Aceh dan Sumatera Utara, JK menilai bahwa tidak ada daerah yang bisa mengelola sumber daya alam (SDA) secara bersama-sama. Terlebih, menurutnya, saat ini belum ada faktor penting yang dimiliki pulau tersebut.

    Dirinya pun berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan polemik ini dengan baik.

    “Ini masalah peka sehingga kita berharap pemerintah menemukan penyelesaian yang baik,” ujarnya.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan

    Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan

    Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Polemik empat pulau yang secara historis milik Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yakni Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan, yang dialihkan ke Sumatera Utara terus bergulir.
    Bukan berkesudahan, polemik tersebut kini sudah sampai ke telinga Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Kementerian Dalam Negeri yang seharusnya menjadi bagian penengah dalam polemik ini tak bisa meredam amarah Gubernur Aceh,
    Muzakkir Manaf
    atau Mualem.
    “Macam mana kita duduk bersama, itu kan hak kami, kepunyaan kami, milik kami,” kata Mualem saat ditanya terkait tawaran pengelolaan empat pulau secara bersama oleh dua provinsi, Aceh dan Sumut, Jumat (13/6/2025).
    Dia menolak keputusan Menteri Dalam Negeri RI Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
    Dalam keputusan itu, Kemendagri menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, tak langsung mengalah meski rekam jejak sejarah empat pulau adalah kepunyaan Aceh.
    Menantu Presiden Ketujuh RI Joko Widodo ini mempertahankan keputusan Kemendagri yang mengalihkan empat pulau itu ke pelukan Sumatera Utara.
    Dia berdalih, pengalihan empat pulau adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan dari provinsi, baik Aceh maupun Sumut.
    “Saya sampaikan kemarin, secara wilayah, enggak ada wewenang Provinsi Sumut dan juga setahu saya Aceh mengambil pulau, menyerahkan daerah, itu nggak bisa. Semua itu ada aturannya, kami pemerintah daerah ada batasan wewenang,” ujar Bobby, Selasa (10/6/2025).
    Langkah pertahanan Sumut juga ditegaskan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara, Erni Ariyanti.
    Erni meminta semua pihak mematuhi keputusan Kemendagri terkait penetapan empat pulau yang kini menjadi bagian dari Sumatera Utara.
    Dia meminta agar Aceh melayangkan keberatannya bukan dengan cara keras, tetapi lewat jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
    “Pak Mendagri sudah buka suara jika memang ada gugatan, ke PTUN mempersilahkan Provinsi Aceh,” ucap Erni.
    Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI,
    Jusuf Kalla
    , turut memberikan masukan terkait sengketa empat pulau tersebut.
    Sosok sentral perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia dalam perjanjian Helsinki ini kembali mengingatkan ada janji yang harus dijalani pemerintah.
    Janji tersebut adalah memelihara perjanjian Helsinki tetap terpelihara dan tidak mengubah undang-undang yang telah berlaku terkait batas wilayah Aceh dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
    JK mengatakan, secara historis maupun administratif, empat pulau yang sedang diributkan adalah milik Aceh.
    “Di UU tahun 1956, ada UU tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Soekarno yang intinya adalah, dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara, banyak residen. Kemudian Presiden, karena kemudian ada pemberontakan di sana, DI/TII, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus,” kata JK.
    Beleid yang mengatur batas wilayah tersebut adalah undang-undang yang menjadi rujukan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian Helsinki dengan kelompok GAM pada 2005.
    “Karena banyak yang bertanya, membicarakan tentang pembicaraan atau MoU di Helsinki. Karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu, ada di poin 1.1.4, yang berbunyi ‘Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” ungkap JK.
    “Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, itu yang meresmikan Provinsi Aceh dengan kabupaten-kabupaten yang ada, berapa itu kabupatennya, itu. Jadi formal,” kata JK.
    Sebab itulah, dia menyebut keputusan seorang menteri tidak bisa mengubah legalitas undang-undang dan otomatis cacat formal.
    JK juga mengingatkan, batas wilayah yang telah disepakati sejak puluhan tahun silam bukan lagi soal sengketa administrasi.
    Bagi Aceh, kata JK, perebutan wilayah bukan lagi tentang administrasi, tapi kehormatan yang harus dibela.
    “Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat. Jadi, saya kira dan yakin ini agar diselesaikan sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama,” ucap JK.
    Tak ingin polemik ini melebar, Presiden Prabowo Subianto turun tangan.
    Prabowo mengambil alih dinamika yang tak bisa ditangani Kemendagri ini secara langsung.
    Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad pada Sabtu (14/6/2025).
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Dasco.
    Prabowo secara tegas meminta agar polemik empat pulau tersebut bisa rampung dalam pekan depan.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” imbuh Ketua Harian Partai Gerindra ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    DI TENGAH
    riuhnya janji desentralisasi dan otonomi khusus, narasi ironis kembali mencuat dari ujung barat Nusantara: kisah “hilangnya” empat pulau dari pangkuan Aceh.
    Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
    Keputusan ini, yang menguap begitu saja dari meja birokrasi Jakarta, memicu gelombang protes dan kebingungan di Bumi Serambi Mekkah, merobek kain perdamaian yang terjahit.
    Fakta ini, yang secara gamblang memperlihatkan arogansi kekuasaan pusat, dapat dianalogikan sebagai Jakarta yang seolah sedang bermain papan Monopoli, menggeser kepulauan seperti pion, tanpa sedikit pun mendengar suara lokal.
    Ini bukan sekadar sengketa batas wilayah administratif semata. Lebih dari itu, kasus ini adalah cerminan telanjang dari krisis legitimasi dan efektivitas otonomi khusus Aceh pasca-MoU Helsinki.
    Insiden ini secara fundamental mempertanyakan sejauh mana otonomi khusus benar-benar memberikan kekuasaan substantif, ataukah ia hanya menjadi simbol kosong di tengah upaya resentralisasi pusat yang tak kunjung berhenti?
    Sengketa empat pulau ini bukanlah fenomena baru, melainkan episode terbaru dari ketegangan historis yang tak kunjung usai antara Jakarta dan Aceh.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui bahwa konflik ini telah berlangsung sejak tahun 1928.
    Pola intervensi pusat yang berulang ini menunjukkan bahwa relasi kuasa antara Jakarta dan Aceh selalu diwarnai tarik ulur, bahkan setelah era Reformasi. Ini adalah “penyakit turunan” dalam hubungan pusat-daerah yang terus kambuh.
    Pasca-Orde Baru, Indonesia mengadopsi desentralisasi secara besar-besaran pada 2001. Kebijakan ini, sebagaimana dianalisis oleh Ostwald (2016), dapat termotivasi secara politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan separatisme yang mengancam stabilitas nasional setelah jatuhnya rezim Soeharto.
    Namun, Hadiz (2010) dalam karyanya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    menunjukkan bahwa desentralisasi, alih-alih menyelesaikan masalah, justru dapat membuka medan konflik kewenangan yang baru.
    Elite-elite lokal memang memanfaatkan ruang otonomi. Namun, mereka tetap berhadapan dengan logika dominasi pusat dan seringkali terjerat dalam sistem kekuasaan “predatory” yang memanfaatkan desentralisasi untuk kepentingan elite.
    Dalam sengketa pulau ini, terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat memilih untuk menunjukkan amnesia historis yang mencolok di hadapan klaim Aceh.
    Aceh bersandar pada bukti-bukti historis, sosiologis, bahkan administratif yang kuat: KTP warga yang menetap di pulau-pulau tersebut adalah KTP Aceh, infrastruktur fisik seperti prasasti, mushala, dan dermaga dibangun dengan dana Pemerintah Aceh pada tahun 2012, dan batas wilayah telah diketahui turun-temurun oleh masyarakat lokal.
    Namun, Kementerian Dalam Negeri justru menolak peta topografi tahun 1978 dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sebagai referensi resmi, mendasarkan keputusannya pada analisis spasial yang “lebih relevan”.
    Pendekatan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah pusat untuk mengabaikan konteks historis dan realitas lokal yang mengakar demi “kebenaran” administratif yang lebih baru dan sepihak.
    Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mengindikasikan bahwa keputusan pusat mungkin didorong oleh motif tersembunyi.
    Salah satu motif yang paling santer terdengar adalah potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di sekitar pulau-pulau yang disengketakan, serta rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di sana.
    Jika ini benar, maka sengketa ini bukan lagi sekadar masalah administratif, melainkan konflik yang didorong oleh kepentingan sumber daya.
    Aspinall (2014) dalam analisisnya tentang “predatory peace” di Aceh, mengemukakan bagaimana elite pasca-konflik, termasuk mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi yang seringkali terkait dengan sumber daya alam.
    Kondisi ini memperkuat narasi dominasi pusat yang berorientasi pada ekstraksi ekonomi, bukan pada keadilan administratif atau penghormatan otonomi.
    Ini menguatkan kecurigaan bahwa “permainan Monopoli” Jakarta adalah manuver strategis untuk keuntungan ekonomi, bukan sekadar ketepatan batas wilayah.
    Pemberian otonomi khusus Aceh, yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UU Pemerintahan Aceh) pasca-MoU Helsinki 2005, merupakan proyek kompromi monumental yang membuka jalan damai setelah konflik bersenjata berkepanjangan.
    UU ini memberikan kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur urusan lokal, termasuk kehidupan beragama, pendidikan, adat, pengelolaan sumber daya alam, dan pembentukan partai politik lokal.
    Namun, Aspinall (2014) mengindikasikan bahwa otonomi khusus ini “tidak menyentuh akar konflik relasi kuasa Jakarta–Aceh”.
    Kasus sengketa pulau ini menjadi bukti nyata kegagalan otonomi khusus dalam mencegah intervensi pusat yang bersifat sepihak, meskipun UU 11/2006 telah memberikan otonomi yang luas, pemerintah pusat tetap mempertahankan “kewenangan Pemerintah” dalam bidang-bidang strategis seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, dan moneter/fiskal nasional.
    Pemerintah Aceh memiliki bukti historis dan administratif yang kuat atas kepemilikan empat pulau tersebut.
    Selain KTP warga dan pembangunan infrastruktur, terdapat pula dokumen resmi seperti Kesepakatan Bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Aceh Tahun 1988.
    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan bahwa Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini “cacat formil” karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya.
    Lebih lanjut, MoU Helsinki merujuk pada batas wilayah 1 Juli 1956.
    Tindakan pemerintah pusat yang menggunakan regulasi di bawah undang-undang untuk mengubah batas wilayah yang diatur oleh undang-undang dan dirujuk dalam perjanjian damai menunjukkan pengikisan hierarki hukum.
    Apabila keputusan menteri dapat secara sepihak mengubah batas yang ditetapkan oleh UU dan diperkuat kesepakatan internasional seperti MoU Helsinki, maka hal ini secara fundamental merusak prinsip negara hukum dan asas
    lex superior derogat legi inferiori
    (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah).
    Ini berarti status “khusus” Aceh bukan lagi hak konstitusional yang kokoh, melainkan hak istimewa yang rapuh dan mati di mata kehendak pusat.
    Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum bagi Aceh, tetapi juga menetapkan preseden berbahaya bagi daerah otonom lainnya di Indonesia, mengancam stabilitas hubungan pusat-daerah di seluruh Nusantara.
    Ironisnya, pengikisan ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, yang notabene adalah mantan Panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    Kehadirannya di kursi pemerintahan seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun justru menjadi saksi bisu betapa rapuhnya janji-janji pusat di hadapan realitas kekuasaan.
    Krisis ini juga mengancam rapuhnya kepercayaan pasca-konflik di Aceh. Otonomi khusus adalah hasil dari kompromi besar, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “rela mengubur mimpi merdekanya menjadi otonomi khusus” demi perdamaian.
    Ketika perdamaian telah dicapai, Aceh justru kehilangan empat pulaunya. Tentu, itu sangat menyakitkan hati, seperti diungkapkan oleh Alkaf.
    Perasaan dikhianati ini sangat dalam, mengingat pengorbanan besar yang telah dilakukan. Bräuchler (2015) dalam karyanya
    The Cultural Dimension of Peace
    menekankan pentingnya memahami dan menghormati konsepsi lokal tentang konflik, keadilan, dan rekonsiliasi, yang seringkali berakar pada narasi budaya dan historis.
    Mengabaikan dimensi ini, seperti yang dilakukan pemerintah pusat, dapat membahayakan upaya rekonsiliasi.
    Pelanggaran kepercayaan ini berisiko menghidupkan kembali keluhan historis dan sentimen alienasi dari negara Indonesia, berpotensi memicu bentuk-bentuk resistensi baru dan merongrong perdamaian yang telah susah payah dibangun.
    Resistensi masyarakat Aceh terhadap pemindahan empat pulau ini melampaui sekadar masalah batas wilayah administratif; ini adalah perjuangan yang mendalam untuk mempertahankan “harga diri” atau “marwah Aceh” dan identitas politik yang telah lama diperjuangkan.
    Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, secara tajam menyatakan bahwa bagi masyarakat Aceh, keputusan ini “bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar”.
    Pernyataan ini menggarisbawahi betapa teritori terkait erat dengan narasi historis dan jati diri kolektif masyarakat Aceh.
    Dalam konteks ini, perlawanan Aceh mencerminkan bagaimana desentralisasi, seperti yang dijelaskan oleh Bräuchler (2015), seharusnya membuka ruang bagi ekspresi identitas lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap “kewajaran” negara pusat.
    Penekanan pada bukti-bukti sosiologis dan historis yang diwariskan turun-temurun, seperti pengakuan warga yang ber-KTP Aceh di pulau-pulau tersebut dan penggunaan dana Aceh untuk pembangunan infrastruktur di sana, adalah manifestasi dari perlawanan yang mengakar pada legitimasi lokal dan historis.
    Ini adalah upaya untuk menegaskan kembali keberdayaan dan identitas mereka di hadapan pemaksaan dari pusat.
    Bagi daerah pasca-konflik dengan identitas yang kuat, integritas teritorial tidak dapat dipisahkan dari martabat kolektif dan narasi sejarah mereka.
    Tindakan sepihak oleh pusat, meskipun mungkin dibenarkan secara administratif dari perspektif mereka, secara tidak sengaja dapat memicu kebencian yang mendalam dan memobilisasi perlawanan berbasis identitas, yang pada akhirnya mengancam perdamaian dan stabilitas.
    Para akademisi, anggota DPR RI dari Aceh, dan aktivis telah memperingatkan secara eksplisit bahwa keputusan sepihak ini berpotensi memicu ketegangan baru dan “memanaskan kembali relasi hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat”.
    Mereka menyebutnya sebagai risiko “api dalam sekam” yang dapat mengancam stabilitas pasca-konflik, mengingat sejarah panjang perjuangan Aceh untuk otonomi dan bahkan kemerdekaan yang berdarah-darah.
    Desakan agar Presiden Prabowo mengambil alih persoalan ini dan membatalkan SK Kemendagri menunjukkan tingkat urgensi dan kekhawatiran akan eskalasi.
    Ironisnya, kebijakan desentralisasi yang menurut Ostwald (2016) awalnya dirancang sebagai manuver politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan meningkatkan stabilitas pasca-Soeharto, kini justru menjadi pemicu ketidakstabilan baru.
    Hadiz (2010) telah mengkritik bahwa desentralisasi seringkali menciptakan “arena baru konflik” di mana elite lokal memanfaatkan peluang untuk kepentingan mereka.
    Dalam kasus ini, ambiguitas administratif atau intervensi pusat yang berlebihan telah menciptakan titik nyala baru.
    Ini mengungkapkan paradoks mendasar: kebijakan yang dirancang untuk mencegah separatisme dan meningkatkan stabilitas dapat, jika diimplementasikan dengan buruk atau ditegakkan secara sepihak, menjadi sumber ketidakstabilan baru.
    Desentralisasi yang sejati membutuhkan bukan hanya kerangka hukum, tetapi juga kemauan politik yang konsisten, penghormatan terhadap otonomi lokal, dan proses konsultatif yang transparan untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan yang mengancam kohesi nasional.
    Kasus sengketa empat pulau ini secara brutal menelanjangi kerapuhan otonomi khusus Aceh di hadapan dominasi pusat.
    Jika hak dasar atas teritori, yang merupakan inti dari kedaulatan lokal dan identitas politik, dapat digeser begitu saja dengan keputusan sepihak Kemendagri, maka otonomi khusus yang dijanjikan dalam MoU Helsinki dan UU 11/2006 tak lebih dari simbol kosong.
    Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat perdamaian dan kompromi yang telah dicapai dengan pengorbanan besar.
    Dugaan adanya kandungan migas di pulau-pulau yang disengketakan memperkuat narasi bahwa dominasi pusat seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi yang terselubung, bukan semata-mata efisiensi administrasi.
    Ini sejalan dengan kritik Aspinall (2014) tentang “predatory peace” di Aceh, di mana elite pasca-konflik, termasuk mantan GAM, terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi, seringkali terkait dengan sumber daya alam, dan dana otonomi khusus pun belum berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
    Konflik ini menggarisbawahi bahwa relasi kuasa Jakarta–Aceh masih didominasi oleh logika ekstraksi sumber daya, yang mengabaikan hak-hak dan martabat lokal.
    Peristiwa ini secara telanjang menunjukkan bagaimana pemerintah pusat telah mengabaikan hierarki hukum, mengkhianati kepercayaan yang dibangun pasca-konflik, dan meremehkan bobot simbolis teritori bagi identitas Aceh.
    Tindakan unilateral yang dianggap sewenang-wenang ini, yang tercermin dalam analogi “Jakarta bermain Monopoli,” secara fundamental mempertanyakan ketulusan desentralisasi dan otonomi khusus.
    Mungkin sudah saatnya kita menyebutnya apa adanya: otonomi kerdil, hak istimewa yang telah dimutilasi, hanya ada di atas kertas, namun mati di lapangan.
    Dalam negara kepulauan yang beragam seperti Indonesia, integrasi nasional bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara otoritas pusat dan
    otonomi daerah
    , yang dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati.
    Ketika kekuasaan pusat dipersepsikan tidak terkendali, sepihak, dan didorong oleh kepentingan ekstraktif, hal itu berisiko mengasingkan daerah-daerah, terutama yang memiliki sejarah konflik.
    Ini dapat menyebabkan kebangkitan sentimen separatis atau ketidakpuasan yang meluas, yang pada akhirnya merongrong persatuan yang ingin dipertahankan oleh pemerintah pusat.
    Untuk menjaga keutuhan bangsa dan merawat perdamaian yang telah diraih dengan susah payah, pemerintah pusat harus segera meninjau ulang keputusan ini.
    Dialog konstruktif yang menghormati sejarah, identitas, dan martabat masyarakat lokal adalah satu-satunya jalan ke depan.
    Mengabaikan suara lokal dan menggeser batas wilayah seperti pion di papan Monopoli hanya akan menabur benih konflik baru, mengancam fondasi perdamaian dan integrasi nasional yang rapuh.
    Tanpa penghormatan tulus terhadap kekhususan dan kedaulatan teritori, otonomi khusus Aceh akan selamanya menjadi janji hampa, sebuah ironi pahit di tengah upaya membangun Indonesia yang adil dan beradab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.