Rumah Kremasi Hewan, Tempat Tidur Terakhir Peliharaan Kesayangan
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com
– Bagi banyak pecinta hewan, kehilangan anak berbulu (anabul) bukan sekadar kehilangan peliharaan, melainkan kehilangan anggota keluarga.
Di momen inilah, sebuah
rumah kremasi
bernama Rainbow Bridge Memorial House menjadi ruang perpisahan yang memberi ketenangan.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pemilik hewan memilih kremasi dibandingkan menguburkannya di tanah.
Selain itu, kremasi memberi kesempatan bagi pemilik membawa pulang abu hewan kesayangannya sebagai kenangan.
Berletak di kawasan Rawakalong, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, bangunan itu tampak sederhana.
Pagar bambu, rumah sederhana, dan suasana yang seolah menyatu dengan pepohonan di sekelilingnya.
Namun, begitu melangkah masuk, suasana terasa berubah. Ada duka yang berdiam di udara, tapi juga cinta dan penghormatan.
Di halaman depan, beberapa anjing berlarian dan menyambut tamu dengan gonggongan pelan.
Di sudut bangunan, rak-rak kayu dipenuhi guci kecil berwarna putih, masing-masing dengan foto hewan yang pernah menjadi kesayangan seseorang.
Wajah-wajah yang tak lagi ada di dunia, tetapi masih “pulang” ke tempat ini untuk terakhir kalinya.
Di sinilah Joan Pascaline Majabubun membangun sesuatu yang lebih dari sekadar layanan kremasi.
Ia menciptakan jembatan—penghubung antara manusia dan kenangan terakhir mereka terhadap hewan yang dicintai.
Joan mengisahkan, perjalanan menuju pekerjaan ini tidak dimulai dari hal yang indah.
Salah satu pengalaman paling menyakitkan itu yakni kala ia menyelamatkan Boja, anak anjing yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan.
Meski ia merawat Boja dengan penuh harapan, virus parvo merenggut nyawa hewan kecil itu.
Kesedihan itu berubah menjadi amarah ketika ia melihat proses kremasi Boja tidak dilakukan dengan layak.
“Karena kekecewaan itu, jadi gue mau bikin tempat kremasi yang seperti yang gue mau, di mana tempat kremasinya kayak punya sendiri gitu,” kata Joan saat ditemui di Rainbow Bridge Memorial House, Selasa (9/12/2025).
Semua berawal dari niat menyelamatkan seekor anjing, meski kondisi keuangannya sedang kekurangan.
Ada orang yang menemukan anjing tersebut, lalu mengawinkannya dan menjual anak-anaknya. Joan mencoba menolong, dibantu seseorang yang iba pada kondisinya.
Dalam benaknya, ia hanya ingin memberikan hidup yang layak bagi Boja.
Saat proses kremasi dilakukan, kekecewaan itu semakin dalam.
Ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, sesuatu yang membuat perasaan kehilangan berubah menjadi kemarahan.
“Jadi gue bawa kremasi satu tempat, terus gue ngeliat si orangnya itu ada yang dia buang. Gue bilang,
‘apaan tuh yang dibuang?’,
” kata Joan.
“Gue cari ternyata kakinya anak gue yang gak selesai kekremasi. Dibuang gitu aja? Ngamuk gue,” sambung dia.
Dari pengalaman itu, muncul tekad untuk membangun tempat kremasi yang menghormati hewan dan pemiliknya.
Di halaman tanah yang teduh, suara lantunan ayam dan pohon bergesekan menjadi latar proses perpisahan. Joan berjalan santai, menyapa hewan-hewan yang menghuni tempat itu.
Meski fasilitasnya sederhana, banyak pemilik hewan menemukan ketenangan di sini.
Bagi Joan, kasih sayang tidak pernah bisa diukur oleh bentuk hewan atau bagaimana orang lain menilainya.
“Namanya sayang kan kita gak bisa membatasi gitu ya,
unlimited
gitu loh. Kayak kemarin, gue kremasi, dia itu punya kayak lipan gitu. Gue kremasi di sini,” kata Joan.
Kisah tentang seekor luwing bernama Jony menjadi salah satu contohnya.
“Dia udah bilang,
‘Kak, gue mau kremasi peliharaan gue (luwing) bisa gak, Kak?’.
Bisa,” jelas dia.
Bagi Joan, selama hewan itu dicintai seseorang, maka ia berhak diperlakukan dengan hormat.
Di ruang kecil tempat guci-guci ditata, Joan menyaksikan berbagai bentuk rasa kehilangan. Ada pemilik yang menangis lama, ada yang memeluk guci sambil bercerita. Ia tak pernah membatasi hewan yang bisa ia layani.
“Nah, jadi yang namanya kita sayang itu kan gaada batasan. Lo mau pelihara kecoak juga sekarang banyak orang pelihara kecoak,” ujar dia.
Tidak hanya anjing atau kucing, ia pernah menerima tikus peliharaan, ikan gurame, hingga hewan liar yang pernah dirawat seseorang.
“Terus apapun ya sah-sah aja gitu, kan. Jadi gue berusaha untuk bisa fasilitasi bahkan tikus aja ada,” katanya.
Tempat ini pun menjadi rumah duka yang universal—untuk semua jenis makhluk.
Joan cukup sering menerima hewan yang datang dari klinik atau shelter kecil. Ia memahami beban mereka, terutama ketika wabah menyerang dan jumlah hewan yang mati meningkat.
“Jadi gue ada beberapa klinik yang memang bekerjasama. Jadi kalo misalnya di tempat mereka ada yang RIP dan mau dikremasi dan itu mereka yang kirim,” kata dia.
Bagi Joan, inti dari pekerjaannya bukan sekadar fasilitas, melainkan empati.
“Cuma maksud gue kalo gue
personally
enggak peduli gue mau hewan lu apa. Ya kayak yang gue bilang dari awal tadi. Sayang itu gak ada batasnya,” imbuh dia.
Di Rainbow Bridge Memorial House, kematian dan kehidupan terasa saling menyapa.
Saat pemilik menyeka air mata, anjing-anjing di halaman berjalan mondar-mandir, seolah menemani.
Ketika seseorang memandikan hewannya untuk terakhir kalinya, perasaannya pasti campur aduk. Luapan emosi tak terbendung.
Dalam momen seperti itu, Joan berusaha memastikan setiap pemilik bisa melepas tanpa merasa dihakimi.
“Kayak yang kemarin itu dia ini.
‘Kak, lu jangan ketawain gue ya, Kak’
, Kenapa gue mesti ketawain lu? Karena lu sendiri di video lu bilang megang mereka tuh
calming,
itu hal yang baik sih,” jelas Joan.
Itulah alasan ia ingin tempat ini terasa hangat, setara, dan dekat.
“Makanya gue bikin kremasi ini seperti maunya gue, kita sama-sama penyayang, kita tahu rasanya kehilangan gimana,” imbuh dia.
Dari Trauma Menjadi Dedikasi
Tidak banyak yang tahu bahwa Joan dulunya takut kucing. Ia pernah dicakar hingga membuat tangannya bengkak.
Namun hidup justru membawanya masuk ke dunia hewan—shelter, penyelamatan, hingga kremasi.
“Dulu gue takut kucing, gue takut ayam tapi terus kan gue mikir ya sampe kapan gue takut sama hal-hal yang kalo menurut gue gak pantes buat ditakutin,” ujarnya.
Pengalamannya mengurus hewan-hewan di shelter menjadi titik balik terbesar.
Ia mulai merawat anak-anak kucing, memberi mereka susu, dan mendampingi mereka bertahan hidup.
Proses itulah yang perlahan mengikis rasa takutnya, Joan menemukan bahwa ketakutan itu selama ini hanya bayangan, bukan kenyataan.
“Waktu gue kasih susu itu nyakar gue eh kok ga bolong ya. Ternyata kucing itu gak semenyeramkan itu ya. Dari situlah gue baru mulai buka kremasi,” ungkapnya.
Bangunan bambu, halaman tanah, oven kecil berbahan gas, dan meja pemandian sederhana—semua tampak jauh dari kesan mewah. Namun justru kesederhanaan inilah yang membuat banyak orang merasa dekat.
Joan ingin tempat ini ramah, bukan membingungkan.
“Jadi intinya gue nyari duit. Bohong orang punya usaha enggak nyari duit. Pasti. Cuma dengan bisa bantu teman-teman, jadi makanya gue bertahan dengan
stay low
kayak gini,” kata dia.
Joan sengaja menjaga tempatnya tetap
low profile.
Ia tidak ingin orang takut datang karena mengira biayanya akan mahal.
Ia ingin orang merasa bahwa tempat ini adalah milik mereka sendiri.
“Lu mau gendong sendiri anak lu masuk dalam
tray.
Lu mau tungguin, lu mau pelototin anak lu dikremasi sampai selesai, silakan,” kata dia.
Nama Rainbow Bridge sendiri merujuk pada sebuah keyakinan populer di kalangan pecinta hewan.
Ketika
hewan peliharaan
meninggal, mereka dipercaya menyeberangi sebuah jembatan menuju tempat damai di alam baka.
Di sana, hewan-hewan peliharaan yang telah mati menjadi muda dan sehat kembali. Mereka menunggu untuk dipersatukan kembali dengan pemiliknya yang tercinta suatu hari nanti.
“Karena
all animals goes to Rainbow Bridge
(Semua hewan pergi ke Jembatan Pelangi),” kata Joan.
Di kawasan perkotaan, kepadatan hunian terus meningkat, sementara hubungan masyarakat dengan hewan peliharaan justru semakin intens.
Para pemilik kini memberi perhatian lebih besar terhadap kesehatan, kenyamanan, dan perlakuan etis bagi hewan yang mereka rawat sehari-hari.
Perubahan ini, menurut Rakhmat Hidayat, Sosiolog dari UNJ, ikut membuka ruang bagi hadirnya berbagai layanan baru, termasuk
kremasi hewan
.
Ia menilai fenomena tersebut merupakan kebutuhan yang relatif baru muncul, terutama di lingkungan kelas menengah kota-kota besar.
Dalam beberapa tahun terakhir khususnya setelah masa pandemi industri yang bergerak di bidang perawatan hewan berkembang dengan cepat.
Pet shop
tumbuh lebih banyak, layanan
grooming
semakin mudah ditemui, hingga berbagai jasa pendamping lain yang sebelumnya tidak dikenal kini mulai populer.
Bagi Rakhmat, semua perkembangan itu menunjukkan bahwa kultur merawat hewan telah berubah menjadi lebih serius dan lebih terstruktur di mata masyarakat.
“Layanan kremasi ini menurut saya itu melengkapi bagaimana peliharaan hewan itu menjadi isu yang menarik bagi sebagian masyarakat atau bagi masyarakat menengah perkotaan gitu ya,” ujar dia saat dihubungi, Senin (9/12/2025).
Ia juga menilai, hadirnya layanan semacam ini menandakan pola baru dalam cara masyarakat memperlakukan hewan peliharaan mereka.
“Ini sudah mulai menunjukkan ada tren yang lebih spesifik gitu ya di kalangan kelas menengah elite perkotaan gitu kan dengan layanan kremasi ini,” kata dia.
Bagi banyak pemilik, hewan peliharaan telah menempati posisi lebih dari sekadar makhluk yang diberi makan atau dirawat seperlunya.
Keberadaan mereka kerap menyatu dengan keseharian menjadi yang pertama disapa saat pagi tiba, menemani di sela aktivitas, hingga hadir setiap kali pemilik pulang membuka pintu rumah.
Tidak sedikit orang yang menjadikan hewan peliharaan sebagai tempat bercerita, penawar penat sepulang kerja, atau pengisi kesunyian di rumah yang terasa terlalu sepi.
Karena kedekatan itu pula, kehilangan hewan peliharaan dapat menghadirkan kesedihan mendalam yang sulit diungkapkan.
Kedekatan tersebut tumbuh dari ikatan emosional yang terbentuk lama dalam keseharian.
“Kenapa hewan itu orang perlu ditangis sih? Karena itu kan ada semacam keterikatan ya, keterikatan moral, keterikatan secara psikologis antara manusia tersebut dengan hewan tersebut gitu kan,” ujarnya.
Ikatan itu bahkan, menurut dia, semakin kuat seiring rutinitas yang dijalani bersama.
“Apalagi udah bertahun-tahun, sudah jadi sering bareng,” kata dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Gunung
-

Pemkot perkuat upaya pencegahan TPPO di Jakarta Utara
Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota (Pemkot) melalui Suku Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Kota Jakarta Utara memperkuat upaya pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di daerah setempat melalui rapat pleno Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
“Rapat pleno ini menjadi wadah penyelarasan langkah antar bidang dan memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam upaya menghapus praktik perdagangan orang di Jakarta Utara,” kata Asisten Deputi Perlindungan Perempuan Pekerja dan TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Andriani Puspita Ningrum di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan bahwa saat ini TPPO masih menjadi ancaman serius dan bersifat gunung es. Kasus TPPO yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari masalah besar yang sesungguhnya.
“Perempuan dan anak masih menempati posisi paling rentan dalam perdagangan orang,” ujar dia.
Para pelaku TPPO masih menggunakan modus lama yang sering tidak disadari masyarakat, katanya, menjelaskan.
Modus TPPO masih memakai cara tradisional seperti penipuan pekerjaan, jeratan hutang, magang bagi pelajar dan mahasiswa, hingga kawin kontrak
Bahkan, menurut dia, bukan hanya mereka yang minim pendidikan, tetapi mahasiswa hingga lulusan sarjana dan S2 pun dapat menjadi korban karena iming-iming yang menyesatkan.
“TPPO berdampak luas pada korban mulai dari fisik, psikologis, hingga sosial ekonomi,” katanya.
Sementara itu, Akademisi dari Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP UI Anna Sakreti Nawangsari menekankan pentingnya penguatan kelembagaan gugus tugas hingga tingkat paling bawah.
Ia juga menyoroti pentingnya edukasi masyarakat. Pemerintah daerah wajib memastikan gugus tugas bekerja dengan mekanisme yang jelas dan berkoordinasi dengan seluruh instansi terkait.
Kemudian menyusun langkah strategis yang sejalan dengan Rencana Aksi Nasional TPPO.
“Sosialisasi masif harus menjadi program prioritas agar gugus tugas mampu bekerja secara aktif, efektif, dan mampu mengidentifikasi potensi kasus sejak dini,” katanya.
Pewarta: Mario Sofia Nasution
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Tak Semua Bencana Bisa Gunakan BTT, BPBD Bondowoso Jelaskan Aturannya
Bondowoso (beritajatim.com) – Plt Kalaksa BPBD Bondowoso, Kristianto, menegaskan bahwa penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam penanganan bencana tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada aturan, indikator, dan prosedur yang wajib dipenuhi sebelum anggaran darurat itu dipakai.
Menurutnya, klasifikasi bencana yang dapat dibayar melalui BTT harus merujuk pada Permendagri No 7 Tahun 2020, Pergub Jatim No 23 Tahun 2022, serta juknis indikator penetapan status tanggap darurat dari BNPB. Tiga regulasi inilah yang menjadi pegangan teknis BPBD dalam menentukan langkah di lapangan.
Kristianto menjelaskan bahwa BTT digunakan untuk situasi darurat yang mencakup bencana alam, non-alam, dan bencana sosial. Contoh bencana alam adalah banjir, longsor, dan erupsi gunung. Non-alam meliputi pandemi Covid-19 atau PMK, sedangkan bencana sosial bisa berupa kerusuhan atau kejadian luar biasa lain.
Selain itu, BTT bisa dipakai untuk keadaan darurat lain seperti operasi pencarian dan pertolongan yang sebelumnya tidak teranggarkan, serta kerusakan sarana prasarana publik yang mengganggu pelayanan.
Namun untuk bisa masuk kategori tanggap darurat, pemda wajib mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Daerah. SK itu menjadi dasar untuk melakukan berbagai tindakan seperti pencarian korban, evakuasi, pemenuhan kebutuhan air bersih, sanitasi, pangan, layanan kesehatan, hingga penyediaan hunian sementara.
Merujuk asesmen terbaru, peristiwa puting beliung di Kecamatan Jambesari belum memenuhi dua unsur utama penetapan status tanggap darurat, yakni unsur yang mengancam kehidupan dan penghidupan. Kehidupan berarti ada korban meninggal atau pengungsian; penghidupan berarti kerusakan signifikan pada sarana prasarana, lingkungan, hingga psikologis masyarakat.
“Tahun 2025 belum ada bencana di Bondowoso yang masuk kategori tanggap darurat. Kejadian puting beliung kemarin masih bisa ditangani dengan respon cepat menggunakan anggaran reguler BPBD,” ujar Kristianto.
BPBD tetap memberikan bantuan bagi warga terdampak. Kebutuhan primer dipenuhi lebih dulu, disusul bantuan tambahan seperti selimut, kompor, dan perlengkapan dasar lainnya untuk rumah yang masuk kategori rusak sedang dan rusak berat.
Tahun ini BPBD juga menyiapkan stimulan material bagi warga terdampak. Jika anggaran habis, instansi dibolehkan mencari sumber pendanaan lain, termasuk CSR perusahaan. Langkah tersebut menurut Kristianto sah secara regulasi.
“Penanganan bencana itu kerja pentaheliks: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media. Saat ini kami menggandeng beberapa perusahaan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan warga terdampak,” katanya.
Kristianto turut menjelaskan batasan teknis klasifikasi kerusakan bangunan. Di antaranya untuk rusak ringan adalah kerusakan maksimal 30 persen dan bangunan masih kokoh. Kemudian rusak sedang jika kerusakan maksimal 50 persen, struktur masih berdiri namun butuh perbaikan signifikan. Sementara rusak berat jika kerusakan lebih dari 50 persen seperti bangunan roboh atau tidak lagi bisa dihuni.
Ia menambahkan, pemerintah memberikan stimulan sesuai kemampuan fiskal daerah. Karena itu BPBD terus membangun sinergi dengan berbagai pihak agar bantuan yang diterima warga bisa lebih maksimal.
Kristianto menegaskan bahwa BTT tidak berada di BPBD, melainkan dikelola BPKAD. Meski begitu, semua perangkat daerah dapat mengajukan penggunaan BTT asalkan kebutuhan darurat tersebut jelas dan telah dibahas lintas instansi.
Penjelasan ini memastikan bahwa penggunaan BTT tetap berada di jalur regulasi dan keputusan teknis yang akuntabel, sehingga anggaran darurat benar-benar menyentuh kondisi yang layak ditangani secara prioritas. (awi/ian)
-

Cerita Warga Terdampak Banjir Lahar Gunung Semeru, Pilih Menetap di Bukit Ketimbang Tinggalkan Kampung Halaman
Lumajang (beritajatim.com) – Tidak semua warga Dusun Sumberlangsep, Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur meninggalkan lokasi terdampak banjir lahar Gunung Semeru.
Sebagian warga bahkan lebih memilih untuk mengungsi mandiri di tenda darurat yang mereka buat di atas bukit. Padahal potensi banjir susulan masih tinggi dan bisa terjadi kapan saja.
Sebelumnya, banjir lahar pertama kali dilaporkan menerjang sejumlah daerah aliran sungai (DAS) Gunung Semeru dengan amplitudo 35 millimeter, Jumat (5/12/2025).
Kemudian, banjir lahar kembali dikeluarkan Gunung Semeru dengan amplitudo mencapai 40 milimeter pada, Sabtu (6/12/2025).
Akibatnya, luapan banjir lahar sampai menjangkau kawasan permukiman penduduk di Dusun Sumberlangsep yang tepat berada di seberang sungai Regoyo.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang mencatat, sebanyak 14 rumah dan satu fasilitas umum (Fasum) berupa bangunan masjid di Dusun Sumberlangsep rusak.
Sampai, Selasa (9/12/2025), jumlah tenda darurat yang didirikan sejumlah keluarga terdampak banjir lahar di atas bukit di Dusun Sumberlangsep semakin banyak.
Tenda-tenda itu digunakan warga untuk tidur di malam hari dan mengungsi ketika ada informasi banjir lahar dengan skala besar.
Sarjudin, salah satu korban banjir mengaku, dirinya merasa berat hati untuk pergi meninggalkan kampung halaman yang sudah ditinggali sejak lahir.
Hal ini membuatnya bersama beberapa warga lebih memilih dan rela untuk tidur di atas bukit ketimbang pergi ke lokasi aman yang jauh dari kampung halaman.
“Awalnya pindah-pindah untuk mengamankan barang berharga. Beberapa juga dititipkan di keluarga di seberang sungai (barang berharga, Red),” terang Sarjudin saat ditemui di tenda darurat buatannya, Selasa (9/12/2025).
Menurutnya, saat sedang tidak ada banjir, ia akan mencoba mengunjungi rumahnya yang berada di bawah bukit.
Meski ketakutan akan bencana terus menghantui, Sarjudin masih tetap kekeh enggan untuk berpindah ke tempat lain.
“Kalau saya sendiri sementara belum ke mana-mana (keluar dusun), jadi diem di dekat gunung, antisipasi untuk membuat tenda darurat sementara, ketika ada banjir besar kita itu pindah ke tenda darurat,” tambah Sarjudin.
Banjir lahar yang sudah meluluh-lantakan belasan rumah di Dusun Sumberlangsep diakui membawa trauma mendalam bagi Sarjudin.
Lain dengan banjir yang membawa air, material vulkanik panas Gunung semeru yang memendam rumah hingga ketinggian 4 meter masih menyisakan ketakutan.
“Kalau takut ya takut, yang namanya banjir, karena tidak bisa diperkirakan datangnya. Apalagi inikan lumpur lava, bukan air,” ungkap Sarjudin. (has/ian)
-

Pemkot Kediri Serius Atasi Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Kediri (beritajatim.com) – Guna menekan angka kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Kota Kediri, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Kediri melangsungkan Focus Group Discussion (FGD) membahas pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) Tingkat Kota, Selasa (9/12/2025).
Kegiatan tersebut terlaksana di Aula DP3AP2KB Kota Kediri dan diikuti berbagai instansi, di antaranya: Pengadilan Negeri, Kejaksaan, Polresta, Kemenag, BNN, Rumah Sakit yang ada di Kota Kediri, serta berbagai OPD Pemkot Kediri.
Saat memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan, dr Muhammad Fajri Mubasysyir, Kepala DP3AP2KB Kota Kediri mengemukakan tujuan diselenggarakannya FGD tersebut ialah untuk mengumpulkan wawasan mendalam tentang prinsip-prinsip dasar perlindungan perempuan dan anak, sekaligus untuk menemukan gagasan baru dan solusi bagi Pemkot Kediri.
“Sedangkan pembentukan Satgas PPA Tingkat Kota dimaksudkan agar penanganan kasus PPA lebih terintegrasi yang meliputi: pencegahan, penanganan, dan perdamaian kasus kekerasan. Sehingga harapan kami perempuan dan anak di Kota Kediri benar-benar terlindungi dan Kota Kediri bisa menjadi kota ramah anak,” ucapnya.
Dalam penanganan PPA, Fajri mengatakan hal itu tidak bisa dilakukan oleh satu instansi saja, melainkan perlu adanya kolaborasi semua pihak, tidak hanya OPD terkait tapi lintas instansi seperti kejaksaan, kepolisian dan pengadilan. Ia menyoroti penanganan kasus PPA seperti fenomena gunung es yang hanya tampak pada permukaannya saja, masih perlu adanya observasi lebih lanjut guna mengungkap permasalahan hingga ke akarnya. Hal itu disebabkan lantaran masih banyak korban yang tidak melaporkan kasus kekerasan pada perempuan dan anak kepada pihak berwajib maupun dinas terkait.
Dalam pertemuan tersebut dibahas beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak, antara lain: diperlukan peran dari orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah (pusat dan daerah).
Peran pemerintah dapat berupa perumusan kebijakan atau perundang-undangan, melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan upaya pencegahan kekerasan terhadap anak.
“Di DP3AP2KB sudah ada UPT PPA yang diresmikan tahun 2024 sudah ada psikolog yang menangani dan advokat. InsyaAllah secara kelembagaan sudah mempersiapkan diri, namun masih perlu kolaborasi dengan beberapa pihak supaya kasus-kasus yang terjadi di masyarakat bisa tertangani,” terang Fajri.
Dirinya berharap kegiatan ini dapat menjadi wadah bagi instansi terkait untuk dapat saling bertukar pikiran, berbagi pengalaman, sehingga bisa menghasilkan hasil akhir yang dapat diusulkan ke Walikota Kediri untuk membentuk Satgas PPA Tingkat Kota. “Harapan kami kalau ada kasus kekerasan di Kota Kediri bisa kita tangani secara maksimal,” tegasnya. [nm/ian]
-
/data/photo/2025/12/09/6937d97ab9dc8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tambang di Kaki Gunung Slamet Diprotes Warga, Dinas ESDM Jateng Tak Bisa Langsung Menutup Regional 9 Desember 2025
Tambang di Kaki Gunung Slamet Diprotes Warga, Dinas ESDM Jateng Tak Bisa Langsung Menutup
Tim Redaksi
BANYUMAS, KOMPAS.com
– Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) tidak bisa langsung menutup penambangan di kaki Gunung Slamet meskipun keberadaannya diprotes warga.
Pemilik tambang diberikan waktu 60 hari untuk memperbaiki.
Diberitakan sebelumnya, puluhan massa yang tergabung dalam Presidium
Gunung Slamet
Menuju Taman Nasional menggelar
aksi demonstrasi
di gedung DPRD
Banyumas
, Selasa (9/12/2025).
Mereka menuntut agar kegiatan penambangan batu granit di kaki Gunung Slamet, tepatnya di Bukit Jenar, Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng ditutup karena menimbulkan dampak negatif.
Kepala Cabang
Dinas ESDM
Wilayah Slamet Selatan, Mahendra Dwi Atmoko, mengatakan pihaknya telah melakukan penutupan sementara.
Setelah itu, pemilik tambang diberi waktu 60 hari untuk melakukan perbaikan kegiatan penambangan.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Bukit Jenar tersebut atas nama PT Dinar Batu Agung seluas 9,4 hektar.
“Sesuai prosedur perundang-undangan, setelah penghentian sementara diberikan waktu 60 hari, setelah itu akan dilakukan evaluasi untuk menentukan apakah sanksinya meningkat untuk dilakukan pencabutan izin atau tidak,” kata Mahendra usai audiensi dengan
Presidium Gunung Slamet
Menuju Taman Nasional di gedung DPRD Banyumas, Selasa (9/12/2025).
Mahendra menjelaskan, pemerintah tidak bisa melakukan pencabutan izin secara tiba-tiba tanpa prosedur yang diatur dalam undang-undang.
“Pertambangan itu ada aturannya. Tidak bisa serta-merta dicabut hanya karena ada tuntutan. Ada mekanisme yang harus dilalui, peringatan satu, peringatan dua, peringatan tiga, penghentian sementara, hingga pencabutan izin,” ujar Mahendra.
Menurut dia, aturan tersebut dibuat untuk memastikan negara tetap berjalan berdasarkan hukum.
Setiap pemegang izin memiliki hak sekaligus kewajiban yang harus dipenuhi. Bila kewajiban teknis tidak dijalankan, barulah teguran diberikan secara bertahap.
“Kalau aturan tidak dijalankan dan semua izin dicabut hanya karena ketidaksukaan, apa jadinya negara ini? Aturan itu menjamin hak kedua belah pihak, baik masyarakat maupun pemerintah,” tegas Mahendra.
Mahendra menyebutkan bahwa penghentian sementara tambang di Baseh dilakukan setelah tim pengawas menemukan bahwa pengelola tidak menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik dan benar.
Beberapa pelanggaran yang ditemukan antara lain, jenjang tambang terlalu tinggi, kemiringan lereng terlalu terjal, dan ketidaksesuaian pengaturan front tambang yang berpotensi membahayakan keselamatan.
“Semua itu sudah ada ketentuannya. Tapi karena peringatan-peringatan kami tidak diindahkan, akhirnya dikeluarkan penghentian sementara agar mereka tidak beroperasi,” jelas Mahendra.
Selain itu, pihak tambang juga diwajibkan segera melakukan reklamasi pada lahan yang telah selesai ditambang.
Setelah penghentian sementara, perusahaan pemegang izin diminta memperbaiki seluruh aspek teknis yang menjadi temuan.
Hasil perbaikan itu akan dievaluasi kembali oleh pemerintah.
“Kalau front tambangnya sudah diperbaiki, kelerengannya sesuai aturan, dan reklamasi dilakukan, tentu akan kita nilai. Tapi kalau rekomendasi tidak dilaksanakan, barulah bisa dilakukan pencabutan izin,” jelas Mahendra.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Misteri Vulkanik di Balik Munculnya Wabah Hitam
Jakarta –
Bencana iklim yang memaksa perubahan jalur perdagangan kemungkinan bertanggung jawab atas masuknya wabah ke Eropa dan menyebabkan Wabah Hitam pada abad ke-14, menurut para peneliti.
Dipublikasikan dalam jurnal Communications Earth & Environment, studi baru ini menggabungkan catatan sejarah dengan penelitian inti es di Kutub dan cincin pohon Eropa.
Para peneliti Martin Bauch dari Leibniz Institute di Jerman, dan Ulf Bntgen di Cambridge University, Inggris, menyimpulkan bahwa letusan gunung berapi yang tidak teridentifikasi sekitar tahun 1345 memompa abu dan sulfur ke atmosfer Bumi, menyebabkan pendinginan iklim dan gagal panen di seluruh wilayah Mediterania.
Hal ini memaksa kota pelabuhan besar membuka perdagangan dengan Kekhanan Golden Horde, yang menguasai Asia Tengah pada waktu itu. Dengan demikian, hal ini memberikan jalur aman bagi Yersinia pestis, bakteri penyebab Wabah Hitam, masuk ke Eropa.
Kota-kota Italia telah mengembangkan strategi keamanan pangan yang sukses. Namun, strategi ini tidak mampu menghadapi wabah.
“Dengan kombinasi beberapa kebetulan pada satu waktu, Anda mendapatkan efek samping yang tidak terduga. Dari perspektif abad ke-14, Anda tidak bisa menghitung dan memperkirakan hal ini, sistem yang sama yang berhasil menyelamatkan Anda dari kelaparan, akan menyebabkan kematian massal jika Wabah Hitam mencapai kota Anda,” kata Bauch, yang merupakan sejarawan lingkungan.
Asal-usul Wabah Hitam
Wabah disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Wabah Hitam adalah nama yang diberikan untuk gelombang besar wabah di Eropa dari 1347 hingga 1351.
Jika paru-paru terinfeksi, wabah bubonik menjadi wabah pneumonik, jenis yang menyebar lebih cepat dan selalu fatal.
Untungnya, pengembangan antibiotik yang membunuh bakteri sebagian besar telah menjadikan wabah masalah masa lalu. Namun, penyakit ini masih ada di beberapa bagian dunia, terutama di Madagaskar, Republik Demokratik Kongo, dan Peru. Kasus terus terjadi di Amerika Serikat bagian barat, sebagian Brasil dan Bolivia, serta Asia Selatan dan Tengah.
Dan di Asia Tengah lah Wabah Hitam kemungkinan berasal. Pada 2022, kelompok peneliti lain dari Jerman dan Inggris berhasil menentukan asal-usul “strain sumber” Yersinia pestis.
Mereka menghubungkan bukti penyakit yang melanda Eropa dengan wabah di Pegunungan Tian Shan, yang berbatasan dengan Kirgizstan modern, pada tahun 1338.
Kemungkinan melalui perdagangan dan pergerakan manusia, tikus dan serangga pembawa penyakit dibawa jauh ke Eropa dan Eurasia barat, membawa wabah bersama mereka.
Jejak lingkungan, implikasi sejarah, jalur wabah
Bagaimana wabah masuk ke Eropa telah banyak diperdebatkan oleh para peneliti. Dalam studi terbaru ini, Bauch dan Bntgen menggunakan gabungan data ilmiah dan catatan sejarah untuk menjelaskan setidaknya satu jalur potensial masuknya penyakit ke benua tersebut.
Mereka menjelaskan bahwa cincin pohon dari delapan wilayah di Eropa, serta kandungan sulfur dari letusan gunung berapi yang tercatat di inti es Kutub, menunjukkan bahwa letusan gunung berapi tropis besar pada 1345 mungkin menyebabkan pendinginan iklim. Hal ini berdampak pada gagal panen di Mediterania dan memicu kelaparan di Eropa selatan.
Catatan menunjukkan bahwa kota pelabuhan utama Italia, seperti Venesia dan Genoa, melakukan perdagangan dengan Mongol Golden Horde menjelang akhir kelaparan ini, untuk mengimpor gandum melalui jalur perdagangan Laut Hitam.
Pasokan gandum ke wilayah tersebut membantu mencegah kelaparan bagi penduduk setempat, tetapi kemungkinan juga memperkenalkan wabah yang terus menyebar ke kota-kota Italia lainnya ketika kota-kota lain memperoleh pasokan gandum dengan cara yang sama.
Menggunakan referensi lingkungan seperti cincin pohon dan inti es memungkinkan ilmuwan dan sejarawan bekerja sama untuk memahami bagaimana perubahan lingkungan dapat memengaruhi peristiwa sosial dan kesehatan masyarakat.
Studi tentang perubahan halus pada cincin pohon dan “proxy alami” lainnya membantu apa yang dikenal sebagai rekonstruksi paleoklimatik, pemahaman tentang iklim kuno.
“Hanya cincin pohon yang memiliki kualitas yang benar-benar memungkinkan kita untuk menyatukan berbagai hal,” kata Bauch.
Setelah data ilmiah digabungkan dengan catatan sejarah, peneliti seperti Bauch dan Bntgen dapat mulai menjelaskan faktor-faktor yang mungkin mendorong peristiwa besar, termasuk Wabah Hitam.
Maria Spyrou, seorang paleopatolog di Universitas Tbingen, yang memimpin kelompok yang mengidentifikasi asal-usul wabah pada 2022, mengatakan bahwa studi baru Bauch-Bntgen menambahkan satu potongan lagi pada teka-teki bagaimana wabah menembus dan menginfeksi Eropa abad pertengahan.
“[Studi Bauch-Bntgen] memberikan dukungan lebih lanjut untuk munculnya pandemi pada pertengahan abad ke-14, dan sejalan dengan data genetik yang menunjukkan bahwa nenek moyang strain Wabah Hitam di Eropa ada di wilayah Volga serta di wilayah Tian Shan,” kata Spyrou kepada DW melalui email.
Namun, Spyrou juga mencatat bahwa meskipun jalur dari Laut Hitam ke Eropa kini tampaknya telah diambil, masih belum jelas bagaimana penyakit itu menyebar di seluruh Asia Tengah sendiri.
Bauch setuju dengan penilaian itu. Ia mengatakan bahwa studi mereka hanya memberikan salah satu dari beberapa kemungkinan penjelasan tentang bagaimana wabah masuk dan menyebar di Eropa abad ke-14.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rahka Susanto
Editor: Yuniman FaridTnton juga video “4 Potensi Wabah Penyakit Pasca-Bencana Banjir dan Tanah Longsor”
(ita/ita)
/data/photo/2025/12/09/69384939d8d4f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


/data/photo/2024/07/01/668268fbb4d94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)