kab/kota: Guntur

  • Keppres Amnesti Diserahkan ke KPK, Hasto Segera Bebas Malam Ini

    Keppres Amnesti Diserahkan ke KPK, Hasto Segera Bebas Malam Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah menyerahkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait dengan pemberian amnesti untuk Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Dengan diserahkannya Keppres yang diteken Presiden Prabowo Subianto itu maka Hasto bakal segera dibebaskan malam ini, Jumat (1/8/2025) dari tahanan.

    Keppres itu diantarkan oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum (Dirjen AHU Kemenkum) Widodo ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Surat tersebut diterima oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.

    Widodo menjelaskan dokumen yang telah diteken Presiden itu nantinya bakal disampaikan oleh pimpinan KPK. Sejalan dengan itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas juga akan menyampaikan keterangan pers mengenai Keppres abolisi dan amnesti, salah satunya untuk Hasto.

    Saat dimintai konfirmasi apabila Hasto otomatis bakal dibebaskan, Widodo enggan menjawabnya. Dia menyerahkan kepada pimpinan KPK untuk menjelaskan tindak lanjut dari Keppres tersebut.

    “Tugas saya hanya sampaikan surat ini dari amanah pimpinan Kemensesneg, sudah diterima pak Deputi [Penindakan] sambil dikasih minum dan alhamdulillah tugas saya sudah selesai, dan udah dilaporkan juga ke Pak Wamensesneg suratnya ke pimpinan KPK udah diterima dengan baik,” ujar pejabat eselon I Kemenkum itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/8/2025).

    Widodo juga enggan memerinci lebih lanjut proses penyusunan dan penandatanganan Keppres itu. Sebelumnya, beredar kabar bahwa dokumen tersebut ditandatangani oleh Prabowo di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

    Dia juga mengaku tidak mengetahui ihwal penyusunan Keppres tersebut. Namun, dia mengungkap bahwa Menteri Supratman telah membagi-bagi tugas untuk penyerahan keppres abolisi dan amnesti ke berbagai instansi terkait.

    Widodo, dalam hal ini, ditugaskan untuk menyerahkan Keppres pemberian amnesti Hasto Kristiyanto, ke KPK. Hal itu juga lantaran elite PDIP itu ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih.

    Di samping itu, sebagian tim penasihat hukum Hasto juga telah berada di area rutan KPK. Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, salah satu yang hadir adalah Febri Diansyah, yang juga pernah menjabat Juru Bicara KPK.

    Untuk diketahui, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak sebelumnya memastikan bahwa Hasto akan dibebaskan setelah Keppres ditandatangani oleh Prabowo, dan diterima lembaganya.

    “Segera setelah KPK menerima Surat Keputusan Amnesti dari Presiden yang telah mendapat persetujuan dari DPR RI sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, maka yang bersangkutan dikeluarkan dari tahanan,” terang Johanis kepada wartawan, Jumat (1/8/2025).

    Sementara itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo juga menyebut proses hukum terhadap Hasto akan dihentikan seketika Keppres itu diterbitkan, termasuk upaya banding.

    “Jika itu sudah keluar, tentu proses hukumnya kemudian dihentikan,” ujar Budi.

    Pada Kamis (31/7/2025), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa parlemen menyetujui pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, serta abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

    Persetujuan DPR itu disampaikan usai rapat konsultasi dengan pemerintah atas surat presiden yang dikirimkan Prabowo, terkait dengan amnesti untuk 1.116 orang, termasuk Hasto.

    “Tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” kata Dasco di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

    Selain amnesti, Prabowo turut memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong atas perkara korupsi impor gula.

    Tom sebelumnya dijatuhi pidana 4,5 tahun penjara. Sebagaimana Hasto, dia juga sebelumnya dituntut pidana penjara selama 7 tahun oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan.

    “Tadi kami telah mengadakan rapat konsultasi dan hasil rapat konsultasi tersebut DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat Presiden […] tentang Permintaan Pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi atas nama saudara Tom Lembong,” terang Dasco.

  • Hasto Segera Bebas, Keppres Amnesti Sudah Diserahkan Kemenkum ke KPK

    Hasto Segera Bebas, Keppres Amnesti Sudah Diserahkan Kemenkum ke KPK

    GELORA.CO – Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum (Kemenkum) Widodo mengaku telah menyerahkan salinan surat Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberian amnesti Hasto Kristiyanto kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    “Kebetulan saya dapat tugas dan sekaligus mampir di KPK menyerahkan surat kepada pimpinan KPK. Ini sudah diterima Pak Deputi ya, Pak Asep. Ini surat salinan Keppresnya,” kata Widodo di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (1/8/2025).

    Widodo enggan merinci surat salinan Keppres yang telah diserahkan kepada Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu. Dia menerangkan, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas yang akan memberikan penjelasan.

    Surat salinan Keppres tersebut diserahkan kepada KPK setelah Dirjen AHU Widodo dan Menkum Supratman Andi menyambangi Istana Kepresidenan, Jakarta, sore tadi. Surat salinan Keppres dari Istana tersebut kemudian diserahkan kepada KPK dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Sebelumnya, DPR menyetujui usulan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti terhadap 1.116 orang terpidana. Salah satunya, Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto.

    Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad setelah menggelar rapat konsultasi bersama pemerintah yang diwakili Menteri Hukum (Menkum) dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 31 Juli 2025, malam.

    “Persetujuan atas surat presiden tentang pemberian amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” kata Dasco

  • KPK Selidiki Kasus Ekspor BBM Cucu Usaha Pertamina ke Perusahaan Filipina

    KPK Selidiki Kasus Ekspor BBM Cucu Usaha Pertamina ke Perusahaan Filipina

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi terkait dengan penjualan BBM oleh cucu usaha PT Pertamina (Persero), Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd. atau PIMD ke perusahaan di Filipina. 

    Untuk diketahui, PIMD adalah anak usaha dari PT Pertamina Patra Niaga yang menjalankan lini bisnis BUMN migas itu. PIMD menjual gas oil ke Phoenix Petroleum Philippines, Inc (Phoenix). Selanjutnya perusahaan lain berbasis di Filipina, yaitu Udenna Corporation terkait dengan perikatan itu. 

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengonfirmasi bahwa penegak hukum di KPK tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan korupsi pada penjualan gas oil oleh anak usaha Pertamina Patra Niaga tersebut. 

    “Informasinya masih penyelidikan,” ungkap Budi saat dimintai konfirmasi pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (31/7/2025). 

    Meski demikian, Budi masih irit bicara mengenai penyelidikan kasus tersebut. Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Penindakan dan Eksekusi Asep Guntur Rahayu mengatakan bakal mengonfirmasi lebih lanjut mengenai proses hukum yang sedang berjalan itu. 

    “Saya kabari kalau sudah ada informasi,” terang Asep. 

    Dalam catatan Bisnis, Phoenix Petroleum Philippines Inc. pada 2020 diberitakan telah menandatangani kemitraan strategis dengan Pertamina untuk perdagangan bahan bakar minyak yang akan disalurkan melalui anak perusahaan berbasis di Singapura. 

    Perusahaan yang terdaftar di Filipina tersebut mengungkapkan kepada Philippine Stock Exchange (PSE) bahwa dewan direksi “menyetujui dan memberi wewenang kepada perusahaan untuk menjalin kemitraan strategis dengan Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd.” 

    Kerja sama bisnis mencakup pasokan dan aktivitas perdagangan lainnya di Indonesia dan Filipina. 

    Atty Raymond Zorrilla, Wakil Presiden Senior untuk Urusan Luar Negeri, Pengembangan Bisnis dan Keamanan Phoenix Petroleum, seperti dikutip dari mb.com.ph, mengatakan bahwa kemitraan tersebut memerlukan sumber pasokan atau pengadaan bahan bakar perusahaan Filipina dari mitranya di Indonesia. 

    Saat itu, belum ada keputusan mengenai volume yang disediakan untuk skala pengambilan yang disepakati oleh para pihak.

    Namun demikian, aksi korporasi itu justru berujung pada pengadilan arbitrase internasional pada 2024, di Mahkamah Agung Singapura. Gugatan itu disidangkan di Pengadilan Komersial Internasional Singapura (SICC), dipimpin oleh Sir Henry Bernard Eder IJ. 

    Awalnya, gugatan PIMD itu disidangkan di Pusat Arbitrase Internasional Singapura pada 2022, dan putusannya terbit pada 2023. Dalam gugatannya, PIMD menggugat Phoenix serta perusahaan lain yang juga berpusat di Filipina, Udenna, untuk membayar US$142.932.694 termasuk bunga dan biaya lain, serta US$218.948 ditambah bunga. Totalnya sekitar US$143,1 juta.

    Pada putusannya di Pengadilan Komersial Internasional Singapura, Hakim Sir Henry memutuskan untuk menolak permohonan Phoenix terkait dengan tahapan pengadilan sebelumnya, untuk mengesampingkan putusan yang memenangkan PIMD.

    “Mengabulkan permohonan PIMD untuk deklarasi bahwa putusan tersebut final, sah, dan mengikat Phoenix. SICC juga mengabulkan permohonan PIMD untuk putusan anti-gugatan permanen terhadap Phoenix, yang melarang Phoenix untuk melanjutkan proses hukum di Filipina guna meminta deklarasi bahwa putusan dan proses arbitrase terkait batal demi hukum,” dikutip dari salinan kesimpulan atas putusan Mahkamah Agung Singapura. 

    Meski demikian, berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, Phoenix dan Udenna belum membayarkan nilai gugatan yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung Singapura itu. 

  • Respons Pertamina Usai KPK Tahan Mantan Anak Buah Karen Agustiawan pada Kasus LNG

    Respons Pertamina Usai KPK Tahan Mantan Anak Buah Karen Agustiawan pada Kasus LNG

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) menanggapi penahanan dua mantan Direktur Gas Pertamina oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada perkara korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG 2013-2020. 

    Dua mantan Direktur Gas Pertamina itu, Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani, adalah bekas anak buah dari Direktur Utama Pertamina 2009-2014, Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan. Keduanya ditahan untuk 20 hari pertama sejak Kamis (31/7/2025).

    Melalui keterangan tertulis, perseroan menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. 

    “Kami juga menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum dan berharap proses hukum dapat berjalan dengan baik,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, dikutip Jumat (1/8/2025).

    Selain itu, perseroan memastikan operasional perusahaan dan pelayanan energi kepada masyarakat tetap berjalan seperti biasa.

    Sebelumnya, KPK menahan Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani, Kamis (31/7/2025). Hari sebelumnya menjabat Direktur Gas Pertamina 2012-2014, sedangkan Yenni memegang jabatan Senior Vice President Gas and Power Pertamina 2013-2014 sekaligus Direktur Gas Pertamina 2015-2018. 

    Hari ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, sedangkan Yenni di Cabang Gedung Merah Putih. 

    Keduanya diduga berperan dalam pembelian atau impor LNG dari pemasok Corpus Christie Liquefaction (CCL), yang merupakan anak usaha perusahaan energi Amerika Serikat (AS) yang terdaftar di Bursa New York, Cheniere Energy, Inc. 

    Pengadaan itu merugikan keuangan negara sebesar US$113.839.186,60 atau setara sekitar Rp1,8 triliun. 

    “Bahwa Tersangka HK dan YA diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG Import tanpa adanya pedoman pengadaan; memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi dan analisa secara teknis dan ekonomi,” jelas Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (31/7/2025).

    Berdasarkan konstruksi perkaranya, pembelian LNG impor dari CCL dilakukan dengan penandatangan kontrak pembelian tahun 2013 dan 2014, yang selanjutnya kedua kontrak digabungkan menjadi satu kontrak pada 2015.

    Jangka waktu kontrak pembelian yang diteken yaitu selama 20 tahun, dan pengiriman pasokan gas alam cair itu untuk periode 2019-2039. Artinya, kontrak pembelian untuk 20 tahun dan saat ini masih berjalan. 

    “Nilai kontrak kurang lebih dari US$12 miliar tergantung harga gas. [Kontrak pembelian] berjalan sampai dengan sekarang,” ungkap Asep. 

    Selain diduga memberikan persetujuan tanpa pedoman pengadaan maupun izin prinsip, Hari dan Yenni bersama-sama Karen diduga mengadakan impor LNG itu tanpa ‘back to back’ kontrak di dalam negeri, atau dengan pihak lain sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya.

    “Jadi membeli impor LNG tapi belum jelas siapa konsumennya. Seharusnya sudah jelas, sudah bisa diprediksi keuntungannya. Faktanya LNG tidak pernah masuk dan harganya lebih mahal dari produk gas di Indonesia,” terang Asep. 

    Selain itu, lembaga antirasuah menduga bahwa pembelian LNG dari CCL itu tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian ESDM. 

    Hal itu lantaran diduga berimplikasi pada iklim bisnis migas di dalam negeri. Saat ini, Indonesia tengah mengembangkan sejumlah blok migas seperti Masela, Andaman, Teluk Bintuni, serta sejumlah blok di Kalimantan. 

    Di luar itu, penyidik turut mengendus dugaan kedua tersangka sengaja melakukan impor LNG itu tanpa persetujuan RUPS dan Komisaris, serta memalsukan dokumen persetujuan direksi Pertamina. 

    Kedua tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

    Sebelumnya, KPK telah menyeret mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan ke persidangan atas perkara tersebut. Karena akhirnya dijatuhi vonis pidana penjara 9 tahun dan denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan.

    Namun, Karen tidak dibebani uang pengganti kerugian negara US$113,83 juta. Hakim menyatakan uang pengganti itu dibebankan ke CCL.

    Pada tingkat kasasi, Majelis Hakim justru memperberat hukuman Karen menjadi 13 tahun penjara. 

    “Tolak, Perbaikan kualifikasi dan pidana, terbukti pasal 3 TPK [UU Tindak Pidana Korupsi] jo Pasal 55 jo pasal 64, pidana penjara 13 tahun,” demikian dikutip dari situs resmi MA, Sabtu (1/3/2025). 

    Selain pidana badan, Majelis Hakim Kasasi turut memperberat pidana denda yang dijatuhkan ke Direktur Utama Pertamina 2009-2014 itu. Total hukuman denda yang dijatuhkan kepadanya yakni Rp650 juta subsidair 6 bulan kurungan.

  • KPK Tahan 2 Bekas Anak Buah Karen Agustiawan di Kasus LNG Pertamina

    KPK Tahan 2 Bekas Anak Buah Karen Agustiawan di Kasus LNG Pertamina

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap dua orang tersangka pada perkara korupsi gas alam cair atau LNG PT Pertamina (Persero) 2013-2020. Dua orang itu adalah mantan anak buah Direktur Utama Pertamina 2009-2014, Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan. 

    Kedua tersangka yang ditahan hari ini, Kamis (31/7/2025), yaitu Direktur Gas Pertamina 2012-2014, Hari Karyuliarto (HK) dan Senior Vice President Gas and Power Pertamina 2013-2014 sekaligus Direktur Gas Pertamina 2015-2018, Yenni Andayani. 

    Kedua tersangka ditahan mulai hari ini, Kamis (31/7/2025), hingga 20 hari pertama sampai dengan 19 Agustus 2025. Hari ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, sedangkan Yenni di Cabang Gedung Merah Putih. 

    Dua orang tersebut diduga berperan dalam pembelian atau impor LNG dari pemasok Corpus Christie Liquefaction (CCL), yang merupakan anak usaha perusahaan energi Amerika Serikat (AS) yang terdaftar di Bursa New York, Cheniere Energy, Inc. 

    Pengadaan itu merugikan keuangan negara sebesar US$113.839.186,60 atau setara sekitar Rp1,8 triliun. 

    “Bahwa Tersangka HK dan YA diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG Import tanpa adanya pedoman pengadaan; memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi dan analisa secara teknis dan ekonomi,” jelas Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (31/7/2025).

    Berdasarkan konstruksi perkaranya, pembelian LNG impor dari CCL dilakukan dengan penandatangan kontrak pembelian tahun 2013 dan 2014, yang selanjutnya kedua kontrak digabungkan menjadi satu kontrak pada 2015.

    Jangka waktu kontrak pembelian yang diteken yaitu selama 20 tahun, dan pengiriman pasokan gas alam cair itu dimulai dari 2019-2039. Artinya, kontrak pembelian untuk 20 tahun dan saat ini masih berjalan. 

    “Nilai kontrak kurang lebih dari US$12 miliar tergantung harga gas. [Kontrak pembelian] berjalan sampai dengan sekarang,” ungkap Asep. 

    Selain diduga memberikan persetujuan tanpa pedoman pengadaan maupun izin prinsip, Hari dan Yenni bersama-sama Karen diduga mengadakan impor LNG itu tanpa ‘back to back’ kontrak di dalam negeri, atau dengan pihak lain sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya.

    “Jadi membeli impor LNG tapi belum jelas siapa konsumennya. Seharusnya sudah jelas, sudah bisa diprediksi keuntungannya. Faktanya LNG tidak pernah masuk dan harganya lebih mahal dari produk gas di Indonesia,” terang Asep. 

    Selain itu, lembaga antirasuah menduga bahwa pembelian LNG dari CCL itu tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian ESDM. 

    Hal itu lantaran diduga berimplikasi pada iklim bisnis migas di dalam negeri. Saat ini, Indonesia tengah mengembangkan sejumlah blok migas seperti Masela, Andaman, Teluk Bintuni, serta sejumlah blok di Kalimantan. 

    Di luar itu, penyidik turut mengendus dugaan kedua tersangka sengaja melakukan impor LNG itu tanpa persetujuan RUPS dan Komisaris, serta memalsukan dokumen persetujuan direksi Pertamina. 

    Kedua tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau 3 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

    Sebelumnya, KPK telah menyeret mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan ke persidangan atas perkara tersebut. Karena akhirnya dijatuhi vonis pidana penjara 9 tahun dan denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan.

    Namun, Karen tidak dibebani uang pengganti kerugian negara US$113,83 juta. Hakim menyatakan uang pengganti itu dibebankan ke CCL. Pada tingkat kasasi, Majelis Hakim justru memperberat hukuman Karen menjadi 13 tahun penjara. 

    “Tolak, Perbaikan kualifikasi dan pidana, terbukti pasal 3 TPK [UU Tindak Pidana Korupsi] jo Pasal 55 jo pasal 64, pidana penjara 13 tahun,” demikian dikutip dari situs resmi MA, Sabtu (1/3/2025). 

    Selain pidana badan, Majelis Hakim Kasasi turut memperberat pidana denda yang dijatuhkan ke Direktur Utama Pertamina 2009-2014 itu. Total hukuman denda yang dijatuhkan kepadanya yakni Rp650 juta subsidair 6 bulan kurungan. 

  • KPK Buka Peluang Mintai Keterangan Nadiem Makarim di Kasus Google Cloud
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        31 Juli 2025

    KPK Buka Peluang Mintai Keterangan Nadiem Makarim di Kasus Google Cloud Nasional 31 Juli 2025

    KPK Buka Peluang Mintai Keterangan Nadiem Makarim di Kasus Google Cloud
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Usai memintai keterangan mantan staf khusus Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (
    Mendikbudristek
    ), Fiona Handayani, Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) membuka peluang untuk memanggil mantan
    Nadiem Makarim
    .
    Diketahui, Fiona adalah mantan staf khusus (stafsus) Nadiem saat menjabat sebagai Mendikbudristek.
    “Semua terbuka kemungkinan,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat ditanya soal kemungkinan Nadiem diperiksa, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (30/7/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    Menurut Budi, KPK membuka peluang untuk melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait yang diduga mengetahui konstruksi perkara, terutama dalam penyelidikan dugaan korupsi dalam pengadaan
    Google Cloud
    di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (
    Kemendikbudristek
    ).
    Sebagaimana diberitakan, KPK memintai keterangan Fiona terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Google Cloud pada Rabu, 30 Juli 2025.
    Namun, Fiona yang terlihat mengenakan kemeja batik dan celana kain hitam serta membawa tas ransel berwarna coklat itu bungkam saat ditanya soal pemeriksaannya.
    Dengan dibantu dua orang petugas KPK, Fiona yang nampak melempar senyuman memilih terus berjalan meninggalkan Gedung Merah Putih menuju taksi.
    Diketahui, KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Google Cloud dan di Kemendikbudristek yang terjadi saat pandemi Covid-19.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, pengadaan Google Cloud dilakukan untuk menyimpan data dari seluruh sekolah di Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan belajar secara daring.
    “Waktu itu kita ingat zaman Covid-19, ya pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran daring. Tugas-tugas anak-anak kita yang sedang belajar dan lain-lain, kemudian hasil ujian, itu datanya disimpan dalam bentuk cloud. Google Cloud-nya,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta pada 24 Juli 2025.
    Asep mengatakan, penyimpanan data tersebut sangat besar sehingga harus dilakukan pembayaran terhadap Google Cloud.
    Menurut Asep, proses pembayaran tersebut yang tengah diselidiki oleh KPK.
    “Di Google Cloud itu kita kan bayar, nah ini yang sedang kita dalami,” ujar Asep.
    Asep juga mengatakan, kasus pengadaan Google Cloud di Kemendikbudristek tersebut berbeda dengan kasus pengadaan Laptop Chromebook yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
    “Berbeda. Kenapa? Kalau Chromebook adalah pengadaan perangkat kerasnya, hardware-nya. Kalau Google Cloud itu adalah salah satu
    software
    -nya,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Tolak Bubarkan Kompolnas yang Dinilai Pemohon Tak Profesional
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 Juli 2025

    MK Tolak Bubarkan Kompolnas yang Dinilai Pemohon Tak Profesional Nasional 30 Juli 2025

    MK Tolak Bubarkan Kompolnas yang Dinilai Pemohon Tak Profesional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) menyatakan, dasar hukum pembentukan
    Komisi Kepolisian Nasional
    (
    Kompolnas
    ) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka MK menolak pembubaran Kompolnas.
    “Anggapan tidak profesionalnya penanganan pengaduan oleh Kompolnas, seandainya anggapan demikian memang benar terjadi, maka dalam batas penalaran yang wajar adalah tidak tepat jika solusinya berupa memohon kepada Mahkamah untuk ‘membubarkan Kompolnas’ dengan cara menyatakan norma Pasal 37 Ayat (2) UU 2 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” ujar hakim MK, Guntur Hamzah, dalam sidang di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).
    MK mengetok Putusan 103/PUU-XXIII/2025 merespons permohonan agar Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    Adapun Pasal itu menyatakan, Kompolnas dibentuk berdasarkan
    Keputusan Presiden
    (Keppres).
    “Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang.
    “Menolak permohonan Pemohon II dan Pemohon III untuk seluruhnya,” lanjut Suhartoyo.
    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan, meskipun pembentukan Kompolnas tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bukan berarti lembaga itu inkonstitusional.
    Guntur juga menyebut, inkonstitusional atau tidaknya suatu lembaga tidak bisa diukur semata-mata dari maksimal atau tidaknya mereka menjalankan kewenangan.
    Adapun para pemohon mendalilkan keberadaan Kompolnas yang gagal menindaklanjuti aduan secara serius, tidak melindungi korban, tidak independen, hingga gagal menjembatani konflik masyarakat dengan Polri serta hanya sekadar menjadi event organizer Polri.
    Padahal, Kompolnas memiliki kedudukan sebagai pengawas Polri.
    Hakim Guntur Hamzah menyebut kondisi tersebut tidak lantas membuat Kompolnas bertentangan dengan
    UUD 1945
    .
    Sementara, persoalan pembentukan Kompolnas berdasarkan Keppres, hal itu merupakan kebijakan pembentuk undang-undang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Cecar Eks Stafsus Nadiem Makarim Terkait Penyelidikan Kasus Google Cloud

    KPK Cecar Eks Stafsus Nadiem Makarim Terkait Penyelidikan Kasus Google Cloud

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan mantan Staf Khusus Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, Fiona Handayani terkait dengan penyelidikan dugaan korupsi pengadaan Google Cloud. 

    Fiona dipanggil untuk dimintai keterangan atas proyek pengadaan di lingkungan Kemendikburistek itu, Rabu (30/7/2025). 

    “Benar ada pemeriksaan tersebut,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Rabu (30/7/2025). 

    Meski demikian, Budi enggan memerinci lebih lanjut ihwal permintaan keterangan kepada mantan anak buah Nadiem itu. Dia menyebut perkara itu masih di dalam tahap penyelidikan, di mana penegak hukum masih dalam tahap mencari peristiwa pidana. 

    “Namun, karena masih tahap penyelidikan tentu belum bisa kami sampaikan secara rinci,” jelas Budi.

    Pada perkembangan lain, Fiona sebelumnya telah diperiksa sebagai saksi pada penyidikan dugaan korupsi pengadaan Chromebook di lingkungan Kemendibukbudristek 2019-2022. Pengadaan itu berkaitan dengan program digitalisasi pendidikan, yang saat ini diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). 

    Bedanya, perkara pengadaan Chromebook di Kejagung sudah naik ke tahap penyidikan. Korps Adhyaksa juga telah menetapkan empat orang tersangka. 

    Sementara itu, pada penyelidikan kasus Google Cloud, KPK masih berupaya mencari peristiwa pidana dan meminta keterangan maupun klarifikasi dari berbagai pihak. 

    Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengonfirmasi bahwa tim penyelidiknya tengah mencari peristiwa pidana pada pengadaan layanan komputasi awan di kementerian tersebut. 

    “Ini masih penyelidikan jadi saya belum bisa menyampaikan secara gamblang,” ujarnya pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (17/7/2025). 

    Asep menyebut penyelidikan terhadap pengadaan Google Cloud itu berbeda dengan yang ditangani oleh Kejagung. 

    “Chromebook-nya udah pisah ada Google Cloud dan lain-lain bagian dari itu,” tuturnya.

  • KPK Dalami Dugaan Perintah dari Atasan Terkait Suap PUPR, Bobby Nasution Disorot

    KPK Dalami Dugaan Perintah dari Atasan Terkait Suap PUPR, Bobby Nasution Disorot

    GELORA.CO –  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap perkembangan mengejutkan dalam penyelidikan kasus dugaan suap yang menjerat mantan Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Ginting.

    Dalam pernyataan terbarunya, KPK secara terang-terangan menyebut adanya indikasi bahwa Topan tidak bertindak sendiri, dan ada pihak lain yang memberikan perintah kepadanya untuk menerima suap.

    Pernyataan tersebut disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam ekspos perkara pada Jumat, 25 Juli 2025.

    “Kami menduga Topan tidak sendirian. Kami sedang mendalami dengan siapa dia berkoordinasi atau siapa yang memberi perintah kepada dia,” kata Asep.

    Pernyataan ini langsung memicu spekulasi luas di publik, khususnya karena Topan diketahui merupakan orang dekat Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, yang tak lain adalah menantu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

    Hubungan dekat antara keduanya sudah terjalin sejak masa Bobby menjabat Wali Kota Medan, di mana Topan menempati posisi strategis sebagai camat, lalu menjabat Kepala Dinas PU Kota Medan, hingga akhirnya dibawa ke level provinsi ketika Bobby dilantik sebagai gubernur.

    Topan Ditangkap Tangan, Uang Suap Diduga Mengalir ke Pejabat Lain

    Topan ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada akhir Juni 2025, dan diduga menerima suap sebesar Rp8 miliar terkait proyek infrastruktur jalan.

    Dari jumlah tersebut, KPK mengidentifikasi aliran dana dalam bentuk tunai dan transfer, dengan sisa uang sekitar Rp231 juta yang masih ditelusuri.

    KPK menyatakan bahwa pihaknya sedang menelusuri aliran dana, termasuk kemungkinan uang tersebut mengalir ke atasan Topan.

    Dalam pemeriksaan lanjutan, sejumlah nama telah dipanggil sebagai saksi, antara lain:

    AKBP Yasir Ahmadi, Kapolres Tapanuli Selatan, untuk mendalami informasi soal aliran dana.

    Muhammad Iqbal, Kepala Kejari Mandailing Natal.

    Muhammad Jafar Suhairi, mantan Bupati Mandailing Natal.

    Ahmad Effendi Pohan, mantan Pj Sekda Sumut.

    Istri Topan Obaja Ginting, terkait dugaan aliran dana sebesar Rp2,8 miliar.

    Namun, nama Gubernur Bobby Nasution belum muncul secara resmi dalam daftar pemeriksaan, meskipun Asep Guntur sebelumnya menyatakan bahwa KPK tidak akan ragu memanggil siapapun jika ditemukan indikasi keterlibatan, termasuk gubernur.

    Dalam konteks politik, kasus ini berkembang menjadi ujian besar bagi independensi KPK.

    Pasalnya, Bobby Nasution merupakan bagian dari lingkaran keluarga Presiden Joko Widodo, yang dinilai masih memiliki pengaruh kuat di berbagai lembaga penegak hukum, meskipun masa jabatannya sebagai presiden telah berakhir.

    Pakar hukum dan pengamat antikorupsi menilai, jika benar ada keterlibatan Bobby Nasution atau pihak di lingkarannya, maka KPK perlu membuktikan bahwa mereka tidak berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.

    Banyak pihak menyoroti kasus ini sebagai “ujian kesaktian KPK dan uji pengaruh Jokowi pasca-kepresidenan.”

    Sementara itu, Bobby Nasution sendiri telah menanggapi dengan menyatakan siap bekerja sama dengan penyidik jika diperlukan, dan menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan bawahan untuk menerima suap.

    Ia juga mengaku terkejut karena dalam empat bulan awal pemerintahannya sebagai Gubernur Sumut, sudah tiga pejabat di bawahnya ditangkap KPK.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa penyidik masih mendalami siapa pihak yang diduga memberikan perintah kepada Topan Obaja Ginting.

    Ia menyebut bahwa proses penyidikan masih berjalan dan belum ada batas waktu yang ditentukan.

    Pemeriksaan terhadap saksi-saksi juga terus dilakukan untuk mengumpulkan bukti tambahan.

    “Proses pendalaman terus berjalan. Penyidik bekerja sama dengan PPATK untuk menelusuri aliran dana, dan kami tidak akan mengesampingkan siapapun jika ditemukan cukup bukti,” ujarnya.

    Kasus ini membuka babak baru dalam dinamika pemberantasan korupsi di daerah dan menjadi sorotan publik nasional.

    Jika benar terdapat keterlibatan tokoh-tokoh besar, termasuk Gubernur Bobby Nasution, maka KPK dituntut untuk bertindak berani, transparan, dan objektif, tanpa terpengaruh oleh tekanan politik maupun dinasti kekuasaan.

    Publik kini menanti langkah tegas selanjutnya dari KPK: apakah benar akan memanggil atau bahkan menetapkan Bobby Nasution sebagai tersangka, ataukah kasus ini akan kembali tenggelam seperti kasus-kasus politik besar lainnya.

  • KPK Sebut Ridwan Kamil Bakal Secepatnya Dipanggil Terkait Kasus Bank BJB
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Juli 2025

    KPK Sebut Ridwan Kamil Bakal Secepatnya Dipanggil Terkait Kasus Bank BJB Nasional 28 Juli 2025

    KPK Sebut Ridwan Kamil Bakal Secepatnya Dipanggil Terkait Kasus Bank BJB
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menyebut, bakal secepatnya memanggil mantan Gubernur Jawa Barat,
    Ridwan Kamil
    , untuk diperiksa dalam kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan iklan pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) periode 2021–2023.
    “Secepatnya ya,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/7/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    Kemudian, Budi mengungkapkan, KPK masih terus melakukan pemeriksaan agar konstruksi perkara proyek pengadaan iklan di Bank BJB itu semakin terang.
    “Beberapa pihak sudah dilakukan pemanggilan, dimintai keterangan, dan tentu untuk melengkapi kebutuhan penyidik ya, yakni informasi dan keterangan yang dibutuhkan. Dengan demikian, konstruksi perkara ini menjadi terang,” katanya.
    Diketahui, KPK tidak kunjung memeriksa Ridwan Kamil. Padahal, lembaga antikorupsi itu sudah menyita sejumlah barang saat menggeledah rumah pria yang karib disapa Kang Emil itu pada 10 Maret 2025.
    Namun, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu sebelumnya menyebut bahwa Ridwan Kamil bakal diperiksa dalam waktu dekat.
    “Insya Allah dalam waktu dekat,” kata Asep Guntur pada 23 April 2025, dikutip dari
    Antaranews
    .
    Namun, Asep menjelaskan bahwa pemeriksaan Ridwan Kamil membutuhkan waktu karena penyidik masih menggali informasi untuk nanti ditanyakan kepada politikus Partai Golkar tersebut.
    Pasalnya, KPK menyita sejumlah barang dari Ridwan Kamil. Salah satunya adalah motor Royal Enfield.
    Diketahui, rumah Ridwan Kamil di Bandung, Jawa Barat, digeledah KPK terkait kasus dugaan korupsi di Bank BJB pada Senin, 10 Maret 2025.
    Dari upaya penggeledahan tersebut, KPK menyita motor bermerek Royal Enfield.
    Kemudian, pada 24 April 2025, motor tersebut telah dipindahkan ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) KPK di Jakarta.
    Motor itu kemudian diperlihatkan kepada para jurnalis di Rupbasan KPK, Jakarta, pada 25 April 2025.
    Selain itu, KPK diketahui juga menyita mobil Mercedes Benz yang dari Ridwan Kamil.
    Saat itu, mobil mewah tersebut dititipkan KPK di bengkel di Jawa Barat. Tetapi, mobil itu diklaim tidak mengalami kerusakan.
    Sementara itu, dalam perkara ini, KPK telah menetapkan lima orang tersangka, yakni Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi (YR) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Kepala Divisi Corsec Bank BJB Widi Hartoto (WH).
    Kemudian, pengendali agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri Ikin Asikin Dulmanan (IAD); pengendali agensi BSC Advertising dan Wahana Semesta Bandung Ekspress Suhendrik (S); dan pengendali Cipta Karya Sukses Bersama Sophan Jaya Kusuma (SJK).
    Kelimanya disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
    Penyidik KPK memperkirakan kerugian negara akibat dugaan korupsi di Bank BJB tersebut sekitar Rp 222 miliar.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.