Duduk Perkara ASN Kemenhub Jadi Tersangka Korupsi Proyek DJKA di Medan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengaturan pemenangan dan pemeliharaan proyek kereta api Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) di Medan pada Senin (1/12/2025).
Mereka adalah Muhlis Hanggani Capah, selaku ASN pada Direktorat Keselamatan Perkeretaapian DJKA Kemenhub RI sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Balai Teknik Perkeretaapian
Medan
tahun 2021-Mei 2024, dan Eddy Kurniawan Winarto, selaku wiraswasta.
“Berdasarkan kecukupan alat bukti,
KPK
menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap dua tersangka EKW (Eddy Kurniawan Winarto) selaku wiraswasta dan MHC (Muhlis Hanggani Capah) selaku ASN Direktorat Keselamatan Perkeretaapian DJKA Kemenhub RI sekaligus PPK di Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2021-Mei 2024,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin.
Asep mengatakan, kasus bermula saat Muhlis bersama stafnya melakukan pengkondisian paket pekerjaan Pembangunan Emplasemen dan Bangunan Stasiun Medan Tahap II (JLKAMB) dengan modus “asistensi” di beberapa lokasi, baik sebelum maupun pada saat proses lelang.
Kemudian, Muhlis selaku PPK dan perpanjangan tangan dari tersangka sekaligus Direktur Prasarana Harno Trimadi memberikan arahan kepada Ketua Kelompok Kerja (Pokja) berupa list/plotting penyedia jasa yang akan dimenangkan saat lelang sebagai atensi.
Lalu, sebelum pelaksanaan lelang JLKAMB, KPK menemukan kegiatan dengan modus “asistensi” yang dihadiri oleh perwakilan penyedia jasa/rekanan yang akan dimenangkan untuk seluruh paket pekerjaan.
“Termasuk dari pihak Kemenhub untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan dokumen prakualifikasi yang disiapkan oleh calon penyedia jasa,” ujarnya.
Asep mengatakan, Direktur PT Istana Putra Agung, Dion Renato Sugiarto memerintahkan stafnya, yaitu Wisnu Argo Megantoro alias Wisnu, untuk mengikuti kegiatan pertemuan persiapan lelang paket pekerjaan antara satuan kerja pelaksana BTP Sumatera Bagian Utara yang dilaksanakan di salah satu hotel di Kota Bandung.
“Pertemuan tersebut membahas tentang dokumen kualifikasi perusahaan yang akan dimasukkan dalam dokumen penawaran. Wisnu dan tim mengingat posisi perusahaan adalah member dalam KSO yang bertugas untuk menyusun metode pekerjaan,” ungkap Asep.
Asep mengatakan, dalam proses penyusunan metode pekerjaan, PT Waskita Karya meminta Wisnu untuk tetap berkomunikasi dengan perwakilan yang sudah ditunjuk, yakni Afong.
Berdasarkan rekap pengeluaran perusahaan yang dikendalikan Dion Renato Sugiarto untuk pihak eksternal, termasuk untuk Pokja dan BPK, terdapat pengeluaran untuk Muhlis sebesar Rp 1,1 miliar yang diberikan pada 2022 dan 2023.
“Kemudian, untuk kepentingan Eddy sebesar Rp 11,23 miliar yang diberikan pada September-Oktober 2022 secara transfer ke rekening yang telah ditentukan Eddy,” ujarnya.
Selanjutnya, Dion Renato Sugiarto dan rekanan lainnya memberikan fee kepada Muhlis, karena khawatir tidak akan menang lelang paket proyek pekerjaan tersebut.
“Sementara alasan DRS (Dion Renato) maupun rekanan lainnya mau memberikan fee kepada EKW (Eddy) karena memiliki kewenangan terhadap proses lelang, pengendalian dan pengawasan kontrak pekerjaan, maupun pemeriksaan keuangan pekerjaan, serta dekat dengan pejabat di Kemenhub,” ucap dia.
KPK selanjutnya melakukan penahanan terhadap kedua tersangka selama 1-20 Desember 2025 di Cabang Rumah Tahanan Negara dari Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur.
Akibat perbuatannya, kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan 16 tersangka pada 13 April 2023.
Mereka yang menerima suap di antaranya, Direktur Prasarana Perkeretaapian, Harno Trimadi, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan.
Kepala BTP Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya, PPK BTP Jawa Bagian Barat, Syntho Pirjani Hutabarat, PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan, Achmad Affandi, PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadilansyah, lalu, Budi Prasetyo selaku Ketua Pokja Pengadaan, Hardho selaku Sekretaris Pokja Pengadaan, Edi Purnomo selaku anggota Pokja Pengadaan, dan Risna Sutriyanto selaku Ketua Pokja proyek pembangunan Jalur Ganda KA antara Solo Balapan-Kadipiro.
Mereka pemberi suap di antaranya, Dion Renato Sugiarto selaku Direktur PT IPA (Istana Putra Agung), Muchamad Hikmat selaku Direktur PT DF (Dwifarita Fajarkharisma), Yoseph Ibrahim selaku Direktur PT KA Manajemen Properti sd Februari 2023, Parjono selaku VP PT KA Manajemen Properti.
Kemudian, Asta Danika selaku Direktur PT Bhakti Karya Utama, dan Zulfikar Fahmi selaku Direktur PT Putra Kharisma Sejahtera (PKS).
KPK menduga para pelaku dalam perkara ini merekayasa proses administrasi hingga penentuan proyek pemenang tender.
KPK lantas mengendus sejumlah penyelenggara negara di DJKA, Kemenhub, yang menerima suap dari pengusaha yang menjadi pelaksana proyek.
“Yaitu sekitar 5 sampai dengan 10 persen dari nilai proyek,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Guntur
-

KPK Kirim Penyidik ke Arab Saudi untuk Usut Korupsi Penyelenggaraan Haji
Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tiba di Arab Saudi untuk mengusut kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan ibadah haji di Kementerian Agama RI pada tahun 2023–2024.
“Penyidik sudah berada di sana,” kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dikutip dari Antara, Selasa (2/12/2025).
Selama berada di Arab Saudi, Asep mengatakan, penyidik KPK pertama mengunjungi Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia dan kemudian Kantor Kementerian Haji Arab Saudi.
“Kenapa ke Kementerian Haji Arab Saudi? Ya, tentunya berkaitan dengan masalah pemberian kuota hajinya, kemudian juga ketersediaan fasilitas, dan lain-lainnya ya. Itu secara umumnya,” kata dia.
Menurut dia, penyidik KPK akan berada di Arab Saudi sampai sepekan mendatang untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang dibutuhkan untuk mengusut dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan ibadah haji.
“Mungkin satu mingguan lagi ya di sana,” katanya.
KPK pada pada 9 Agustus 2025 mengumumkan dimulainya penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pemanfaatan kuota haji.
Dalam penanganan perkara korupsi itu, KPK telah mencegah mantan menteri agama Yaqut Cholil Qoumas, Ishfah Abidal Aziz alias Gus Alex yang menjadi staf khusus saat Yaqut menjabat sebagai menteri agama, serta pemilik biro Maktour, Fuad Hasan Masyhur, bepergian ke luar negeri.
Pada 18 September 2025, KPK menyampaikan bahwa 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji diduga terlibat kasus korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan ibadah haji.
Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya menyatakan menemukan kejanggalan dalam penyelenggaraan pelayanan ibadah haji tahun 2024.
DPR antara lain menyoroti pemanfaatan kuota haji tambahan masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, yang dinilai tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Menurut ketentuan itu, persentase kuota untuk haji khusus seharusnya delapan persen dan persentase kuota untuk haji reguler semestinya 92 persen.
-

Beda Kegiatan Mantan Presiden Setelah Pensiun, Megawati-SBY Nikmati Hobi, Jokowi Sibuk Klarifikasi?
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Juru Bicara PDIP, Mohamad Guntur Romli, menyinggung aktivitas para Kepala Negara saat purna tugas.
Dikatakan Guntur, ada perbedaan yang terbilang jauh di antara aktivitas para mantan Kepala Negara.
“Kegiatan sehari-hari Presiden Republik Indonesia ke-5, 6, dan 7 setelah purnatugas,” ujar di X @GunRomli (1/12/2025).
Ia memulai dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri. Guntur mengatakan bahwa putri Presiden pertama itu belakangan ini rajin tanam pohon dan menjadi pemerhati lingkungan.
Jika Megawati sibuk mengurus lingkungan, kata Guntur, Presiden ke-6 memilih menghabiskan siswa waktunya dengan melukis.
Adapun Presiden ke-7, Jokowi, Guntur melihatnya belakangan ini sibuk memberikan klarifikasi.
Mulai dari proyek peninggalannya yang diduga sarat masalah hingga dugaan ijazah palsu miliknya yang terus berpolemik.
Teranyar, Jokowi disebut sebagai sosok yang paling bertanggungjawab atas adanya bandara yang diduga ilegal di Morowali.
“Semoga semuanya diberi kesehatan, kekuatan, dan umur panjang untuk terus melakukan kegiatan masing-masing,” tandasnya.
Polemik yang paling melelahkan bagi Jokowi salah satunya terkait ijazah. Hingga saat ini Roy Suryo Cs belum menyerah dalam perdebatan tersebut.
Baru-baru ini, Pengacara Roy Suryo cs, Ahmad Khozinudin, menanggapi wacana penyelesaian kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi melalui mekanisme mediasi penal maupun abolisi.
Ia menganggap usulan tersebut tidak bisa diterapkan karena perkara ini merupakan ranah hukum publik, bukan sengketa personal.
-
/data/photo/2025/02/06/67a45a2ba11d0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR Nasional 28 November 2025
Kegerahan Rakyat dan “Recall” Anggota DPR
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
KEGERAHAN
publik terhadap kinerja sebagian anggota DPR sesungguhnya bukan gejala baru, tapi akumulasi frustrasi yang makin mengental seiring makin tertutupnya mekanisme koreksi terhadap para wakil rakyat.
Demokrasi elektoral memberi ruang bagi rakyat untuk memilih, tetapi nyaris tidak memberi kanal bagi rakyat untuk menghentikan wakil yang gagal, abai, atau bahkan
nyeleneh
dalam menjalankan mandat.
Di tengah defisit akuntabilitas ini, gugatan terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d
UU MD3
ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi wujud kepedulian publik—khususnya generasi muda—untuk menuntut kembalinya logika dasar demokrasi: bahwa mandat berasal dari rakyat, dan seharusnya dapat dicabut oleh rakyat.
Dalam putusannya, MK menolak permohonan tersebut dan mempertahankan bahwa kewenangan pemberhentian antarwaktu (PAW) adalah hak penuh partai politik.
MK beralasan mekanisme
recall
merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilu yang berbasis partai, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945.
“Pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau DPRD dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pleno (
Kompas.com
, 27 November 2025).
MK menegaskan bahwa evaluasi publik atas anggota parlemen “cukup” dilakukan setiap lima tahun melalui pemilu, bukan melalui mekanisme
recall
oleh pemilih.
Kendati demikian, respons hukum tersebut justru memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya.
Dengan mempertahankan monopoli
recall
di tangan partai politik, MK secara tidak langsung menempatkan rakyat sebagai subjek pasif demokrasi—pemilih hanya aktif sekali dalam lima tahun, lalu kehilangan daya tawar ketika wakilnya bertindak di luar mandat moral dan politik yang dulu dijanjikan.
Padahal, pengalaman empiris menunjukkan partai politik sering kali menggunakan PAW sebagai alat kontrol internal, bukan sebagai mekanisme akuntabilitas publik.
Kegerahan rakyat terhadap perilaku anggota DPR yang
nyeleneh
tidak menemukan saluran konstitusional memadai, sementara gugatan seperti perkara 199/PUU-XXIII/2025 justru dipatahkan oleh tafsir yang menempatkan stabilitas prosedural di atas kedaulatan substantif.
Persoalan
recall
hanyalah salah satu wajah dari ketidaksinkronan struktural yang lebih dalam dalam UU MD3.
Sejak DPRD dipindahkan pengaturannya sepenuhnya ke dalam UU Pemerintahan Daerah, kedudukannya tidak lagi sejajar dengan DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan dalam satu rumpun yang sama.
Namun, UU MD3 tetap mempertahankan struktur lama seolah tidak ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan.
Akibatnya, undang-undang ini mengatur entitas yang secara yuridis sudah berada dalam rezim berbeda.
Kekeliruan konseptual seperti ini membuat MD3 kehilangan ketepatan desain dan tidak lagi mencerminkan arsitektur politik yang berjalan.
Inkonsistensi ini semakin tampak ketika dilihat dari fungsi dan hubungan antarlembaga. DPRD kini berada dalam tata kelola pemerintahan daerah, bukan dalam relasi legislasi nasional sebagaimana DPR dan DPD.
Namun, MD3 tetap menyajikan seluruhnya dalam satu paket. Ketika satu institusi telah berpindah “rumah yuridis”, sementara kerangka UU-nya dibiarkan, yang muncul adalah regulasi saling tumpang tindih dan sulit dibenarkan secara sistematik.
Undang-undangnya bicara satu hal, struktur ketatanegaraannya berjalan dengan logika lain. Kesenjangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai peran, fungsi, dan relasi kekuasaan antar-lembaga.
Di tengah kekacauan desain seperti itu, tidak mengherankan jika mekanisme akuntabilitas yang lahir dari MD3 juga tidak bekerja optimal.
Ketika fondasi regulasinya saja tidak presisi, mekanisme seperti
recall
mudah terjebak dalam logika organisasi politik ketimbang logika kedaulatan rakyat.
Alih-alih memperbaiki struktur MD3 agar sesuai dengan konfigurasi kelembagaan saat ini, negara justru mempertahankan skema
recall
yang tersentralisasi di tangan partai politik.
Ketidaksinkronan inilah yang mempersempit ruang rakyat untuk mengoreksi wakilnya, sementara undang-undang yang seharusnya menjadi kerangka representasi justru semakin jauh dari prinsip dasar demokrasi.
Kegerahan rakyat terhadap
wakil rakyat
sebenarnya lahir dari ketimpangan yang sangat mendasar: rakyat memiliki hak memilih, tetapi hampir tidak memiliki hak untuk mengoreksi ketika wakilnya melenceng.
Ketika perilaku anggota DPR yang abai, tidak etis, atau bahkan
nyeleneh
muncul ke permukaan, publik hanya bisa menyuarakan kemarahan melalui media sosial, petisi, atau aksi jalanan—tanpa satu pun mekanisme konstitusional yang benar-benar mengaitkan suara tersebut dengan keberlanjutan mandat wakil rakyat.
Dalam suasana seperti ini, kegerahan publik berubah menjadi frustrasi yang tertahan, karena tidak ada jalur formal yang memberikan dampak langsung pada kedudukan sang wakil.
Di sinilah gugatan terhadap UU MD3 menemukan konteks sosiologisnya. Publik tidak sedang mencari sensasi, apalagi ingin mengganggu stabilitas politik; mereka sedang menuntut agar hubungan wakil–diwakili tidak berhenti pada momen pencoblosan.
Kegerahan rakyat yang terus berulang menunjukkan bahwa demokrasi elektoral lima tahunan tidak cukup untuk menjamin akuntabilitas.
Ketika wakil rakyat sudah jauh dari ekspektasi konstituen, logika demokrasi mestinya memberi ruang agar rakyat bisa bertindak.
Namun, mekanisme yang tersedia saat ini justru memaksa publik untuk bergantung pada partai politik—institusi yang tidak selalu memiliki insentif untuk merespons aspirasi akar rumput.
Ketiadaan kanal pelampiasan yang efektif membuat kegerahan rakyat berubah menjadi krisis kepercayaan. Publik melihat bagaimana sebagian anggota DPR bertindak seenaknya, namun tidak pernah tersentuh koreksi karena recall dikunci di tangan partai politik.
Sementara itu, imbauan bahwa rakyat “cukup” menunggu pemilu berikutnya terasa mengabaikan realitas: penyimpangan mandat terjadi hari ini, dampaknya dirasakan hari ini, tetapi mekanisme koreksinya baru boleh dilakukan lima tahun kemudian.
Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kegelisahan rakyat memuncak—sebab negara tidak menyediakan instrumen yang memadai untuk memastikan bahwa mandat yang diberikan dengan susah payah dapat dicabut ketika dikhianati.
Kegerahan rakyat terhadap wakilnya sejatinya merupakan cermin dari struktur politik yang menempatkan pemilih hanya sebagai ‘sumber legitimasi awal’, tetapi tidak sebagai pengendali keberlanjutan mandat.
Ketika rakyat tidak memiliki instrumen koreksi yang memadai, sementara perilaku wakil rakyat dapat melenceng kapan saja, relasi representasi berubah menjadi hubungan satu arah: rakyat memberikan mandat, tetapi kehilangan otoritas untuk mencabutnya.
Dalam konfigurasi semacam ini, kekuasaan legislatif menjadi semakin terlepas dari kontrol publik karena mekanisme
recall
dikuasai partai politik, bukan oleh pihak yang menjadi sumber legitimasi sesungguhnya.
Dalam kondisi tersebut, anggapan bahwa pemilu lima tahunan merupakan jalan evaluasi yang memadai justru memperlihatkan kegagalan membaca dinamika penyimpangan mandat.
Penyimpangan tidak menunggu pergantian periode; melainkan muncul dalam kejadian sehari-hari, melalui tindakan yang merugikan publik, melanggar etika, atau menunjukkan ketidakmampuan menjalankan fungsi representasi.
Memaksa rakyat menunggu lima tahun untuk mengoreksi perilaku demikian bukan hanya tidak logis, tetapi juga menormalisasi ketimpangan kekuasaan.
Waktu menjadi perisai bagi wakil rakyat, sementara kegerahan rakyat tidak memiliki signifikansi hukum apa pun.
Maka, reformasi MD3 harus mengarah pada pemulihan kontrol rakyat, bukan sekadar merapikan struktur yang sudah lama tidak sinkron.
Mekanisme
recall
oleh pemilih seharusnya dipahami sebagai instrumen kedaulatan, bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.
Tanpa kanal yang memungkinkan rakyat mencabut mandat ketika terjadi penyimpangan, demokrasi hanya berfungsi sebagai rangkaian prosedur yang menyamarkan dominasi partai politik di balik retorika perwakilan.
Kegerahan yang terus berulang adalah indikator bahwa demokrasi elektoral sedang kehilangan substansinya, dan bahwa pembenahan menyeluruh diperlukan untuk memastikan mandat publik tidak lagi dibiarkan tergantung pada kalkulasi internal partai, melainkan kembali berada di tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5369186/original/042436100_1759457389-WhatsApp_Image_2025-10-02_at_19.35.55.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Rakyat Boleh Protes ke Partai Politik jika Anggota DPR Tak Layak
Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen di daerah pemilihan, diberikan hak untuk mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPR.
Mahkamah menilai dalil permohonan para pemohon tidak beralasan hukum. Menurut MK, keinginan para pemohon agar konstituen diberikan hak untuk memberhentikan anggota dewan tidak selaras dengan konsep demokrasi perwakilan.
Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum mengatakan, Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.
Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi logisnya, mekanisme pemberhentian antarwaktu (recall) terhadap anggota DPR maupun DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik. Mekanisme yang demikian, ucap dia, merupakan wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan.
“Keinginan para pemohon agar konstituen di daerah pemilihan diberi hak yang sama dengan partai politik sehingga dapat mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPR dan anggota DPRD, pada dasarnya tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan,” katanya.
Di samping itu, secara teknis, Mahkamah menyebut permohonan para pemohon sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang di daerah pemilihan yang bersangkutan. MK menilai hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Karena tidak dapat dipastikan pemilih yang pernah memberikan hak pilihnya kepada anggota DPR dan anggota DPRD yang akan diberhentikan pada waktu dilaksanakan pemilihan umum,” imbuh Guntur.
/data/photo/2025/12/01/692d9e77ad530.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)




