kab/kota: Garut

  • Penyebab Keracunan MBG Dibeberkan Profesor Eks Direktur WHO

    Penyebab Keracunan MBG Dibeberkan Profesor Eks Direktur WHO

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menyoroti potensi masalah dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dapat berujung pada kasus keracunan massal.

    Ia menekankan bahwa insiden keracunan pangan sejatinya bisa terjadi di negara mana pun, bukan hanya terkait dengan program MBG di Indonesia.

    Menurut Tjandra, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengidentifikasi sedikitnya ada lima faktor yang dapat diuji di laboratorium untuk memastikan penyebab keracunan makanan.

    “Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini, ujar Tjandra dari keterangan tertulis, dikutip Senin (29/9/2025).

    Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.

    Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.

    Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.

    Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan.

    “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.

    Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

    Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

    “Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.

    Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

    Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

    “Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.

    Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.

    Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.

    Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.

    “Berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi,” kata Ryan kepada detikJabar.

    “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.

    Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.

    Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.

    “Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi hasilnya berbeda-beda, secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.

    Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh.

    “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Terungkap Bakteri ‘Biang Kerok’ Keracunan MBG di Bandung Barat

    Terungkap Bakteri ‘Biang Kerok’ Keracunan MBG di Bandung Barat

    Jakarta

    Sebanyak 1.333 orang lebih menjadi korban keracunan akibat Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat (KBB). Ternyata keracunan ini disebabkan oleh bakteri.

    Keracunan massal ini terjadi setelah para korban menyantap MBG di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, hingga penghitungan Jumat (26/9/2025). Selain di Bandung Barat, sebanyak 657 orang mengalami gejala keracunan akibat mengonsumsi MBG di Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.

    Para korban keracunan pun beberapa sempat dipulangkan. Namun, ada pula korban yang datang kembali karena gejala muncul lagi.

    “Jadi semalam kami temukan 4 pasien KLB keracunan yang datang lagi padahal sebelumnya sudah dinyatakan membaik. Kebetulan saya kan ikut menangani langsung, jadi saya juga hafal betul wajahnya,” ujar Plt Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat Lia N. Sukandar dilansir detikJabar, Jumat (26/9/2025).

    Setelah dilakukan penanganan medis, petugas kemudian melakukan anamnesa terhadap pasien tersebut. Anamnesa atau pengumpulan informasi medis melalui wawancara dengan pasien mengemukakan fakta bahwa penyebab gejala berulang itu karena keawaman pasien dan keluarga.

    “Jadi setelah kita tanya, mereka makan apa di rumah karena kan kita tidak tahu. Ternyata ada yang dikasih jeruk, terus makan ayam goreng, nah apakah itu beli atau masak sendiri kan kita nggak tahu. Jadi hal-hal itu yang membuat mereka bergejala lagi,” kata Lia.

    Petugas Siaga

    Dia pun menginstruksikan semua petugas yang siaga di posko penanganan GOR Kecamatan Cipongkor serta tempat penanganan pasien KLB keracunan lainnya agar mengedukasi pasien dan keluarganya soal apa yang boleh dikonsumsi di rumah setelah dinyatakan membaik.

    “Jadi saya sudah wanti-wanti ke petugas agar mengedukasi pasien bahwa ketika pulang dan dinyatakan membaik itu jangan makan yang macam-macam dulu. Cukup makan bubur saja dan harus yang dimasak sendiri,” ujar Lia.

    Saat ini di posko penanganan GOR Kecamatan Cipongkor tersisa 12 pasien keracunan massal. Ia siaga menerima pasien baru maupun pasien dengan gejala berulang.

    Bakteri Jadi Penyebab Keracunan

    Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat mengungkapkan penyebab 1.333 orang ini. Ternyata penyebabnya karena bakteri Salmonella dan Bacillus cereus.

    Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Labkesda Dinas Kesehatan Jawa Barat dr Ryan Bayusantika Ristandi menyampaikan bahwa bakteri ditemukan dari sampel makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diperiksa tim laboratorium.

    “Hasil pemeriksaan kami menunjukkan adanya bakteri pembusuk, yakni Salmonella dan Bacillus cereus yang berasal dari komponen karbohidrat dalam makanan,” kata Ryan, dilansir Antara, Minggu (28/9/2025).

    Dia menjelaskan, salah satu penyebab utama kontaminasi adalah rentang waktu penyiapan hingga penyajian makanan yang terlalu lama. Hal ini memungkinkan bakteri berkembang biak.

    “Jika makanan disimpan pada suhu ruang lebih dari enam jam, apalagi tanpa pengontrolan suhu yang tepat, risiko tumbuhnya bakteri sangat tinggi,” ujarnya.

    Pentingnya Jaga Higienitas

    Ryan menekankan pentingnya menjaga higienitas dalam proses pengolahan makanan, mulai penggunaan air bersih hingga kebersihan petugas dapur. Dia menyarankan agar makanan disimpan pada suhu di atas 60 derajat Celsius atau di bawah 5 derajat Celsius untuk mencegah pembusukan.

    “Pemasak juga harus mengenakan sarung tangan, pakaian bersih, dan memastikan tidak ada terkontaminasi dari bahan lain,” tuturnya.

    Dinkes Jabar juga mengimbau semua pihak yang terlibat dalam program MBG untuk memperketat protokol keamanan pangan guna mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.

    Halaman 2 dari 4

    (rdp/rdp)

  • Peredaran Narkoba via Online di Garut Dibongkar Polisi: Dua Pelaku Diciduk, 18 Gram Sabu Disita

    Peredaran Narkoba via Online di Garut Dibongkar Polisi: Dua Pelaku Diciduk, 18 Gram Sabu Disita

    Liputan6.com, Jakarta – Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Garut berhasil mengungkap peredaran narkotika jenis sabu dan menangkap dua orang tersangka berinisial EM (45) dan JY (43), yang merupakan warga Garut.

    Keduanya ditangkap di sebuah rumah kontrakan di Jalan Pasopati, Kampung Jaringao, Desa Tambaksari, Kecamatan Leuwigoong, Garut. Dari penggerebekan tersebut, polisi menyita barang bukti sabu seberat 18,88 gram.

    “Polisi menyita sejumlah paket sabu siap edar, alat isap, timbangan digital, serta bukti komunikasi transaksi narkotika melalui aplikasi pesan singkat,” kata Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Garut AKP Usep Sudirman, dikutip dari Antara, Minggu (28/9/2025).

    Ia menyampaikan modus pelaku dalam menjalankan aksi peredarannya dengan cara memanfaatkan jaringan medsos seperti Instragram, selanjutnya paket sabu dikemas rapi dan disembunyikan di beberapa lokasi yang sudah ditentukan untuk diedarkan kembali.

    Pengakuan dua pelaku itu, kata dia, barang sabu didapat dari salah seorang inisial PS sebagai pemasok yang dikenal melalui medsos Instagram, dan saat ini pemasoknya masih dalam pengejaran.

    “Hasil pemeriksaan mengungkap bahwa sabu tersebut diperoleh pelaku dari seseorang berinisial PS yang dikenal melalui media sosial Instagram,” katanya.

     

     

     

  • 10
                    
                        Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Sebagian Besar Masyarakat-Sekolah Berharap MBG Tetap Dilaksanakan
                        Regional

    10 Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Sebagian Besar Masyarakat-Sekolah Berharap MBG Tetap Dilaksanakan Regional

    Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Sebagian Besar Masyarakat-Sekolah Berharap MBG Tetap Dilaksanakan
    Tim Redaksi
    MAJALENGKA, KOMPAS.com
    – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti angkat bicara terkait maraknya kasus keracunan menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
    Abdul Mu’ti menyebut, persoalan tersebut tengah dievaluasi oleh Badan Gizi Nasional (BGN) bersama lintas kementerian agar tidak kembali terulang.
    “Pada prinsipnya kami tetap mendukung, dan sebagian besar masyarakat serta sekolah-sekolah juga mengharapkan MBG tetap dilaksanakan,” kata Abdul Mu’ti saat berkunjung ke Aula BKPSDM Majalengka, Jawa Barat, Minggu (28/9/2025).
    Ia menegaskan, MBG merupakan salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto untuk membangun generasi Indonesia yang sehat, kuat, dan unggul.
    Menurutnya, meski terdapat kendala di lapangan, program ini memiliki tujuan besar dalam memperbaiki gizi anak sekolah.
    Kemendikdasmen pun sebagai penerima manfaat terbesar, tentu sangat mendukung program ini untuk terus berjalan.
    Abdul Mu’ti mengakui kasus keracunan yang terjadi di sejumlah daerah menjadi perhatian serius pemerintah.
    Karena itu, evaluasi menyeluruh dilakukan untuk memastikan penyelenggaraan MBG ke depan lebih baik.
    Namun, ia belum dapat memaparkan detail hasil evaluasi karena rapat koordinasi lintas kementerian masih akan diagendakan beberapa waktu ke depan.
    “Nanti masih ada rapat-rapat koordinasi lintas kementerian bagaimana MBG ini lebih baik dan juga lebih bermanfaat,” katanya.
    Di Jawa Barat, kasus keracunan makanan MBG dilaporkan terjadi di beberapa daerah, seperti Cianjur, Bandung, Garut, dan Tasikmalaya.
    Pemerintah menargetkan evaluasi ini dapat menghasilkan sistem yang lebih aman sehingga program MBG bisa tetap berjalan sesuai tujuan awal, yakni meningkatkan gizi anak sekolah tanpa mengorbankan keselamatan penerima manfaat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hasil Lab Keluar, Eks Direktur WHO Ungkap Penyebab Keracunan di MBG

    Hasil Lab Keluar, Eks Direktur WHO Ungkap Penyebab Keracunan di MBG

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama buka suara ihwal sejumlah masalah yang berpotensi meyebabkan makanan bergizi gratis (MBG) menjadi pemicu keracunan massal.

    Meski begitu, Tjandra menegaskan, keracunan makanan tentu terjadi di berbagai belahan dunia, dan tidak hanya dihubungkan dengan program Makan Bergizi Gratis.

    “Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” kata Tjandra dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).

    Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.

    Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.

    Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.

    Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan.

    “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.

    Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

    Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

    “Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.

    Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

    Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

    “Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.

    Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.

    Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.

    Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.

    “Berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi,” kata Ryan kepada detikJabar.

    “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.

    Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.

    Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.

    “Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi hasilnya berbeda-beda, secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.

    Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh.

    “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Sempat Kena PHK, Kemnaker: 3.000 Buruh Tekstil di Garut Kembali Bekerja

    Sempat Kena PHK, Kemnaker: 3.000 Buruh Tekstil di Garut Kembali Bekerja

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan bahwa kondisi pasar kerja sektor manufaktur, khususnya tekstil, mulai membaik seiring adanya sejumlah perekrutan pekerja baru di daerah.

    Kepala Pusat Pasar Kerja Kemenaker Surya Lukita Warman menyampaikan bahwa sebanyak 3.000 pekerja tekstil di Garut, Jawa Barat kembali mendapatkan pekerjaan setelah beberapa waktu lalu terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK), kendati tak menyebutkan nama perusahaannya.

    “Kalau kami pantau di pasar kerja, ini perusahaan-perusahaan tekstil sudah mulai merekrut kembali. Seperti kemarin ada saya lihat barusan di Garut minta 3.000 orang kerja lagi,” kata Surya dalam media briefing di Gedung Pusat Pasar Kerja Kemnaker, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025).

    Menurutnya, hal ini mencerminkan bahwa permintaan tenaga kerja di sisi perusahaan mulai tampak positif, seiring investasi yang disebutnya mulai kembali berdatangan ke Tanah Air.

    Dia lantas memaparkan bahwa PHK pekerja di sektor manufaktur yang banyak terjadi sejak beberapa waktu terakhir banyak dipengaruhi dinamika global.

    Surya menukil kondisi konflik antara Rusia dan Ukraina, serta genosida yang terjadi di Palestina oleh Israel, berpengaruh terhadap ekspor hasil manufaktur dalam negeri.

    “Akhirnya pabrik-pabrik sepatu, garmen, tekstil dan alas kaki semuanya melakukan PHK di awal tahun. Nah ini alhamdulillah sekarang ekonominya kelihatan sudah mulai membaik,” tuturnya.

    Dalam perkembangan sebelumnya, Kemnaker juga mencatat jumlah pekerja yang terdampak PHK bertambah 830 orang sehingga totalnya menjadi 44.333 orang sepanjang Januari-Agustus 2025.

    Kemnaker melaporkan jumlah pekerja yang kena PHK pada Agustus 2025 tercatat menurun dibandingkan Juli 2025 sebanyak 1.118 orang. Namun demikian, apabila ditotal, Kemnaker mencatat jumlah PHK sepanjang tahun ini mencapai 44.333 orang.

    Berdasarkan Satu Data Kemnaker, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi penyumbang angka PHK terbanyak pada bulan kedelapan tahun ini, yakni 261 pekerja.

  • Sederet Kasus Keracunan MBG: Dari Ikan Hiu di Kalbar hingga Ribuan Siswa di Jabar

    Sederet Kasus Keracunan MBG: Dari Ikan Hiu di Kalbar hingga Ribuan Siswa di Jabar

    Jakarta

    Program makan bergizi gratis (MBG) menuai sorotan setelah kasus keracunan terus bermunculan di berbagai daerah. Rentetan kasus ini terjadi di banyak provinsi, dengan ratusan hingga ribuan pelajar harus mendapatkan perawatan medis.

    Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyerukan evaluasi total program makan bergizi gratis setelah memicu ribuan anak keracunan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Menurutnya, meski tujuan MBG untuk meningkatkan nutrisi anak sekolah, insiden keracunan massal yang berulang tidak bisa terus dibiarkan.

    “Kami mengimbau dengan sangat pihak yang berwenang atau penyelenggara MBG supaya mengevaluasi menyeluruh dari berbagai tingkatannya supaya sudah cukup lah, enough is enough, berhenti sampai di sini keracunannya,” beber dr Piprim dalam konferensi pers, Kamis (25/9/2025).

    Berikut sederet kasus keracunan MBG dari berbagai daerah.

    1. Provinsi Jawa Barat

    Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus keracunan MBG terbanyak. Laboratorium Kesehatan Daerah Jawa Barat mengungkap bahwa penyebab utama kasus keracunan ini adalah makanan basi, pertumbuhan bakteri, serta kontaminasi silang dari dapur yang tidak higienis. Berikut beberapa di antaranya:

    Bandung Barat (Cipongkor dan Cihampelas)

    Kasus paling besar terjadi di Kabupaten Bandung Barat, tepatnya di Cipongkor dan Cihampelas. Sebanyak 1.333 siswa mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG.

    Korban melaporkan gejala mual, muntah, dan sakit perut. Investigasi menyebutkan makanan dimasak terlalu dini sehingga saat dibagikan sudah dalam kondisi tidak layak konsumsi.

    Di Kabupaten Sumedang, sebanyak 164 siswa dilaporkan keracunan usai menyantap makanan MBG. Kasus ini membuat pemerintah daerah mengambil langkah investigasi tambahan terhadap dapur penyedia.

    Ratusan siswa di Yayasan Al Bayyinah 2, Kadungora, Garut juga mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG. Dinas Kesehatan menyebutkan sampel makanan sudah dikirim ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut.

    2. Provinsi Jawa Tengah: Banyumas

    Kasus keracunan juga terjadi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Ratusan siswa dari tingkat TK hingga SD dilaporkan mengalami mual, muntah, dan diare usai menyantap hidangan MBG di sekolah.

    Per 26 September, jumlah korban terus bertambah hingga mencapai lebih dari 115 siswa.

    3. Provinsi Sulawesi Tengah: Banggai Kepulauan

    Di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, tercatat 335 siswa mengalami keracunan setelah mengonsumsi MBG sampai tanggal 20 September 2025. Sebanyak 34 di antaranya masih harus menjalani perawatan intensif di fasilitas kesehatan setempat. Beberapa gejala yang dikeluhkan mulai dari sesak napas hingga kram otot.

    Investigasi dari Balai POM setempat menyebutkan adanya masalah dalam kualitas bahan pangan serta kebersihan dapur penyedia MBG yang memicu insiden keracunan

    4. Kalimantan Barat: Kabupaten Ketapang

    Kasus yang paling menyita perhatian publik terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat. Sebanyak 25 orang terdiri dari siswa dan guru SDN 12 Benua Kayong dilaporkan mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG. Menariknya, menu yang disajikan saat itu adalah ikan hiu goreng.

    Sebagian korban mengeluhkan gejala mual, muntah, hingga sesak napas. Beberapa siswa harus dirawat di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang. Menu ikan hiu ini memicu sorotan tajam, karena selain berisiko tinggi mengandung merkuri, pemilihan bahan pangan tersebut dianggap tidak tepat untuk anak-anak.

    Halaman 2 dari 3

    (kna/kna)

  • Menteri UMKM Apresiasi Lapas Garut Ekspor Kanopi Peneduh ke Eropa

    Menteri UMKM Apresiasi Lapas Garut Ekspor Kanopi Peneduh ke Eropa

    Jakarta

    Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mengapresiasi keberhasilan Lapas Kelas IIA Garut mengekspor produk olahan sabut kelapa berupa coir shade atau kanopi peneduh ke Spanyol.

    “Ini contoh yang layak ditiru dan perlu terus didorong agar pasarnya semakin luas,” ujar Maman dalam keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025).

    Hal ini ia sampaikan saat memimpin pelepasan ekspor coir shade di Lapas IIA Garut, Jawa Barat, Kamis (25/9).

    Lapas IIA Garut berhasil mengirim satu kontainer berisi ribuan lembar coir shade. Produk hasil karya Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ini diproduksi rutin dua kali sebulan dengan nilai keuntungan mencapai Rp800 juta.

    Selain coir shade, para WBP juga membuat produk lain seperti pergola, diagonal, triangle, roll binder, hingga pot tanaman, yang telah dipasarkan ke Prancis, Korea, dan Spanyol.

    Menurut Maman, pencapaian tersebut menjadikan Lapas IIA Garut sebagai sentra ekosistem sabut kelapa sekaligus ikon hilirisasi kelapa dalam pemasyarakatan.

    “Warga binaan mendapat suplai dari petani sekitar Garut. Lalu, produknya diproses di lapas. Mereka memilih bahan, menjahit, dan mengemas,” ujar Maman.

    Maman menambahkan, pengolahan limbah sabut kelapa tidak hanya memberi manfaat bagi pihak lapas, tetapi juga menjadi sumber penghasilan bagi warga binaan yang terlibat. Selain memperoleh upah dari produksi, mereka juga berkesempatan mendapatkan tambahan remisi berkat perilaku baik.

    Ia menegaskan pemerintah akan memperluas akses pasar produk Lapas IIA Garut melalui koordinasi dengan Kementerian Perdagangan, sehingga akses pasar ekspor bagi olahan sabut kelapa ini semakin besar.

    “Ini salah satu lapas yang betul-betul pro UMKM. Saya berharap ini bisa menjadi motivasi bagi kita. Saudara-saudara di dalam lapas ini perlu dilihat sebagai bukti warga binaan yang punya harapan masa depan positif,” tuturnya.

    Maman berharap hal ini bisa mengubah stigma terhadap warga binaan, dari cap pelaku kejahatan menjadi individu yang memiliki peluang memberi manfaat bagi masyarakat. Ia pun mengutip slogan Lapas IIA Garut.

    “Mereka bukan penjahat, melainkan orang yang pernah tersesat. Belum terlambat untuk bertobat,” pungkas Maman.

    (akn/ega)

  • Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum Bandung 25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah Jawa Barat tidak hanya dialami oleh siswa, tetapi juga telah menyasar kelompok rentan, khususnya ibu menyusui.
    Program yang merupakan niatan baik dari pemerintah untuk rakyatnya ini malah berakibat pada keracunan massal yang jumlahnya tidak sedikit.
    Ironisnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Bandung Barat, sementara ini korban keracunan telah mencapai 1.333 orang dari tiga kejadian di Cipongkor dan Cihampelas.
    Korban keracunan akibat program MBG juga sempat terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, Pelabuhan Ratu Sukabumi, Garut, hingga Tasikmalaya.
    Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Somawijaya, menelaah peristiwa keracunan massal ini dari kacamata hukum.
    Dikatakan, bila merujuk dari berbagai laporan serta temuan, pelaksanaan program MBG belakangan ini menuai sorotan tajam.
    Alih-alih membawa manfaat, pelaksanaan program justru diwarnai keracunan massal dengan jumlah korban yang tidak sedikit.
    Merujuk berbagai laporan dan temuan, lanjutnya, faktor-faktor yang diduga menjadi pemicu antara lain berupa kualitas bahan baku yang tidak terjamin, proses pengolahan yang tidak sesuai standar higienitas, lamanya penyimpanan dan distribusi sehingga makanan basi atau terkontaminasi, hingga lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyedia jasa katering atau dapur penyedia MBG.
    “Semua hal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk kelalaian apabila dapat dibuktikan bahwa pihak penyedia atau pengawas tidak menjalankan kewajiban sesuai standar operasional (SOP),” ucap Soma dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/9/2025).
    Soma menyebut bahwa kelalaian atau culpa dapat diartikan sebagai sikap kurang hati-hati atau tidak cermat yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, sementara kesengajaan atau dolus dapat terjadi apabila terdapat pihak-pihak yang ternyata sudah mengetahui risiko tetapi tetap membiarkan atau bahkan menghendaki akibat yang membahayakan.
    “Pada kasus keracunan dalam program MBG, jika terbukti hanya ada unsur kurang hati-hati (misalnya penyimpanan yang tidak sesuai prosedur), pihak-pihak yang terlibat dalam program MBG, baik pihak yang mengolah, menyiapkan, dan hingga mengirim makanan ke sekolah serta pemerintah, dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas program serta akibat yang terjadi,” terangnya.
    Dalam perspektif hukum pidana, lanjut Soma, kasus keracunan massal akibat program MBG dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana jika terbukti terdapat kesalahan berupa adanya kelalaian (culpa) atau bahkan kesengajaan (dolus) eventualis dari pihak penyedia makanan atau pihak yang bertanggung jawab dalam proses pengolahan dan distribusi.
    Misalnya, apabila dapur penyedia atau pihak distribusi mengetahui bahwa makanan sudah tidak layak konsumsi, atau tidak mematuhi standar keamanan pangan yang diwajibkan, tetapi tetap mendistribusikannya ke sekolah, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara pidana.
    “Apabila dalam proses investigasi ditemukan bukti atau petunjuk yang dapat membuktikan adanya hubungan kausalitas dan relevansi antara pihak penanggung jawab program MBG maupun penyedia makanan dengan masyarakat/siswa yang terdampak akibat dugaan keracunan, hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun perdata,” ujarnya.
    Menurutnya, dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum dapat menerapkan atau berlandaskan pada ketentuan Pasal 359–360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang sakit atau meninggal, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur keamanan pangan.
    Adapun dalam perspektif hukum perdata, bukti hubungan kausalitas tersebut dapat menjadi dasar bagi para korban atau orang tua siswa untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) maupun pelanggaran kewajiban pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen.
    “Gugatan ini dapat dilakukan secara individu maupun secara kolektif (
    class action
    ) untuk menuntut penggantian kerugian materiil seperti biaya pengobatan serta kerugian immateriil berupa penderitaan dan trauma,” tuturnya.
    Menurutnya, pemerintah daerah selaku penyelenggara program juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai dalam melakukan pengawasan atau pemilihan penyedia makanan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.
    “Dengan demikian, adanya bukti serta petunjuk berupa kausalitas tidak hanya memperkuat pembuktian unsur kelalaian atau kesengajaan dalam proses pidana, tetapi juga menjadi landasan yuridis yang kuat bagi para korban untuk menuntut pemulihan hak dan memperoleh ganti rugi melalui mekanisme perdata,” ucapnya.
    Karena itu, ke depannya, kata Soma, program MBG harus dirancang dan dijalankan dengan dasar regulasi yang jelas serta standar operasional ketat pada setiap tahap, mulai dari pengadaan bahan, pengolahan, distribusi, hingga penyajian makanan.
    “Selain itu, pemerintah daerah selaku penyelenggara wajib membuat kontrak pengadaan yang akuntabel dengan penyedia makanan, memuat kewajiban menjaga mutu dan klausul ganti rugi bila terjadi keracunan, serta melakukan pengawasan rutin,” tuturnya.
    Ia berharap, pemerintah memfokuskan evaluasi pada pengetatan seleksi penyedia makanan, peningkatan sistem distribusi dan penyimpanan, pengawasan lapangan yang lebih intensif, transparansi hasil audit kepada publik, serta penyediaan mekanisme kompensasi atau asuransi bagi korban sebagai bentuk perlindungan hukum.
    “Dengan cara ini, diharapkan program MBG tetap dapat berjalan dan menjamin makanan-makanan yang disajikan telah tepat dan sesuai dengan visi dan misi awal diadakannya program MBG ini,” tuturnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Lewat LokaModal, Menteri Maman Ajak UMKM Disiplin Atur Keuangan

    Lewat LokaModal, Menteri Maman Ajak UMKM Disiplin Atur Keuangan

    Jakarta

    Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurahman menyerukan agar para pengusaha UMKM lebih disiplin dalam mengelola keuangan terutama untuk modal usahanya. Menurutnya, kedisiplinan yang tinggi diperlukan agar UMKM bisa mengoptimalkan akses pembiayaan yang didapat dari program-program pemerintah.

    Hal tersebut diungkapkan olehnya saat membuka acara program Lokomotif Akses Permodalan (LokaModal) di Kabupaten Garut, Jawa Barat, hari ini.

    “Kami ada dua program pembiayaan. Program KUR (Kredit Usaha Rakyat) dengan subsidi pemerintah dan program pembiayaan di luar KUR,” kata Maman dalam keterangan tertulis, Kamis (25/9/2025).

    Maman menuturkan, ada UMKM yang memakai modal dari program pemerintah selain untuk pengembangan usahanya. Hal ini bisa menyebabkan usaha tersebut gagal naik kelas dan memperburuk penilaian kreditnya dalam SLIK OJK. Akibatnya, UMKM dengan nilai kredit buruk jadi akan semakin sulit mengajukan pinjaman.

    “Sebagus apapun akses permodalan ke usaha tapi tidak akan bermanfaat tanpa disiplin dalam mengelola keuangan,” tuturnya.

    Selain itu, UMKM bisa semakin mudah naik kelas lewat pembiayaan alternatif di luar KUR hasil kerja sama Kementerian UMKM dengan Baznas, PT Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), dan Bank BJB.

    “Pemerintah selalu siap membantu rakyatnya. Tapi jangan menyalahgunakan kemudahan akses yang diberikan oleh pemerintah agar UMKM bisa mendapatkan modal usaha,” ujar Maman.

    Pada kesempatan itu Wakil Menteri Ossy menyatakan Kementerian ATR/BPN berkomitmen untuk mendukung UMKM melalui pemberian legalitas hak atas tanah berupa SHAT sebagai akses pembiayaan usaha.

    “Kementerian ATR/BPN akan membantu akses pemberdayaan tanah dari sisi ekonomi melalui program reformasi agraria. Kami siap membantu dan mendukung agar UMKM di seluruh Indonesia semakin berkembang,” ujar Ossy.

    Menteri Maman bersama Wakil Menteri Ossy kemudian menyerahkan SHAT kepada 10 UMKM serta secara simbolis menyerahkan pembiayaan dan modal produktif untuk 16 pengusaha mikro asal Kabupaten Garut.

    Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian UMKM Riza Damanik mengungkapkan dana sebesar Rp 1,2 triliun KUR telah tersalurkan ke 30.000 UMKM di Kabupaten Garut.

    “Namun masih banyak UMKM belum mendapat akses permodalan formal. Kementerian UMKM menggagas LokaModal untuk mempertemukan UMKM yang belum dijangkau KUR agar memperoleh sumber pembiayaan alternatif yang lebih mudah dan ringan,” ujarnya.

    Riza menuturkan sebanyak 550 pengusaha mikro dari Kabupaten Garut telah menerima SHAT yang bisa dipakai sebagai akses pembiayaan.

    Usaha mikro ini telah dikurasi berdasarkan kriteria seperti memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), aktif berproduksi selama minimal setahun, serta memiliki sertifikat aset usaha.

    “Kami optimistis UMKM semakin kontributif terhadap perekonomian nasional dan sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih berkualitas,” tutup Riza.

    (akd/akd)