kab/kota: Doha

  • Proposal Pembebasan Sandera Ditolak, AS Minta Qatar Usir Hamas

    Proposal Pembebasan Sandera Ditolak, AS Minta Qatar Usir Hamas

    Doha

    Amerika Serikat (AS) meminta Qatar untuk mengusir kelompok Hamas, yang memiliki kantor biro politik di Doha, dari wilayahnya setelah kelompok itu menolak proposal terbaru soal kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera di Jalur Gaza.

    Qatar yang merupakan negara kecil di Teluk Arab, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Sabtu (9/11/2024), memainkan peran utama bersama AS dan Mesir dalam rentetan perundingan untuk mewujudkan gencatan senjata di Jalur Gaza, yang sejauh ini belum membuahkan hasil.

    Perundingan terbaru yang digelar pada pertengahan Oktober lalu kembali gagal menghasilkan kesepakatan, dengan Hamas menolak proposal yang mengatur soal gencatan senjata jangka pendek tersebut.

    Seorang pejabat senior pemerintahan AS, yang enggan disebut namanya, mengatakan bahwa otoritas AS telah mengatakan kepada Qatar jika kehadiran Hamas di Doha tidak lagi dapat diterima usai penolakan terus diberikan kelompok tersebut.

    “Setelah berulang kali menolak proposal pembebasan sandera, para pemimpin kelompok itu (Hamas-red) seharusnya tidak lagi diterima di ibu kota dari mitra Amerika mana pun,” tegas pejabat senior AS ini dalam pernyataannya pada Jumat (8/11).

    “Kami sudah memperjelas hal tersebut kepada Qatar menyusul penolakan Hamas beberapa minggu lalu terhadap proposal pembebasan sandera lainnya,” ucapnya.

    Menurut pejabat senior AS tersebut, otoritas Qatar telah mengajukan tuntutan itu kepada para pemimpin Hamas sekitar 10 hari lalu.

  • Taliban Harap Babak Baru Hubungan Afghanistan-AS Usai Trump Menang Pilpres

    Taliban Harap Babak Baru Hubungan Afghanistan-AS Usai Trump Menang Pilpres

    Kabul

    Donald Trump memenangkan Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024. Pemerintahan Taliban Afghanistan pun berharap ada babak baru hubungan AS dengan Afghanistan.

    “Pemerintah berharap pemerintahan Trump di masa depan akan mengambil langkah-langkah realistis menuju kemajuan nyata dalam hubungan antara kedua negara dan kedua negara akan mampu membuka babak baru dalam hubungan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Afghanistan, Abdul Qahar Balkhi, dalam sebuah postingan di X, dilansir AFP, Rabu (6/11/2024).

    Balkhi menyebut Trump, saat periode pertamanya sebagai Presiden AS, telah memimpin perjanjian damai dengan Taliban yang membuka jalan bagi penarikan pasukan AS pada tahun 2021. Perjanjian itu menandai berakhirnya 20 tahun operasi AS di Afghanistan.

    Perjanjian itu ditandatangani pada 29 Februari 2020 di Doha, Qatar. Perjanjian ditandatangani Taliban dan AS di bawah kepemimpinan Trump, namun tidak melibatkan pemerintah Afghanistan yang saat itu berkuasa.

    Partai Republik telah mengecam penerus Trump, Presiden AS Joe Biden, atas kekacauan yang terjadi selama penarikan pasukan. Penarikan pasukan itu mengakibatkan kematian 13 anggota militer AS dalam serangan bom bunuh diri di Bandara Kabul dan perebutan kembali ibu kota oleh Taliban.

    Biden telah dikritik karena memaksakan penarikan yang disepakati di Doha tanpa memaksa Taliban untuk mematuhi persyaratan seperti kesepakatan gencatan senjata antara militan dan pemerintah di Kabul.

    Trump menjadikan kritik terhadap cara Biden menangani penarikan diri dari Afghanistan sebagai catatan penting dalam kampanyenya melawan calon Presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris.

    “Amerika belum siap untuk menyerahkan kepemimpinan negara besar mereka kepada seorang perempuan,” tulis Inamullah Samangani, kepala departemen informasi dan budaya di kubu bersejarah Taliban di Kandahar, dalam sebuah postingan di X.

    Mantan anggota parlemen di Kabul, Fawzia Koofi, mengucapkan selamat kepada Trump. Namun, dia mengkritik penarikan AS dan kurangnya tekanan terhadap pemerintah Taliban terkait hak-hak perempuan.

    “Sebagai seorang pengusaha, dia harus memahami bahwa tidak ada negara yang dapat berkembang dalam jangka panjang jika tidak memberikan hak kepada separuh penduduknya untuk bekerja dan menerima pendidikan,” ucapnya.

    (fas/haf)

  • 10
                    
                        Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
                        Internasional

    10 Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel? Internasional

    Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
    Tim Redaksi
    GAZA, KOMPAS.com
    – “Di mana orang-orang Arab?! Di mana orang-orang Arab?!”
    Pertanyaan itu dilontarkan seseorang yang muncul dari puing-puing seraya menggendong anak-anak yang sudah meninggal. Dia berteriak tanpa daya ke arah kamera yang menyorotnya.
    Pertanyaan ini terus diulang oleh warga Gaza yang keheranan mengapa orang-orang di negara kawasan Arab tidak melindungi mereka dari pengeboman Israel.
    Setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.200 warga Israel terbunuh dan 250 orang lainnya diculik, semua mata langsung tertuju pada Timur Tengah.
    Seberapa jauh pembalasan yang akan dilakukan Israel? Bagaimana penduduk dan pemerintah Arab menanggapi guncangan kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut?
    Pertanyaan pertama masih belum terjawab: Pengeboman Israel telah menghancurkan Jalur Gaza, merenggut nyawa lebih dari 42.500 warga Palestina, tetapi belum ada titik terang.
    Yang kedua adalah benar: Jika ada orang yang mengharapkan adanya protes besar di ibu kota utama dunia Arab, mereka akan kecewa.
    Adapun pemerintah negara-negara itu, “tanggapannya suam-suam kuku atau tidak sama sekali,” menurut Walid Kazziha, profesor ilmu politik di American University in Cairo (AUC), kepada
    BBC Mundo
    .
    Di luar kritik retoris terhadap Israel atau peran mediasi yang diadopsi oleh pemerintah seperti Qatar atau Mesir yang “murni sebagai perantara dan tidak mendukung Palestina,” kata Kazziha, tak satu pun negara-negara Arab memutuskan hubungan dengan Israel atau melakukan tindakan diplomatik dan tekanan ekonomi apa pun untuk mengakhiri perang.
    Mengapa perjuangan Palestina kehilangan relevansinya di antara pemerintah-pemerintah Arab di wilayah ini? Seperti hampir semua hal di Timur Tengah, jawabannya cukup rumit.
    Wilayah Timur Tengah tidak pernah benar-benar menjadi blok yang utuh dan homogen.
    Sepanjang sejarah, masyarakat Arab telah berbagi rasa identitas, bahasa, dan sebagian besar agama, serta kekhawatiran yang timbul dari pengaruh kolonial Eropa di wilayah tersebut.
    Namun, kepentingan pemerintah mereka terkadang berseberangan.
    Hubungan antara Palestina dan negara-negara Arab juga tidak mudah, terutama dengan negara-negara yang menerima sejumlah besar pengungsi setelah proklamasi Negara Israel pada 1948.
    Namun, perjuangan Palestina juga merupakan faktor pemersatu negara-negara Arab selama beberapa dekade.
    Selama periode ini, negara Israel dipandang “sebagai perpanjangan tangan dari kekuatan kolonial sebelumnya, yang telah menarik diri dari Timur Tengah,” menurut profesor kebijakan publik di Institut Pascasarjana Doha, Tamer Qarmout.
    “Israel sengaja ditempatkan di sana sebagai agen untuk melindungi kepentingan mereka, yang sebelumnya merupakan kepentingan Inggris dan Perancis, dan sekarang kepentingan Amerika Serikat,” ujar Tamer Qarmout kepada
    BBC Mundo
    .
    Perang yang dilancarkan terhadap Israel di masa lalu oleh negara-negara seperti Mesir, Suriah, dan Yordania tidak hanya untuk membela kepentingan nasional mereka, tetapi juga kepentingan Palestina, kata para analis.
    Namun, perang tersebut kini telah berlalu. Mesir dan Yordania telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel beberapa dekade yang lalu.
    Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel—negara yang hingga beberapa tahun lalu merupakan negara paria di wilayah tersebut.
    Bahkan Arab Saudi pun hampir melakukan hal yang sama sebelum 7 Oktober dan serangan Hamas.
    Bagi Dov Waxman, direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies di University of California, sejak awal konflik hingga hari ini, selama beberapa dekade terakhir, “masing-masing negara Arab mengikuti kepentingannya sendiri”.
    “Mereka berbicara tentang mendukung Palestina dan solidaritas, dan bukan berarti perasaan itu tidak tulus, tetapi pada akhirnya mereka mengikuti kepentingan nasional mereka.”
    “Ada banyak simpati terhadap bencana kemanusiaan yang dihadapi warga Gaza, dan mereka ingin pemerintah mereka berbuat lebih banyak. Mereka ingin hubungan diplomatik diputus. Mereka ingin para duta besar diusir, setidaknya ada tanggapan semacam itu,” ujar Fakhro.
    Namun, hal ini tidak terjadi.
    Menurut Imad K. Harb, direktur Riset dan Analisis di lembaga riset Arab Center di Washington, DC, “Pemerintah Arab telah lama meninggalkan Palestina.”
    Bagi Tamer Qarmout, ada sebuah titik balik yang telah mengubah seluruh dinamika di kawasan ini: pemberontakan rakyat yang mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara antara tahun 2010 dan 2012, yang dikenal dengan sebutan Kebangkitan Arab
    (Arab Spring).
    “Sejak saat itu, gelombang telah berubah sepenuhnya dan kegagalan pemberontakan ini telah membuat kawasan ini berada dalam ketidakpastian: banyak negara yang masih terbenam dalam konflik sipil, seperti Yaman, Suriah, atau Irak,” kata profesor dari universitas di Qatar ini.
    “Dua negara terakhir, yang merupakan negara sentral dan kuat dengan ide-ide politik yang dapat menantang AS, telah lenyap.”
    Di tengah keadaan krisis permamen ini, kendati bersimpati kepada Palestina, masyarakat Arab “merasa tak berdaya”, menurut Qarmout.
    “Mereka sendiri hidup di bawah tirani, otokrasi, dan kediktatoran. Dunia Arab berada dalam kondisi yang menyedihkan, orang-orang tidak memiliki kebebasan atau kemampuan dan aspirasi untuk hidup bermartabat,” kecam Qarmout.
    Meski begitu, respons sosial jauh lebih kuat daripada respons pemerintah, meskipun hal ini berkembang terutama di media sosial.
    Sejak
    Arab Spring
    , jalan-jalan di banyak negara di kawasan ini, seperti Mesir, menjadi terlarang bagi aktivisme.
    Jika dulu pemerintah otoriter mengizinkan masyarakat untuk melampiaskan rasa frustasi mereka dalam aksi demonstrasi membela Palestina, kini mereka khawatir protes semacam itu akan berujung pada hal yang lebih besar.
    Namun, itu bukan satu-satunya hal yang berubah dalam tahun-tahun penuh gejolak ini, ketika jutaan orang Arab turun ke jalan di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Bahrain, dan Maroko untuk menuntut demokrasi dan hak-hak sosial.

    Arab Spring
    benar-benar merupakan guncangan dan mengubah dinamika dan prioritas banyak negara,” kata Qarmout.
    “Beberapa rezim lama tidak ada lagi dan yang lainnya berpikir bahwa mereka akan tertinggal, sehingga mereka panik, melihat ke kiri dan ke kanan dan mencari perlindungan.”
    “Banyak yang percaya pada gagasan yang dijual oleh Amerika Serikat bahwa Israel, sekutunya di kawasan itu, dapat melindungi mereka,” ujarnya.
    Perjanjian itu menjadi kesepakatan hubungan Barhain dan Uni Emirat Arab dengan Israel—perjanjian ini kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudan.
    Lalu, dampak perjanjian ini kemudian datang. Washington, misalnya, mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, yang membuat referendum penentuan nasib sendiri menjadi tidak mungkin.
    “Ketika kita melihat hubungan yang telah dibangun oleh negara-negara ini dengan Israel, kita melihat bahwa pada dasarnya bermuara pada Israel yang menjual sistem untuk memata-matai penduduk mereka sendiri,” kata Walid Kazziha.
    Dugaan kasus spionase menggunakan program Pegasus—yang dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group—telah mempengaruhi Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan bahkan Arab Saudi, meskipun tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel.
    Menurut
    The New York Times
    , Riyadh membeli program tersebut pada 2017 dan kehilangan akses ke program tersebut setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada tahun berikutnya.
    Namun, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berhasil memulihkan layanan setelah menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang melakukan intervensi untuk mengizinkan Saudi menggunakan perangkat lunak itu lagi, demikian laporan surat kabar Amerika tersebut.
    Hubungan Hamas dan Hizbullah dengan Iran juga menimbulkan kecurigaan di negara-negara Arab.
    Bagi negara-negara Teluk, misalnya, Iran adalah ancaman yang lebih besar daripada Israel. Banyak pemerintah Arab “telah mengadopsi narasi Israel dan Amerika bahwa gerakan-gerakan ini adalah perpanjangan tangan Iran di wilayah tersebut, dan bahwa mereka diciptakan untuk menyabotase proyek perdamaian regional dengan mengabaikan Palestina,” kata Qarmout.
    Ini adalah narasi yang didorong oleh sebagian besar media resmi di dunia Arab—sebuah wilayah di mana hampir tidak ada media independen, menurut para analis.
    “Bagi media Saudi, misalnya, perhatian utama bukanlah Palestina, tetapi bagaimana Iran mendapatkan tempat,” Kazziha berpendapat.
    Akan tetapi, negara-negara ini kemudian menjadi waspada terhadap kekuatan gerakan yang terus meningkat.
    “Ketika pintu-pintu tertutup bagi mereka dan tidak ada yang mau memberi mereka senjata untuk melawan Israel, mereka bersedia membantu penjahat untuk mendapatkannya,” tambahnya.
    Hal yang sama berlaku untuk Hizbullah dan kelompok-kelompok lain yang menerima dukungan dari Iran, tetapi juga ingin membela Palestina,
    Menurut Kazziha, ketika Iran dikedepankan sebagai promotor, maka orang-orang Arab tidak lagi menjadi tokoh utama.
    “Saya pikir ada beberapa gerakan Arab yang benar-benar tertarik untuk mendukung Palestina dan bahkan mati untuk mereka, seperti Hizbullah, Houthi di Yaman, dan beberapa gerakan Syiah di Irak,” ujar peneliti AUC tersebut.
    Selain kepentingan geostrategis dan krisis di negara-negara Arab, perjuangan Palestina telah dilupakan seiring berlalunya waktu.
    Konsep-konsep yang pernah membuat jantung Timur Tengah berdegup kencang, seperti pan-Arabisme, kini hanya menjadi gema masa lalu.
    “Sebagian besar generasi muda di wilayah ini bersimpati kepada Palestina, tetapi mereka tidak mengetahui dinamika konflik karena hal-hal tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah,” jelas Qarmout.
    “Pada 1960-an dan 1970-an, banyak negara Arab yang memiliki kurikulum sekolah yang lengkap tentang Palestina, namun saat ini masyarakat telah berubah dengan kekuatan globalisasi, bahkan identitas,” jelas Qarmout,” katanya.
    Hal yang sama juga terjadi pada para pemimpin baru.
    “Di negara-negara Teluk, misalnya, ada generasi pemimpin baru seperti Mohamed Bin Salman dari Arab Saudi, yang sebagian besar berpendidikan Barat, yang tidak pan-Arab dan tidak melihat Palestina sebagai sebuah isu,” jelas Qarmout.
    “Prioritas mereka berbeda dan begitu pula ambisi mereka,” cetusnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hamas Tolak Usulan Gencatan Senjata Terbaru di Gaza, Ini Alasannya

    Hamas Tolak Usulan Gencatan Senjata Terbaru di Gaza, Ini Alasannya

    Jakarta

    Pejabat Hamas mengatakan bahwa kelompok itu menerima usulan dari mediator Mesir dan Qatar untuk gencatan senjata jangka pendek di Gaza. Namun, Hamas menolaknya karena tidak mencakup gencatan senjata yang langgeng.

    “Usulan itu tidak mencakup penghentian agresi secara permanen, juga tidak memerlukan penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza atau pemulangan orang-orang yang mengungsi,” kata anggota biro politik Hamas, dengan syarat anonim karena ia tidak berwenang untuk berbicara di depan umum tentang masalah tersebut, seperti dilansir AFP, Jumat (1/11/2024).

    Seorang pemimpin senior Hamas, Taher al-Nunu, telah memperingatkan pada Kamis (31/10) bahwa kelompok itu akan menolak usulan apa pun untuk penghentian sementara pertempuran. Tetapi Nunu mengatakan Hamas belum menerima usulan resmi apa pun pada saat itu.

    Pertemuan antara kepala Mossad Israel David Barnea, Direktur CIA AS Bill Burns, dan Perdana Menteri Qatar di Doha, yang berakhir pada Senin (28/10), membahas usulan gencatan senjata “jangka pendek” selama “kurang dari sebulan”, sumber yang mengetahui pembicaraan tersebut mengatakan kepada AFP pada Rabu (30/10).

    Usulan tersebut melibatkan pertukaran sandera Israel dengan warga Palestina di penjara Israel dan peningkatan bantuan ke Gaza, sumber tersebut menambahkan.

    Pejabat Hamas yang berbicara kepada AFP pada Jumat (1/11) mengatakan usulan gencatan senjata sementara tersebut mencakup peningkatan jumlah truk bantuan serta pertukaran sebagian tahanan.

    (rfs/lir)

  • 9 Update Perang Arab! Gencatan Senjata Israel-Hizbullah, Warning IMF

    9 Update Perang Arab! Gencatan Senjata Israel-Hizbullah, Warning IMF

    Jakarta, CNBC Indonesia – Israel kembali melancarkan serangan lagi ke dua kota di wilayah bersejarah Baalbek di Lebanon. Seragan ini menewaskan sedikitnya 19 orang, termasuk delapan wanita.

    Perdana Menteri (PM) sementara Lebanon Najib Mikati mengatakan ia berharap kesepakatan gencatan senjata dengan Israel akan diumumkan dalam beberapa jam atau hari mendatang. Harapan ini muncul saat utusan Amerika Serikat (AS) Amos Hochstein melakukan perjalanan ke wilayah tersebut untuk melakukan pembicaraan gencatan senjata.

    Berikut update terkait situasi di wilayah Timur Tengah saat ini, sebagaimana dihimpun dari berbagai sumber oleh CNBC Indonesia pada Kamis (31/10/2024).

    1.Perundingan Gencatan Senjata Israel-Lebanon

    Sejumlah indikator menunjukkan adanya tanda-tanda kemungkinan terobosan dalam perundingan gencatan senjata antara Israel dan Lebanon. Hal ini disampaikan Ibrahim Fraihat, profesor madya resolusi konflik internasional di Institut Studi Pascasarjana Doha.

    “Indikator pertama adalah bahwa Israel kehilangan tentara setiap hari, dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dari yang dapat ditanggung Israel. ini adalah tekanan nyata bagi Israel,” kata Fraihat kepada Al Jazeera.

    “PM Benyamin Netanyahu tidak akan berhenti kecuali ada tekanan serius. Tidak ada batas di mana [dan] seberapa jauh dia bisa melangkah,” tambahnya.

    Indikator kedua, katanya, adalah bahwa Iran, pendukung utama Hizbullah di kawasan itu, telah menunjukkan minat untuk meredakan ketegangan di Lebanon. Hal terebut memberikan sejumlah tekanan pada kelompok Lebanon tersebut.

    “Dan ada juga posisi Lebanon, pemerintah Lebanon dan semua faksi politik tertarik pada deeskalasi,” katanya.

    2.Israel Bombardir Kota Dewa-dewi

    Militer Israel telah mengeluarkan perintah pemindahan paksa bagi penduduk di kota Baalbek, Lebanon, dan daerah sekitarnya untuk hari kedua berturut-turut. Baalbek adalah kota di mana terdapat situs kuno UNESCO selama 2000 tahun, tempat kuil dewa-dewi Romawi.

    Juru bicara militer Israel berbahasa Arab Avichay Adraee mengeluarkan peringatan kepada penduduk Baalbek, Ain Bourday, dan Duris. Ia mengatakan mereka berada di zona merah dan memerintahkan penduduk pergi.

    “Anda berada di zona pertempuran tempat IDF (tentara Israel) bermaksud menyerang dan menargetkan infrastruktur, kepentingan, instalasi, dan sarana tempur Hizbullah, dan tidak bermaksud untuk melukai Anda. Berada di zona merah membahayakan Anda dan keluarga,” kata pihak Israel di X.

    Pada Rabu, serangkaian serangan udara Israel menghantam kota di timur negara itu, serta pinggirannya. Itu terjadi setelah beberapa jam setelah Israel mengeluarkan seruan evakuasi untuk daerah tersebut untuk pertama kalinya dalam lebih dari sebulan perang.

    3.Israel Serang Kota Suriah

    Bukan cuma Lebanon, kantor berita negara (SANA) melaporkan “agresi Israel” menargetkan sejumlah bangunan tempat tinggal di daerah Qusayr di pedesaan selatan provinsi Homs, di Suriah tengah. Menurut media pemerintah, serangan itu menyebabkan “kerusakan material” pada zona industri Qusayr dan beberapa lingkungan tempat tinggal di kota itu.

    Israel sendiri biasanya tidak mengomentari laporan khusus tentang serangan di Suriah. Tetapi telah melakukan serangan selama bertahun-tahun terhadap apa yang disebutnya sebagai target yang terkait dengan Iran di negara Arab itu.

    4.Polisi Israel Tangkap “Mata-mata” Iran

    Sementara itu, polisi Israel mengatakan mereka telah menangkap pasangan yang dituduh mata-mata Iran. Mereka melakukan aksi intelijen ke situs mata-mata Israel dan mengumpulkan informasi tentang seorang akademisi Israel.

    Menurut sebuah laporan oleh kantor berita The Associated Press (AP), polisi dan badan keamanan internal Shin Bet mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pria yang ditangkap, Rafael Guliev dari kota Lod, telah mengawasi markas mata-mata Mossad Israel untuk Iran. Ia juga diduga mengumpulkan informasi tentang seorang akademisi yang bekerja di Institut Studi Keamanan Nasional, sebuah lembaga pemikir terkemuka Israel.

    Menurut klaim pernyataan otoritas Israel, Guliev juga dipercaya bertugas untuk menemukan seorang pembunuh, meskipun tidak jelas apakah ia benar-benar melakukannya. Istri Guliev, Lala, membantu dalam kegiatan tersebut.

    Badan keamanan Israel mengatakan mereka telah mengungkap beberapa jaringan mata-mata Iran dalam beberapa bulan terakhir. Teheran belum mengomentari kasus-kasus tersebut secara langsung, termasuk klaim pada Kamis.

    5.Israel Serang Gudang Obat-obatan Rumah Sakit Gaza

    Di sisi lain, serangan ke Gaza masih dilakukan Israel. Kementerian Kesehatan di Gaza mengutuk serbuan pasukan Israel terhadap Rumah Sakit (RS) Kamal Adwan yang terkepung di bagian utara daerah kantong tersebut.

    “Beberapa waktu lalu, pasukan Israel menyebabkan kerusakan besar ketika mereka menyerang lantai tiga rumah sakit terbesar di utara, yang berisi obat-obatan dan perlengkapan medis,” kata kementerian tersebut dalam pernyataan singkat di Telegram.

    “Kementerian mengimbau semua badan dan organisasi internasional dan PBB untuk melindungi rumah sakit dan staf medis dari kebrutalan pendudukan dan kejahatannya terhadap lembaga dan staf kesehatan di Jalur Gaza,” tambahnya.

    6.Iran Gagalkan Serangan Israel

    Media Iran melaporkan bagaimana negeri itu menggagalkan serangan Israel. Markas besar polisi di Sistan-Baluchestan, tenggara Iran, telah mengumumkan bahwa serangan bersenjata terhadap kantor polisi di daerah Sarbaz di provinsi tersebut berhasil dicegah.

    “Teroris bersenjata yang tergabung dalam kelompok separatis Jaish al-Adl menyerbu kantor polisi tersebut tetapi harus melarikan diri setelah menerima respons tegas dari polisi. Pencarian sedang dilakukan untuk menangkap para penyerang,” kata polisi.

    Jaish al-Adl, kelompok ekstremis Sunni yang dianggap Iran memiliki hubungan dengan Israel, menewaskan 10 anggota angkatan bersenjata Iran di provinsi tersebut pada hari Sabtu, hari yang sama ketika Israel melancarkan serangan udara terhadap Iran. Dewan Keamanan PBB pada hari Rabu mengutuk serangan bersenjata di Sistan-Baluchestan sebagai “serangan teroris pengecut”.

    Selain itu, media pemerintah Iran pada Rabu malam merilis sebuah video yang menunjukkan bahwa seorang anggota kelompok separatis lain yang terkait dengan Israel tewas. Video yang sama memperlihatkan dua lainnya ditangkap di provinsi Azerbaijan Barat di barat laut negara itu.

    7.Jet Tempur Israel Tembak 150 Target Hamas dan Hizbullah

    Militer Israel mengklaim pesawat tempurnya menyerang sekitar 150 target yang terkait dengan Hamas di Jalur Gaza dan Hizbullah di Lebanon dalam 24 jam terakhir. Mereka mengatakan markas besar Hizbullah dan peluncur roket terkena serangan.

    Di Gaza, tentara Israel mengatakan telah melancarkan puluhan serangan di bagian utara dan tengah daerah kantong yang terkepung itu. Serangan itu menewaskan puluhan warga Palestina, sebagian besar warga sipil, Jabalia dan Beit Lahiya di Gaza utara.

    Pada Rabu, tentara mengatakan satu unit Hizbullah menembakkan rudal ke jet militer Israel yang menyerang di atas wilayah utara kota kuno Tyre. Bahwa pesawat Israel menanggapi dengan menghancurkan lokasi tersebut.

    Dikatakan bahwa jetnya tidak terkena proyektil tersebut. Militer juga mengatakan invasi daratnya di Lebanon selatan terus berlanjut, “menghancurkan infrastruktur teroris” dan mengenai regu antitank.

    8.Pesan Perdana Pemimpin Baru Hizbullah ke Israel

    Pemimpin baru Hizbullah, Naim Qassem, memunculkan dirinya pertama kali ke publik, Rabu. Dalam kesempatan tersebut, Qassem membicarakan status pertempuran kelompok itu dengan Israel saat ini.

    Dikutip dari Associated Press (AP), Qassem mengatakan bahwa pihaknya akan terus bertahan dari gempuran Israel. Namun ia menyebut pertahanan yang dilakukannya ini hanya akan dilakukan hingga mendapat syarat gencatan senjata yang ‘sesuai’ dari pihak Tel Aviv.

    “Jika Israel memutuskan untuk menghentikan agresi, kami katakan bahwa kami menerima, tetapi sesuai dengan syarat yang kami anggap sesuai,” kata Qassem, berbicara dari lokasi yang dirahasiakan dalam pidato yang direkam sebelumnya di televisi.

    “Kami tidak akan mengemis gencatan senjata karena kami akan terus (bertempur)… tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan,” ujarnya.

    “Kemampuan Hizbullah masih tersedia dan sesuai dengan perang yang panjang,” tuturnya.

    Perang antara Hizbullah dan Israel sendiri merupakan muara dari perang Israel dan milisi Gaza Palestina, Hamas, sejak 7 Oktober tahun lalu. Hingga saat ini, Tel Aviv masih melancarkan serangan masif ke Gaza hingga membunuh hampir 42 ribu jiwa warga sipil.

    9.Warning IMF

    Gaza, Lebanon, dan Sudan akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih dari konflik yang berkecamuk di wilayah mereka. Hal ini disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada Kamis setelah menurunkan perkiraan pertumbuhan kawasan tersebut.

    IMF menyebut tindakan militer Israel terhadap Hamas di Jalur Gaza dan Hizbullah di Lebanon, dan perang saudara Sudan akan memiliki dampak yang bertahan lama.

    “Kerusakan yang disebabkan oleh konflik-konflik ini akan meninggalkan bekas luka yang bertahan lama di episentrumnya selama puluhan tahun,” kata pemberi pinjaman global itu dalam sebuah pernyataan, dikutip AFP.

    IMF telah menurunkan perkiraan pertumbuhannya untuk Timur Tengah dan Asia Tengah menjadi 2,1% untuk tahun 2024, turun 0,6% karena perang dan produksi minyak yang lebih rendah.

    Bergantung pada konfliknya, pertumbuhan akan naik menjadi 4,0% tahun depan, menurut Prospek Ekonomi Regional IMF yang disusun pada bulan September.

    Jihad Azour, direktur Departemen Timur Tengah dan Asia Tengah IMF, mengatakan prakiraan IMF untuk Lebanon telah ditangguhkan. Namun, katanya, perkiraan “konservatif” menunjukkan kontraksi 9,0-10% tahun ini.

    “Dampaknya (pada Lebanon) akan parah dan akan bergantung pada berapa lama konflik ini akan berlangsung,” kata mantan menteri keuangan Lebanon itu.

    “Pemangkasan minyak yang dipimpin Saudi melalui kartel OPEC+, yang bertujuan untuk menopang harga, berkontribusi pada pertumbuhan jangka pendek yang lamban di banyak negaram” kata IMF.

    “Bagi eksportir minyak di kawasan itu, pertumbuhan jangka menengah diproyeksikan akan moderat, karena reformasi diversifikasi ekonomi akan membutuhkan waktu untuk membuahkan hasil”, tambahnya.

    (sef/sef)

  • Iran-Israel Memanas, Negara-negara Arab Pilih Sikap Netral

    Iran-Israel Memanas, Negara-negara Arab Pilih Sikap Netral

    Doha

    Negara-negara Teluk Arab berusaha meyakinkan Iran akan netralitas mereka dalam konflik antara Teheran dan Israel. Sikap ini diberikan negara-negara Teluk Arab ketika kekhawatiran memuncak bahwa eskalasi konflik yang lebih luas dapat mengancam fasilitas minyak mereka.

    Para menteri dari negara-negara Teluk Arab dan Iran, menurut dua sumber yang dikutip Reuters, Selasa (8/10/2024), menghadiri pertemuan negara-negara Asia yang digelar oleh Qatar, pekan lalu, dengan pembahasan berpusat pada deeskalasi atau meredakan ketegangan.

    Teheran melancarkan serangan rudal besar-besaran terhadap Tel Aviv pada 1 Oktober lalu, dalam apa yang disebut sebagai pembalasan atas pembunuhan para pemimpin senior Hamas dan Hizbullah oleh Israel serta kejahatan Tel Aviv di Jalur Gaza dan Lebanon.

    Otoritas Iran menegaskan serangannya, yang melibatkan ratusan rudal itu, telah berakhir kecuali ada provokasi lebih lanjut. Israel sendiri bersumpah akan membalas dengan keras serangan Iran tersebut.

    Para pejabat Tel Aviv, yang dikutip media Axios, mengatakan Israel bisa menargetkan fasilitas produksi minyak di dalam wilayah Iran dalam pembalasannya.

    Menurut salah satu sumber yang dikutip Reuters, deeskalasi yang mendesak telah menjadi agenda utama dalam semua diskusi yang berlangsung saat ini.

    Kementerian Luar Negeri Qatar, Kementerian Luar Negeri Iran, Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab, Kementerian Luar Negeri Kuwait dan kantor komunikasi pemerintah Arab Saudi belum memberikan komentar resmi atas laporan tersebut.

    Iran sejauh ini tidak mengancam akan menyerang fasilitas minyak di kawasan Teluk Arab. Namun Teheran telah memperingatkan jika “para pendukung Israel” melakukan intervensi langsung, maka kepentingan mereka di kawasan akan menjadi sasaran.

    “Negara-negara Teluk berpendapat kecil kemungkinannya bahwa Iran akan menyerang fasilitas minyak mereka, namun Iran memberikan petunjuk bahwa mereka akan melakukan serangan semacam itu dari sumber-sumber tidak resmi. Ini adalah alat yang dimiliki Iran untuk melawan AS dan perekonomian global,” sebut komentator Saudi, Ali Shihabi, yang dekat dengan otoritas Kerajaan Riyadh.

    Saudi sebagai pengekspor minyak terbesar telah memulihkan hubungan politik dengan Iran dalam beberapa tahun terakhir, yang telah membantu dalam meredakan ketegangan regional. Namun demikian, hubungan kedua negara masih sulit hingga kini.

    Riyadh selama ini mewaspadai serangan Teheran terhadap fasilitas minyak mereka, terutama sejak serangan terhadap kilang minyak utama mereka di Abqaiq tahun 2019 lalu memicu penutupan singkat terhadap lebih dari 5 persen pasokan minyak global. Iran telah membantah terlibat dalam serangan itu.

    “Pesan GCC kepada Iran adalah ‘tolong deeskalasi’,” ungkap Shihabi dalam pernyataannya, merujuk pada Dewan Kerja Sama Teluk yang terdiri atas Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Qatar dan Kuwait.

    Presiden Iran Masoud Pezeshkian, saat menghadiri pertemuan di Doha pekan lalu, menegaskan bahwa negaranya akan siap untuk merespons, dan memperingatkan agar negara-negara Arab tidak “diam” dalam menghadapi “penghasutan perang” oleh Israel.

    “Segala jenis serangan militer, aksi teroris, atau pelanggaran garis merah kami akan ditanggapi dengan tegas oleh Angkatan Bersenjata kami,” tegasnya.

    Simak: Video Iran: Israel Mengira Dapat Rebut Gaza, Tapi Setahun Berlalu dan Mereka Gagal

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Erdogan Bersumpah Israel Akan Membayar Harga untuk Genosida di Gaza

    Erdogan Bersumpah Israel Akan Membayar Harga untuk Genosida di Gaza

    Jakarta

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersumpah bahwa Israel akan membayar harga untuk “genosida” di Gaza. Hal itu disampaikan Erdogan pada Senin (7/10) waktu setempat, bertepatan dengan peringatan satu tahun perang di Gaza yang terjadi sejak serangan Hamas ke Israel pada tanggal 7 Oktober.

    “Tidak boleh dilupakan bahwa Israel cepat atau lambat akan membayar harga untuk genosida yang telah dilakukannya selama setahun dan masih terus berlanjut,” tulis Erdogan di media sosial X, yang sebelumnya bernama Twitter.

    Sebagai pendukung vokal perjuangan Palestina, termasuk Hamas, Erdogan sering mengecam Israel. Dia menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai “penjagal Gaza” dan menyamakannya dengan Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman.

    “Sama seperti Hitler yang dihentikan oleh aliansi kemanusiaan, Netanyahu dan jaringan pembunuhannya akan dihentikan dengan cara yang sama,” kata Erdogan, dilansir kantor berita AFP dan Al Arabiya, Selasa (8/10/2024).

    “Dunia yang tidak bertanggung jawab atas genosida Gaza tidak akan pernah menemukan kedamaian,” imbuhnya.

    Pemimpin Turki yang sering memuji Hamas sebagai pejuang kebebasan tersebut, mengatakan bahwa apa yang telah dibantai di depan mata seluruh dunia selama tepat satu tahun “sebenarnya adalah seluruh umat manusia, dan semua harapan umat manusia untuk masa depan.”

    Erdogan juga mengkritik kegagalan sistem internasional untuk menghentikan konflik di Gaza dan sekarang di Lebanon. “Kebijakan genosida, pendudukan, dan invasi Israel yang telah berlangsung lama, sekarang harus diakhiri,” cetusnya.

    Sementara itu, Khaled Meshaal, pemimpin Hamas yang tinggal di pengasingan, mengatakan kelompoknya akan bangkit dari abu “seperti burung phoenix” meskipun mengalami kerugian besar-besaran selama setahun perang melawan Israel di Jalur Gaza. Meshaal menegaskan Hamas akan terus merekrut petempur dan memproduksi senjata.

    Meshaal, seperti dilansir Reuters, Selasa (8/10/2024), merupakan tokoh senior Hamas di bawah kepemimpinan Yahya Sinwar. Dia menjadi pemimpin Hamas dari tahun 1996 hingga tahun 2017 lalu, dan berhasil selamat dari upaya pembunuhan oleh Israel tahun 1997 silam, di mana dia sempat disuntik dengan racun.

    Setahun usai serangan Hamas yang memicu perang di Jalur Gaza, Meshaal menggambarkan konflik dengan Israel sebagai bagian dari narasi yang lebih luas selama 76 tahun, yang bermula dari apa yang disebut oleh Palestina sebagai “Nakba” ketika banyak orang menjadi pengungsi pada perang tahun 1948 yang menyertai terciptanya Israel.

    “Sejarah Palestina terbuat dari siklus,” sebut Meshaal yang kini berusia 68 tahun, dalam wawancara eksklusif dengan Reuters yang dilakukan di Doha, Qatar.

    “Kami telah melewati fase di mana kami kehilangan para martir (korban) dan kami kehilangan sebagian dari kemampuan militer kami, tapi kemudian semangat Palestina bangkit kembali, seperti burung phoenix, syukur kepada Tuhan,” ucapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Kami Akan Bangkit dari Abu Seperti Phoenix!

    Kami Akan Bangkit dari Abu Seperti Phoenix!

    Gaza City

    Khaled Meshaal, pemimpin Hamas yang tinggal di pengasingan, mengatakan kelompoknya akan bangkit dari abu “seperti burung phoenix” meskipun mengalami kerugian besar-besaran selama setahun perang melawan Israel di Jalur Gaza. Meshaal menegaskan Hamas akan terus merekrut petempur dan memproduksi senjata.

    Meshaal, seperti dilansir Reuters, Selasa (8/10/2024), merupakan tokoh senior Hamas di bawah kepemimpinan Yahya Sinwar. Dia menjadi pemimpin Hamas dari tahun 1996 hingga tahun 2017 lalu, dan berhasil selamat dari upaya pembunuhan oleh Israel tahun 1997 silam, di mana dia sempat disuntik dengan racun.

    Setahun usai serangan Hamas yang memicu perang di Jalur Gaza, Meshaal menggambarkan konflik dengan Israel sebagai bagian dari narasi yang lebih luas selama 76 tahun, yang bermula dari apa yang disebut oleh Palestina sebagai “Nakba” ketika banyak orang menjadi pengungsi pada perang tahun 1948 yang menyertai terciptanya Israel.

    “Sejarah Palestina terbuat dari siklus,” sebut Meshaal yang kini berusia 68 tahun, dalam wawancara eksklusif dengan Reuters yang dilakukan di Doha, Qatar.

    “Kami telah melewati fase di mana kami kehilangan para martir (korban) dan kami kehilangan sebagian dari kemampuan militer kami, tapi kemudian semangat Palestina bangkit kembali, seperti burung phoenix, syukur kepada Tuhan,” ucapnya.

    Meshaal mengatakan Hamas kini masih mampu melakukan penyergapan terhadap pasukan Israel.

    Para petempur Hamas menembakkan empat rudal dari Jalur Gaza ke wilayah Israel pada Senin (7/10) pagi, tepat saat hari peringatan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu yang memicu perang. Tel Aviv menyebut semua rudal dari Jalur Gaza itu berhasil dicegat.

    “Kami telah kehilangan sebagian amunisi dan senjata kami, namun Hamas masih merekrut para pemuda dan terus memproduksi sebagian besar amunisi dan senjatanya,” tegasnya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Israel mulai menyerang Jalur Gaza setelah Hamas melancarkan serangan mengejutkan pada 7 Oktober tahun lalu, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan membuat lebih dari 250 orang lainnya disandera. Rentetan serangan Tel Aviv dilaporkan menewaskan sekitar 42.000 orang di Jalur Gaza sejauh ini.

    Pemerintah Israel menyebut Hamas tidak ada lagi sebagai struktur militer yang terorganisir dan telah direduksi menjadi taktik gerilya semata. Menurut pejabat Tel Aviv, setidaknya sepertiga dari korban tewas di Jalur Gaza, yakni sekitar 17.000 orang, adalah para petempur Hamas.

    Di kubu Israel, disebutkan sekitar 350 tentara tewas dalam pertempuran di Jalur Gaza.

    Dalam pernyataannya, Meshaal mengatakan dirinya tidak melihat adanya prospek perdamaian selama pemerintahan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu masih berkuasa. Selama ini, Tel Aviv menyalahkan Hamas, yang piagam pendiriannya menyerukan kehancuran Israel, atas kegagalan menjamin perdamaian.

    “Selama pendudukan (Israel) masih ada, kawasan ini akan tetap menjadi bom waktu,” sebutnya.

    Meski berada dalam pengasingan, Meshaal masih tetap berpengaruh dalam tubuh Hamas karena dia memainkan peran penting dalam kepemimpinan Hamas selama hampir tiga dekade. Sosok Meshaal kini secara luas dipandang sebagai wajah diplomatis Hamas.

    Pernyataan yang disampaikan Meshaal, menurut para analis Timur Tengah, tampaknya dimaksudkan sebagai sinyal bahwa kelompok Hamas akan terus berjuang apa pun kerugian yang dialami.

    Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara pada International Crisis Group, Joost R Hiltermann, menilai Israel belum menguraikan rencana untuk Jalur Gaza ketika perang berakhir, dan hal ini dapat memungkinkan Hamas untuk membangun kembali kelompoknya meskipun mungkin tidak dengan kekuatan atau bentuk yang sama.

    Kantor Netanyahu menolak untuk mengomentari pernyataan Meshaal tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Vs Hizbullah Makin Panas Bikin WNI di Lebanon Mulai Dievakuasi

    Israel Vs Hizbullah Makin Panas Bikin WNI di Lebanon Mulai Dievakuasi

    Jakarta

    Saling serang antara Israel dan Hizbullah membuat situasi di Lebanon semakin mengkhawatirkan. Pemerintah Indonesia pun mulai mengevakuasi warga negara Indonesia (WNI) dari Lebanon.

    Sebagai informasi, saling serang antara Hizbullah dan Israel sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, intensitasnya semakin meningkat sejak akhir September 2024.

    Serangan Hizbullah membuat warga di Israel utara dievakuasi. Israel pun melakukan serangan ke Lebanon dengan alasan menghancurkan Hizbullah agar warga mereka bisa kembali ke Israel utara.

    Konflik tersebut telah menyebabkan ribuan orang tewas di Lebanon, termasuk pimpinan Hizbullah Hassan Nasrallah. Korban tewas juga ada di pihak militer Israel.

    Situasi yang memanas itu membuat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Kemlu untuk melakukan evakuasi terhadap WNI di Lebanon. Jokowi menegaskan keselamatan WNI di luar negeri merupakan prioritas pemerintah.

    “Kementerian luar negeri, Bu Menteri sudah saya perintahkan untuk menindaklanjuti apa yang sudah saya sampaikan agar keselamatan perlindungan warga negara kita dinomorsatukan, evakuasi disegerakan,” ujar Jokowi di RSUD Kefamenanu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/10/2024).

    WNI di Lebanon Mulai Dievakuasi

    Menlu Retno Marsudi mengatakan 25 dari 159 orang WNI telah dievakuasi dari Lebanon. Dia mengatakan evakuasi dilakukan lewat jalur darat.

    “Jadi kita sudah mengevakuasi sebagian dari warga negara kita, jadi yang dievakuasi kali ini adalah melalui darat,” kata Retno di Grand Sahid Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024).

    Retno telah menerima laporan WNI yang dievakuasi dalam keadaan selamat. WNI yang dievakuasi itu segera diterbangkan ke Indonesia.

    “Tadi pagi saya sudah mendapatkan laporan bahwa mereka sudah sampai melalui Suriah, melalui Damaskus dengan selamat, untuk kemudian kembali ke Indonesia. Totalnya 20-25 kalau nggak salah, sekitar segitu,” katanya.

    Retno mengatakan dirinya terus memonitor perkembangan proses evakuasi WNI dari Lebanon. Dia mengatakan ruang udara di sejumlah negara di Timur Tengah mulai buka-tutup.

    “Karena situasi yang sangat dinamis di lapangan, ruang udara bisa dibuka kemudian ditutup lagi. beberapa hari yang lalu, ruang udara di atas Jordan juga ditutup, kemudian dibuka lagi, jadi sangat dinamis, dan kita akan terus memantau perkembangan ini,” ujarnya.

    Retno mengatakan masih ada WNI yang bertahan di Lebanon. Dia menjelaskan alasan sejumlah WNI memutuskan bertahan di Lebanon.

    “Tentunya pada saat evakuasi ini kita mengimbau yang ingin dievakuasi, ada beberapa juga keluarga, yang karena urusan keluarga, ya memilih untuk tinggal,” katanya.

    “Sebenarnya tidak menolak ya, kita mengevakuasi, ada beberapa yang dengan pertimbangan keluarga dan sebagainya, mereka memilih untuk tetap tinggal di sana,” sambung Retno.

    Jumlah WNI Dievakuasi Bertambah

    Kemlu terus menyampaikan perkembangan evakuasi WNI dari Lebanon. Terbaru, Kemlu menyatakan ada 40 orang WNI yang telah dievakuasi dari Lebanon ke Yordania.

    Direktur Pelindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, awalnya menjelaskan pemerintah telah menyiapkan rencana evakuasi sejak perang meletus di Gaza, Palestina, pada 7 Oktober 2023. Dia mengatakan rencana evakuasi itu dibuat untuk melindungi WNI.

    “Dari situasi tersebut, kita kembali melakukan asesmen, dan berdasarkan asesmen kita bahwa seluruh wilayah Lebanon itu berbahaya bagi warga negara kita dan oleh karena itulah kemudian pada 4 Agustus 2024 KBRI Beirut meningkatkan status siaga I tidak terbatas di Lebanon selatan, namun kita perluas untuk wilayah Lebanon, artinya seluruh wilayah Lebanon kita pandang berbahaya bagi warga negara kita dan sejak saat itu kita melakukan memulai proses evakuasi bagi warga negara kita,” ujar Judha di Kemlu, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2024).

    Judha mengatakan masih banyak WNI yang tidak mau dievakuasi dengan alasan pribadi. Hanya 25 orang yang bersedia dievakuasi pada Agustus 2024.

    “Dari proses yang kita sudah lakukan selama tanggal 10, 18, 28 Agustus, ada 25 warga negara kita yang bersedia dievakuasi, dan kemudian sudah kita lakukan evakuasi melalui jalur udara, dan alhamdulillah 25 warga negara tersebut sudah tiba di Indonesia dengan selamat,” katanya.

    Judha menyebut proses evakuasi masih terus dilakukan terutama setelah tewasnya Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah. Setelah Hassan dinyatakan tewas dalam serangan Israel, 40 WNI bersedia dievakuasi.

    “Tanggal 29 September kami lakukan pertemuan virtual dengan seluruh warga negara di sana, menyampaikan update situasi terakhir, kami menyampaikan perkiraan kabar ke depan yang kami sampaikan bahwa ‘this is time for us to leave Lebanon’. Kami kembali menyampaikan ke WNI untuk mau dievakuasi, untuk dalam pertemuan kedua ini yang awalnya hanya enam yang bersedia dievakuasi, akhirnya ada 40 warga negara kita yang bersedia dievakuasi,” ujar Judha.

    Menurut Judha, ada 40 WNI plus satu orang WN Lebanon yang merupakan pasangan dari WNI dievakuasi ke Amman, Yordania. Proses evakuasi dilakukan melalui jalur darat.

    “40 orang tersebut selama tanggal 2 dan 3 (Oktober) kita sudah lakukan proses evakuasi melalui jalur darat, 40 ini ditambah satu WN Lebanon yang merupakan pasangan dari warga negara kita,” ucapnya.

    Ke-40 orang itu dievakuasi dalam dua gelombang. Gelombang pertama sudah berada di Amman, sedangkan gelombang kedua saat ini masih dalam perjalanan ke Amman dari Damaskus.

    “Saat ini mereka sedang di perbatasan antara Suriah dan Yordania, teman-teman KBRI Amman sudah standby di perbatasan untuk menjemput akan hangover dari Damaskus, dan akan dikawal menuju Amman bergabung dengan WNI sebelumnya,” jelasnya.

    Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Judha mengatakan para WNI ini akan dipulangkan ke Indonesia. WNI yang sudah dievakuasi akan dipulangkan via jalur udara pada 7 Oktober mendatang.

    Judha mengatakan masih ada 116 orang WNI yang berada di Lebanon. Angka itu disebut akan berubah sesuai dengan situasi di sana. Para WNI itu merupakan mahasiswa, pekerja migran, dan kawin campur.

    “Status terakhir per tanggal 4 Oktober mengenai jumlah WNI yang masih ada di Lebanon, ada 116. Kalau kemarin ada sekitar 159, angkanya memang naik turun ada beberapa yang sudah bisa keluar menggunakan penerbangan komersial, ada yang baru lapor diri, dan data itu menambah,” ujarnya.

    Imbauan Agar WNI Tak ke Lebanon-Israel

    Kemlu RI juga mengimbau WNI untuk tidak bepergian ke Lebanon ataupun Israel. Kemlu meminta WNI menghindari wilayah yang sedang berkonflik.

    “Bagi WN kita yang memiliki rencana berkunjung ke Lebanon, Suriah, Iran, Palestina, Israel, kami meminta untuk tidak dapat menunda perjalanan. Kami masih mencatat ada WN kita yang lakukan perjalanan ke Israel walaupun untuk tujuan situasi religi, dalam situasi saat ini kami sangat mengimbau perjalanan tersebut agar ditunda,” ucap Judha.

    Dia meminta WNI yang berada di wilayah konflik mematuhi imbauan evakuasi demi keselamatan. Dia mengatakan evakuasi harus segera dilakukan sebelum negara-negara di kawasan Timur Tengah menutup ruang udara karena konflik yang semakin memanas.

    “Terakhir, ketika ada serangan rudal antara Israel dan bebalas dan juga beberapa titik konflik yang lain kemungkinan beberapa negara di timur tengah melalukan penutupan wilayah udara sangat tinggi. Oleh karena itu, bagi warga negara kita yang memiliki rencana perjalanan dan akan menggunakan wilayah timteng untuk transit, seperti di Abu Dhabi, Dubai, kemudian Doha dan beberapa titik transit lain, please respect this instruction,” tuturnya.

    “Antisipasi kalau ada gangguan penerbangan, untuk menghindari warga negara kita stranded (terdampar) di beberapa titik penerbangan,” imbuhnya.

    Judha juga menyampaikan data keadaan kawasan Timur Tengah beserta jumlah WNI yang berada di sana:

    1. Palestina/Israel status siaga I. Jumlah WNI 4 di Palestina, 231 di Israel

    2. Lebanon status siaga I, jumlah WNI 116

    3. Iran status siaga II, jumlah WNI 391

    4. Suriah statusnya siaga III, dan siaga I di beberapa wilayah yakni Al Hasakeh, Ar Raqqah, Deir ez-Zur, dan Idlib. Jumlah WNI di Suriah 1.201.

    Pasukan TNI di Lebanon Siap Bantu Evakuasi

    TNI menyatakan prajurit yang berada di United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL) siap membantu jika ada evakuasi. Kapuspen TNI Mayjen TNI Hariyanto mengatakan prajurit TNI yang ditugaskan di Lebanon bersama UNIFIL untuk misi perdamaian dalam kondisi baik.

    “TNI di Lebanon tetap berada di markas dan melakukan kegiatan seperti biasa,” kata Hariyanto di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (4/10/2024).

    “Yang disampaikan Panglima TNI kemarin juga seperti itu. Karena memang di sana aturan yang mengatur adalah commander UNIFIL itu pun harus koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri,” sambungnya.

    Hariyanto mengatakan pasukan TNI siap membantu jika ada perintah evakuasi. Hariyanto mengatakan pasukan TNI akan menunggu petunjuk yang dikoordinasikan oleh Kemlu.

    “TNI yang di homebase siap untuk membantu kapan saja dengan atas petunjuk atau perintah dari yang sudah dikoordinasikan oleh Kemlu. Kemlu juga akan berkoordinasi dengan situasi yang di sana commander UNIFIL untuk apa bila evakuasi dan sebagaimanya. Sementara sampai sekarang belum dan kita masih menunggu instruksi selanjutnya. Ini masih koordinasi,” tuturnya.

    Berdasarkan situs UNIFIL, ada 1.231 orang prajurit TNI yang menjadi bagian dari UNIFIL. Prajurit TNI itu bergabung bersama pasukan dari negara lain.

    UNIFIL sendiri dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 425 (1978) dan 426 (1978) tertanggal 19 Maret 1978. UNIFIL didirikan untuk memastikan penarikan pasukan Israel dari Lebanon selatan, memulihkan perdamaian dan keamanan internasional serta membantu Pemerintah Lebanon dalam memastikan kembalinya otoritas efektifnya di wilayah tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/haf)

  • Taliban Putus Hubungan dengan Inggris, Kedutaan Afghanistan Ditutup

    Taliban Putus Hubungan dengan Inggris, Kedutaan Afghanistan Ditutup

    London

    Kedutaan Besar (Kedubes) Afghanistan di London, Inggris, ditutup pada Jumat (27/9) waktu setempat. Penutupan itu dilakukan setelah otoritas Taliban yang kini berkuasa di Afghanistan memutuskan hubungan dengan misi diplomatik yang dibentuk pemerintah sebelumnya di Kabul dan memecat stafnya di Inggris.

    Seorang reporter AFP, seperti dilansir AFP, Jumat (27/9/2024), melihat pemberitahuan digantung di gerbang bagian konsuler pada Kedubes Afghanistan di London.

    “Kedutaan Besar Republik Afghanistan ditutup,” demikian bunyi pemberitahuan tersebut.

    Tidak ada yang membukakan pintu gerbang Kedubes Afghanistan, namun bendera nasional negara itu masih berkibar.

    Awal bulan ini, Duta Besar Afghanistan untuk Inggris Zalmai Rassoul mengumumkan via media sosial bahwa kedutaannya akan ditutup “atas permintaan resmi negara tuan rumah” pada 27 September.

    Dalam tanggapannya, Kantor Persemakmuran dan Pembangunan Luar Negeri Inggris (FCDO) membantah bahwa pihaknya berada di balik penutupan tersebut.

    “Keputusan ini tidak dibuat oleh pemerintah Inggris,” tegas juru bicara FCDO dalam pernyataannya.

    “Negara Afghanistan memutuskan untuk menutup Kedutaan Besar Afghanistan di London dan memberhentikan para stafnya,” imbuh pernyataan tersebut.

    Lihat Video: Taliban Bebaskan Ekstremis Anti-Imigran Austria

    “Kami terus mendukung rakyat Afghanistan dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang paling membutuhkan,” ucap juru bicara FCDO.

    FCDO belum mengindikasikan apakah Duta Besar Afghanistan yang baru akan diakreditasi di London.

    Inggris tidak mengakui pemerintahan Taliban sebagai pemerintahan yang sah dan tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan negara tersebut. Tapi sejalan dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, otoritas London mengakui bahwa “tidak ada alternatif selain terlibat secara pragmatis dengan pemerintahan Afghanistan saat ini”.

    Misi diplomatik Inggris untuk Afghanistan pada saat ini berbasis di Doha, Qatar.

    Bagian konsuler pada Kedubes Afghanistan di London, menurut situs resminya, ditutup sejak 20 September.

    Pada Jumat (27/9) waktu setempat, Dubes Rassoul memposting ulang postingan X di mana Dubes Jerman untuk Inggris mengatakan bahwa menjadi “kesenangan” untuk bekerja dengan mitranya dari Afghanistan selama bertahun-tahun.

    Dubes Jerman juga mengutuk apa yang disebutnya sebagai “situasi mengerikan bagi perempuan dan anak perempuan di bawah Taliban”.

    Selama tiga tahun terakhir, Taliban telah menerapkan interpretasi Islam secara radikal dan semakin keras dalam mengusir perempuan dari ruang-ruang publik.

    Meskipun Taliban kembali berkuasa di Afghanistan sejak Agustus 2021, kedutaan-kedutaan besar di berbagai negara tetap beroperasi dengan para staf diplomatik yang setia kepada pemerintahan sebelumnya yang didukung internasional.

    Pada akhir Juli lalu, Kementerian Luar Negeri Taliban menegaskan pihaknya “tidak bertanggung jawab” atas kredensial, termasuk paspor dan visa, yang dikeluarkan oleh misi diplomatik yang tidak sejalan dengan penguasa kabur Kabul.

    Misi diplomatik yang dimaksud mencakup Kedubes Afghanistan di Prancis, Belgia, Swiss, Jerman, Kanada dan Australia.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)