Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E. Dosen UIN Saizu Purwokerto
TRIBUNJATENG.COM – Setiap bulan April, bangsa Indonesia kembali mengenang sosok agung bernama Raden Ajeng Kartini.
Ia bukan sekadar nama di kalender nasional atau lirik dalam lagu gubahan WR Soepratman, tetapi simbol perjuangan emansipasi perempuan, pendidikan, dan pencerahan pikiran.
Di balik kata-kata terkenalnya “Habis gelap terbitlah terang”, tersimpan perjalanan spiritual yang mendalam: kisah perjumpaannya dengan tafsir Al-Qur’an yang membuka cakrawala hidupnya.
Tepatnya, saat Kartini menghadiri kajian KH. Sholeh Darat di Pendopo Bupati Demak, beliau tersentak oleh tafsir surah Al-Fatihah yang begitu dalam dan menyentuh.
Bukan sekadar bacaan yang dihafal, tetapi makna yang menghidupkan.
“Kyai, betapa berdosanya para kiai,” keluh Kartini yang merasa selama ini hanya dibekali mantra, bukan pemahaman.
Dari situ, Kartini mendorong agar tafsir Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa—agar kaum perempuan, rakyat jelata, dan masyarakat awam bisa memahami isi kitab suci itu.
Warisan Spiritual Kartini
Seringkali kita hanya mengenang Kartini sebagai pelopor pendidikan bagi perempuan.
Tapi lebih dari itu, Kartini juga haus akan ilmu agama—bukan hanya ritualistik, tapi yang esensial.
Ia belajar akhlak, tasawuf, dan tafsir Qur’an kepada KH. Sholeh Darat, yang kelak menjadi guru dari para ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari.
Dalam usia yang sangat muda, Kartini menyadari satu hal penting: ilmu tanpa pemahaman adalah hampa.
Dan pemahaman tanpa akhlak adalah bencana.
Maka tak heran jika perjuangannya bukan hanya tentang membuka sekolah, tetapi membuka hati dan pikiran bangsanya.
Di zaman modern ini, semangat Kartini masih relevan, bahkan sangat dibutuhkan. Kita hidup di era digital, zaman Gen Z yang serba cepat, penuh distraksi, dan dibanjiri informasi.
Namun, justru di tengah derasnya arus informasi itu, banyak dari kita yang haus makna. Kita bisa dengan mudah membaca ribuan status, caption, atau thread—tapi seberapa sering kita benar-benar membaca hidup ini dengan makna?
Kartini dan Gen Z: Titik Temu di Era Digital
Generasi Z—yang lahir dan tumbuh bersama teknologi—memiliki akses tak terbatas pada informasi. Tapi, apakah mereka juga semakin dekat pada kebijaksanaan?
Kartini muda mengkritik pembelajaran yang tanpa makna. Ia berani bertanya, bahkan kepada para ulama, tentang kenapa Al-Qur’an hanya diajarkan sebagai bacaan, bukan sebagai panduan hidup.
Bukankah pertanyaan yang sama juga bisa diajukan hari ini?
Di banyak tempat, masih banyak anak muda yang bisa membaca Al-Qur’an secara fasih, tapi tidak tahu apa itu rahmah, taqwa, atau husnudzan.
Banyak pula yang memahami tren terkini, namun tidak tahu arah hidupnya. Maka, pertanyaannya: siapa yang akan menjadi “Kartini” baru di era ini?
Kisah Kartini dan KH. Sholeh Darat bukan hanya romansa masa lalu, tetapi pelajaran bagi masa kini.
Kita butuh lebih banyak ulama yang bisa menerjemahkan nilai-nilai Qur’an ke dalam bahasa zaman.
Kita juga butuh lebih banyak “Kartini muda” yang mau bertanya, belajar, dan berjuang agar pemahaman menjadi terang, bukan sekadar hafalan.
Pendidikan untuk Akhlak dan Kemandirian
Kartini adalah contoh ideal perempuan cerdas dan mandiri yang tetap menjunjung tinggi nilai dan adab.
Ia tidak menolak kodrat sebagai perempuan, tetapi ia menolak untuk dibodohi atas nama tradisi.
Ia ingin perempuan bisa berdaya, bukan supaya bersaing dengan laki-laki, tetapi agar bisa mendidik generasi yang lebih baik.
Banyak perempuan Gen Z hari ini yang punya mimpi besar.
Mereka kuliah, bekerja, bahkan memimpin perusahaan sejak muda.
Tapi, apakah mereka juga membekali diri dengan akhlak dan adab yang dulu begitu dijaga Kartini? Sebab kecerdasan tanpa adab, hanya akan menciptakan generasi yang egois dan rapuh di balik layar sosial media.
Sebaliknya, perempuan yang cerdas dan berakhlak akan menjadi fondasi keluarga dan masyarakat yang kuat.
Ia tidak silau dengan pencapaian duniawi, tapi juga tidak meninggalkan dunia.
Ia bisa mandiri, sekaligus menjadi tempat bersandar. Inilah cita-cita Kartini yang mungkin belum tuntas: menjadikan perempuan Indonesia sebagai madrasah pertama dan utama, bukan hanya untuk anak-anaknya kelak, tetapi juga untuk lingkungannya sekarang.
Menjadi Kartini Zaman Ini
Hari ini, 21 April 2025, saat para ibu dan ayah mengantar anak-anak perempuan mereka ke sekolah, kita kembali melihat semangat Kartini itu hadir.
Para “Kartini kecil” hari ini bukan hanya belajar berhitung atau membaca, tetapi juga diajari bagaimana menjadi pribadi yang baik, sopan, tangguh, dan bijak.
Karena seperti Kartini, kita butuh perempuan yang tidak hanya pintar, tapi juga punya nilai.
Perempuan Indonesia hari ini tidak kekurangan akses pendidikan, tapi jangan sampai kekurangan arah.
Tidak kekurangan mimpi, tapi jangan sampai kekurangan makna.
Jadilah Kartini masa kini yang bukan hanya ingin sukses secara pribadi, tapi juga memberi terang bagi orang lain.
Bacalah Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tapi sebagai cahaya. Jadikan teknologi bukan sebagai candu, tapi sebagai alat perjuangan.
Kartini sudah menunjukkan caranya—mari kita teruskan perjuangannya.
Selamat Hari Kartini. Untuk seluruh perempuan Indonesia. Teruslah menjadi cahaya dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa. (*)