Terpaksa Bertahan di Usia Senja, Kisah Tiur Sang Buruh Lansia
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dalam riuhnya gelombang massa yang memenuhi gerbang utama Gedung DPR/MPR RI pada peringatan Hari
Buruh
Internasional, Kamis (1/5/2025), suara lirih namun tegas menyita perhatian.
Suara itu datang dari perempuan bernama Tiur (63),
buruh
garmen yang telah mengabdikan lebih dari dua dekade hidupnya di sebuah pabrik kawasan Cakung-Cilincing, Jakarta Utara.
Tiur bukan sekadar deretan angka dalam statistik ketenagakerjaan. Ia adalah wajah ketidakadilan yang kerap luput dari sorotan, terutama saat usia tak lagi muda dan tubuh mulai merasakan lelah yang tak mudah ditawar.
Di tengah orasi dan poster tuntutan peringatan
Hari Buruh
, ia membawa kisah yang dalam. Tentang hak pensiun yang digantung, kekerasan verbal di tempat kerja, dan perjuangan yang seolah tak kunjung usai demi mendapatkan penghargaan layak atas jerih payah puluhan tahun.
Sambil duduk di rerumputan yang mengering, Tiur berbagi kisahnya kepada
Kompas.com.
25 tahun sudah Tiur menjadi buruh di pabrik garmen. Sesuai aturan, seharusnya ia dipensiunkan sejak usia 58.
Namun, lima tahun telah berlalu, panggilan pensiun itu tak pernah datang.
“Seharusnya saya sudah dipensiunkan pada usia 58 tahun, tapi sampai sekarang, saya belum dipanggil untuk pensiun,” ujar Tiur, Kamis (1/5/2025).
Tiur meyakini perusahaan sengaja menunda pensiunnya, menunggu ia menyerah dan mundur sendiri.
Tapi, bagi perempuan ini, mundur berarti kehilangan hak. Ia tahu benar, jika berhenti secara sukarela, pesangon yang menjadi haknya akan jauh dari semestinya.
Berdasarkan perhitungan Tiur, seharusnya ia menerima sekitar Rp 125 juta sebagai imbalan atas seperempat abad pengabdian.
Namun, ia melihat sendiri bagaimana rekan-rekannya yang memilih pensiun dini hanya menerima Rp 80 juta, jauh di bawah ketentuan.
“Mereka menunggu kita untuk mengundurkan diri,” kata Tiur.
Namun, uang bukan satu-satunya luka yang Tiur tanggung. Hari-hari kerja Tiur juga diwarnai kekerasan verbal.
Bukan pukulan, tapi kata-kata kasar yang menyayat harga diri.
“Bukan kasar di fisik, tapi kasar di mulut,” katanya.
Pernah suatu pagi, di sela-sela kesibukan produksi yang belum juga reda, suara manajer tiba-tiba menggema di seluruh ruangan.
Bukan instruksi kerja yang keluar dari mulutnya, melainkan makian yang ditujukan kepada para buruh, termasuk Tiur. Di hadapan puluhan pasang mata, harga diri mereka seperti dilucuti tanpa ampun.
“Teriak, satu PT itu harus dengar. Pagi-pagi udah teriak, mana nyaman kita kerja?” kenangnya.
Lansia seperti Tiur sering kali menjadi sasaran diskriminasi. Mereka dianggap tak lagi produktif.
“Sering dibilang, ‘Kalian ini udah tua’, padahal belum tentu yang tua enggak bisa capai target,” tambahnya.
Meski hatinya kerap terluka, Tiur tahu batas. Ia tak punya kuasa untuk melawan. Pilihan satu-satunya adalah mengadu ke serikat buruh.
“Sakit hati dong, jelas. Tapi kami hanya bisa lapor ke serikat. Serikat yang menyelesaikan,” ujarnya pasrah.
Kini, dalam unjuk rasa yang dipenuhi tuntutan dan harapan, Tiur berdiri membawa suara yang tak boleh diabaikan. Ia tak meminta perlakuan istimewa.
Tiur hanya ingin diperlakukan manusiawi.
“Mereka mungkin dapat tekanan, tapi bukan berarti harus kasar ke kami. Sampaikan baik-baik, jangan menyinggung perasaan,” katanya.
Di usia yang semestinya sudah memasuki masa pensiun, Tiur masih harus memperjuangkan hak yang seharusnya sudah menjadi miliknya.
Dan di tengah terik, di balik kerumunan, ia tetap berdiri tegak, sebagai buruh, sebagai perempuan, dan sebagai suara yang tak boleh dibungkam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Cilincing
-
/data/photo/2025/05/01/6813251f89455.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Terpaksa Bertahan di Usia Senja, Kisah Tiur Sang Buruh Lansia Megapolitan 2 Mei 2025
-
/data/photo/2025/05/01/68131c94d3839.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Suara Resah Para Buruh: Banyak PHK Tanpa Pesangon Sesuai hingga Larangan Berserikat Megapolitan 2 Mei 2025
Suara Resah Para Buruh: Banyak PHK Tanpa Pesangon Sesuai hingga Larangan Berserikat
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah
buruh
menyuarakan beberapa keresahan mereka terkait kondisi dunia kerja saat ini.
Keresahan itu mereka sampaikan dalam aksi Hari
Buruh
2025 yang berlangsung di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (1/5/2025).
Salah satu buruh wanita bernama Tini (42) merasa prihatin terhadap fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dinilai lebih menguntungkan perusahaan daripada pekerja.
Ia menganggap kebijakan pemerintah saat ini cenderung berpihak kepada perusahaan.
“PHK jangan berpihak ke perusahaan terus. Perusahaan jadi seenaknya,” tegas Tini dalam wawancara dengan
Kompas.com
di depan Gedung DPR/MPR RI, Kamis.
Tini menyoroti soal perlakuan tidak adil yang sering diterima buruh saat mengalami PHK.
Ia mencatat ada banyak pekerja yang telah mengabdi selama 30 tahun pada sebuah perusahaan, tetapi hanya menerima pesangon dua bulan gaji saat terkena PHK.
“Dikasih pesangon karena terpaksa. Misalnya, kata Undang-undang harusnya pesangon enggak dua bulan gaji saja. Tapi, ini justru pesangonnya cuma dua kali gaji pokok, padahal mereka sudah kerja 25 sampai 30 tahun,” ungkap Tini.
Buruh wanita lainnya bernama Tiur (64) membagikan keluh kesahnya kepada
Kompas.com
mengenai pengalamannya bekerja pada usia senja.
Meski usianya sudah lanjut, Tiur tetap bertahan sebagai buruh di sebuah pabrik garmen di Jalan Cakung-Cilincing (Cacing), Jakarta Utara, demi memperoleh hak pesangon yang seharusnya ia terima.
Tiur mengatakan, ia seharusnya sudah pensiun sejak usia 58 tahun. Namun sampai saat ini, ketika usianya memasuki angka 64, pihak perusahaan belum juga memanggilnya untuk pensiun.
“Seharusnya saya sudah dipensiunkan pada usia 58 tahun, tapi sampai sekarang, saya belum dipanggil untuk pensiun,” ujar Tiur.
Tiur dan teman-temannya yang seumuran sudah sering mengajukan protes kepada pihak perusahaan, tetapi keluhan mereka tak juga mendapat perhatian.
Ia berpendapat bahwa pihak perusahaan sengaja mengulur waktu pensiun, dengan harapan para buruh akan mengundurkan diri secara sukarela.
“Mereka menunggu kita untuk mengundurkan diri,” jelas Tiur.
Tiur menjelaskan, pesangon yang akan diterima oleh buruh yang mengundurkan diri nantinya tidak akan sesuai dengan masa kerja yang telah dijalani.
Tiur mengaku seharusnya ia bisa mendapatkan pesangon sekitar Rp 125 juta setelah 25 tahun bekerja di pabrik garmen.
Namun, jika ia mengundurkan diri, Tiur khawatir pesangonnya akan dipotong oleh pihak perusahaan.
Pasalnya, banyak rekan-rekannya yang meminta pensiun pada usia 58 tahun justru menerima pesangon yang tidak sesuai dengan ketentuan.
“Salah seorang teman kami yang meminta pensiun hanya menerima pesangon di bawah Rp 100 juta, tepatnya sekitar Rp 80 juta lebih,” kata Tiur.
Selain soal masa pensiun ditunda, Tiur juga mengkritik tindakan perusahaan yang melarang buruh untuk berserikat.
“Kacau sekarang itu. Kami berorganisasi enggak bisa. Kalau ikut organisasi, (nanti) ditekan,” jelas Tiur.
Ia menambahkan, buruh yang terlibat dalam organisasi sering kali dihadapkan pada tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan melebihi batas target yang ditetapkan.
Tiur berharap agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh, sehingga perusahaan tidak dapat bertindak semena-mena pada masa depan.
(Penulis: Shinta Dwi Ayu | Editor: Larissa Huda)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Ribut-ribut Maut di Asrama Pelaut
Jakarta –
Pesta minuman keras (miras) di asrama pelaut di Jakarta Utara (Jakut) berujung maut. Seorang pelaut tewas dibacok pelaut lainnya.
Acara senang-senang berubah jadi tegang. Peristiwa itu bermula dari ucapan korban yang membuat pelaku tersinggung.
Keributan memakan korban jiwa itu terjadi di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakut. Satu orang tewas dalam kejadian tersebut.
Kanit Reskrim Polsek Tanjung Priok, Iptu Tommy Brian, mengatakan korban menghembuskan nafas terakhir saat dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja.
“Korban meninggal saat tiba di RSUD Jakarta Utara,” kata Iptu Tommy, Sabtu (19/4).
Kasus keributan maut itu terjadi pada Jumat (18/4) sekitar pukul 23.30 WIB. Berdasarkan keterangan saksi, awalnya terdengar keributan dari asrama pelaut.
Kemudian saksi melihat korban tergeletak bersimbah darah di tempat kejadian perkara (TKP). Polisi menyelidiki kasus dengan memeriksa 5 orang saksi berinisial S, A, CR, MH, dan UF.
Polisi lantas mengamankan seorang terduga pelaku dengan sejumlah barang bukti dari TKP berupa sebilah parang, handphone (HP) milik korban, serta pakaian korban.
Bermula Pesta Miras
Foto: Seorang pelayar tewas dibacok rekannya. Kasus bermula saat korban, pelaku, dan saksi pesta minuman keras di Asrama Pelaut Tanjung Priok, Jakarta Utara. (dok Istimewa)
Kasus keributan maut di Asrama Pelaut Tanjung Priok bermula dari pesta miras. Pesta minuman beralkohol itu berakhir saat YR alias Acil (25) tersinggung ucapan korban berinisial LH (26).
“Sebelum kejadian, tersangka, korban, dan sejumlah rekan lainnya berkumpul di asrama, menikmati makanan dan minuman beralkohol yang disiapkan tersangka dan dibeli oleh saksi,” kata Kapolres Metro Jakut, Kombes Ahmad Fuady, dalam keterangan, Rabu (30/4/2025).
Awalnya, tak ada persoalan di antara mereka. Ketegangan terjadi saat korban YR menyinggung kontribusi Acil di Asrama Pelaut itu.
“Suasana yang awalnya akrab berubah tegang ketika tersangka merasa tersinggung atas perkataan korban yang menyinggung dirinya terkait kontribusi kebutuhan asrama,” terangnya.
Acil merasa terhina dan tersulut emosinya atas ucapan korban. Dia lalu membubarkan pesta miras. Rekan-rekan pelaut lain diusir dari lokasi pesta miras.
“Emosi tersangka memuncak setelah merasa dihina, hingga akhirnya menyuruh saksi lain meninggalkan ruangan dan mengambil sebilah parang dari atas lemari,” ucapnya.
Acil kemudian membacok korban YR sebanyak tiga kali. Korban mengalami luka di bagian kepala, tangan, dan pundak.
Korban sempat dilarikan oleh warga ke RSUD Koja, namun nyawanya tak tertolong dalam perjalanan.
Pelaku Dibekuk Saat Ngumpet
Foto: Gedung Polres Metro Jakarta Utara (dok detikcom)
Keributan maut di Asrama Pelaut itu terjadi pada Jumat (18/4) malam. Polisi bergerak cepat dan menangkap tersangka Acil pada Sabtu (19/4) sekitar pukul 08.00 WIB.
“Tim gabungan dari Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara dan Unit Reskrim Polsek Tanjung Priok berhasil menangkap pelaku yang bersembunyi di pos keamanan Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara,” ucapnya.
Dari tangan pelaku, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa sebilah parang, celana jeans biru, celana pendek bercorak biru-putih, serta hasil visum dan autopsi korban. Tersangka Acil dijerat Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.
Fuady menyatakan kejadian ini menjadi pelajaran penting tentang bahaya pengaruh alkohol dan pentingnya pengendalian emosi. Proses hukum terhadap tersangka akan terus dikawal hingga tuntas.
Halaman 2 dari 3
(jbr/aud)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-
/data/photo/2025/04/30/6811a0ee22972.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Lapangan dan Empang Itu Kini Berubah Jadi Gunung Sampah… Megapolitan 1 Mei 2025
Lapangan dan Empang Itu Kini Berubah Jadi Gunung Sampah…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gunungan sampah di Jalan Reformasi, Rawa Malang, Cilincing, Jakarta Utara, dibiarkan begitu saja bertahun-tahun.
Menurut sejumlah warga, tumpukan sampah itu sudah mulai ada sejak 10 tahun ke belakang.
“Sudah lama jadi tempat sampah, dari saya masih belum menikah, sampai sekarang punya anak tiga. Sekitar tahun 2015 mulai banyak sampah yang menumpuk,” ujar warga bernama Tony (bukan nama sebenarnya) (37) saat diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Rabu (30/4/2025).
Awalnya, lahan tumpukan sampah tersebut merupakan lapangan bola dan empang.
Namun, lambat laun, lapangan dan empang tersebut justru dipenuhi dengan sampah hingga menggunung seperti sekarang ini.
Pengamatan
Kompas.com
di lokasi,
gunung sampah
itu kini sudah mencapai 10 meter dan melebihi atap rumah warga.
Sejumlah warga menyebut gunungan sampah itu bukan milik warga sekitar.
Melainkan sampah kiriman dari restoran dan mal yang ada di Jakarta.
“Kalau sampah warga mah enggak ada, justru sampah kiriman. Paling sampah warga sedikit doang. Sampah dari mobil. Itu sampah dari resto-restoran mungkin, buang di situ,” jelas Tony.
Sampah-sampah itu dibiarkan menumpuk begitu saja.
Alhasil, sampah terus bertambah dan semakin menggunung hingga saat ini.
Lahan yang dipenuhi tumpukan sampah itu diduga dikelola oleh salah satu warga.
Warga tersebut pun menerima bayaran dari pihak mal dan restoran agar bisa membuang sampah di tempat itu.
“Ada pengelolanya warga sekitar,” ujar salah satu warga bernama Rudi (bukan nama sebenarnya) (74) saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Rabu.
Sedangkan warga lain bernama Yuniar (bukan nama sebenarnya) (54) menyebut oknum tersebut dilindung oleh salah satu orang yang memiliki kuasa.
Hal itu lah, yang diduga membuat tumpukan sampah masih terus menggunung di Jalan Reformasi hingga kini.
Terus menumpuk selama 10 tahun, membuat warga tak lagi tahan dengan bau sampah tersebut.
Menurut sejumlah warga, aroma sampah itu akan semakin menyengat ketika hujan dan malam tiba.
Yuniar mengatakan, sebenarnya masalah tumpukan sampah itu sudah berkali-kali diprotes oleh warga.
“Soalnya, dulu udah banyak yang demo, tapi enggak bisa juga. Warga dari seberang kan kebauan,” ucap Yuniar.
Protes warga tak digubris karena pengelola lahan tersebut dibeking seseorang.
Hal itu lah yang membuat warga yang berdemo lelah sendiri dan akhirnya menyerah begitu saja.
Aroma sampah yang menyengat tentu saja berpotensi menganggu kesehatan anak-anak di sekitar Rawa Malang.
Menurut Yuniar, banyak anak yang sesak napas imbas mengirup aroma sampah itu.
“Kalau anak-anak suka batuk, pilek, sesak napas, tapi udah biasa sih,” ujar Yuniar.
Bahkan, ia sendiri sering batuk dan pilek.
Namun, karena sudah terbiasa dengan aroma sampah, ia hanya bisa pasrah.
“Enggak sudah biasa, jadi sudah berserah aja. Kalau misal kita sakit batuk atau apa, ya, udah kita berobat aja,” jelas Yuniar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/30/6811a5a5a554c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tumpukan Sampah Setinggi 10 Meter di Rawa Malang Jakut Sudah 10 Tahun Megapolitan 30 April 2025
Tumpukan Sampah Setinggi 10 Meter di Rawa Malang Jakut Sudah 10 Tahun
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah warga menyebut tumpukan
sampah
setinggi 10 meter sudah 10 tahun yang lalu di Jalan Reformasi, Rawa Malang, Cilincing, Jakarta Utara.
“Udah lama jadi tempat sampah, dari saya masih belum menikah, sampai sekarang punya anak tiga. Sekitar tahun 2015 mulai banyak sampah yang menumpuk,” ujar salah satu warga bernama Tony (bukan nama sebenarnya) (37) saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Rabu (30/4/2025).
Tony mengatakan, sebelum menjadi tempat penumpukan sampah, lahan itu merupakan lapangan dan empang. Di lapangan itulah, biasanya anak-anak Rawa Malang bermain bola.
Hal senada juga dikatakan oleh warga lain bernama Rudi (bukan nama sebenarnya) (72). Gunungan sampah itu sudah ada sejak 10 tahun yang lalu.
“Sudah 10-15 tahun lebih, udah mulai
tumpukan sampah
,” tutur Rudi.
Rudi juga mengatakan, sebelum menjadi tempat sampah, lahan itu merupakan lapangan dan empang.
Namun, entah mengapa seiring berjalannya waktu, lahan kosong tersebut dipenuhi tumpukan sampah hingga menggunung seperti sekarang ini.
Sementara warga lain bernama Yuniar (bukan nama sebenarnya) (54) mengatakan, tumpukan sampah itu sudah berkali-kali diprotes oleh warga.
“Soalnya, dulu udah banyak yang demo, tapi enggak bisa juga. Warga dari seberang kan kebauan,” ucap Yuniar.
Yuniar mengatakan, protes warga tak digubris karena lahan yang penuh tumpukan sampah itu dikelola oleh salah satu warga sekitar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/30/6811a0ee22972.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga Protes Bau Menyengat dari Tumpukan Sampah Setinggi 10 Meter di Rawa Malang Megapolitan 30 April 2025
Warga Protes Bau Menyengat dari Tumpukan Sampah Setinggi 10 Meter di Rawa Malang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah warga memprotes
bau menyengat
dari tumpukan
sampah
setinggi 10 meter di Jalan Reformasi, Rawa Malang, Cilincing,
Jakarta Utara
.
Salah satunya, Tony (bukan nama sebenarnya) (37) yang rumahnya berseberangan langsung dengan
tumpukan sampah
itu.
“Ketika hujan baunya ke arah Kampung Rawa Malang sini, terus kalau ada angin juga,” kata Tony saat ditemui Kompas.com di lokasi, Rabu (30/4/2025).
Tony mengatakan, bau sampah semakin menyengat saat malam hari.
“Kalau malam, ya, baunya arah ke sini juga.
Bau menyengat
gitu, kayak bau bangkai,” sambung Tony.
Padahal, rumah Tony berjarak sekitar 500 meter dan dibatasi Kali Drainase Cilincing dengan lokasi tumpukan sampah itu.
Meski agak jauh, aroma sampah di sekitar rumah Tony tetap benar-benar menyengat.
Senada dengan Tony, Dudin (bukan nama sebenarnya) (54) juga mengeluhkan bau tumpukan sampah di seberang rumahnya.
“Kalau lagi dikeruk baunya ke mana-mana, bau banget,” ucap Dudin.
Sementara Yuniar (bukan nama sebenarnya) (54) warga yang rumahnya sederetan dan hanya berjarak 200 meter dari lokasi penumpukan sampah, juga keluhkan hal yang sama.
“Bau aja, kalau musim hujan baunya sampai sini. Karena ini kan sampah kering, sampah basah campur,” tutur Yuniar.
Yuniar mengatakan, keberadaan tumpukan sampah itu sudah pernah diprotes oleh warga. Namun, tetap saja sampai saat ini tidak juga dipindah dan terus menggunung.
Tempat penumpukan sampah itu disebut dikelola oleh salah satu warga sekitar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/30/68118e7e9c104.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sampah Menumpuk di Rawa Malang Jakut Setinggi 10 Meter Megapolitan 30 April 2025
Sampah Menumpuk di Rawa Malang Jakut Setinggi 10 Meter
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sampah menumpuk setinggi 10 meter di Jalan Reformasi, Rawa Malang, Cilincing, Jakarta Utara.
Pengamatan Kompas.com di lokasi, Rabu (30/4/2025), tumpukan sampah terlihat dari seberang jalan yang berjarak 500 meter dari lokasi tersebut.
Lokasi tempat penimbunan sampah itu berseberangan langsung dengan Jalan Akses Rawa Malang, RT 10, RW 09, Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara.
Antara Jalan Reformasi tempat tumpukan sampah itu berada, dengan Jalan Akses Rawa Malang sendiri dibatasi oleh Kali Drainase Cilincing.
Meski posisinya berjarak 500 meter, aroma sampah yang busuk begitu tercium menyengat dari Jalan Akses Rawa Malang.
Namun, untuk mendekat ke tempat tumpukan sampah itu, setiap orang harus menyebarangi Kali Drainase Cilincing dengan perahu eretan.
Sementara jika memutar jalan, jarak yang harus ditempuh kurang lebih dua kilometer untuk menuju ke lahan tumpukan sampah itu.
Usai menyeberang pakai eretan, Kompas.com langsung dikejutkan dengan pemandangan sampah yang menggunung.
Ada sekitar 200 meter lahan yang dipenuhi tumpukan sampah baik itu kering dan basah.
Sepanjang lahan yang menjadi tempat penyimpanan sampah itu, terlihat dipagari dengan seng yang sudah berkarat.
Meski begitu, ketinggian sampah tetap melampaui pagar pembatasnya.
Bahkan, ketinggian tumpukan sampah ini lebih tinggi dari rumah-rumah warga yang berada di sekitarnya.
Menurut salah satu warga bernama Tony (bukan nama sebenarnya) (37), dulu tempat penumpukan sampah itu merupakan lapangan luas dan empang.
“Dulunya lapangan bola gede tempat bermilain warga Rawa Malang, ada empang juga, sawah,” jelas Tony saat diwawancarai Kompas.com di lokasi, Rabu.
Namun, sejak tahun 2005, perlahan lapangan bola itu berubah menjadi tempat pembuangan sampah, sampai akhirnya menggunung.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Makin Semrawut, Pakar Sarankan Prabowo Setop MBG dan Evaluasi Menyeluruh
GELORA.CO – Program mulia di era Presiden Prabowo Subianto, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), belakangan menuai sorotan publik. Kasus keracunan berulang kali terjadi, hingga sengkarut pembayaran mitra kerja MBG.
Melihat berbagai masalah yang terjadi saat implementasi program MBG, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, sudah memprediksi ejak lama. Dia pun menyarankan agar program ini dihentikan untuk dievaluasi secara menyeluruh.
“Jadi sekali lagi tolong setop dulu, evaluasi dulu, kemudian buat aturan yang jelas, bagaimana keterlibatan Pemda, bagaimana keterlibatan swasta, bagaimana keterlibatan UMKM dan publik,” tegas Agus kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Sejatinya, kata Agus, MBG adalah program yang bagus, namun karena tidak dipersiapkan secara teliti dan terkesan terburu-buru, akhirnya justru menambah daftar masalah di kemudian hari.
“MBG ini enggak jelas underlying-nya atau peraturan perundang-undangannya, hanya ada perpres ke kepala BGN. Sekarang yang dilihat apa? Saya sudah sampaikan bahwa ini satu, MBG ini sumber korupsi yang sulit dilacak. Kkarena makanan. Bagaimana mengauditnya? Mau hitung berapa toge yang dimakan, kemudian yang dibeli, kan sulit,” tuturnya.
Agus juga menyoroti minimnya keterlibatan Pemda hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Padahal kata dia, seharusnya BPOM yang bertugas untuk mengecek kualitas makanan dan mengawasi, tentu harus terlibat di dalam program ini.
“Ini adalah pangan yang ditelan oleh manusia yang kalau salah, entah salah bumbu, entah alergi, entah apa, itu bisa fatal. Dan itu terbukti kan? Semua ada yang mencret dan amit-amit nanti (jangan) sampai ada nyawa melayang, karena itu berat (pertanggungjawabannya),” ungkap Agus.
“Karena memang pengawasannya menurut saya tidak ada, kalaupun ada, basa-basi. Karena yang mengawasi itu adalah anak-anak lulusan sekolah Gizi, ada yang dari Aceh dikirim ke Jakarta, naik bus tiga hari, enggak dikasih uang, makan dari apa, sampai sini kerja pakai gaji UMR, mereka terlatih tidak? Jadi ini program bagus, tapi terburu-buru sehingga tidak karuan,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Agus juga menyoroti tujuan awal MBG terkait mengerek perekonomian UMKM. Namun nyatanya, UMKM malah merugi hingga tidak dibayar.
“Malah UMKM yang di sekolah kan mati, yang kantin-kantin itu mati kan? Karena anak-anaknya dikasih makan gratis. Terus UMKM yang mana? Open supply sayur, buah, itu tidak dibayar, kan di beberapa daerah tidak dibayar. Padahal kepala BGN bilang ‘uangnya sudah ada di kita, saya tinggal bayarkan’ lah (mana) buktinya,” ujarnya.
Ia bahkan menceritakan bila temannya sebagai pihak swasta pernah diminta, untuk turut berpartisipasi dalam program ini hingga didatangi Babinsa. Namun tanpa ada biaya yang jelas, tentu tidak ada yang mau ikut andil.
“Kan (anggaran per porsi) Rp10.000 bagaimana masakannya, kalau sewa piringnya saja Rp2.500? Belum untuk gaji orang-orang yang bekerja. Lalu tinggal berapa? Lalu yang nanggung kurangnya siapa? Enggak jelas,” ucap Agus.
Dia menyarankan, program MBG dievaluasi terlebih dahulu. Tak hanya itu, dirinya juga meminta agar program ini tidak perlu diterapkan pada seluruh daerah, terutama kota-kota besar.
“Untuk makanan, jangan ke seluruh Indonesia. Jangan, please, karena di kota-kota besar, anak-anak tidak suka makanan (MBG) itu karena makanannya enggak enak,” kata dia.
“Jadi mending pakai kupon atau sistem lain yang memang sekolahnya atau anaknya tidak mampu, berikan dia (MBG). Katakan daerahnya di cilincing, sana, cakung kan banyak nelayan, anaknya kurang gizi, di sana boleh. Tapi jangan dikasih di Kebayoran, di Menteng, di Pondok Indah, jangan lah. Enggak ada yang mau makan,” tandasnya.

