Menanti Kedatangan Rafale: Perisai Baru di Langit Nusantara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Langit Indonesia akan kedatangan perisai baru yakni
Jet tempur
generasi 4.5,
Rafale
. Jet tempur buatan Dassault Aviation, Perancis itu dijadwalkan tiba di Tanah Air pada 2026.
Kehadiran Rafale akan memperkuat jajaran
jet tempur
TNI AU
yang selama ini ditopang oleh F-16, Sukhoi Su-27 dan Su-30, dan Hawk 209.
Masuknya Rafale menjadi bagian dari modernisasi alat utama sistem persenjataan (
alutsista
) Indonesia di tengah meningkatnya dinamika geopolitik kawasan, terutama di Laut China Selatan.
Dengan teknologi canggih, Rafale dinilai menjadi jawaban atas kebutuhan Indonesia untuk menjaga kedaulatan wilayah udara.
Tantangan dunia pertahanan Indonesia tidak hanya bersumber dari konflik terbuka. Namun juga potensi pelanggaran wilayah, penyusupan udara oleh pesawat asing, hingga ketegangan militer di kawasan Asia Pasifik.
Di sisi lain, pengadaan Rafale merupakan upaya Indonesia dalam memperkuat diplomasi pertahanan dengan negara-negara mitra. Termasuk juga mendukung transformasi TNI AU menuju kekuatan yang adaptif dan modern.
Rafale diharapkan tak hanya memperkuat daya tangkal Indonesia, tetapi juga menjadi simbol komitmen dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.
Rafale dikenal sebagai salah satu jet tempur paling canggih di dunia dalam kelas generasi 4.5. Selain itu, Rafale juga dirancang sebagai pesawat yang serba bisa.
Jet tempur ini mampu menjalankan berbagai misi sekaligus. Mulai dari pertempuran udara ke udara, serangan darat, hingga pengintaian strategi tanpa perlu ganti konfigurasi.
Melansir Air Force Technology, Rafale memiliki kokpit yang dilengkapi dengan hands-on throttle and stick control (HOTAS).
Rafale menggunakan radar pemindai elektronik RBE2. Dibandingkan dengan radar dengan antena konvensional, RBE2 mampu mendeteksi dan melakukan pelacakan lebih awal dari beberapa target.
Dengan kekuatan komputasi yang luar biasa, RBE2 menawarkan kinerja yang tidak dapat direplikasi oleh radar pemindaian mekanis.
Rafale juga memiliki sistem
Front Sector Optronics
(FSO) yang terintegrasi penuh ke dalam pesawat. Sistem ini memungkinkan pesawar beroperasi dalam panjang gelombang optronic, kebal terhadap gangguan radar, menyediakan deteksi dan identifikasi jarak jauh terselubung, dan pencarian jangkauan laser untuk target udara, laut, dan darat.
Rafale dilengkapi dengan sistem perang elektronik SPECTRA. Di sisi lain juga memiliki kemampuan membawa berbagai jenis rudal seperti Meteor (jarak jauh) dan SCALP (rudal jelajah).
Rafale memiliki rentang sayap selebar 10,90 meter dan panjang 15,30 meter, serta tinggi 5,30 meter. Jet tempur ini bisa melaju dengan kecepatan maksimal
1,8 march atau 750 knot.
Ketinggian maksimal Rafale mencapai 15, 24 kilometer. Radius tempurnya 1.850 km dengan daya jelajahnya 3.700 km.
Rafale memiliki bobot lepas landas hingga 24,5 ton. Jet tempur ini mampu membawa 4,7 ton bahan bakar internal dan 6,7 ton bahan bakar eksternal.
Rafale juga memiliki keunggulan manuver dan avionik yang canggih. Bahkan, kemampuan bertahan dalam medan tempur modern membuat Rafale sangat ideal untuk menghadapi dinamika ancaman di kawasan Indo-Pasifik.
Dibandingkan dengan jet-jet yang dimiliki Indonesia saat ini, Rafale menawarkan peningkatan signifikan dalam hal teknologi, daya tahan, dan efektivitas misi.
Jet ini juga telah teruji dalam berbagai operasi militer oleh Angkatan Udara Perancis di Libya, Mali, dan Suriah, membuktikan ketangguhannya dalam medan tempur sesungguhnya.
Kesepakatan pembelian Rafale diumumkan saat Presiden Prabowo Subianto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) berkunjung ke Paris, Perancis pada Februari 2022.
Total 42 unit Rafale dipesan secara bertahap dengan kontrak awal mencakup 6 unit pertama.
“Kita rencananya akan mengakuisisi 42 pesawat Rafale. Kita mulai hari ini dengan tanda tangan kontrak pertama untuk enam pesawat,” kata Prabowo, Kamis (10/2/2022).
Nilai total kesepakatan disebut mencapai sekitar 8,1 miliar dollar Amerika Serika (AS) yang mencakup pesawat, persenjataan, pelatihan, serta dukungan logistik.
Kontrak pengadaan 42 jet tempur Rafale ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama pengadaan Rafale dilakukan pada September 2022 untuk enam unit pesawat.
Kemudian, pada Agustus 2023, kontrak tahap kedua aktif dengan jumlah 18 unit Rafale. Lalu kontrak ketiga dilakukan pada 8 Januari 2024 untuk pengadaan 18 unit Rafale.
Rencananya, enam unit Rafale akan tiba di Indonesia secara bertahap pada Februari atau Maret 2026 .
“Di tahun depan, sekitar bulan Februari atau Maret, kita sudah mulai datang pesawat Rafale, tiga pesawat, dan tiga bulan kemudian itu tiga pesawat lagi,” kata Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Tonny Harjono, usai memimpin Rapim TNI AU di Mabesau Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (3/2/2025).
TNI AU telah melakukan sejumlah persiapan strategis untuk menyambut kedatangan jet tempur Rafale. Mulai dari menyiapkan infrastruktur hingga personel pendukung.
Hal pertama yang dilakukan adalah menyiapkan pangkalan udara atau
home base
. Dua lanud disebut-sebut akan menjadi markas Rafale adalah Lanud Roesmin Nurjadin di Pekanbaru dan Lanud Supadio di Pontianak.
KSAU Marsekal Tonny Harjono menyebut enam pesawat Rafale yang akan tiba di Indonesia pada tahun 2026 bakal ditempatkan di Lanud Rusmin Nuryadin, Pekanbaru.
“Kami laksanakan di Pekanbaru, karena memang nanti homebase-nya akan ada di sana. Di Pekanbaru kita sudah membangun simulator, kemudian hanggar-hanggar yang kita bilang smart building,” jelasnya.
Dia mengatakan fasilitas penerbangan dan sistem pendukung lainnya di Lanud Rusmin Muryadin diperbaiki.
“Fasilitas-fasilitas penerbangan di sana pun kita perbaiki, sistem logistik juga sedang berproses kita bangun, kemudian software, peranti lunaknya juga sudah kami siapkan
Terbaru, Panglima Komando Operasi Udara Nasional (Pangkoopsudnas), Marsdya TNI Tedi Rizalihadi meninjau langsung progres pembangunan infrastruktur pendukung kedatangan Rafale di Lanud Roesmin Nurjadin, pada Selasa (15/4/2025),
Tedi sempat meninjau pembangunan Gedung Simulator Rafale. Sebagai orang yang pernah menjajal langsung Rafale, dia mengingatkan agar pembangunan markas jet tempur itu harus mengedepankan keselamatan kerja dan mutu bangunan.
Sebab, fasilitas tersebut nantinya menjadi fondasi operasional generasi muda AU yang menjaga kedaulatan udara Indonesia.
Modernisasi alutsista tak akan berarti tanpa kesiapan sumber daya manusianya. Inilah yang kini menjadi fokus KSAU Marsekal TNI M. Tonny Harjono.
Selain kesiapan infrastruktur, KSAU menyadari pentingnya kesiapan dari para personel calon penerbang Rafale.
Dia mengatakan, personel penerbang juga sudah siap dipilih untuk melaksanakan pendidikan calon penerbang pesawat Rafale.
“Tentunya dilihat dari berbagai background penugasan di pesawat-pesawat yang sekarang kita punya,” ucap KSAU.
Penerbang pesawat tempur F-16 hingga Sukhoi 30 itu juga memastikan sejauh ini tak ada kendala terkait progres kedatangan Rafale yang dijadwalkan tiba pada Februari 2026.
“Semua (unit Rafale) sudah dalam konteks kontrak ya. Kita mengikuti apa yang sudah direncanakan. Sejauh ini progresnya baik,” ucap Tonny.
Selain itu, sejumlah teknisi dan pilot TNI AU juga telah dikirim ke Perancis untuk menjalani pelatihan intensif agar mampu mengoperasikan dan merawat jet ini secara mandiri.
Pihak Kementerian Pertahanan (Kemenhan) juga bekerja sama dengan Dassault Aviation untuk menyediakan sistem dukungan logistik jangka panjang, termasuk ketersediaan suku cadang dan sistem perawatan berbasis prediktif.
Hal ini untuk memastikan agar armada Rafale dapat beroperasi dengan kesiapan tinggi dan waktu rehat (
downtime
) minimal.
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) turut berperan dalam menyambut kedatangan jet tempur Rafale. PT DI telah mengirimkan beberapa teknisi ke Perancis untuk mempelajari Rafale.
Pengiriman teknisi itu dilakukan agar Indonesia nantinya memiliki SDM yang andal dalam merawat pesawat jet tempur Rafale.
Namun, dia tak merinci jumlah teknisi yang dikirim dan lama pelatihan di Perancis.
“Sudah dikirim ke sana (Perancis),” kata Direktur Utama PT DI, Gita Amperiawan di Bandung, Jawa Barat, Rabu (26/2/2025).
Dia mengungkapkan, PT DI telah memperoleh program offset dari kerja sama dengan Rafale yakni pelatihan teknisi hingga pembuatan computer basic training (CBT).
Dengan adanya kerja sama
offset
ini, diharapkan Indonesia memiliki personel yang dapat mengoperasikan hingga melakukan perawatan pesawat tempur Rafale sebaik-baiknya.
Pengamat militer Khairul Fahmi mengingatkan bahwa membeli Rafale adalah keputusan strategis. Kedatangan Refale diharapkan semakin memperkuat pertahanan udara Nusantara.
“Diversifikasi alutsista ini juga menguatkan posisi Indonesia dalam diplomasi pertahanan,” kata Fahmi kepada Kompas.com, Senin (5/5/2025).
Di sisi lain, sebagai produk Perancis, Rafale tidak terikat pengawasan ketat layaknya produk negara adikuasa.
Menurutnya, peluang kerja sama industri dan transfer teknologi pun terbuka dalam pembelian Rafale.
Namun, hal tersebut harus dibarengi dengan persiapan yang menyeluruh. Mulai dari pembangunan hanggar, fasilitas pemeliharaan, komunikasi dan sensor.
“Rafale bukan sekadar pesawat tempur baru, tapi sistem senjata kompleks yang butuh ekosistem pendukung modern. Tanpa itu, Rafale hanya akan jadi pesawat parkir,” ujarnya.
Fahmi juga menekankan perlunya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Sebab, Rafale membawa teknologi generasi 4.5 yang membutuhkan pelatihan intensif bagi pilot dan teknisi. Termasuk juga penyesuaian doktrin tempur TNI AU.
Tak kalah penting adalah aspek pemeliharaan dan biaya operasional. Menurutnya, dengan biaya operasional yang tinggi, Indonesia perlu menyusun skema
sustainment multiyear
, termasuk pengadaan suku cadang dan sistem logistik jangka panjang.
Fahmi menyebut skema performance-based logistics (PBL) bisa menjadi solusi agar biaya lebih terukur.
Dia kembali mengingatkan agar pemerintah serius membangun ekosistem pendukung agar Rafale benar-benar menjadi kekuatan baru TNI AU.
Kedatangan Rafale, kata dia, harus dibarengi kesiapan menyeluruh agar tak berubah menjadi “macan kertas yang mahal”.
“Intinya, Rafale bisa menjadi lompatan besar bagi TNI AU, tapi lompatan itu tidak otomatis terjadi hanya karena pesawat datang. Tanpa ekosistem pendukung, SDM yang benar-benar terlatih, dan perencanaan sustainment yang matang, Rafale bisa berubah menjadi ‘macan kertas yang mahal’,” kata Fahmi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.