kab/kota: Christchurch

  • Spesies Aneh Ular Kuno Ditemukan di Inggris

    Spesies Aneh Ular Kuno Ditemukan di Inggris

    Jakarta

    Sebuah fosil ular yang baru diidentifikasi mengungkapkan petunjuk tentang evolusi ular awal. Ciri-ciri campurannya menyoroti cabang kuno pohon keluarga caenophidian.

    Identitasnya baru terungkap setelah lebih dari empat puluh tahun setelah pertama kali digali. Reptil yang diberi nama Paradosophision richardoweni ini membantu para peneliti mengeksplorasi bagaimana kelompok ular modern yang paling luas pertama kali mulai berevolusi.

    Fosil yang ditemukan di Hordle Cliff, di sepanjang pantai selatan Inggris pada 1981 ini, sekarang diakui sebagai milik spesies yang belum pernah didokumentasikan sebelumnya.

    Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Comptes Rendus Palevol, hewan ini mewakili spesies baru yang disebut Paradoksofiion richardoweni. Ular ini hidup sekitar 37 juta tahun yang lalu, pada zaman Ketika wilayah yang kini menjadi Inggris memiliki lebih banyak spesies ular.

    Evolusi Caenophidian Awal

    Meskipun biologi tentang ular masih belum banyak diketahui, sisa-sisanya memberikan informasi berharga tentang sejarah awal capophidians, kelompok besar yang mencakup sebagian besar ular hidup. Paradoksofision tampaknya menjadi salah satu anggota paling awal dari garis keturunan ini.

    Anatominya menunjukkan perpaduan sifat yang tidak biasa yang saat ini tersebar di ular caenophidian yang berbeda, kombinasi yang tercermin dalam nama genus Paradoksofi, yang diterjemahkan menjadi ‘ular paradoks’ dalam bahasa Yunani.

    Adapun penamaan spesies ini mengambil nama dari Sir Richard Owen, yang menggambarkan ular fosil pertama dari Hordle Cliff dan memainkan peran kunci membangun Museum Sejarah Alam, tempat fosil-fosil ini disimpan.

    Penulis Utama studi Dr. Georgios Georgalis, dari Institute of Systematics and Evolution of Animals of the Polish Academy of Sciences di Krakow, mengatakan bahwa keberhasilan menggambarkan spesies baru dari koleksi yang sudah ada merupakan mimpi yang menjadi kenyataan.

    “Itu adalah impian masa kecil saya untuk dapat mengunjungi Museum Sejarah Alam, apalagi melakukan penelitian di sana,” ungkap Georgios seperti dikutip dari SciTechDaily.

    “Jadi, ketika saya melihat tulang belakang yang sangat aneh ini dalam koleksi dan tahu bahwa itu adalah sesuatu yang baru, itu adalah perasaan yang luar biasa,” sebutnya.

    Penemuan di Hordle Cliff

    Hordle Cliff, dekat Christchurch di pantai selatan Inggris, ibarat menawarkan jendela untuk menengok periode sejarah Bumi yang dikenal sebagai Eosen yang berlangsung sekitar 56 hingga 34 juta tahun yang lalu.

    Dr. Marc Jones, kurator reptil fosil dan amfibi yang ikut menulis penelitian, mengatakan bahwa zaman ini menyaksikan perubahan iklim yang dramatis di seluruh dunia.

    “Sekitar 37 juta tahun yang lalu, Inggris jauh lebih hangat dari sekarangMeskipun Matahari sedikit redup, kadar karbon dioksida atmosfer jauh lebih tinggi,” Marc menjelaskan.

    “Inggris pada zaman itu juga sedikit lebih dekat ke khatulistiwa, yang berarti bahwa ia menerima lebih banyak panas dari Matahari sepanjang tahun,” imbuhnya.

    Fosil pertama kali ditemukan di Hordle Cliff sekitar 200 tahun yang lalu. Pada awal 1800an Barbara Rawdon-Hastings, Marchioness of Hastings yang berburu fosil, mengumpulkan tengkorak kerabat buaya dari situs tersebut.

    Sejak itu, berbagai fosil kura-kura, kadal, dan mamalia juga telah ditemukan di Hordle Cliff. Ada juga fosil ular yang melimpah, termasuk beberapa spesies yang sangat penting.

    “Fosil ular yang ditemukan di Hordle Cliff adalah yang pertama dikenali ketika Richard Owen mempelajarinya pada pertengahan abad kesembilan belas. Mereka termasuk PaleryxPaleryx, ular konstriktor pertama yang disebutkan dalam catatan fosil,” kata Georgios.

    Untuk melihat lebih baik fosil-fosil ini, Marc dan Georgios mengambil CT scan tulang. Secara total, mereka mengidentifikasi 31 vertebra dari berbagai bagian tulang belakang Paradoksofi.

    Pemindaian menunjukkan bahwa fosil ini memiliki bentuk dan ukuran yang sedikit berbeda, karena tulang belakang ular secara bertahap meruncing dari kepala ke ekor. Namun, mereka berbagi beberapa fitur yang menunjukkan bahwa mereka semua milik satu spesies.

    Georgios memperkirakan bahwa Paradoksofi memiliki Panjang kurang dari satu meter, tetapi rincian lain tentang kehidupan hewan ini sulit untuk diungkap. Kurangnya tengkorak membuat sulit untuk mengetahui apa yang dimakannya, dan tulang belakang tidak memiliki tanda-tanda apakah hewan ini memiliki kebiasaan khusus, misalnya menggali.

    Meskipun tulang belakang tidak memberikan banyak tentang gaya hidup Paradoksofi, mereka sangat mirip dengan sekelompok ular yang dikenal sebagai Acrochordids. Reptil ini dikenal sebagai ular belalai gajah karena kulitnya yang luar biasa longgar.

    Saat ini, hanya beberapa spesies ular ini yang dapat ditemukan hidup di Asia Tenggara dan Australia utara. Tetapi mereka adalah salah satu cabang paling awal dari pohon keluarga caenophidian, dengan catatan fosil yang membentang lebih dari 20 juta tahun.

    “Karena Paradoksofi sangat mirip dengan acrochordids, mungkin saja ular ini bisa menjadi anggota tertua dari keluarga ini. Jika demikian, maka itu bisa berarti bahwa hewan ini adalah spesies akuatik, karena semua Acrochordids adalah akuatik,” rinci Georgios.

    “Di sisi lain, itu mungkin milik kelompok capophidian yang sama sekali berbeda. Tidak ada cukup bukti saat ini untuk membuktikan bagaimana ular ini mungkin hidup, atau keluarga mana yang dimilikinya,” duganya.

    Mencari tahu lebih banyak tentang Paradoksofi dan evolusi awal caenophidians berarti bahwa lebih banyak fosil perlu dipelajari. Georgios berharap untuk melanjutkan karya penelitiannya dalam koleksi reptil fosil yang ada. Ia percaya ada lebih banyak spesies baru menunggu ditemukan.

    (rns/afr)

  • Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Desember 2025

    Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana Nasional 4 Desember 2025

    Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
    18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute
    INDONESIA
    kembali memasuki musim bencana dengan luka yang belum benar-benar sembuh dari tahun-tahun sebelumnya.
    Di berbagai daerah, banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem terus merenggut nyawa dan menenggelamkan harapan.
    Dari Sumatera hingga Sulawesi, dari desa-desa terpencil hingga pesisir yang padat penduduk, tangisan warga sering kali lebih cepat terdengar melalui video amatir di media sosial ketimbang pernyataan resmi pemerintah.
    Situasi ini bukan sekadar persoalan cuaca atau geologi, tetapi ujian bagi komunikasi kepemimpinan kita. Bencana alam setiap tahun seolah mengulang pertanyaan yang sama bagaimana pemimpin hadir, berbicara, dan memenuhi tanggung jawab moralnya?
    Dalam lanskap bencana yang kompleks ini, ada satu hal yang terasa makin langka: empati yang otentik. Kita menyaksikan bukan empati yang sekadar dangkal, tetapi lebih berbahaya: nirempati, kondisi ketiadaan empati.
    Nirempati dalam makna sesungguhnya berarti ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memahami, merasakan, atau merespons perasaan dan kebutuhan emosional orang lain.
    Ini adalah sikap mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
    Kita menyaksikan pejabat berdiri di tengah puing-puing rumah yang hanyut, memegang mikrofon, diapit kamera dan perangkat dokumentasi, mengucapkan frasa-frasa seperti “kami berduka”, “kami hadir untuk rakyat”, atau “kami akan segera bergerak”.
    Namun, pada saat yang sama masyarakat bertanya apa bedanya dengan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi?
    Mereka menunggu bukan sekadar kata-kata yang menenangkan, tetapi jaminan bahwa hidup mereka benar-benar diperhatikan dan tidak hanya dijadikan latar belakang cuplikan berita.
    Sebagai pengamat aspek kepemimpinan, saya melihat bahwa gestur-gestur superfisial itu bukanlah empati semu, melainkan manifestasi dari nirempati yang berwajah manis.
    Nirempati muncul ketika pemimpin hanya menampilkan gestur empatik, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh atau kebijakan yang berubah.
    Mereka hadir, tetapi tidak betul-betul hadir, hanya memenuhi protokol visual yang steril. Mereka berbicara, tetapi tidak memasuki ruang emosional masyarakat, menjaga jarak aman dari trauma yang sebenarnya.
    Empati yang diharapkan korban bencana bukanlah simpati instan yang memisahkan, melainkan kehadiran yang memahami, mengakui, dan berkomitmen untuk bertindak nyata.
    Banyak penelitian tentang kepemimpinan dalam krisis menyebutkan bahwa empati yang otentik mampu menurunkan kecemasan kolektif, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kepercayaan publik.
    Ketika pemimpin tidak mampu menunjukkan empati sejati, maka ruang publik terisi oleh kebingungan, frustrasi, dan kecurigaan, yang dalam konteks manajemen bencana, adalah penghambat terbesar bagi koordinasi dan pemulihan, sebuah kegagalan kepemimpinan pada tingkat moral.
    Ketika bencana datang bertubi-tubi, masyarakat tidak hanya mencari pertolongan fisik, tetapi juga petunjuk moral, mereka mencari arah yang jelas dan kejujuran.
    Untuk melawan nirempati yang fatal ini, pemimpin harus mengusung Komunikasi Kehadiran Moral yang menuntut pertanggungjawaban utuh.
    Konsep ini menuntut pemimpin untuk menyapu bersih kabut informasi, menuntaskan kebingungan publik, dan menghadirkan kejelasan yang menenangkan.
    Pemimpin harus menyampaikan informasi secara jujur apa yang sudah dilakukan, apa yang belum, apa yang salah, dan apa yang sedang diperbaiki.
    Tidak ada pencitraan, tidak ada pengaburan, hanya komitmen untuk kejelasan dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi paling kuat untuk membangun kembali kepercayaan pascabencana.
    Sebaliknya, komunikasi yang berakar pada nirempati cenderung menghasilkan pesan yang rapi, tetapi steril. Pemimpin berbicara dengan kalimat normatif yang telah disusun tim komunikasi, lengkap dengan struktur yang mulus, tetapi minim substansi.
    Tidak jarang bahasa yang digunakan terasa terlalu teknokratis atau defensif, alih alih humanis. Ketika masyarakat sedang trauma, kehilangan keluarga, rumah, atau masa depan, mereka tidak membutuhkan paragraf teknis tentang status tanggap darurat atau bilai logistik.
    Mereka membutuhkan pengakuan bahwa penderitaan mereka dipahami, dan bahwa negara hadir bukan hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi melalui keputusan dan tindakan yang nyata.
    Komunikasi jenis ini, yang fokus pada data dan bukan jiwa, adalah kegagalan humanisme di tengah krisis dan penanda bahwa pemimpin berada pada posisi nirempati.
    Salah satu masalah besar yang saya amati dalam komunikasi kepemimpinan bencana adalah kecenderungan mengalihkan fokus hanya pada respons darurat.
    Kita terbiasa mendengar narasi “yang penting sekarang fokus dulu pada penanganan korban”, seolah pembahasan akar masalah hanya menambah beban emosional di tengah situasi sulit. Padahal, justru di momen genting inilah keberanian politik diuji.
    Apakah pemimpin bersedia menyatakan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi soal pilihan kebijakan?
    Jika pemimpin hanya mengulang retorika “musibah alam” atau “takdir ilahi”, maka masyarakat dipaksa percaya bahwa mereka hidup dalam siklus bencana yang tak memiliki hubungan dengan kebijakan publik.
    Retorika itu merupakan pemikiran yang menyesatkan secara intelektual dan berbahaya secara moral karena mengesankan bahwa negara tak berdaya di hadapan alam. Padahal banyak elemen kerentanan berasal dari keputusan manusia.
    Nirempati dalam manajemen bencana adalah ketika masalah diulang setiap tahun tanpa ada intervensi kebijakan yang fundamental.
    Di era digital seperti sekarang, tantangan semakin pelik karena bencana tidak terjadi di ruang fisik saja, melainkan juga di ruang informasi.
    Saat air menggenangi rumah-rumah, linimasa kita juga dibanjiri oleh hoaks, misinformasi, dan spekulasi yang viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi pemerintah.
    Warga sering merasa lebih terhubung dengan laporan
    real time
    dari influencer, relawan independen, atau akun-akun warga daripada dari kanal resmi pemerintah.
    Ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya mencari informasi, tetapi mencari kehadiran yang konsisten dan otentik.
    Mereka ingin merasakan bahwa suara mereka didengar, kebutuhan mereka direspons, dan pola komunikasi yang digunakan pemimpin tidak memosisikan mereka sebagai objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
    Dalam manajemen bencana modern, komunikasi yang gagal menguasai ruang digital sama fatalnya dengan kegagalan distribusi logistik, dan kevakuman ini adalah ruang yang diciptakan oleh nirempati birokrasi.
    Dalam situasi seperti ini, saya berpendapat komunikasi kepemimpinan harus dipahami sebagai bagian integral dari logistik darurat.
    Sama pentingnya dengan perahu karet, tenda pengungsian, atau suplai makanan, komunikasi yang jernih dan empatik dapat menyelamatkan hidup.
    Komunikasi yang baik mencegah kepanikan, memastikan bantuan sampai ke titik yang tepat, dan menjaga masyarakat tetap terinformasi.
    Sebaliknya, komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan, memperlebar jarak antara pemerintah dan warga, dan memicu sentimen negatif yang menggerogoti legitimasi institusi.
    Jika pada masa lalu komunikasi publik dianggap sebagai pelengkap kebijakan, kini komunikasi adalah kebijakan itu sendiri, ia adalah
    action
    yang harus direncanakan dan dieksekusi dengan presisi, layaknya operasi penyelamatan.
    Pemimpin yang mampu melewati badai bencana dengan komunikasi yang efektif biasanya menunjukkan tiga hal penting.
    Pertama, mereka merumuskan narasi berdasarkan data akurat, bukan angka yang dibuat stabil demi menenangkan publik. Transparansi data adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap martabat warga.
    Menyampaikan angka korban secara jujur, mengakui ketidakpastian, atau meminta tambahan waktu untuk verifikasi adalah bagian dari komunikasi etis.
    Kedua, mereka mengakui penderitaan masyarakat tanpa meromantisasinya. “Warga kita tangguh” memang terkesan positif, tetapi sering kali frasa itu dipakai untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.
    Mengakui kesedihan dan trauma warga, serta menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memperbaiki sistem, jauh lebih bermakna daripada pujian kosong.
    Ketiga, mereka menghubungkan komunikasi dengan tindakan. Setiap pidato, setiap konferensi pers, setiap unggahan di media sosial harus memiliki konsekuensi kebijakan, harus ada pertanggungjawaban di balik setiap janji. Komunikasi tanpa aksi hanya akan memperburuk rasa kehilangan dan ketidakpercayaan.
    Dalam banyak kasus, saya melihat bagaimana pejabat lebih fokus pada gestur simbolis daripada pendengaran yang mendalam.
    Mereka mengunjungi lokasi bencana, meninjau dapur umum, atau mengangkat anak kecil untuk difoto.
    Tindakan ini tentu baik, tetapi jika berhenti di situ, maka itu hanya menjadi panggung estetika penderitaan, sebuah pementasan yang menunjukkan nirempati yang tersembunyi.
    Pada sisi lain, korban bencana sering kali hanya ingin didengar. Mereka ingin menceritakan apa yang terjadi, bagaimana mereka kehilangan rumah, atau kegelisahan mereka tentang masa depan. Di sinilah kehadiran tanpa kamera menjadi penting.
    Pemimpin yang turun tanpa protokol berlapis lapis, yang duduk bersama warga tanpa mikrofon, yang mendengar tanpa interupsi, akan lebih dipercaya daripada pemimpin yang hanya datang untuk “membuka jalur liputan”.
    Tindakan humanis sederhana ini, duduk dan mendengarkan, adalah investasi kepercayaan jangka panjang.
    Beberapa pemimpin dunia menunjukkan bagaimana empati otentik dapat mengubah dinamika krisis. Jacinda Ardern, misalnya, dipuji karena gaya komunikasinya yang tegas sekaligus penuh kehangatan selama krisis Covid 19 dan tragedi penembakan di Christchurch.
    Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai manusia yang hadir sepenuhnya. Ia mengakui ketakutan publik, tetapi menawarkan kejelasan. Ia menangis ketika masyarakat berduka, tetapi bertindak cepat dalam kebijakan.
    Contoh lain adalah Presiden Korea Selatan, Moon Jae in, yang terkenal dengan kebiasaan mendengar langsung aspirasi warga tanpa perantara dalam berbagai situasi darurat.
    Pemimpin seperti mereka menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan strategis dalam membangun kepercayaan dan kohesi sosial yang esensial dalam fase pemulihan.
    Refleksi saya sebagai pengamat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam jiwa kearifan lokal. Kita memiliki sejarah panjang tokoh-tokoh lokal yang mempraktikkan empati otentik di masa bencana, meskipun tidak selalu mendapat sorotan media.
    Banyak kepala desa, camat, lurah, dan relawan komunitas yang menghadirkan empati total secara alami. Mereka mungkin tidak memiliki kalimat retoris yang indah, tetapi mereka hadir secara fisik dan emosional.
    Mereka menjaga warganya, berjalan dari rumah ke rumah, memastikan semua orang selamat. Pemimpin seperti ini mengajarkan bahwa empati sejati tidak membutuhkan mikrofon atau pencitraan.
    Ia hadir dalam tindakan, dalam kejujuran, dalam komitmen, dan paling penting, dalam pengakuan bahwa penderitaan warga adalah penderitaan negara.
    Dalam konteks inilah kita perlu bertanya bagaimana seharusnya model komunikasi kepemimpinan Indonesia di era bencana ke depan?
    Pertama, kita perlu menyadari bahwa komunikasi harus diperlakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana, bukan sebagai pelengkap, menuntut investasi pada sistem komunikasi risiko terpadu.
    Kedua, kita perlu mendorong pemimpin untuk berani mengakui kesalahan dan ketidakpastian, sebab ini adalah tanda kematangan dan kedewasaan kepemimpinan yang humanis.
    Ketiga, kita harus membangun budaya baru di mana pejabat publik tidak dihargai karena kelancaran berbicara, tetapi karena kedalaman mendengarkan dan ketepatan bertindak yang menyelamatkan nyawa dan martabat.
    Akhirnya, kita sampai pada refleksi paling penting bencana alam sebenarnya hanyalah satu bagian dari cerita.
    Bencana yang lebih besar bisa jadi adalah bencana komunikasi ketika pemimpin gagal memberikan kejelasan, gagal menghadirkan kehangatan, dan gagal memaknai penderitaan rakyat.
    Kegagalan ini, yang berakar pada nirempati birokrasi, meruntuhkan jembatan kepercayaan antara negara dan warga.
    Jembatan yang runtuh itu, sebagai seorang pengamat, saya yakini jauh lebih sulit dibangun kembali dibanding jalan yang ambles atau jembatan fisik yang putus, sebab ia melibatkan rekonsiliasi emosional dan psikologis mendalam.
    Dalam dunia yang dipanaskan oleh perubahan iklim, intensitas bencana di Indonesia tidak akan menurun.
    Hujan mungkin tidak bisa kita hentikan. Lempeng bumi tidak bisa kita kendalikan. Namun, bagaimana pemimpin hadir di hadapan warganya itulah yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.
    Pada akhirnya, masyarakat yang berdiri di depan rumah yang hanyut tidak menilai pemimpin dari betapa indahnya kata-kata yang diucapkan, tetapi dari satu pertanyaan sederhana apakah saya merasa lebih sendiri atau lebih ditemani setelah pemimpin berbicara?
    Jika jawaban publik adalah “lebih ditemani”, maka kita sedang dipimpin oleh empati yang sejati. Jika jawabannya “lebih sendiri”, maka yang hadir adalah bayangan kekuasaan yang acuh.
    Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu menunjukkan empati total untuk memulihkan rasa percaya.
    Sebab di tengah badai bencana, hal yang paling menyelamatkan bukan hanya bantuan fisik, tetapi keyakinan bahwa negara benar-benar hadir sepenuhnya, gerak cepat, utuh, dan manusiawi.
    Sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk keluar dari ruang kosong retorika dan mengisi kehampaan komunikasi dengan kejujuran, komitmen kebijakan, dan kehadiran yang seutuhnya.
    Tanggung jawab moral ini ada di pundak kita semua. Mari bersama-sama menggugat nirempati, menuntut pemimpin untuk bertindak dengan hati nurani, sebelum bencana komunikasi meruntuhkan semua yang tersisa.
    Pray for Sumatera, pray for Indonesia….
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polisi: Pelaku Ledakan SMAN 72 Sudah Sadar Setelah Operasi Kepala

    Polisi: Pelaku Ledakan SMAN 72 Sudah Sadar Setelah Operasi Kepala

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Metro Jaya mengungkap kondisi terkini pelaku ledakan SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara pasca operasi.

    Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto mengatakan pelaku yang saat ini pelaku yang sudah berstatus anak berkonflik hukum (ABH) itu sudah sadar.

    “ABH kondisi sudah sadar,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (13/11/2025).

    Hanya saja, kata Budi, pihaknya masih belum bisa meminta keterangan terhadap pelaku lantaran masih dalam masa pemulihan. Adapun, pelaku kini dirawat di RS Polri.

    “Akan tetapi, [pelaku] belum bisa diminta keterangan karena kondisi masih masa pemulihan,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, pelaku merupakan pelajar di SMAN 72 Jakarta. Dia dikenal sebagai orang tertutup dan menyukai konten kekeresan ekstrem di internet.

    Selain itu, dalam melancarkan aksinya tersebut, pelaku terinspirasi dari enam tokoh pelaku pembunuhan atau kekerasan ekstrem di belahan dunia.

    Enam tokoh itu, yakni Eric Harris dan Dylan Klebold, pelaku penembakan massal di Columbine High School, AS, 1999, penganut Neo-Nazi.

    Polda Metro Jaya mengungkap bom rakitan dalam insiden ledakan SMAN 72 Jakarta sempat mengenai kepala pelaku.

    Dansatbrimob Polda Metro Jaya, Kombes Henik Maryanto mengatakan total ada tujuh bom yang ditemukan oleh pihaknya saat melakukan olah TKP di SMAN 72 Jakarta.

    Dari hasil penelusuran, total ada empat bom yang meledak di dua TKP yaitu Masjid dan Taman Baca yang berdekatan dengan bank sampah.

    Henik menjelaskan ada dua mekanisme yang berbeda dalam TKP ledakan itu. Khusus masjid pelaku meledakan bom rakitannya menggunakan remot. Sementara itu, di TKP kedua peledakan bom dilakukan dengan memantik sumbu.

    Namun, saat menyalakan bom rakitan di TKP kedua. Bom tersebut meledak di bagian kepala, sehingga membuat pelaku terluka parah. Hanya saja, apakah itu disengaja maupun sengaja masih didalami kepolisian.

    “Yang bersangkutan meledakkan itu di bagian kepalanya. Kami masih melakukan pendalaman karena kami saat ini sedang mengedepankan pemulihan baik itu kesehatan maupun psikologis yang bersangkutan,” ujar Henik di Polda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).

    Sekadar informasi, pelaku saat ini sudah ditetapkan sebagai anak berkonflik hukum (ABH). Dorongan pelaku melancarkan aksinya karena merasa sendirian dan tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah.

    Terlebih, pelaku juga mendapatkan inspirasi dari rekan di komunitas media sosialnya yang kerap membagikan konten kekerasan ekstrem.

    Kemudian, Dylann Storm Roof, pelaku penyerangan gereja di Charleston, AS, 2015, penganut supremasi kulit putih; dan Alexandre Bissonnette, pelaku penembakan masjid di Quebec, Kanada, 2017, dikenal karena Islamofobia ekstrem.

    Selanjutnya, Vladislav Roslyakov, pelaku penembakan massal Politeknik Kerch, Crimea, 2018; Brenton Tarrant, pelaku serangan masjid Christchurch, Selandia Baru, 2019; dan Natalie Lynn ‘Samantha’ Rupnow, pelaku penembakan sekolah di Madison, AS, 2024.

  • Daftar 6 Tokoh yang Menginspirasi Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta

    Daftar 6 Tokoh yang Menginspirasi Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta

    Bisnis.com, JAKARTA — Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror Polri menyatakan ada enam tokoh yang menginspirasi pelaku dalam insiden ledakan SMAN 72 Jakarta.

    Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan enam tokoh itu dikenal dengan aksi kekerasan ekstrem hingga pembunuhan.

    “Nah di sini ada suatu hal yang memprihatinkan, ada beberapa yang menjadi inspirasi terkait figur kita sebutkan ada kurang lebih 6 yang tercatat,” ujar Mayndra di Polda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).

    Dia menambahkan, pelaku yang saat ini telah ditetapkan sebagai anak berkonflik hukum (ABH) telah menuliskan nama tokoh itu di dalam senjata mainan miliknya.

    Di samping itu, dorongan pelaku melakukan perbuatannya itu karena merasa kesepian dan memiliki dendam terhadap perlakuan dirinya. Namun, pelaku tidak dapat bercerita kepada siapapun.

    Singkatnya, pelaku menemukan komunitas di media sosial yang menyukai tindak kekerasan ekstrem. Dalam komunitas tersebut, aksi kekerasan ekstrem dinilai heroik.

    “Mereka mengagumi kekerasan. Motivasi yang lain ketika beberapa pelaku melakukan tindakan kekerasan lalu mengupload ke media tersebut, komunitas itu akan mengapresiasi sesuatu hal yang heroik,” pungkasnya.

    Berikut enam tokoh yang menginspirasi siswa SMAN 72:

    1. Eric Harris dan Dylan Klebold, pelaku penembakan massal di Columbine High School, AS, 1999, penganut neo-Nazi;

    2. Dylann Storm Roof, pelaku penyerangan gereja di Charleston, AS, 2015, penganut supremasi kulit putih;

    3. Alexandre Bissonnette, pelaku penembakan masjid di Quebec, Kanada, 2017, dikenal karena Islamofobia ekstrem;

    4. Vladislav Roslyakov, pelaku penembakan massal Politeknik Kerch, Crimea, 2018;

    5. Brenton Tarrant, pelaku serangan masjid Christchurch, Selandia Baru, 2019;

    6. Natalie Lynn ‘Samantha’ Rupnow, pelaku penembakan sekolah di Madison, AS, 2024.

  • Saat Internet Jadi Kambing Hitam Aksi Ekstrem Pelajar SMAN 72, Bukankah Akarnya Ada di Dunia Nyata?

    Saat Internet Jadi Kambing Hitam Aksi Ekstrem Pelajar SMAN 72, Bukankah Akarnya Ada di Dunia Nyata?

    Saat Internet Jadi Kambing Hitam Aksi Ekstrem Pelajar SMAN 72, Bukankah Akarnya Ada di Dunia Nyata?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Internet disebut-sebut menjadi salah satu jalur yang menjerumuskan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) pelaku peledakan SMAN 72 Jakarta Utara.
    Dia belajar merakit bom dan terinspirasi konten kekerasan dari internet. Dunia maya membuat ABH tersebut gelap mata, melakukan kriminal, membuat orang-orang terluka.
    Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin menyampaikan penyebab utamanya tentu bukan internet, karena ABH tersebut seyogyanya berperilaku menyimpang karena mendapat pengucilan dari lingkungannya.
    “Dia merasa tidak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya, baik itu di lingkungan keluarga, kemudian di lingkungannya itu sendiri, maupun di lingkungan sekolah,” ujar Iman dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).
    Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana menjelaskan bahwa dari tumpukan perasaan marah itu, ABH mencari pelampiasan.
    Internet kemudian jadi pilihan, ABH kemudian jatuh pada konten yang mengarah pada kekerasan yang membahayakan nyawa.
    Dia kemudian bertemu dengan komunitas yang mengelola konten serupa, mendapat pengakuan dan akhirnya termotivasi untuk ikut meniru.
    Komunitas itu juga memberikan pengakuan dan penghargaan lebih untuk anggotanya yang berhasil mengunggah konten kekerasan yang mereka lakukan.
    ABH kemudian melakukannya, dengan cara membawa tujuh bom rakitan ke sekolahnya, meledakkan di masjid, membuat luka 96 orang.
    Dari internet, ABH juga mengenal sosok teroris dan kriminal yang menyebabkan nyawa banyak orang melayang.
    Hal ini terlihat dari nama-nama pelaku kejahatan yang dia tulis di senjata mainan yang dibawa saat melakukan aksi peledakan.
    Terdapat juga nama aliran neo-Nazi, dianut Eric Harris, pelaku penembakan di Columbine High School, Colorado, Amerika Serikat, pada 1999.
    Selain itu, terdapat nama Vladislav Roslyakov, pelaku penembakan di Politeknik Kerch, Rusia, pada 2018; serta Natalie Rupnow, pelaku penembakan di sekolah di Wisconsin, Amerika Serikat, pada 2024.
    Penganut aliran supremasi kulit putih (
    white supremacy
    ) juga tercantum di senjata mainan tersebut.
    Di antaranya Dylann Roof, pelaku penembakan di Gereja Charleston, South Carolina, Amerika Serikat, pada 2015; dan Alexandre Bissonnette, pelaku penembakan di Masjid Quebec, Kanada, pada 2017.
    Terakhir, terdapat nama Brenton Tarrant, penganut aliran etno-nasionalis, yang terlibat dalam penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, pada 2019. Namanya tertulis paling jelas di senjata mainan itu.
    Semuanya dipelajari ABH dari internet dan komunitas yang dia dapatkan dari berselancar di dunia maya.
    Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto mengatakan, setiap orang baik pendidik maupun orangtua harus melihat internet dan sosial media hanya sebagai alat yang bersifat netral, bisa negatif bisa positif.
    Karena dampak positif dari internet justru sudah banyak dirasakan oleh banyak anak-anak dan remaja saat ini.
    “Misalnya seorang pandai menguasai bahasa asing itu juga (belajar dari) sosial media. Seorang anak misalnya dalang cilik tapi asal dari kota Jakarta, dia sangat lihai. Belajarnya dari mana? Dari Mbah Youtube misalnya. Jadi berbagai hal positif juga ada tapi yang negatif juga tidak sedikit,” kata Kak Seto kepada Kompas.com, Selasa (11/11/2025).
    Untuk itu, orangtua dan pendidik harus memahami bahwa penggunaan sosial media dan internet sebagai keniscayaan.
    Yang perlu ditekankan adalah agar anak-anak bisa cerdas menggunakan sosial media dan literasi digital bisa terus dikembangkan.
    “Sehingga anak bisa membedakan Misalnya mana yang positif, mana yang negatif,” kata Kak Seto.
    Menurut dia, memberikan edukasi tentang literasi digital pada anak sama pentingnya dengan mengajarkan anak cara bergaul dan berkehidupan sosial dengan baik.
    Anak-anak sudah selayaknya diajarkan bagaimana cara memilih dan memilah mana pergaulan yang positif untuk dirinya dan mana yang negatif.
    “Nah itu bisa dipisahkan Sehingga kecerdasan etika, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual dan sebagainya itu juga dimiliki oleh setiap anak,” ucapnya.
    Kak Seto juga menegaskan, anak-anak dalam proses menggunakan alat bernama internet dan sosial media ini perlu juga didampingi oleh orangtua dan guru mereka.
    Khususnya pada orangtua yang setiap saat menjadi pengayom dan pembimbing anak-anak mereka saat berada di rumah.
    Orangtua dituntut lebih peduli pada perkembangan kecerdasan literasi digital anak mereka. Sumber literasi digital yang sedang dibaca, dan konten yang sedang didalami anak-anak mereka.
    Kak Seto menekankan, dalam literasi digital, harus ada lima unsur pendidikan yang harus diperhatikan.
    Nomor satu adalah etika dasar yang berlaku secara universal, sehingga anak-anak bisa beretika dengan baik di mana pun mereka berada, baik di dunia maya maupun dalam pergaulan nyata.
    “Kedua apa, estetika, unsur seni, art, ketiga iptek (ilmu pengetahuan) dan teknologi, keempat nasionalisme, dan kelima kesehatan,” katanya.
    Kak Seto juga menegaskan, unsur kelima ini tak hanya sebatas pada kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental anak menjadi sangat penting saat mengakses konten digital.
    Kemudian yang tak kalah penting adalah pelajaran karakter di luar unsur pendidikan tadi, salah satunya adalah berprikir kritis agar anak-anak berani mengkritik apa yang keliru dari konten sosial media dan pergaulan mereka sehari-hari.
    “Artinya juga berani mengkritisi apa yang keliru Dari pergaulan, dari apa pun juga yang di konsumsi oleh anak-anak, termasuk isi dari media sosial tadi,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Burung Sudah Lama Mati Mau Dihidupkan Lagi

    Burung Sudah Lama Mati Mau Dihidupkan Lagi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Hal tak biasa ingin dikerjakan perusahaan Colossal Biosciences. Mereka ingin menghidupkan burung purba yang sudah punah 600 tahun lalu, Moa.

    Burung purba yang ingin dihidupkan kembali itu dilaporkan menghuni Selandia Baru. Hewan dengan tinggi 3,8 meter dan berat lebih dari 225 kilogram hidup hingga 600 tahun lalu di pemukiman Maori.

    Untuk menghidupkannya, Colossal Biosciences akan bekerja sama dengan Sir Peter Jackson yang dikenal sebagai sutradara film Lord of the Rings. Sementara proyek de-extinction itu dikoordinasikan oleh Pusat Penelitian Ngai Tahu antara suku utama Maori di Pulau Selandia Baru dengan Universitas Cantenbury di Christchurch.

    Jackson yang juga investor Colossal dan ikut membantu Pusat Penelitian Ngai Tahu, mengatakan usulan ini bertujuan memastikan beberapa spesies yang terancam di Selandia Baru bisa terlindungi di masa depan, dikutip dari New York Post, Kamis (16/10/2025).

    Burung Emu. (Dok. Freepik/Sharon Housley – DejaVu Designs)

    Untuk melakukannya, tim akan mengurutkan dan merekonstruksi genom pada sembilan spesies Moa yang punah. Selain itu juga mengurutkan genom berkualitas dari kerabat hewan itu.

    Kemudian, tim akan menggunakan prekursor sperma dan sel telur membuat burung pengganti. Mereka akan mengubah secara genetik agar mirip dengan Moa.

    Penggantinya kemungkinan berasal dari dua kerabat Moa yang masih hidup yakni Emu dan Tinamou. New York Post mencatat pengganti tercocok adalah Emu dengan tubuh yang bisa tumbuh mencapai 6 kaki 2 inci, mirip dengan Moa.

    Tim peneliti juga akan mendapatkan tantangan lain. Yakni ukuran telur Moa lebih besar dari Emu jika menggunakan media itu sebagai inkubasi nantinya.

    “Kami menjajaki berbagai strategi untuk inkubasi telut buatan, yang bisa ditetapkan untuk biaya de-extinction Moa atau konservasi burung,” jelas kepala ilmuwan Colossal, Beth Saphiro.

    Namun proyek tersebut tak semudah itu. Bahkan para ahli menyebutkan sebagai proses menghidupkan kembali serigala mengerikan.

    Termasuk lebih menantang, karena Moa telah jauh terpisah dari kerabat terdekatnya yang masih hidup. Jaraknya mencapai 58 juta tahun dengan Tinamou dan 65 juta tahun lalu bersama Emu.

    Sementara serigala hanya terpisah dari canid yang mirip dengan serigala modern, kelompok mencakup serigala abu-abu, hanya sekitar 5,7 juta tahun lalu.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Rencana Gila Ilmuwan Hidupkan Kembali Makhluk Raksasa

    Rencana Gila Ilmuwan Hidupkan Kembali Makhluk Raksasa

    Jakarta

    Ilmuwan merencanakan hal gila untuk menghidupkan lagi makhluk raksasa yang sudah punah. Hewan itu memiliki berat 226,7 kg (500 pounds) dan tinggi mencapai 3,6 meter (12 kaki).

    Perusahaan Colossal Biosciences mengklaim telah bekerja sama dengan sutradara ‘Lord of the Rings’ ternama, Sir Peter Jackson, untuk menghidupkan kembali burung purba tersebut, spesies terbesarnya memiliki tinggi 3,8 meter dan berat lebih dari 220 kg, lapor Time. Burung yang tidak bisa terbang ini dilaporkan menghuni Selandia Baru hingga diburu hingga punah oleh para pemukim Māori sekitar 600 tahun yang lalu, lapor Livescience.

    Kampanye pemulihan kepunahan yang ambisius ini dikoordinasikan oleh Ngāi Tahu Research Centre, yang terletak di antara suku Māori (iwi) utama di Pulau Selatan Selandia Baru dan University of Canterbury di Christchurch.

    “Beberapa spesies ikonik yang ditampilkan dalam mitologi suku kami, kisah kami, sangat dekat dan berharga bagi kami,” jelas arkeolog Ngāi Tahu, Kyle Davis, yang turut berpartisipasi dalam upaya menghidupkan moa tersebut.

    “Partisipasi dalam penelitian ilmiah, pengelolaan spesies, dan konservasi telah menjadi bagian besar dari kegiatan kami,” lanjutnya, dikutip detikINET dari New York Post, Selasa (14/10/2025).

    Jackson, seorang investor di Colossal yang turut membantu Ngāi Tahu Research Centre, menjelaskan bahwa usulan de-extinction ini merupakan bagian dari upaya untuk memastikan beberapa spesies yang paling terancam punah di Aotearoa/Selandia Baru terlindungi untuk generasi mendatang.

    Sayangnya, menghidupkan kembali moa tentunya tak semudah ucapannya. Para ahli menyamakan proses ini dengan proses menghidupkan kembali dire wolf, spesies anjing liar yang telah lama punah yang dibangkitkan oleh para ilmuwan dengan cara memanen DNA dari spesimen fosil dan kemudian mengisi celah genetik tersebut dengan genom serigala abu-abu.

    Nah, menghidupkan kembali moa lebih menantang karena moa jauh lebih terpisah dari kerabat terdekatnya yang masih hidup, yaitu emu dan burung mirip ayam yang disebut tinamou.

    Paling gampang, begini menjelaskannya. Dire wolf baru terpisah dari canid modern sekitar 5,7 juta tahun yang lalu. Nenek moyang moa dan tinamou hidup 58 juta tahun yang lalu, sementara pendahulu moa dan emu hidup 65 juta tahun yang lalu. Selama jarak ini, moa terus mengembangkan banyak sifat unik yang sulit diduplikasi.

    Untuk mencapai prestasi rekayasa genetika ini, tim berencana untuk mengurutkan dan merekonstruksi genom dari kesembilan spesies moa yang telah punah, sekaligus mengurutkan genom berkualitas tinggi dari kerabat mereka yang telah disebutkan sebelumnya.

    Tim kemudian akan menggunakan prekursor sperma dan sel telur untuk membuat Frankenstein, ‘burung pengganti’, dari spesies yang masih hidup. Kemudian, ilmuwan akan mengubahnya secara genetik agar menyerupai moa.

    Mereka berencana untuk memasukkan sel-sel yang diperbaiki ke dalam embrio tinamou atau emu di dalam telur. Setelah itu, sel-sel tersebut diharapkan akan bermigrasi ke gonad embrio, mengubahnya sehingga betina menghasilkan telur dan jantan menghasilkan sperma moa. Secara teori, hasilnya itu bakal tumbuh dewasa, kawin, dan menghasilkan anak moa.

    Saat ini, tim masih dalam proses memilih pengganti tersebut, meskipun ukuran emu (mereka dapat tumbuh hingga 180 cm) menjadikannya pengganti yang lebih cocok daripada tinamou yang relatif kecil. Sayangnya, telur moa juga jauh lebih besar daripada telur emu, sehingga hal ini dapat menimbulkan tantangan lain jika mereka menggunakan telur emu sebagai ruang inkubasi untuk menetaskan burung hibrida tersebut.

    “Telur moa raksasa Pulau Selatan tidak akan muat di dalam pengganti emu, jadi Colossal harus mengembangkan teknologi telur pengganti buatan,” usul Nic Rawlence, direktur Otago Palaeogenetics Lab di University of Otago di Selandia Baru.

    Sementara itu, kepala ilmuwan Colossal, Beth Shapiro, menjelaskan bahwa mereka sedang menjajaki berbagai strategi untuk inkubasi telur buatan, yang akan dapat diterapkan baik untuk deextinction moa maupun upaya konservasi burung.

    Tentu saja, ada beberapa kritik terhadap proyek ini yang juga ditujukan pada kampanye membangkitkan hewan punah sebelumnya.

    Para kritikus proyek dire wolf ini mengklaim bahwa serigala yang mereka sebut secara genetik masih merupakan serigala abu-abu dengan ukuran yang lebih besar dan bulu putih.

    Rawlence bahkan percaya bahwa gen spesifik yang direkayasa secara genetik pada emu agar sesuai dengan moa dapat menimbulkan konsekuensi perkembangan yang mengerikan.

    (ask/ask)

  • Duh! Direktur FBI Beri Hadiah Senjata Api Ilegal ke Pejabat Selandia Baru

    Duh! Direktur FBI Beri Hadiah Senjata Api Ilegal ke Pejabat Selandia Baru

    Wellington

    Direktur Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (AS) atau FBI, Kash Patel, menghadiahkan senjata api ilegal kepada pejabat kepolisian dan intelijen Selandia Baru selama kunjungannya beberapa waktu lalu. Berdasarkan aturan senjata api yang ketat di Selandia Baru, hadiah dari Patel itu telah dimusnahkan.

    Patel mengunjungi Selandia Baru pada Juli lalu untuk meresmikan kantor intelijen permanen FBI dan bertemu para menteri senior pemerintah serta pimpinan intelijen serta pejabat penegakan hukum negara tersebut.

    Dalam pengumuman terbaru, seperti dilansir AFP, Rabu (1/10/2025), Komisioner Kepolisian Selandia Baru Richard Chambers mengatakan dirinya menerima “stand pajangan koin yang menampilkan replika pistol plastik yang dicetak secara 3D dan tidak dapat dioperasikan” dari Patel selama kunjungannya.

    “Saran dari Otoritas Keamanan Senjata Api diupayakan keesokan harinya dan hadiah-hadiah tersebut diambil dari para penerima dan diamankan pada hari itu juga,” kata Chambers dalam pernyataannya.

    “Meskipun tidak dapat dioperasikan dalam bentuk hadiah, analisis lanjutan oleh Otoritas Keamanan Senjata Api dan Gudang Senjata Kepolisian menetapkan bahwa modifikasi dapat membuatnya dapat dioperasikan,” sebutnya.

    Senjata api lainnya dihadiahkan dalam stand pajangan kepada dua pimpinan badan intelijen Selandia Baru, Andrew Hampton dan Andrew Clark.

    Chambers mengatakan bahwa mematuhi undang-undang senjata api yang berlaku, replika senjata api itu telah dimusnahkan.

    “Untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang senjata api Selandia Baru, hadiah-hadiah tersebut diserahkan kepada Kepolisian Selandia Baru keesokan harinya,” demikian pernyataan bersama dari badan-badan intelijen Selandia Baru.

    “Setelah penilaian oleh spesialis senjata api dari kepolisian, hadiah-hadiah tersebut disimpan oleh Kepolisian Selandia Baru,” imbuh pernyataan tersebut.

    Dalam pernyataan kepada AFP, seorang juru bicara Kedutaan Besar AS di Wellington mengatakan bahwa hadiah tersebut berupa stand pajangan koin yang dilengkapi replika senjata api plastik, inert (tidak aktif), dan non-fungsional sebagai elemen desain.

    “Kami mendukung upaya para pejabat Selandia Baru untuk memastikan hadiah ini tidak secara tidak sengaja melanggar undang-undang senjata api Selandia Baru apa pun,” ucap juru bicara Kedutaan Besar AS.

    “Kedutaan Besar telah menyampaikan kepada rekan-rekan kami di Selandia Baru bahwa kami memahami dan menerima keputusan mereka terkait dengan pemberian hadiah yang dimaksudkan baik dari direktur tersebut,” sebutnya.

    Selandia Baru semakin memperkuat undang-undang senjata apinya dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah serangan penembakan di masjid-masjid Christchurch yang menewaskan sedikitnya 50 orang pada tahun 2019 lalu.

    Simak juga Video FBI Tawarkan hingga Rp 1,6 M Buat Informan Penembakan Charlie Kirk

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Prabowo Beri Hibah US Juta untuk Fiji, PM Rabuka: Ini Angka yang Besar

    Prabowo Beri Hibah US$6 Juta untuk Fiji, PM Rabuka: Ini Angka yang Besar

    Bisnis.com, JAKARTA – Perdana Menteri Republik Fiji Sitiveni Rabuka, menyampaikan penghargaan mendalam atas komitmen Indonesia dalam memperkuat hubungan bilateral dan kawasan saat melakukan kunjungan resmi ke Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

    Dalam pertemuan yang berlangsung hangat dengan Presiden Prabowo Subianto itu, Rabuka menyoroti sejumlah aspek strategis yang mencerminkan kedekatan dan kesamaan pandangan antara kedua negara. 

    Mengawali pidatonya, PM Rabuka mengenang masa mudanya sebagai perwira militer, termasuk keterlibatannya dalam kompetisi taktis militer di Christchurch, Selandia Baru. Dia juga menyampaikan betapa mendalamnya kesan terhadap Presiden Prabowo, yang telah mengenalnya sejak lama.

    “Saya adalah perwira muda saat itu, dan Anda, Tuan Presiden, mengingat saya bahkan dengan kumis lebat saya pada 1987. Masa di mana beberapa tradisi kami sempat terguncang,” kenang Rabuka sambil tersenyum.

    PM Rabuka menegaskan kembali komitmen Fiji terhadap prinsip kedaulatan, seraya mengapresiasi posisi Indonesia yang konsisten dalam menghormati hak setiap negara untuk membuat keputusan berdaulat.

    “Indonesia dan para pemimpinnya selalu menghormati keputusan kami sebagai negara berdaulat. Kami pun memegang prinsip yang sama dan siap mendukung Indonesia di forum-forum internasional dalam mempertahankan kedaulatannya,” ujarnya.

    Rabuka mengungkapkan rasa terima kasih atas penandatanganan perjanjian pusat pelatihan pertanian regional di Fiji yang didukung penuh oleh Indonesia. Dia juga mengungkapkan kekagumannya atas besarnya dukungan dana dari pemerintah Indonesia.

    “Kami sangat menghargai hibah sebesar US$6 juta. Ini angka besar bagi Fiji dan menjadi angin segar karena kami tidak harus menambah beban utang global,” katanya.

    PM Rabuka menyebut bahwa sejumlah pemuda Fiji saat ini tengah menjalani pelatihan di Indonesia, khususnya di bidang pertanian dan peternakan. Dia memuji transformasi Indonesia dari masyarakat agraris menjadi kekuatan ekonomi global.

    “Tak ada tempat belajar yang lebih baik selain dari negara yang berkembang dari komunitas pertanian pedesaan menjadi kekuatan ekonomi dunia,” ungkapnya penuh hormat.

    Dia juga mengapresiasi kerja sama dalam bidang pelatihan militer dan penanggulangan bencana melalui fasilitas pelatihan regional seperti Black Rock Training Camp di dekat bandara internasional Nadi, Fiji. Rabuka menyoroti pentingnya fasilitas tersebut sebagai pusat pelatihan untuk kawasan Pasifik.

    Rabuka menyinggung proyek pusat pelatihan regional yang dibangun di wilayah Resurrection, sebuah daerah yang ekonominya terdampak pasca penutupan pabrik gula oleh pemerintah sebelumnya. Dia menyebut proyek ini akan menjadi penyuntik kehidupan baru bagi masyarakat lokal.

    “Ini akan menjadi injeksi keterampilan dan penghidupan yang sangat dibutuhkan masyarakat kami,” ujar Rabuka.

    Rabuka juga menyinggung peluang kerja sama yang dapat dikembangkan lebih lanjut di bidang medis, penelitian, dan inovasi. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak hal yang dapat menjadi inspirasi dalam pembangunan Fiji ke depan.

    “Kami akan mengambil beberapa halaman, bahkan beberapa bab dari buku pembangunan Anda untuk kami adopsi dalam rencana pembangunan nasional kami,” ucap Rabuka.

    Mengakhiri pidatonya, Rabuka mengungkapkan apresiasi atas peran aktif Indonesia dalam memperjuangkan isu perubahan iklim dan berbagai inisiatif keberlanjutan global. Dia menyebut Indonesia sebagai mitra penting yang vokal dan berkomitmen dalam menyuarakan kepentingan negara-negara kepulauan di dunia.

    “Sekali lagi, Tuan Presiden, kami mengucapkan terima kasih setulusnya atas semua dukungan Anda terhadap isu perubahan iklim dan berbagai inisiatif yang telah dan akan terus Anda perjuangkan. Terima kasih banyak.” pungkas Rabuka.

  • Ngeri! Remaja Singapura Rencanakan Pembunuhan 100 Muslim di 5 Masjid saat Salat Jumat

    Ngeri! Remaja Singapura Rencanakan Pembunuhan 100 Muslim di 5 Masjid saat Salat Jumat

    GELORA.CO – Otoritas Singapura, Rabu (2/4/2025), mengumumkan penangkapan seorang remaja yang merencanakan pembunuhan terhadap sedikitnya 100 umat Islam di negara itu. Dia terinspirasi dari penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada Maret 2019 yang menewaskan 51 jemaah Salat Jumat.

    Bahkan remaja 17 tahun itu pada Juni 2024 telah menetapkan lima masjid sebagai target serangannya. Kelima masjid tersebut berada di Jurong West, Clementi, Margaret Drive, Admiralty Road, dan Beach Road.

    Dia merencanakan untuk membunuh sedikitnya 100 Muslim saat Salat Jumat, kemudian bunuh diri.

    Rencananya itu digagalkan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri (ISD) sekaligus mengeluarkan perintah penangkapan pada bulan Maret berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA).

    Remaja itu sebelumnya telah berada dalam pemantauan ISD. Dia merupakan satu dari dua remaja yang terpapar paham radikal dan sedang dalam penanganan.

    Polisi mengungkap kasus ini setelah menyelidiki pemuda bernama Nick Lee (18), warga Singapura lainnya yang dijerat ISA pada Desember 2024. Lee dan remaja 17 tahun itu saling berkomunikasi di media sosial. Mereka saling bertukar materi Islamofobia dan ekstremisme sayap kanan.

    Remaja tersebut memiliki pandangan rasis terhadap orang Melayu yang juga membuatnya membenci Islam dan pemeluknya. Seperti Lee, dia mengaku sebagai penganut supremasi Asia Timur yang meyakini bahwa suku Han China, Korea, dan Jepang lebih unggul daripada suku Melayu dan India.

    Dia juga rutin mengunggah materi Islamofobia dan ekstremis sayap kanan dengan tujuan menghasut kebencian terhadap Muslim. Remaja itu juga terlibat dalam diskusi dengan Muslim untuk mengkritik agama Islam.

    Dia dan Lee teradikalisasi secara terpisah, tidak pernah bertemu, dan tidak mengetahui rencana satu sama lain untuk melakukan serangan di Singapura.