kab/kota: Canberra

  • Warga Indonesia di Australia Sampaikan Kekecewaan terhadap Pemerintah RI

    Warga Indonesia di Australia Sampaikan Kekecewaan terhadap Pemerintah RI

    Warga Indonesia hadir dalam aksi unjuk rasa bertajuk “People Taking Back Power Rakyat Indonesia Berkuasa!” di Federation Square, pusat kota Melbourne, Selasa kemarin.

    Acara yang diikuti ratusan orang tersebut diselenggarakan oleh organisasi Melbourne Bergerak, menjadi salah satu unjuk rasa terkait Indonesia yang terbesar yang pernah digelar.

    “Hari ini kita bergerak di sini, berkumpul untuk membela kemanusiaan,” ujar Pipin Jamson, yang mengkoordinir aksi di Melbourne.

    “Kita boleh bangga dengan apa yang kita lakukan hari ini karena ini adalah forum rakyat yang sebenarnya.”

    Dalam memulai orasinya, Pipin merujuk pada Affan Kurniawan, yang meninggal setelah dilindas mobil Brimob.

    “Hari ini kita harus bersatu karena ojol ditindas, dilindas, bahkan sebelum dilindas oleh truk Barracuda itu sudah dilindas oleh kapitalisme, sudah digilas oleh gig economy,” ujarnya diikuti sahutan para peserta.

    Flo, mahasiswi S-2 asal Indonesia mengaku merasa “terkuatkan” melihat kerumunan orang yang berasal dari “semua lapisan masyarakat.”

    “Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah kelewatan batas sehingga setiap orang dari segala kalangan, dari segala profesi semuanya datang untuk menunjukkan kekecewaannya kepada pemerintah,” ujarnya.

    “Kami tidak ingin hanya ada ucapan permintaan maaf, atau hanya ada anggota yang di-nonaktifkan, tapi kami benar-benar meminta ada perubahan di pemerintah, ada reformasi.”

    Anak-anak muda yang datang ke unjuk rasa ini juga menegaskan mereka tidak digerakkan atau didanai pihak asing dalam menyuarakan pendapatnya.

    Seperti yang dikatakan Marya Yenita Sitohang, mahasiswi S3, yang menyebut aksi ini sebagai “gerakan organik” yang dilakukan warga Indonesia di Australia.

    “Ini adalah gerakan organik yang terjadi di seluruh dunia karena kami rakyat Indonesia dan kami benar-benar kecewa dengan apa yang dilakukan pemerintah saat ini,” ujarnya.

    “Kita semua sama-sama marah dan [aksi ini] memvalidasi semua perasaan yang ada pada diri kita masing-masing.”

    Rafflialdi Hugo Atthareq, yang juga seorang mahasiswa, mengatakan rasa nasionalismenya “tidak akan pernah luntur” meski tidak berada di Indonesia.

    “Walaupun kita jauh, kita juga merasa akan berdampak kepada kita dan itu sangat penting,” ujar pria yang akrab disapa Hugo tersebut.

    “Kita cuma berharap pemerintah bisa minta maaf, mengakui kesalahan, [kalau] ada beberapa orang [di DPR] yang harus turun, silakan turun karena sudah melakukan kesalahan.”

    Warga asal Indonesia lainnya, Soraya Sri Anggarawati menuduh pemerintah Indonesia “hanya mementingkan kepentingan mereka dan kelompoknya saja.”

    “Harapan saya pemerintah benar-benar melaksanakan kebijakan yang baik, ada perbaikan sistem, perbaikan demokrasi ke depannya,” ujarnya.

    “Enggak oligarki, dan semuanya mementingkan kepentingan rakyat.”

    ‘Tekanan internasional’

    Warga diaspora Indonesia di ibu kota Australia, Canberra, juga akan mengadakan aksi seperti di Melbourne.

    Bertajuk “Tolak impunitas. Lawan kebrutalan aparat terhadap rakyat!”, aksi tersebut akan dilakukan pada Kamis, 4 September 2025 di ANU Fellows Oval.

    Avina Nadhila, salah satu koordinator aksi, mengatakan aksinya akan sejalan dengan pergerakan di beberapa belahan dunia lain, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.

    “Kami menyadari perlunya international pressure [tekanan internasional] yang ditunjukkan supaya pemerintah Indonesia lebih aware apa yang mereka lakukan dan perbuat itu bukannya tidak dilihat oleh khalayak umum masyarakat dunia,” ujarnya.

    “Kami menuntut ini adalah bagian dari kami menjalankan demokrasi supaya pemerintah lebih mau mendengarkan warga masyarakatnya tidak hanya di Indonesia saja, tapi juga warga Indonesia di luar Indonesia.”

    Tan Jenar Kibar Lantang, mahasiswa S-2 yang juga anggota Canberra Bergerak turut mengkritik tindakan aparat di Indonesia.

    “Mahasiswa Indonesia di Canberra marah terhadap kekerasan aparat dan juga secara keseluruhan perbuatan pejabat publik yang sewenang-wenang,” ujarnya.

    “Baik itu dari komentar verbal, secara tertulis, atau perbuatan-perbuatan yang nir empati, layaknya kunjungan ke luar negeri tanpa mempertimbangkan atau menaruh empati yang lebih tinggi terhadap hal yang sekarang terjadi di Jakarta.”

    Tan mengatakan Canberra Bergerak memiliki beberapa tuntutan yang sejalan dengan tuntutan 17+8 yang beredar di media sosial.

    Beberapa tuntutan 17+8 tersebut antara lain mengenai pembentukan tim investigasi independen untuk kasus korban kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat, penghentian keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, dan pembebasan seluruh demonstran yang ditahan.

    Menurutnya Canberra Bergerak menuntut “akuntabilitas dan empati dari beberapa parlemen dengan membekukan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR.”

    Pada 30 Agustus 2025, Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPI Australia) melayangkan surat terbuka untuk mengkritik anggota DPR yang dilaporkan berada di Sydney saat unjuk rasa dan kerusuhan terjadi di Indonesia.

    PPI Australia dalam suratnya mempertanyakan waktu kunjungan yang terjadi hingga akhir pekan dan anggota dewan yang “ikut serta dalam kegiatan non-kerja”.

    “Sebagai pelajar Indonesia di Australia, kami tidak bisa tinggal diam menyaksikan representasi legislatif yang mengabaikan rakyat dan bersembunyi di balik alasan kerja,” bunyi surat tersebut.

    “Kami malu memiliki wakil rakyat yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan jauh dari empati publik.”

    Lihat juga Video: Viral 17+8 Tuntutan Rakyat, Pemerintah Akhirnya Buka Suara

  • Australia Bayar Nauru Rp 4,2 T untuk Tampung Imigran Tak Bisa Dideportasi

    Australia Bayar Nauru Rp 4,2 T untuk Tampung Imigran Tak Bisa Dideportasi

    Canberra

    Pemerintah Australia akan membayar pulau kecil Nauru yang ada di Pasifik untuk menampung para imigran ilegal yang tidak bisa dideportasi ke negara asalnya dan tidak bisa ditahan tanpa batas waktu. Besar bayaran yang akan diberikan Canberra kepada otoritas Nauru disebut mencapai AU$ 400 juta, atau setara Rp 4,2 triliun.

    Nauru, yang berpenduduk 13.000 jiwa, menjadi solusi politik bagi pemerintah setelah Pengadilan Tinggi Australia memutuskan pada tahun 2023 bahwa warga negara asing, yang tidak memiliki prospek untuk dimukimkan kembali di luar Australia, tidak dapat lagi ditahan tanpa batas waktu di pusat tahanan imigrasi.

    Namun, pemerintah Australia menyatakan bahwa mereka yang termasuk para kriminal itu, juga tidak dapat dideportasi ke negara asalnya. Diketahui bahwa negara seperti Afghanistan dianggap tidak aman bagi warganya untuk dipulangkan. Iran juga menolak warganya yang tidak ingin pulang secara sukarela.

    Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese, seperti dilansir Associated Press, Selasa (2/9/2025), mengakui adanya pembayaran kepada Nauru, namun dia tidak mengonfirmasi besaran pembayaran yang dilaporkan media-media lokal.

    Laporan media lokal menyebut pemerintah Australia akan membayar otoritas Nauru sebesar AU$ 400 juta, atau setara Rp 4,2 triliun, untuk mencapai kesepakatan, kemudian membayar sebesar AU$ 70 juta, atau setara Rp 750,2 miliar, per tahun untuk mempertahankan kesepakatan itu.

    “Orang-orang yang tidak berhak berada di sini perlu dicarikan tempat tujuan, jika mereka tidak bisa pulang (ke negaranya),” kata Albanese dalam pernyataan kepada media terkemuka Australian Broadcasting Corp.

    “Jika mereka tidak dapat dipulangkan ke negara asal karena ketentuan refoulement dan kewajiban yang kita miliki, maka kita perlu mencari negara lain untuk mereka,” ucapnya.

    Menteri Dalam Negeri Australia Tony Burke mengejutkan media Australia pada Jumat (29/8) dengan mengunjungi Nauru, di mana dia menandatangani nota kesepahaman dengan Presiden Nauru David Adeang.

    Dalam pernyataannya pada Minggu (31/8), Adeang mengungkapkan bahwa nota kesepahaman dengan Canberra “berisi komitmen untuk perlakuan yang layak dan tempat tinggal jangka panjang bagi orang-orang yang tidak memiliki hak hukum untuk tinggal di Australia, yang akan diterima oleh Nauru”.

    “Australia akan menyediakan pendanaan untuk mendukung pengaturan ini dan mendukung ketahanan ekonomi jangka panjang Nauru,” kata Adeang.

    Perjanjian ini, sebut Adeang, akan diaktifkan kepada Nauru menerima “para penerima transfer” gelombang pertama, yang akan diberikan visa jangka panjang.

    Pusat Sumber Daya Pencari Suaka Australia, sebuah kelompok advokasi, melaporkan bahwa Nauru berencana menerbitkan 280 visa bagi warga negara asing yang ingin dideportasi Australia namun tidak bisa.

    Tonton juga video “2 Polisi Australia Tewas Ditembak di Victoria, Pelaku Masih Diburu” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Penjelasan Komisi XI DPR Soal Kunker ke Australia Saat Indonesia Banyak Demo
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        31 Agustus 2025

    Penjelasan Komisi XI DPR Soal Kunker ke Australia Saat Indonesia Banyak Demo Nasional 31 Agustus 2025

    Penjelasan Komisi XI DPR Soal Kunker ke Australia Saat Indonesia Banyak Demo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menjelaskan bahwa pihaknya bepergian ke Canberra dan Sydney ketika Indonesia sedang ramai demonstrasi terkait kenaikan tunjangan anggota dewan untuk kunjungan kerja.
    Misbakhun mengatakan, kunjungan itu terkait dinas Komisi XI dan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (RUU P2SK).
    “Agendanya sudah lama dijadwalkan jauh sebelum ada peristiwa demo di Jakarta,” kata Misbakhun, saat dihubungi awak media, Sabtu (31/8/2025).
    Misbakhun menambahkan, Panja sudah harus menyelesaikan RUU itu pada 8 September 2025.
    Dalam kunjungannya, Komisi XI DPR RI berangkat bersama perwakilan Bank Indonesia (BI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, Bank BNI, dan Bank BTN.
    “Adapun kota yang dikunjungi adalah Canberra dan Sydney,” kata Misbakhun.
    Politikus Partai Golkar itu mengungkapkan, dalam kunjungan ke Canberra, pihaknya menemui Duta Besar RI dan mahasiswa program LPDP.
    Alasannya, LPDP merupakan lembaga yang mengelola dana abadi dan bagian dari Kementerian Keuangan.
    “Komisi XI ingin mengetahui secara langsung apakah proses penyaluran beasiswa LPDP di Australia berjalan sesuai dengan apa yang diprogramkan dan isu-isu apa saja yang ada dalam penyaluran LPDP di Australia,” ujar Misbakhun.
    Selain itu, Komisi XI juga menemui Australian National Audit Office (ANAO) di kantor ANAO di Canberra.
    Pihaknya ingin memastikan kerja sama BPK RI dan ANAO terkait pertukaran informasi, pendidikan, dan pelatihan berjalan baik.
    Sementara di Sydney, Komisi XI mengunjungi kantor representative office Bank BNI, pada Kamis (28/8/2025).
    Kantor itu dibuka kurang dari setahun yang lalu, dan pihaknya ingin mengetahui transaksi hingga pelayanan di sana.
    “Ternyata di Australia, transaksi batubara saja sudah mencapai AUD (dollar Australia) 2 miliar, pendidikan dan pariwisata mencapai 1,45 miliar,” kata dia.
    “Belum lagi ada 5 konglomerat besar Indonesia yang mempunyai konsesi tambang sebanyak lebih dari 10. Itu adalah ukuran bisnis yang besar di mana BNI ingin memberikan pelayanan untuk itu,” tambah dia.
    Diketahui, unjuk rasa yang memprotes kenaikan tunjangan anggota DPR RI dimulai pada 25 Agustus lalu.
    Unjuk rasa kemudian berlanjut pada 28 Agustus, hari di mana Affan meninggal setelah dilindas mobil Brimob.
    Peristiwa itu membuat publik semakin marah, terutama kalangan driver ojol.
    Setelah itu, unjuk rasa meluas ke berbagai kota dan daerah, mulai dari Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Tegal, Cilacap, Makassar, dan lainnya.
    Unjuk rasa diwarnai bentrokan massa dengan aparat.
    Sejumlah fasilitas umum, seperti halte bus hingga beberapa kantor kepolisian, dibakar.
    Bahkan, kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya dibakar pada Sabtu (30/8/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Di Tengah Kerusuhan Aksi Unjuk Rasa di Sejumlah Daerah, Rombongan DPR Malah Nikmati Liburan di Sydney Marathon?

    Di Tengah Kerusuhan Aksi Unjuk Rasa di Sejumlah Daerah, Rombongan DPR Malah Nikmati Liburan di Sydney Marathon?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi XI DPR RI dikabarkan tengah melakukan kunjungan kerja ke Australia di tengah maraknya aksi unjuk rasa.

    Berdasarkan agenda yang beredar, mereka berangkat pada 26 Agustus malam. Tiba di Sydney dini hari 27 Agustus, llau terbang ke Camberra.

    Di Canberra akan ada pertemuan dengan KBRI Camberra dan Mahasiswa penerima LPDP. Selanjutnya menuju Kantin Australia National Audit Office (ANAO). Di sini diagendakan bertemu dengan Auditor General Australia.

    Pada 30 Agustus berangkat menuju Blue Mountain. Dijadwalkan makan di Blue Mountain Cafe. Kemudian ke Scenic World and Echo Point.

    Pada 31 Agustus, rombongan akan menikmati Sydney Marathon dan selebrasi.

    Agenda tersebut turut dibagikan oleh akun yang mengatasnamakan rocky_gerung_ di Threads.

    “Sementara di depan gedungnya lagi didemo. Sebagian mereka ada di Australia. Seminggu. Salah satu agendanya: ‘Menikmati suasana Sydney Marathon’,” tulis akun tersebut.

    Diketahui, massa melakukan unjuk rasa di sejumlah daerah seperti di Jakarta, Surabaya, Malang, Jambi, Makassar, Medan, Bandung, Palangkaraya, Pontianak, Solo, Padang, Semarang, Salatiga, Pekanbaru, Garut, Manokwari, Tasikmalaya, Yogyakarta, Banyumas, Magelang, hingga Sukoharjo pada 29 Agustus kemarin.

    Aksi protes ini merupakan kelanjutan dari rangkaian demo yang dimulai sejak 25 Agustus 2025.

    Peristiwa tewasnya Affan di Pejompongan pada 28 Agustus lalu memicu eskalasi.

    Awalnya, gelombang demonstrasi dipicu oleh isu gaji dan tunjangan anggota DPR RI yang dianggap terlalu berlebihan oleh publik.

  • Diusir dari Australia, Dubes Iran Sebut Tudingan PM Albanese Kebohongan

    Diusir dari Australia, Dubes Iran Sebut Tudingan PM Albanese Kebohongan

    JAKARTA – Duta Besar Iran Ahmad Sadeghi yang diusir dari Australia membantah tuduhan Teheran di balik serangan anti Yahudi (antisemit). Sadeghi menyebut tudingan Ausrralia terkait serangan pembakaran properti di kota Sydney dan Melbourne sebagai kebohongan.

    Australia memberi Sadeghi waktu 72 jam sejak Selasa untuk meninggalkan negara itu. Tiga pejabat kedutaan Iran lainnya diberi waktu tujuh hari untuk pergi.

    Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menerima pengarahan dari Organisasi Intelijen Keamanan Australia (SAIA) pada Senin mengenai bukti pembayaran kepada para penjahat yang menurutnya terkait dengan dua serangan, di sinagoge dan restoran kosher, kepada individu-individu di luar negeri dan Korps Garda Revolusi Islam Teheran.

    “Ini semua tuduhan dan kebohongan yang tidak berdasar,” ujar Sadeghi kepada wartawan dari jaringan televisi lokal Nine and Seven di Bandara Sydney pada Kamis, 28 Agustus malam dilansir Reuters.

    Sebelumnya di Canberra, Sadeghi keluar dari kediamannya untuk mengucapkan selamat tinggal.

    “Saya cinta rakyat Australia, selamat tinggal,” katanya sambil melambaikan tangan ke arah kamera televisi.

    Australia menyatakan akan memasukkan Korps Garda Revolusi Islam Teheran sebagai organisasi teroris, bergabung dengan Amerika Serikat dan Kanada, yang telah memasukkan IRGC ke dalam daftar hitam.

  • Duduk Perkara Australia dan Iran Panas hingga Pengusiran Dubes

    Duduk Perkara Australia dan Iran Panas hingga Pengusiran Dubes

    Jakarta

    Pemerintah Australia marah hingga mengusir Duta Besar Iran di Canberra. Iran pun mengancam akan membalas.

    Dilansir Reuters dan Al Arabiya, Selasa (26/8/2025), langkah tersebut dilakukan setelah Australia menuduh Iran melancarkan dua serangan antisemit di kota-kota pentingnya yakni, Sydney dan Melbourne. Hal itu menandai pertama kalinya Australia mengusir seorang duta besar sejak Perang Dunia II.

    Sejak perang Israel-Gaza dimulai pada Oktober 2023, rumah, sekolah, sinagoge, dan kendaraan di Australia telah menjadi sasaran vandalisme dan pembakaran antisemit. Dalam insiden terbaru pada Juli lalu, polisi mendakwa seorang pria yang dituduh melakukan serangan pembakaran sinagoge di Melbourne yang sedang dipadati orang.

    Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese mengatakan badan intelijen Australia telah mencapai kesimpulan yang sangat meresahkan bahwa Iran mendalangi setidaknya dua serangan antisemit. Albanes mengatakan Teheran berada di balik serangan pembakaran terhadap kafe kosher, Lewis Continental Cafe, di pinggiran kota Bondi, Sydney pada Oktober 2024.

    Teheran juga dituduh memerintahkan serangan pembakaran terhadap Sinagoge Adass Israel di Melbourne pada Desember 2024. Tidak ada korban luka fisik yang dilaporkan dalam kedua serangan tersebut.

    “Ini adalah tindakan agresi yang luar biasa dan berbahaya yang didalangi oleh negara asing di tanah Australia,” ujar Albanese dalam konferensi pers tersebut.

    Dia menganggap upaya itu bisa menimbulkan perpecahan di Australia. Hal itu menjadi dasar Australia mengusir Dubes Iran.

    “Ini adalah upaya untuk merusak kohesi sosial dan menimbulkan perpecahan di komunitas kita,” ujarnya.

    Albanese menyatakan Duta Besar Iran Ahmad Sadeghi sebagai ‘persona non grata’ dan memerintahkannya beserta tiga pejabat kedutaan Iran lainnya untuk meninggalkan Australia dalam waktu 7 hari. Australia juga menarik duta besarnya untuk Iran dan menangguhkan operasional kedutaan di Teheran.

    Dia mengatakan semua diplomat Australia dalam kondisi aman di negara ketiga. Pemimpin negeri kanguru itu menambahkan pemerintahnya juga segera menetapkan Korps Garda Revolusi Islam Iran sebagai organisasi teroris.

    Iran Ancam Balas

    Pemerintah Iran bersumpah akan melakukan pembalasan terhadap Australia yang mengusir duta besarnya. Iran menolak seluruh tuduhan yang dilontarkan Albanese.

    “Tuduhan yang telah dibuat itu sepenuhnya ditolak,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baqaei, dalam konferensi pers mingguan seperti dilansir AFP, Selasa (26/8).

    Dia mengatakan setiap tindakan yang tidak pantas dan tidak dapat dibenarkan di tingkat diplomatik akan mendapat reaksi balasan. Baqaei mengatakan langkah-langkah tersebut tampaknya dipengaruhi oleh perkembangan internal di Australia, termasuk aksi protes baru-baru ini terhadap perang Israel di Gaza.

    “Tampaknya tindakan ini diambil untuk mengimbangi kritik terbatas yang dilayangkan pihak Australia terhadap rezim Zionis (Israel),” ujarnya.

    Lihat Video ‘Dubes Iran di Australia Tinggalkan Kantornya Usai Perintah Pengusiran’:

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

  • Dubes Diusir Usai Ribut dengan Tetangga RI, Iran Siap Balas Dendam

    Dubes Diusir Usai Ribut dengan Tetangga RI, Iran Siap Balas Dendam

    Jakarta, CNBC Indonesia – Iran pada hari Selasa (26/8/2025) mengancam akan melakukan aksi balasan setelah Australia mengusir duta besarnya. Hal ini terjadi setelah tuduhan Canberra bahwa Teheran berada di balik serangan pembakaran antisemit di Sydney dan Melbourne.

    Mengutip AFP, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baqaei, menyebutkan bahwa tudingan itu sama sekali tidak benar. Teheran juga, menurutnya, akan melemparkan reaksi balasan yang keras pada Australia.

    “Tuduhan yang telah dibuat sama sekali kami tolak. Setiap tindakan yang tidak pantas dan tidak dapat dibenarkan di tingkat diplomatik akan mendapat reaksi balasan,” ujarnya.

    Baqaei mengatakan langkah-langkah tersebut tampaknya “dipengaruhi oleh perkembangan internal” di Australia, termasuk unjuk rasa baru-baru ini yang menentang perang Israel di Gaza.

    “Tampaknya tindakan ini diambil untuk mengimbangi kritik terbatas yang dilayangkan pihak Australia kepada rezim Zionis (Israel),” tambahnya.

    Perdana Menteri Australia Anthony Albanese sebelumnya mengatakan bahwa Iran berada di balik pembakaran sebuah kafe kosher di kawasan Bondi, Sydney, pada Oktober 2024, dan mengarahkan serangan pembakaran besar terhadap Sinagoge Adass Israel di Melbourne pada Desember di tahun yang sama. Tidak ada korban luka yang dilaporkan dalam kedua serangan tersebut.

    Australia menyatakan duta besar Iran Ahmad Sadeghi sebagai “persona non grata”. Canberra juga memerintahkannya beserta tiga pejabat lainnya untuk meninggalkan negara itu dalam waktu tujuh hari.

    Australia juga menarik duta besarnya untuk Iran dan menangguhkan operasi di kedutaan besarnya di Teheran, yang dibuka pada tahun 1968.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jerman Belum Berniat Akui Negara Palestina, Ini Alasannya

    Jerman Belum Berniat Akui Negara Palestina, Ini Alasannya

    Jakarta

    Sejumlah negara besar Eropa telah mengumumkan rencana mereka untuk memberikan pengakuan resmi atas kedaulatan negara Palestina. Namun, tidak demikian halnya dengan Jerman.

    Seorang juru bicara pemerintah Jerman mengatakan pada hari Jumat (22/8) waktu setempat, bahwa Berlin saat ini tidak memiliki rencana untuk mengakui negara Palestina. Alasannya, karena hal itu akan merusak upaya apa pun untuk mencapai solusi dua negara yang dinegosiasikan dengan Israel.

    “Solusi dua negara yang dinegosiasikan tetap menjadi tujuan kami, meskipun tampaknya masih jauh hari ini. … Pengakuan Palestina kemungkinan besar akan tercapai di akhir proses tersebut dan keputusan semacam itu, untuk saat ini akan menjadi kontraproduktif,” kata juru bicara tersebut dalam konferensi pers, dilansir kantor berita Reuters dan Al Arabiya, Sabtu (23/8/2025).

    Negara-negara besar termasuk Inggris, Prancis, dan Kanada, dan Australia, baru-baru ini mengatakan bahwa mereka akan mengakui negara Palestina dengan syarat-syarat yang berbeda.

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya mengecam PM Australia Anthony Albanese yang disebutnya sebagai “politikus lemah” dan menuduhnya telah mengkhianati Israel.

    Kata-kata pedas ini dilontarkan saat kedua negara bersitegang setelah Canberra mengumumkan rencananya untuk mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang.

    “Sejarah akan mengingat Albanese untuk siapa dia sebenarnya: Seorang politikus lemah yang mengkhianati Israel dan menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia,” kata Netanyahu dalam pernyataan bernada keras via akun media sosial resmi kantor PM Israel, seperti dilansir AFP.

    Albanese mengatakan bahwa keputusan untuk mengakui negara Palestina, merupakan keputusan yang didasarkan pada komitmen yang diterima Australia dari Otoritas Palestina, termasuk bahwa kelompok Hamas tidak akan memiliki keterlibatan dalam pembentukan negara mana pun di masa mendatang.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Dicibir Netanyahu karena Akui Palestina, PM Australia Tanggapi Santai

    Dicibir Netanyahu karena Akui Palestina, PM Australia Tanggapi Santai

    Canberra

    Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese memberikan tanggapan santai terhadap serangan yang dilontarkan PM Israel Benjamin Netanyahu terkait keputusan Canberra untuk mengakui negara Palestina. Albanese mengatakan dirinya memperlakukan para pemimpin negara lainnya dengan hormat.

    Netanyahu, pada Selasa (19/8) malam, melontarkan serangan verbal dengan menyebut Albanese sebagai “politikus lemah yang mengkhianati Israel” dan “menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia”.

    Reaksi keras diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Australia Tony Burke, yang melontarkan sindiran untuk Netanyahu dengan mengatakan bahwa ‘kekuatan tidak diukur dari berapa banyak orang yang bisa Anda ledakkan atau berapa banyak anak yang bisa Anda biarkan kelaparan.”

    Namun, Albanese, seperti dilansir Reuters, Rabu (20/8/2025), memberikan respons santai dan memilih untuk mengabaikan serangan verbal yang dilontarkan Netanyahu terhadap dirinya.

    “Saya tidak menganggap hal-hal seperti ini sebagai sesuatu yang personal, saya berinteraksi dengan orang-orang secara diplomatis. Dia juga pernah mengatakan hal serupa tentang para pemimpin lainnya,” kata Albanese dalam sebuah konferensi pers.

    Serangan personal Netanyahu terhadap Albanese semakin memperburuk hubungan kedua negara. Hubungan memburuk setelah Canberra, pekan lalu, mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang.

    “Sejarah akan mengingat Albanese untuk siapa dia sebenarnya: Seorang politikus lemah yang mengkhianati Israel dan menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia,” kata Netanyahu dalam pernyataan via akun media sosial resmi kantor PM Israel.

    Kepada wartawan, Albanese mengatakan bahwa dirinya telah memberitahu Netanyahu tentang keputusan Australia untuk mendukung negara Palestina sebelum pemerintahannya secara resmi mengumumkan rencana tersebut ke publik pada 11 Agustus lalu.

    “Pada saat itu, saya memberikan indikasi yang jelas kepada Perdana Menteri Netanyahu mengenai pandangan saya dan pandangan Australia ke depannya, tetapi juga indikasi yang jelas tentang arah yang kami tuju,” tuturnya.

    “Saya memberinya kesempatan untuk menguraikan solusi politik apa yang ada dan memberinya kesempatan itu,” ucap Albanese menceritakan isi percakapan teleponnya dengan Netanyahu, yang dilakukan sebelum Australia mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina.

    Hubungan Australia dan Israel semakin memburuk setelah pekan ini, Canberra membatalkan visa anggota parlemen Israel Simcha Rothman — anggota koalisi pemerintahan Netanyahu — dengan alasan rencana pidatonya di Australia akan “menyebarkan perpecahan”.

    Tel Aviv membalas dengan mencabut visa perwakilan Australia untuk Otoritas Palestina. Menteri Luar Negeri Gideon Saar menyebut langkah itu “menyusul keputusan Australia untuk mengakui ‘negara Palestina’ dan dengan latar belakang penolakan Australia yang tidak beralasan untuk memberikan visa kepada sejumlah tokoh Israel”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Dibilang Lemah karena Akui Palestina, Australia Beri Balasan Menohok!

    Dibilang Lemah karena Akui Palestina, Australia Beri Balasan Menohok!

    Canberra

    Pemerintah Australia melontarkan kecaman balasan terhadap Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, yang sebelumnya menyebut PM Anthony Albanese sebagai “politikus lemah” dan menuduhnya telah mengkhianati Israel.

    Canberra dalam balasannya, seperti dilansir AFP, Rabu (20/8/2025), menyindir Netanyahu dengan mengatakan bahwa kekuatan itu lebih dari sekadar “berapa banyak orang yang bisa Anda ledakkan”.

    Selama beberapa dekade ini, Australia menganggap dirinya sebagai teman dekat Israel. Namun hubungan kedua negara dengan cepat memburuk setelah Canberra, pekan lalu, mengumumkan rencananya untuk mengakui negara Palestina.

    Netanyahu secara drastis meningkatkan perang kata-kata antara kedua negara pada Selasa (19/8) malam, dengan menyebut sang PM Australia sebagai “politikus lemah yang mengkhianati Israel” dan “menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia”.

    Respons keras terhadap tuduhan Netanyahu itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Australia Tony Burke. Dalam pernyataan pada Rabu (20/8), Burke mengatakan bahwa pernyataan Netanyahu tersebut merupakan tanda-tanda seorang pemimpin yang frustrasi sedang “menyerang tiba-tiba”

    “Kekuatan tidak diukur dari berapa banyak orang yang bisa Anda ledakkan atau berapa banyak anak yang bisa Anda biarkan kelaparan,” kata Burke dengan nada menyindir Netanyahu, saat berbicara kepada televisi nasional ABC.

    Sepanjang tahun 1950-an, Australia menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari kengerian Holocaust. Kota Melbourne pernah menampung, per kapita, populasi penyintas Holocaust terbesar di luar Israel.

    Netanyahu murka ketika PM Albanese mengumumkan, pada 11 Agustus lalu, rencana Australia untuk secara resmi mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang. Langkah Australia ini menyusul langkap serupa dari Prancis, Inggris dan Kanada.

    Sembilan hari setelah pengumuman itu, hubungan antara Australia dan Israel memburuk. Canberra, pada Senin (18/8), membatalkan visa anggota parlemen Israel Simcha Rothman — anggota koalisi pemerintahan Netanyahu — dengan alasan rencana tur pidatonya di Australia akan “menyebarkan perpecahan”.

    Tel Aviv membalas dengan mencabut visa perwakilan Australia untuk Otoritas Palestina. Menteri Luar Negeri Gideon Saar menyebut langkah itu “menyusul keputusan Australia untuk mengakui ‘negara Palestina’ dan dengan latar belakang penolakan Australia yang tidak beralasan untuk memberikan visa kepada sejumlah tokoh Israel”.

    Netanyahu kemudian meluapkan kemarahannya via media sosial dengan menyerang PM Albanese.

    “Sejarah akan mengingat Albanese untuk siapa dia sebenarnya: Seorang politikus lemah yang mengkhianati Israel dan menelantarkan orang-orang Yahudi di Australia,” kata Netanyahu dalam pernyataan via akun media sosial resmi kantor PM Israel.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)