kab/kota: Berlin

  • Rusia Usulkan Perundingan Baru, Ukraina Tuntut Persyaratan Lebih Dulu

    Rusia Usulkan Perundingan Baru, Ukraina Tuntut Persyaratan Lebih Dulu

    Jakarta

    Rusia mengatakan bahwa mereka menginginkan perundingan baru dengan Ukraina di Istanbul pada pekan depan untuk penyelesaian damai perang. Tetapi Ukraina mengatakan bahwa mereka perlu melihat rencana tersebut terlebih dahulu agar pertemuan tersebut membuahkan hasil.

    Dilansir AFP, Kamis (29/5/2025), upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik 3 tahun tersebut telah dipercepat dalam beberapa bulan terakhir, tetapi Moskow telah berulang kali menolak seruan untuk gencatan senjata tanpa syarat dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengurangi tuntutan maksimalisnya.

    Kedua pihak sebelumnya bertemu di Istanbul pada tanggal 16 Mei, perundingan langsung pertama mereka dalam lebih dari tiga tahun. Pertemuan itu gagal menghasilkan terobosan.

    Presiden AS Donald Trump yang telah mendorong kesepakatan damai, menjadi semakin frustrasi dengan penundaan yang tampak dari Moskow dan memperingatkan pada Rabu (28/5) bahwa ia akan menentukan dalam “sekitar dua minggu” apakah Vladimir Putin serius untuk mengakhiri pertempuran.

    Ukraina mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan persyaratan perdamaiannya kepada Rusia dan menuntut Moskow untuk melakukan hal yang sama.

    “Kami tidak menentang pertemuan lebih lanjut dengan Rusia dan sedang menunggu memorandum mereka,” kata Menteri Pertahanan Ukraina Rustem Umerov, yang bernegosiasi untuk Kyiv pada pembicaraan terakhir, dalam sebuah posting di X.

    Rusia mengatakan akan menyampaikan “memorandum” yang menguraikan persyaratan perdamaiannya pada pembicaraan pada Senin (2/6) depan, dan bahwa menteri luar negerinya Sergei Lavrov telah memberi pengarahan kepada mitranya dari AS Marco Rubio tentang proposal tersebut.

    “Delegasi kami, yang dipimpin oleh Vladimir Medinsky, siap untuk menyampaikan memorandum kepada delegasi Ukraina dan memberikan penjelasan yang diperlukan selama putaran kedua perundingan langsung di Istanbul pada hari Senin, 2 Juni,” kata Lavrov dalam sebuah pernyataan video.

    Kedua pihak telah saling melancarkan serangan udara besar-besaran dalam beberapa minggu terakhir, dengan Ukraina melepaskan salah satu serangan pesawat nirawak terbesarnya ke Rusia pada malam hari dan Moskow menggempur Ukraina dengan serangan mematikan selama akhir pekan.

    Trump mengatakan kepada wartawan pada Rabu (28/5), bahwa ia “sangat kecewa” dengan pemboman mematikan Rusia selama proses negosiasi, tetapi menolak seruan untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi kepada Moskow.

    “Jika saya pikir saya hampir mendapatkan kesepakatan, saya tidak ingin mengacaukannya dengan melakukan itu,” katanya.

    Kremlin sebelumnya menolak seruan Presiden Ukraina Zelensky untuk pertemuan puncak tiga arah dengan Trump dan Putin.

    Moskow mengatakan setiap pertemuan yang melibatkan Presiden Rusia Putin dan Zelensky hanya akan terjadi setelah “kesepakatan konkret” dicapai antara negosiator dari masing-masing pihak.

    Sebagai imbalan atas perdamaian, Kremlin telah menuntut Ukraina untuk menghentikan ambisinya untuk bergabung dengan NATO serta menyerahkan wilayah yang telah dikuasainya–sebuah usulan yang oleh Ukraina disebut tidak dapat diterima.

    Pembicaraan antara kedua pihak di Istanbul awal bulan ini menghasilkan pertukaran tahanan 1.000 lawan 1.000 dan kedua pihak sepakat untuk mengerjakan proposal perdamaian masing-masing. Namun, Rusia terus melancarkan serangan mematikannya terhadap Ukraina sementara itu sambil menolak seruan untuk gencatan senjata.

    Zelensky pada hari Rabu menuduh Rusia menunda proses perdamaian dan tidak ingin menghentikan serangannya. “Mereka akan terus mencari alasan untuk tidak mengakhiri perang,” katanya pada konferensi pers di Berlin bersama Kanselir Jerman Friedrich Merz.

    Di medan perang, Zelensky mengatakan Rusia “mengumpulkan” lebih dari 50.000 tentara di garis depan di sekitar wilayah perbatasan Sumy di timur laut, tempat tentara Moskow telah merebut sejumlah permukiman saat berupaya membangun apa yang disebut Putin sebagai “zona penyangga” di dalam wilayah Ukraina.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Perang Gaza Bukan Lagi Lawan Hamas

    Perang Gaza Bukan Lagi Lawan Hamas

    Jakarta

    Jerman tiba-tiba melontarkan sindiran pedas terhadap Israel yang terus membombardir Gaza, Palestina. Jerman mengatakan perang di Jalur Gaza bukan lagi melawan Hamas.

    Dirangkum detikcom dilansir Al Arabiya, Selasa (27/5/2025) Kanselir Jerman Friedrich Merz menyebut rentetan serangan Israel baru-baru ini di Jalur Gaza yang memicu korban kemanusiaan pada warga sipil, tidak dapat lagi dibenarkan sebagai perang melawan Hamas.

    Merz juga mengakui dirinya tidak lagi memahami apa yang saat ini dilakukan oleh militer Tel Aviv di Jalur Gaza, yang mengalami kehancuran besar dan dilanda krisis kemanusiaan akibat perang berkepanjangan selama dua tahun terakhir.

    “Membahayakan penduduk sipil hingga sedemikian rupa, seperti yang banyak terjadi dalam beberapa hari terakhir, tidak dapat lagi dibenarkan sebagai perang melawan terorisme Hamas,” tegas Merz dalam wawancara dengan televisi WDR.

    Dalam pernyataannya, Merz mengatakan dirinya tidak lagi memahami tujuan militer Israel di Jalur Gaza.

    “Sejujurnya, saya tidak lagi memahami apa yang sedang dilakukan militer Israel di Jalur Gaza, dengan tujuan apa,” ujarnya.

    Jerman Berencana Telepon Netanyahu

    Foto: Kanselir Jerman Friedrich Merz (Dok Reuters).

    Merz menambahkan bahwa dirinya berencana menelepon Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu pekan ini untuk memberitahunya “agar tidak berlebihan” dalam operasi militernya di daerah kantong Palestina tersebut.

    Dia mengatakan bahwa Berlin harus berhati-hati dalam memberikan nasihat publik kepada Israel, karena Jerman “tidak seperti negara lainnya di Bumi” — merujuk pada sejarah kelam Jerman dalam Perang Dunia II dan Holocaust.

    “Pertanyaannya adalah: Seberapa jelas kita menyuarakan kritikan sekarang, dan karena alasan historis, saya lebih menahan diri,” kata Merz dalam pernyataannya.

    Namun demikian, dia menambahkan bahwa “ketika batasan dilanggar, ketika hukum kemanusiaan internasional dilanggar… maka Kanselir Jerman juga harus angkat bicara”.

    Merz menegaskan dirinya ingin Jerman tetap menjadi “mitra terpenting Israel di Eropa”.

    “Tetapi pemerintah Israel tidak boleh melakukan apa pun yang tidak lagi mau diterima oleh sahabat-sahabatnya,” tegasnya mengingatkan Tel Aviv.

    Halaman 2 dari 2

    (whn/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kanselir Jerman Kecam Israel yang Bombardir Gaza

    Kanselir Jerman Kecam Israel yang Bombardir Gaza

    JAKARTA  – Kanselir Jerman Friedrich Merz menyampaikan teguran paling kerasnya terhadap Israel. Merz mengkritik serangan udara besar-besaran di Gaza karena tidak lagi dibenarkan oleh kebutuhan untuk memerangi Hamas dan “tidak lagi dapat dipahami”.

    Pesan tersebut mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam opini publik tetapi juga kemauan yang lebih besar dari politikus Jerman tingkat atas untuk mengkritik tindakan Israel sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas.

    Kritik serupa juga dilontarkan menteri luar negeri Merz, Johann Wadephul termasuk seruan dari mitra koalisi juniornya, Partai Sosial Demokrat. Mereka medensak menghentikan ekspor senjata ke Israel atau Jerman akan terlibat dalam kejahatan perang.

    Meskipun bukan perubahan total, perubahan nada ini signifikan di negara yang kepemimpinannya mengikuti kebijakan tanggung jawab khusus untuk Israel, yang dikenal sebagai Staatsraeson, karena warisan Holocaust Nazi.

    Jerman, bersama dengan Amerika Serikat, menjadi salah satu pendukung Israel yang paling gigih.

    Tetapi pernyataan Merz muncul saat Uni Eropa meninjau kembali kebijakannya terhadap Israel dan Inggris, Prancis, dan Kanada juga mengancam akan melakukan “tindakan konkret” atas Gaza.

    “Serangan militer besar-besaran oleh Israel di Jalur Gaza tidak lagi menunjukkan logika apa pun bagi saya. Bagaimana serangan itu melayani tujuan menghadapi teror. Dalam hal ini, saya memandangnya dengan sangat, sangat kritis,” kata Merz di Turku, Finlandia dilansir Reuters, Selasa, 27 Mei.

    “Saya juga bukan termasuk orang yang pertama kali mengatakannya. Namun, tampaknya dan bagi saya tampaknya sudah tiba saatnya saya harus mengatakan secara terbuka, (bahwa) apa yang sedang terjadi saat ini tidak lagi dapat dipahami,” tegas Merz.

    Pernyataan tersebut sangat mengejutkan mengingat Merz memenangkan pemilihan umum pada Februari dengan menjanjikan akan menjamu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di tanah Jerman, yang bertentangan dengan surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

    Merz juga menggantung gambar pantai Zikim di kantor kanselir, tempat para pejuang Hamas tiba dengan perahu selama aksi mereka pada tahun 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang.

     

    Kanselir berencana untuk berbicara dengan Netanyahu pekan ini, karena serangan terhadap Gaza telah menewaskan puluhan orang dalam beberapa hari terakhir dan populasinya yang berjumlah 2 juta jiwa terancam kelaparan.

    Ia tidak menjawab pertanyaan tentang ekspor senjata Jerman ke Israel. Sementara seorang pejabat pemerintah mengatakan hal ituadalah masalah yang harus diselesaikan oleh dewan keamanan yang diketuai oleh Merz.

    Duta Besar Israel untuk Berlin, Ron Prosor, mengakui kekhawatiran Jerman tetapi tidak memberikan komentar apa pun.

    “Ketika Friedrich Merz mengemukakan kritik ini terhadap Israel, kami mendengarkan dengan saksama karena ia adalah seorang teman,” kata Prosor kepada penyiar ZDF.

  • VIDEO: Ini Dia Inovasi “Gila” dari Gitex Tech Show 2025 Berlin

    VIDEO: Ini Dia Inovasi “Gila” dari Gitex Tech Show 2025 Berlin

    VIDEO: Ini Dia Inovasi “Gila” dari Gitex Tech Show 2025 Berlin

  • Jerman Izinkan Ukraina Gunakan Senjatanya untuk Serang Rusia

    Jerman Izinkan Ukraina Gunakan Senjatanya untuk Serang Rusia

    Jakarta

    Kanselir Friedrich Merz mengumumkan bahwa Jerman, bersama Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, telah mencabut batasan jangkauan senjata yang dikirimkan ke Ukraina. Langkah ini memungkinkan Kyiv untuk menyerang target militer di wilayah Rusia.

    Ukraina sejatinya telah lama menuntut pencabutan larangan tersebut, namun selalu ditolak oleh negara-negara Barat dengan dalih tidak ingin dianggap terlibat perang.

    Kini “tidak ada lagi batasan jangkauan untuk senjata yang dikirim ke Ukraina — baik oleh Inggris, Prancis, kami, maupun Amerika Serikat,” kata Merz di konferensi digital re:publica di Berlin, Senin (27/5).

    “Dengan keputusan ini, Ukraina berarti diizinkan mempertahankan diri, misalnya, dengan menyerang posisi militer di Rusia… Sesuatu yang hingga kini nyaris tak dilakukan. Sekarang mereka bisa melakukannya,” lanjutnya.

    Merz menegaskan kembali komitmennya terhadap Ukraina lewat unggahan di platform X (dulu Twitter), dengan menulis, “kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk terus mendukung Ukraina.”

    Meski demikian, Merz tidak merinci negara mana yang terlebih dahulu membuat keputusan tersebut atau pada tahap mana keputusan itu diambil.

    Rusia: “Berbahaya” dan bertentangan dengan upaya perdamaian

    Kremlin mengecam keputusan tersebut sebagai langkah “berbahaya” dan bertentangan dengan tujuan penyelesaian damai.

    Rusia telah lama mengecam pengiriman senjata jarak jauh oleh negara-negara Barat ke Ukraina, dan secara khusus memperingatkan Jerman agar tidak mengirim sistem rudal Taurus kepada Ukraina, karena memiliki daya jelajah hingga 500 kilometer.

    Perubahan sikap Barat

    Pada awal invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada 2022, negara-negara Barat enggan mengirim senjata jarak jauh untuk mencegah eskalasi konflik. Namun, kebijakan itu mulai berubah. Inggris dan Prancis telah memasok rudal jelajah Storm Shadow/Scalp yang dapat menjangkau sekitar 250 kilometer.

    Pada November 2024, Presiden AS saat itu Joe Biden mengizinkan Ukraina menggunakan sistem rudal ATACMS untuk menyerang target di Rusia. Pada bulan yang sama, Ukraina dikabarkan menembakkan rudal Storm Shadow ke wilayah Rusia setelah mendapat persetujuan dari Inggris. Prancis juga menegaskan bahwa serangan terhadap target militer di Rusia adalah opsi yang sah.

    Di bawah bekas Kanselir Olaf Scholz, Jerman memilih tidak mengirim sistem rudal Taurus demi menghindari provokasi terhadap Moskow. Sebaliknya, meski Merz pernah menyatakan dukungannya secara terbuka, dia tidak menyebutkan Taurus secara spesifik dalam pernyataannya hari Senin.

    Pemerintah baru Jerman kini memilih untuk tidak mengumumkan secara terbuka jenis senjata yang dikirim ke Ukraina, dengan alasan strategi ambiguitas.

    Rusia memperingatkan bahwa jika Ukraina menggunakan rudal Taurus buatan Jerman untuk menyerang infrastruktur transportasi, hal itu akan dianggap sebagai “keterlibatan langsung” Berlin dalam konflik.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
    Editor: Hendra Pasuhuk

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Perang Gaza Bukan Lagi Lawan Hamas

    Jerman Bilang Serangan Israel di Gaza Bukan Lagi Perang Lawan Hamas

    Berlin

    Kanselir Jerman Friedrich Merz menyebut rentetan serangan Israel baru-baru ini di Jalur Gaza yang memicu korban kemanusiaan pada warga sipil, tidak dapat lagi dibenarkan sebagai perang melawan Hamas.

    Merz, seperti dilansir Al Arabiya, Selasa (27/5/2025), juga mengakui dirinya tidak lagi memahami apa yang saat ini dilakukan oleh militer Tel Aviv di Jalur Gaza, yang mengalami kehancuran besar dan dilanda krisis kemanusiaan akibat perang berkepanjangan selama dua tahun terakhir.

    “Membahayakan penduduk sipil hingga sedemikian rupa, seperti yang banyak terjadi dalam beberapa hari terakhir, tidak dapat lagi dibenarkan sebagai perang melawan terorisme Hamas,” tegas Merz dalam wawancara dengan televisi WDR.

    Dalam pernyataannya, Merz mengatakan dirinya tidak lagi memahami tujuan militer Israel di Jalur Gaza.

    “Sejujurnya, saya tidak lagi memahami apa yang sedang dilakukan militer Israel di Jalur Gaza, dengan tujuan apa,” ujarnya.

    Merz menambahkan bahwa dirinya berencana menelepon Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu pekan ini untuk memberitahunya “agar tidak berlebihan” dalam operasi militernya di daerah kantong Palestina tersebut.

    Dia mengatakan bahwa Berlin harus berhati-hati dalam memberikan nasihat publik kepada Israel, karena Jerman “tidak seperti negara lainnya di Bumi” — merujuk pada sejarah kelam Jerman dalam Perang Dunia II dan Holocaust.

    Lihat Video ‘Israel Serang Sekolah Penampungan Warga Gaza, 20 Orang Tewas’:

    Namun demikian, dia menambahkan bahwa “ketika batasan dilanggar, ketika hukum kemanusiaan internasional dilanggar… maka Kanselir Jerman juga harus angkat bicara”.

    Merz menegaskan dirinya ingin Jerman tetap menjadi “mitra terpenting Israel di Eropa”.

    “Tetapi pemerintah Israel tidak boleh melakukan apa pun yang tidak lagi mau diterima oleh sahabat-sahabatnya,” tegasnya mengingatkan Tel Aviv.

    Lihat Video ‘Israel Serang Sekolah Penampungan Warga Gaza, 20 Orang Tewas’:

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Diduga Galang ‘Fulus’ Buat ISIS, 4 Warga Rusia di Jerman Disidang

    Diduga Galang ‘Fulus’ Buat ISIS, 4 Warga Rusia di Jerman Disidang

    Jakarta

    Tuduhan terhadap keempat terdakwa warga negara Rusia di Pengadilan Tinggi Hanseatik Hamburg, Senin (26/05) ini berat. Mereka dituduh antara lain sebagai anggota organisasi kriminal asing. Tuduhan lain menyebut mereka mendukung organisasi teroris, juga dari luar negeri.

    Secara spesifik tertulis dalam surat dakwaan: Para terdakwa diduga menggalang dana di media sosial untuk kelompok teroris “Negara Islam” (ISIS) yang aktif — terutama di Suriah, dengan total pengumpulan uang sebesar 174.000 Euro.

    Bahaya ekstremisme masih ada

    Ini bukan kasus satu-satunya. Selama bertahun-tahun, ancaman yang datang dari ekstremis di Jerman dianggap sebagai bahaya terbesar bagi negeri ini, terutama setelah serangan teroris di New York pada 11 September 2001. Kini, menurut otoritas berwenang, kekerasan dan kejahatan bermotif ekstrem kanan menjadi ancaman yang lebih besar. Namun, energi kriminal yang berasal dari ekstremis islamis tetap besar.

    Pandangan ini juga diamini oleh ahli keamanan dari fraksi Partai Hijau di Bundestag, Konstantin von Notz, yang juga merupakan ketua Komisi Pengawasan Parlemen Jerman. Komisi ini, yang terdiri dari sekitar sepuluh anggota parlemen, mengawasi aktivitas badan intelijen.

    Von Notz mengatakan kepada DW: “Tindakan bermotif islamis tetap menjadi ancaman keamanan yang serius bagi negara kita. Saya menyambut baik bahwa aparat penegak hukum memantau dengan cermat dan menindaklanjuti laporan terkait pendanaan terorisme. Mengingat beragam ancaman yang dihadapi demokrasi kita saat ini, hal ini sangat penting.”

    Sekitar 1000 serangan kekerasan oleh militan islamis terjadi di Jerman pada 2024

    Seberapa besar ancaman ekstrem islamis di Jerman juga ditegaskan pekan lalu oleh Menteri Dalam Negeri baru Alexander Dobrindt (CSU). Ia mengungkapkan bahwa jumlah kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai bermotif politik melonjak drastis saat memaparkan laporan kriminalitas di Berlin. Tahun ini tercatat lebih dari 84.000 kejahatan semacam itu, naik lebih dari 40 persen dibanding 2023.

    Jumlah kejahatan yang melibatkan kekerasan memperkuat fakta ini: Dari 4.107 serangan kekerasan bermotif politik tahun lalu, sekitar 36 persen berlatar belakang ekstrem kanan, sementara 975 serangan terkait ideologi asing.

    Beberapa proses hukum terkait pendanaan teror

    Penggalangan dana untuk ISIS belakangan sering jadi perhatian pengadilan di Jerman. Awal April tahun ini, persidangan terhadap dua tersangka pendukung ISIS dimulai di Stuttgart: Seorang pria Jerman 34 tahun dan pria Suriah 29 tahun dituduh menyalurkan dana untuk ISIS. Proses ini diperkirakan berlangsung hingga September.

    Seorang pria berusia 28 tahun telah divonis atas kasus serupa di Frankfurt am Main. Pada tanggal 21 Mei lalu, Pengadilan Tinggi Jerman memutuskan bahwa pria tersebut terbukti mengirim sekitar 4200 Euro ke ISIS antara Mei 2020 dan Agustus 2021.

    Seruan penggalangan dana juga dilakukan lewat media sosial seperti Telegram. Penerima dana adalah perempuan dan anak-anak militan ISIS yang “ditahan” di dua kamp di utara Suriah. Bersama seruan tersebut disampaikan pula cara penyaluran dana: Melalui agen keuangan di Turki, uang dikirim ke anggota ISIS di Suriah.

    Islamis garis keras menjadi fokus Badan Perlindungan Konstitusi

    Badan Perlindungan Konstitusi Jerman memperkirakan pada 2023 terdapat sekitar 27.200 orang yang memiliki kecenderungan islamis garis keras. Di situs resmi, tertulis: “Eropa, termasuk Jerman, tetap menjadi sasaran utama organisasi teroris jihad, terutama ‘ISIS’ dan ‘Al-Qaida’.”

    Laporan itu juga menyebutkan bahwa Provinsi Khorasan ISIS (ISPK) kini menjadi cabang regional ISISyang paling kuat. Setelah sebelumnya fokus pada serangan di Afganistan, ada indikasi kuat bahwa kini Jerman dan Eropa mulai dipertimbangkan sebagai target.

    Karena itu, jumlah warga Rusia atau negara-negara Kaukasus yang aktif mendukung ISIS di Jerman—baik dalam kekerasan maupun penggalangan dana—semakin meningkat.

    *Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Horor Penikaman Lukai 18 Orang di Stasiun Hamburg, Wanita Jerman Ditangkap

    Horor Penikaman Lukai 18 Orang di Stasiun Hamburg, Wanita Jerman Ditangkap

    Berlin

    Kepolisian Jerman menangkap seorang wanita berusia 39 tahun setelah serangan penikaman terjadi di stasiun utama di kota Hamburg pada Jumat (23/5). Sedikitnya 18 orang mengalami luka-luka akibat penikaman yang terjadi saat jam sibuk malam hari di kota tersebut.

    Juru bicara Kepolisian Hamburg, Florian Abbenseth, seperti dilansir AFP dan Reuters, Sabtu (24/5/2025), mengatakan bahwa tersangka penikaman diidentifikasi sebagai seorang wanita Jerman berusia 39 tahun, yang identitasnya tidak diungkap ke publik.

    Serangan penikaman itu terjadi pada Jumat (23/5) sore, setelah pukul 18.00 waktu setempat, di salah satu peron di depan rangkaian kereta yang sedang berhenti di Stasiun Hamburg. Tersangka penikaman, menurut juru bicara Direktorat Kepolisian Federal Hanover, diduga menyerang para penumpang di dalam stasiun.

    Tersangka, sebut Abbenseth, ditangkap di lokasi kejadian oleh aparat penegak hukum setempat.

    Disebutkan oleh Abbenseth saat berbicara kepada wartawan setempat di lokasi kejadian bahwa para petugas kepolisian “mendekati tersangka, dan wanita itu membiarkan dirinya ditangkap tanpa perlawanan”.

    Motif penikaman brutal ini belum diketahui secara jelas. Penyelidikan lebih lanjut sedang dilakukan oleh otoritas berwenang setempat.

    “Kami tidak memiliki bukti sejauh ini bahwa wanita itu mungkin memiliki motif politik,” ucap Abbenseth dalam pernyataan yang ditayangkan oleh televisi terkemuka Jerman, ARD.

    Kepolisian Hamburg dalam pernyataan via media sosial X menyebut tersangka diduga “bertindak sendirian” dalam aksi penyerangan ini.

    Sementara itu, dari 18 korban luka, menurut juru bicara dinas pemadam kebakaran Hamburg saat berbicara kepada AFP, sekitar empat korban luka di antaranya mengalami cedera yang mengancam nyawa mereka.

    Enam korban luka lainnya, menurut juru bicara dinas pemadam kebakaran Hamburg, mengalami luka parah.

    Kanselir Jerman, Friedrich Merz, dalam tanggapannya menyebut kabar dari Hamburg sebagai kabar yang “mengejutkan”.

    “Pikiran saya bersama para korban dan keluarga mereka,” kata Merz dalam pernyataan yang dirilis melalui juru bicaranya, Stefan Kornelius.

    Imbas dari penikaman ini, empat peron di Stasiun Hamburg ditutup sementara selama penyelidikan dilakukan. Operator kereta api Jerman, Deutsche Bahn, mengatakan insiden itu memicu “penundaan dan pengalihan layanan jarak jauh.”

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • NASA Tak Sengaja Bunuh Alien Mars, Ilmuwan Ungkap Fakta Mengejutkan

    NASA Tak Sengaja Bunuh Alien Mars, Ilmuwan Ungkap Fakta Mengejutkan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Teori mengejutkan datang dari seorang ilmuwan Jerman yang menyebut NASA secara tidak sengaja membunuh kehidupan alien di Mars.

    Peristiwa ini muncul terkait eksperimen yang dilakukan NASA pada tahun 1970-an. Dirk Schulze-Makuch, ahli astrobiologi dari Technische Universität Berlin, memiliki pandangan unik mengenai kemungkinan adanya makhluk hidup di Mars.

    Schulze-Makuch menduga bahwa misi Viking 1 tanpa sengaja membunuh alien Mars melalui eksperimen mereka pada tahun 1976.

    Kala itu, NASA melakukan eksperimen dengan mencampurkan air, nutrien, dan sampel tanah Mars dengan asumsi bahwa kehidupan di Mars membutuhkan air, sebagaimana makhluk hidup di Bumi.

    Namun, menurut Schulze-Makuch, eksperimen tersebut justru mematikan kehidupan Mars karena organisme di sana kemungkinan bergantung pada garam untuk bertahan hidup, mirip mikroba ekstrem di Padang Pasir Atacama, Cile.

    “Di lingkungan super-kering, makhluk hidup bisa memperoleh air dari garam yang menyerap kelembaban atmosfer. Seharusnya, garam menjadi fokus utama dalam pencarian kehidupan Mars,” kata dia dalam laporan Space.com yang dikutip Futurism, Jumat (9/5/2025).

    Ia menyebut misi Viking kemungkinan besar membunuh mikroba Mars karena memberikan terlalu banyak air.

    Jika teori ini benar, Schulze-Makuch menyarankan pendekatan eksplorasi baru: bukan lagi “mengikuti air,” tetapi “mengikuti garam” sebagai petunjuk utama keberadaan mikroba.

    Sebagai contoh, ia menyebut badai hujan di Atacama mampu membunuh hingga 80% bakteri lokal karena kelebihan air.

    “Hampir 50 tahun setelah eksperimen Viking, sudah waktunya mengevaluasi kembali pendekatan kita dalam mencari kehidupan di Mars,” tulisnya dalam komentar ilmiah.

    (fab/fab)

  • AS-Houthi Gencatan Senjata, Mampukah Akhiri Konflik di Laut Merah?

    AS-Houthi Gencatan Senjata, Mampukah Akhiri Konflik di Laut Merah?

    Jakarta

    Pada Selasa malam (6/5), Menteri Luar Negeri Oman Badr al-Busaidi mengejutkan publik ketika mengumumkan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Amerika Serikat dan kelompok milisi Houthi.

    Dalam unggahannya di platform X, al-Busaidi menyebutkan, hasil dari upaya deeskalasi terakhir telah menghasilkan perjanjian di mana kedua pihak sepakat untuk tidak saling menyerang demi menjamin kebebasan pelayaran dan perdagangan internasional di Laut Merah.

    Pengumuman ini muncul hanya beberapa jam setelah serangan udara Israel menghancurkan Bandara Internasional Sanaa, serta sehari setelah militer Israel mengklaim menyerang puluhan target di sepanjang pantai Yaman, termasuk fasilitas pelabuhan di Hudeida, sebagai balasan atas serangan roket Houthi terhadap Bandara Tel Aviv.

    Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa “Houthi telah menyerah” dan mengaku “tidak ingin melanjutkan perang”, seraya menambahkan bahwa Amerika Serikat memilih untuk mempercayai pernyataan mereka. Tapi tidak seorangpun, termasuk Kemenlu Oman, yang membenarkan adanya kaitan antara kesepakatan damai dengan serangan Israel.

    Terpisah jarak geografis

    Pernyataan Trump dibantah langsung oleh pihak Houthi. Kepala juru runding Mohammed Abdulsalam mengatakan kepada Reuters, pihaknya tidak melakukan pembicaraan langsung dengan AS dan menegaskan peran Oman sebagai mediator. Dia juga menekankan, kesepakatan tersebut tidak mencakup tindakan terhadap Israel. “Gencatan senjata ini sama sekali tidak mencakup serangan ke Israel,” ujar Abdulsalam.

    Konflik antara Israel dan Houthi pun diperkirakan belum akan mereda. Rabu (7/5) pagi, Reuters melaporkan adanya upaya serangan roket lanjutan dari Houthi ke Israel, meskipun gagal mengenai sasaran. Dengan jarak sekitar 2.000 kilometer antara Yaman dan Israel, konflik ini menjadi tantangan tersendiri bagi strategi militer Israel.

    Menurut Constantin Grund, Kepala Kantor Yayasan Friedrich-Ebert-Stiftung Jerman di Aden, Israel memang mencatat keberhasilan terbatas dalam beberapa serangan sebelumnya, termasuk penghancuran ribuan ton cadangan minyak di Pelabuhan Hudeida. Namun, dia mencatat bahwa serangan tersebut belum berdampak secara jangka panjang terhadap kemampuan tempur Houthi.

    Serangan darat sebagai “misi bunuh diri”

    Kesulitan lain datang dari faktor geografis. Houthi kini mengandalkan peluncuran rudal dari wilayah pegunungan pedalaman yang sulit dijangkau dan dilindungi dari pengawasan musuh. Mereka juga meminimalkan penggunaan komunikasi digital, membuat pelacakan atau penyadapan hampir mustahil, menurut analisis dari Sanaa Center for Strategic Studies.

    Analis politik Israel, Nachum Shiloh menyatakan, Houthi memahami Israel menghadapi kesulitan besar dalam menjadikan Yaman sebagai target militer yang bernilai, mengingat kondisi ekonomi dan infrastruktur Yaman yang sangat terbatas. Gagasan tentang kemungkinan invasi darat Israel ke Yaman dinilai tidak realistis, terutama jika merujuk pada pengalaman buruk Arab Saudi dalam konflik bersenjata selama 2015–2023.

    “Koalisi pimpinan Saudi nyatanya telah gagal menembus pertahanan Houthi di wilayah pegunungan,” ujar Grund. Dia menyebut potensi operasi darat Israel di Yaman sebagai “misi bunuh diri” yang bisa berakhir seperti kegagalan militer di Afghanistan. “Itulah skenario yang ingin dihindari Washington, Berlin, dan Brussel. Karena itu, saya yakin Israel tidak akan menempuh jalur tersebut,” pungkasnya.

    Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha

    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini