kab/kota: Beijing

  • Trump Hapus Tarif Barang Elektronik China, Tiongkok: Itu Langkah Kecil AS Perbaiki Kesalahannya – Halaman all

    Trump Hapus Tarif Barang Elektronik China, Tiongkok: Itu Langkah Kecil AS Perbaiki Kesalahannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kementerian Perdagangan China mengatakan Beijing sedang menilai dampak keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk memberikan pengecualian tarif pada perangkat elektronik, yang sebagian besar berasal dari China.

    Kementerian tersebut menggambarkan keputusan tersebut sebagai langkah kecil AS untuk mengoreksi kesalahan mereka di tengah perang dagang.

    Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah memutuskan untuk memberikan pengecualian tarif pada telepon pintar, komputer, dan impor elektronik lainnya, yang sebagian besar berasal dari China.

    Hal ini memberikan peluang besar bagi perusahaan teknologi seperti Apple, yang mengandalkan produk impor.

    “Keputusan pemerintah AS merupakan langkah kecil AS untuk memperbaiki praktik salahnya dalam menerapkan tarif imbalan secara sepihak,” kata Kementerian Perdagangan China dalam sebuah pernyataan pada Minggu (13/4/2025).

    “Hanya orang yang memasang lonceng di leher harimau yang dapat melepaskannya,” lanjutnya, seperti diberitakan Al Jazeera.

    Melalui pernyataannya, China mendesak AS untuk mengambil langkah besar dalam mengoreksi apa yang disebutnya sebagai kesalahannya dan menghapus tarif dagang sepenuhnya.

    Trump Bebaskan Tarif Impor Elektronik China, usai Naikkan Tarif Impor 145 Persen

    Dalam pemberitahuan kepada perusahaan pelayaran, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) menerbitkan daftar kode bea cukai yang akan dibebaskan dari bea masuk, dan pengecualian ini akan berlaku surut sejak tanggal 5 April.

    Artinya barang-barang yang masuk sejak 5 April sudah dianggap mendapat pengecualian bea masuk, meskipun pengumuman atau aturannya baru keluar pada Jumat (11/4/2025) malam.

    CBP memasukkan sekitar 20 produk dalam daftar, termasuk semua komputer, laptop, disk drive, dan perangkat pemrosesan data otomatis, termasuk perangkat semikonduktor, peralatan, chip memori, dan layar panel datar.

    Pemberitahuan itu tidak menyertakan penjelasan mengenai langkah pemerintahan Trump.

    Namun, keringanan tersebut disambut baik oleh perusahaan teknologi besar AS, termasuk Apple, Dell, dan banyak importir lainnya.

    Langkah Trump juga membebaskan barang elektronik ini dari tarif dasar 10 persen atas barang-barang dari sebagian besar negara kecuali China, sehingga mengurangi biaya impor semikonduktor dari Taiwan dan iPhone yang diproduksi Apple di India.

    Sebelumnya, sebuah memo dari CBP menyatakan pengecualian ini terutama menargetkan produk elektronik yang diimpor dari China, meskipun pemerintahan Trump sebelumnya telah mengenakan tarif sebesar 145 persen pada impor China.

    Sementara itu, Trump mengatakan akan menjelaskan alasannya mengecualikan barang-barang tersebut pada hari Senin (14/4/2025).

    “Saya akan memberikan jawaban itu pada hari Senin. Kami akan menjelaskannya secara spesifik pada hari Senin … kami menerima banyak uang, sebagai sebuah negara, kami menerima banyak uang,” kata Trump pada Sabtu (12/4/2025) ketika ditanya tentang alasannya untuk mengecualikan barang-barang tersebut yang diimpor dari China.

    Langkah ini menunjukkan upaya yang jelas dari pemerintah AS untuk mengurangi dampak negatif tarif pada pasar elektronik konsumen, terutama mengingat sulitnya merelokasi jalur produksi barang-barang ini ke Amerika Serikat, sebuah proses yang menurut Bloomberg dapat memakan waktu beberapa tahun.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

  • Eddy Soeparno penuhi undangan Pemerintah China bahas energi terbarukan

    Eddy Soeparno penuhi undangan Pemerintah China bahas energi terbarukan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno memenuhi undangan pemerintah China untuk menghadiri pertemuan dengan unsur pemangku kepentingan di bidang pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di Beijing, China.

    Eddy menjelaskan, rangkaian agenda memenuhi undangan pemerintah China ini dilaksanakan pada tanggal 13-17 April 2025 mendatang di Kota Beijing dan Shenzen.

    “Tentu kami menyambut gembira negara-negara sahabat yang bertekad mendukung Indonesia dari aspek investasi, transfer teknologi dan pendanaan. Tujuannya agar tercapai dua hal: pertama, transisi energi menuju energi terbarukan dan terbangunnya industri dalam negeri yang mendukung pembangunan proyek-proyek energi terbarukan,” kata Eddy dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

    Kehadiran Eddy Soeparno di Beijing International Aiport pada Minggu (13/4) disambut langsung oleh Pimpinan Komisi Luar Negeri dari National Committee of Nasional Chinese People’s Political Consultative Conference (CPPCC)/Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat China Wang Min.

    Dalam kunjungan tersebut Eddy Soeparno dijadwalkan akan bertemu dengan antara lain Ketua Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat China Wang Huning, yang merupakan pejabat struktural tertinggi ke-4 di Partai Komunis China (CCP), setelah Xi Jinping, Li Qiang, dan Zhao Leji.

    Doktor Ilmu Politik UI ini menjelaskan, perkembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di China sangat pesat dalam 20 tahun terakhir. Eddy menjelaskan, ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2008, para ofisial masih mengkhawatirkan polusi Beijing dan sekitarnya akan mempengaruhi kesehatan para atlet.

    “Namun kurang dari 20 tahun kemudian, Beijing merupakan kota dengan Air Quality Index yang sangat baik, bahkan lebih baik dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Asia. Beijing berhasil meningkatkan “hari udara baik” dari 13 hari di tahun 2013 menjadi 300 hari di tahun 2023. Ini capaian yang luar biasa dan perlu menjadi success story yang diikuti oleh Indonesia,” jelasnya.

    Eddy memaparkan, saat ini di China pembangkit listrik berbasis energi terbarukan digunakan secara masif di seluruh negeri, meskipun pembangkit tenaga fosil juga masih dimanfaatkan demi ketahanan energi.

    “Di samping itu, penggunaan kendaraan listrik, baik kendaraan umum maupun pribadi sudah sangat luas dengan dukungan ekosistem yang lengkap dan insentif yang diberikan pemerintah untuk para penggunanya,” ujar Eddy.

    “Hal ini sangat mempengaruhi perbaikan kualitas udara di Beijing dan kota-kota lainnya di China. Saya ingin memetik pelajaran dari transformasi energi terbarukan China untuk diterapkan di Indonesia,” tambahnya.

    Eddy juga direncanakan akan mengunjungi pusat teknologi kendaraan listrik dan industri panel surya di Kota Shenzhen pada akhir kunjungannya. Menurut Anggota Komisi XII DPR RI ini perkembangan pesat China di berbagai bidang menjadi lesson learned penting untuk Indonesia.

    “Kita tidak perlu ragukan perkembangan pesat dari teknologi China di berbagai bidang yang bahkan mengungguli negara-negara barat. Pemanfaatan teknologi dan pendayagunaan merupakan kunci keberhasilan China melakukan transisi energi secara swadaya, sekaligus membangun sektor manufaktur di dalam negeri. Pelajaran ini juga sangat penting untuk dapat kita terapkan di Indonesia,” kata Eddy.

    Eddy berharap kunjungannya tidak hanya akan mempererat hubungan Indonesia dan China, tetapi semakin meningkatkan investasi China di sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik di Indonesia. Apalagi Indonesia membutuhkan investasi besar serta alih teknologi untuk melakukan transisi energi menuju Net Zero Emmission 2060.

    “Hal ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk memperkuat ketahanan energi, sekaligus membangun sektor industri nasional,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • iPhone Cs Tetap Kena Tarif ‘Gila’ Amerika, Trump Labil Bikin Bingung

    iPhone Cs Tetap Kena Tarif ‘Gila’ Amerika, Trump Labil Bikin Bingung

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali “putar balik” soal pengenaan tarif pajak impor untuk produk elektronik asal China. Produk seperti laptop dan iPhone tetap dikenai tarif impor yang diatur terpisah dari tarif resiprokal AS untuk China.

    Dalam unggahan di media sosial, Trump menyatakan bahwa produk elektronik seperti smartphone dan tablet “hanya dipindahkan ke kelompok tarif yang berbeda.”

    “Kami mengamati semikonduktor dan seluruh rantai pasok elektronik dalam penyelidikan tarif untuk keamanan nasional yang akan datang,” kata Trump.

    Gedung Putih padahal baru mengumumkan pengecualian tarif resiprokal bagi produk elektronik pada Jumat pekan lalu.

    Pengumuman tersebut disambut baik oleh investor pemegang saham Apple dan Dell, perusahaan yang mengandalkan industri manufaktur China untuk memproduksi produk mereka.

    Kebijakan Trump yang bergonta-ganti memicu pergerakan liat di bursa saham Amerika Serikat.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengklaim Trump akan merilis tarif khusus untuk smartphone, komputer, dan produk elektronik lain bersamaan dengan tarif impor baru untuk semikonduktor dan obat-obatan.

    Produk-produk tersebut tidak akan dikenai tarif “balas dendam” untuk produk China yang besaran terakhirnya adalah 145 persen. Beijing telah mengenakan tarif balasan sebesar 125 persen untuk produk asal Amerika Serikat yang diimpor ke China.

    (dem/dem)

  • Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Bisnis.com, JAKARTA – China telah mengubah haluan dari diplomasi menjadi retaliasi dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat.

    Di balik layar, para pejabat sipil di Beijing kini diperintahkan bersiaga layaknya dalam masa perang, dan para diplomat dikerahkan dalam ofensif global guna menggalang penolakan terhadap tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump, menurut informasi dari sejumlah sumber yang dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Dalam strategi yang kini digerakkan oleh mesin propaganda Partai Komunis, narasi perlawanan digelorakan melalui media sosial dengan potongan pidato Mao Zedong: “Kami tidak akan pernah menyerah.”

    Seruan itu menjadi simbol perlawanan China dalam menghadapi gelombang kebijakan dagang Trump yang tak menentu.

    Sejumlah kementerian, termasuk luar negeri dan perdagangan, diperintahkan membatalkan seluruh jadwal liburan dan siaga penuh 24 jam. Unit-unit khusus ditugaskan kembali, sebagian besar berasal dari tim yang sebelumnya menangani respons terhadap kebijakan Trump di periode pertama.

    Langkah tegas ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump mengguncang dunia dengan pengumuman tarif besar-besaran pada 2 April yang dijuluki “Hari Pembebasan.”. Kebijakan tarif Trump yang semula ditujukan ke banyak negara, kini hanya diberlakukan untuk China, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

    Hubungan dagang antara kedua negara pun praktis membeku, dengan China mulai menutup akses terhadap jasa dan hiburan AS.

    Padahal sebelumnya, hubungan awal AS-China berjalan cukup lancar usai Trump menjabat pada akhir 2024 lalu. Trump bahkan mengundang Presiden Xi Jinping ke pelantikannya, yang akhirnya diwakili oleh Wakil Presiden Han Zheng.

    Namun, masa tenang itu tak berlangsung lama. Selama pemerintahan Trump yang pertama, China memiliki sejumlah jalur komunikasi tingkat tinggi yang aktif—salah satunya antara Duta Besar Cui Tiankai dan Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Trump.

    Kini, jalur sejenis tidak tersedia. Seorang pejabat di Beijing mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu pasti siapa yang menjadi “penanggung jawab” hubungan bilateral di pihak Trump.

    Seorang pejabat pemerintahan Trump menjawab pertanyaan Reuters dengan menyatakan bahwa AS ingin menjaga komunikasi di tingkat kerja, namun tidak akan melanjutkan dialog yang tidak memberikan keuntungan nyata bagi kepentingan nasional.

    Sebelum pemilu, Duta Besar China Xie Feng dilaporkan mencoba menghubungi Elon Musk, salah satu sekutu penting Trump, namun upaya tersebut gagal, menurut seorang akademisi AS yang baru-baru ini melakukan kunjungan informal ke China. Musk belum memberikan tanggapan atas hal ini.

    Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga tidak berhasil bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio—yang dikenal sebagai pengkritik keras China dan dikenai sanksi oleh Beijing—saat berkunjung ke New York pada Februari lalu untuk memimpin sidang PBB.

    Tidak ada pertemuan resmi antara diplomat tertinggi kedua negara, kecuali satu panggilan telepon dingin pada akhir Januari.

    Upaya Wang untuk bertemu Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz juga menemui jalan buntu, meskipun ia sebelumnya menjalin komunikasi erat dengan Jake Sullivan—termasuk dalam negosiasi pertukaran tahanan yang langka.

    Gedung Putih menganggap bahwa jika pembicaraan ingin diarahkan pada isu perdagangan, maka China seharusnya mengirimkan pejabat ekonomi tingkat tinggi, bukan Menteri Luar Negeri.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan komunikasi dengan China dan menyatakan bahwa Trump ingin langsung berbicara dengan Xi Jinping.

    Trump mengatakan pekan ini bahwa ia bersedia bertemu Xi, yang disebutnya sebagai “teman.” Namun, tidak ada rincian kesepakatan yang dipaparkan.

    Seorang pejabat AS mengatakan bahwa pihaknya telah berulang kali bertanya apakah Xi bersedia menghubungi Trump melalui telepon—jawaban yang diterima selalu “tidak.”

    Pakar hubungan internasional Universitas Fudan Zhao Minghao mengatakan bahwa pendekatan seperti itu tidak sesuai dengan pola pembentukan kebijakan China.

    “Biasanya, diperlukan kesepakatan terlebih dahulu di tingkat teknis, baru kemudian bisa dirancang pertemuan puncak,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Kepala Ekonom ING untuk China Lynn Song menambahkan bahwa cara negara-negara yang mencoba bernegosiasi diperlakukan sejauh ini, justru memperkuat alasan bagi China untuk menjauh dari meja perundingan.

    Meskipun beberapa komunikasi masih berlangsung di level teknis, menurut satu pejabat China dan tiga pejabat AS, banyak forum kerja sama yang dibentuk di era Biden—termasuk di bidang perdagangan, keuangan, dan militer—kini dibekukan sepenuhnya.

  • Jenderal AS Nyinyir: China Bikin Pesawat J-35A yang Mencontek Jet Tempur F-35 Amerika – Halaman all

    Jenderal AS Nyinyir: China Bikin Pesawat J-35A yang Mencontek Jet Tempur F-35 Amerika – Halaman all

    Jenderal AS Nyinyir: China Bikin Pesawat J-35A yang Mencontek Jet Tempur F-35 Amerika

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Staf Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) Jenderal David W. Allvin memberikan komentar terbuka mengenai pesawat tempur generasi kelima kedua milik Tiongkok, J-35A.

    Diketahui, jet tempur generasi kelima, J-35A  telah memulai debutnya di China 2024 Airshow di Zhuhai pada November tahun lalu.

    Pejabat senior Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) itu menyatakan kalau jet tempur generasi kelima kedua China setelah J-20 Mighty Dragon memiliki satu fitur menonjol — desainnya tampaknya “terinspirasi” oleh pesawat generasi kelima AS, F-35.

    “Ini masih cukup baru,” katanya dalam sebuah wawancara dengan majalah pertahanan AS.

    “Tapi, ya, itu cukup jelas; Anda dapat menaruhnya (J-35A) di sebelahnya (F-35) dan melihat, setidaknya, dari mana kami yakin mereka (Tiongkok) mendapatkan cetak birunya, begitulah istilahnya,” katanya dalam sindiran nyinir ke produk pesawat buatan China tersebut.

    Jet tempur J-35A China dipamerkan kepada publik untuk pertama kalinya di China Airshow 2024 di Zhuhai pada November tahun lalu.

    Seperti yang dinyatakan Allvin, jet tempur J-35A terlihat “sangat mirip” dengan jet tempur F-35 buatan AS.

    Bedanya, jet China dilengkapi dengan dua mesin. Sedangkan jet tempur F-35 buatan Lockheed Martin hanya dilengkapi dengan mesin tunggal.

    Dugaan China Curi Blueprint Pesawat AS

    China, sebagaimana diklaim banyak pihak sebelumnya, memiliki sejarah panjang dalam meniru desain pesawat tempur Amerika.

    Namun bukan berarti pesawat tempur Tiongkok sebanding dengan kemampuan pesawat tempur Amerika dalam aspek teknis. Terlebih, banyak produk jet China belum teruji dalam pertempuran nyata

    Dugaan “keterlibatan” Tiongkok dalam pencurian informasi terkait jet tempur F-35 yang dilakukan Lockheed Martin muncul setelah Edward Snowden, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), membocorkan dokumen rahasia kepada sebuah publikasi Jerman pada tahun 2015.

    Dokumen tersebut diduga mengungkap bahwa peretas China telah berhasil memperoleh akses ke data rahasia tentang jet tempur F-35.

    Beberapa peretas China juga diduga terlibat dalam pelanggaran data di subkontraktor utama, Lockheed Martin, pada tahun 2007.

    Beijing membantah semua tuduhan “pencurian informasi” jet tempur F-35 dan menuduh Washington memicu ketegangan.

    Jet tempur siluman terbaru China J-35A akan memulai debutnya di Airshow China2024 (China Military)

    J-35A Nongol Duluan

    Pada Pameran Udara Tiongkok 2024 di Zhuhai, Tiongkok telah mengungkap foto resmi pesawat tempur siluman generasi kelima keduanya, Shenyang J-35A, yang telah dikembangkannya sejak lama tetapi baru terlihat dalam foto tidak resmi sebelumnya.

    Foto resmi pertama J-35A memberi pengamat kesempatan untuk melihat aset udara yang akan menambah kekuatan udara dan militer China secara keseluruhan.

    Pengembangan pesawat tempur generasi kelima kedua Tiongkok dipandang sebagai upaya Beijing untuk bersaing dengan Amerika Serikat dalam bidang pengembangan pesawat tempur siluman dan generasi kelima, di samping upayanya untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya.

    Jet tempur J-35A dirancang untuk melakukan operasi tempur udara serta operasi udara-ke-darat, menurut media pertahanan China.

    Dengan pesawat tempur J-35A, Tiongkok juga muncul sebagai negara kedua di dunia setelah Amerika Serikat yang berhasil mengembangkan dua jenis pesawat tempur generasi kelima, yakni J-35A dan  J-20 “Mighty Dragon”.

    Amerika Serikat juga memiliki dua jenis pesawat tempur generasi kelima dan siluman, F-35 dan F-22 “Raptor.”

    BEDA JET CHINA-AS: MEski serupa, Jet Tempur J-35 China menggunakan dua mesin (kanan). Sedangkan F-35 AS menggunakan mesin tunggal. (DSA/Tangkap Layar)

    Beda J-35A dan F-35

    Foto resmi pertama jet tempur J-35A telah mengungkap beberapa detail terkini jet tempur yang sebelumnya tidak terlihat.

    Banyak yang telah dikatakan tentang kesamaan antara jet tempur J-35A/FC-31 dan jet tempur generasi kelima buatan AS, F-35, yang dikembangkan oleh Lockheed Martin.
     
    Kemiripan desain antara J-35A dan F-35 telah menimbulkan tuduhan bahwa China telah menyalin jet tempur AS melalui kegiatan spionase industri saat jet tempur F-35 tersebut masih dalam tahap pengembangan.

    Meski begitu, satu hal yang mencolok adalah perbedaan dapur pacu dua jet ini. F-35 menggunakan satu mesin, sedangkan J-35 menggunakan dua mesin jet.

    DESAIN SERUPA – Perbandingan desain jet tempur generasi kelima buatan China J-35A (atas) dan F-35 Amerika Serikat (AS) bawah. China dituding AS mencuri blueprint pembuatan jetnya saat F-35 masih dalam pengembangan.

    Dari foto resmi pertama pesawat tempur siluman kedua China, apa yang dapat dilihat dari pesawat tempur J-35A adalah bahwa ia dilengkapi dengan Sistem Penargetan Elektro-Optik seperti yang juga ditemukan pada pesawat tempur F-35.

    Selain itu, tampaknya jet tempur J-35A juga dilengkapi dengan Radar Lensa Reflektif Luneburg di bawah badan pesawatnya.

    China juga dilaporkan telah mengonfirmasi penunjukan J-35A sebagai varian darat untuk pesawat tempur sementara varian yang akan beroperasi pada kapal induk adalah J-35 dan varian ekspor adalah FC-31.

    Menurut analis militer Wang Mingzhi, pesawat tempur siluman J-20 “Mighty Dragon” dikategorikan sebagai pesawat tempur tugas berat sementara J-35A dikategorikan sebagai pesawat tempur siluman sedang.

    Kepala Ahli di Institut Desain dan Penelitian Pesawat Terbang Shenyang, Perusahaan Industri Penerbangan Tiongkok (AVIC) mengonfirmasi bahwa pesawat tempur J-35 adalah bagian dari keluarga pesawat tempur, yang berarti akan memiliki berbagai varian untuk digunakan oleh Angkatan Udara dan Angkatan Laut Tiongkok. 

    Meskipun spesifikasi teknis resmi masih terbatas, informasi yang tersedia meliputi:

    Desain dan Peran:

    J-35A adalah pesawat tempur siluman bermesin ganda yang mampu beroperasi di segala kondisi cuaca. Pesawat ini dirancang untuk misi dominasi udara dan serangan darat.

    Pesawat ini merupakan pesawat tempur generasi kelima kedua milik China setelah J-20 “Mighty Dragon”.

    Kecepatan:

    Laporan menunjukkan bahwa J-35A mampu mencapai kecepatan hingga Mach 2,0, melebihi kecepatan maksimum F-35 yang hanya Mach 1,6.

    Mesin:

    Pesawat ini dilengkapi dengan dua mesin, yang meningkatkan daya dorong dan kemampuan manuvernya.

    FITUR STEALTH (SILUMAN)
     
    J-35A dilengkapi dengan teknologi siluman canggih, termasuk penampang radar yang diperkecil dan ruang senjata internal untuk meminimalkan deteksi musuh.
    Avionik dan Sensor:

    Pesawat ini dilengkapi dengan avionik dan sistem sensor modern yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran situasional dan kemampuan target.

    Variasi:

    Ada dua varian yang dilaporkan: versi berbasis darat untuk Angkatan Udara Pembebasan Rakyat (PLAAF) dan versi berbasis kapal induk yang dioptimalkan untuk peluncuran ketapel untuk Angkatan Udara Kelautan Pembebasan Rakyat (PLANAF). 

     

    (oln/dsa/*)

     
      

  • Negara-negara Korban Tarif Trump Harus Ajukan Gugatan ke WTO

    Negara-negara Korban Tarif Trump Harus Ajukan Gugatan ke WTO

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arrmanatha Nasir menyatakan kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah sewajarnya dibawa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh negara-negara yang terkena dampaknya.

    “Kalau kita masih berkomitmen kepada sistem multilateral, semestinya kita (negara-negara korban tarif AS) ramai-ramai membawa AS ke WTO karena yang dilakukan oleh Presiden Trump melanggar prinsip-prinsip WTO,” ungkap Wamenlu di Jakarta, Minggu (13/4/2025), dilansir dari Antara.

    Alih-alih menempuh jalur multilateral, negara-negara yang terancam tarif tinggi dari AS justru memilih pendekatan bilateral. Contohnya, Vietnam memberikan konsesi berupa tarif 0%, dan Indonesia sendiri berencana mengirim delegasi untuk bernegosiasi langsung dengan pihak AS.

    Arrmanatha menilai bahwa tindakan AS juga melanggar prinsip perlakuan yang sama bagi seluruh anggota WTO (most-favoured nation), terutama karena Washington menerapkan tarif yang sangat tinggi terhadap produk asal Tiongkok.

    Tak hanya itu, permintaan AS agar Indonesia menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) guna memperoleh keringanan tarif dinilai bertentangan dengan prinsip national treatment WTO, yang menjunjung kesetaraan perlakuan antara produk domestik dan impor.

    Menurutnya, pendekatan kolektif untuk menggugat AS akan lebih kuat secara hukum dan politis karena mencerminkan solidaritas antarnegara dan komitmen pada sistem perdagangan global yang adil.

    Pada awal April, Presiden Trump menandatangani dekrit yang menetapkan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif hingga 32%. Namun, saat aturan ini seharusnya mulai berlaku pada 9 April, hanya tarif dasar sebesar 10% yang akhirnya diterapkan untuk sementara selama 90 hari.

    Meski demikian, AS tetap memberlakukan tarif tambahan hingga 145% terhadap produk dari Tiongkok, yang dibalas Beijing dengan tarif hingga 125% atas barang asal AS.

    Sementara itu, dalam pertemuan Dewan Perdagangan Barang WTO, sekitar 20 negara anggota telah mengkritik kebijakan tarif impor Trump. Negara-negara tersebut termasuk Tiongkok, Kanada, Jepang, Inggris, Norwegia, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss.

  • Hadapi Tarif Trump, China Ajak Inggris Perkuat Perdagangan Bebas

    Hadapi Tarif Trump, China Ajak Inggris Perkuat Perdagangan Bebas

    Jakarta

    China mengajak Inggris untuk bekerja sama dalam mendukung perdagangan global yang adil dan terbuka. Langkah ini merupakan upaya membendung gelombang proteksionisme yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Ajakan tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Perdagangan China, Ling Ji, kepada Menteri Perdagangan Inggris, Douglas Alexander, dalam pertempuran bilateral di Beijing pada hari Jumat lalu.

    Ling Ji menyampaikan, dalam menghadapi kondisi tarif yang diberlakukan oleh Donald Trump ialah negara-negara harus saling mendukung dan mematuhi aturan internasional dalam perdagangan. Hal ini bagian dari China menggalang dukungan menghadapi tarif Trump.

    “Dalam menghadapi tantangan unilateralisme dan proteksionisme, multilateralisme adalah satu-satunya solusi,” katanya dikutip SCMP, Minggu (13/4/2025).

    Sebagai informasi, pertemuan itu berlangsung di tengah ketegangan perang dagang, di mana China mengumumkan kenaikan tarif atas barang-barang AS hingga 125%. Bahkan China menyebutkan kebijakan tarif Trump sebagai lelucon.

    “Tindakan balasan China terhadap AS adalah respons yang perlu dilakukan untuk melindungi kepentingannya sendiri,” katanya.

    Ling Ji mengatakan, China siap bekerja sama dengan Inggris untuk mendukung sistem perdagangan multilateral, guna menyuntikkan lebih banyak kepastian dan stabilitas ke dalam ekonomi dunia.

    Menurut pernyataan Kementerian Perdagangan China, Alexander mengatakan Inggris bersedia bekerja sama dengan Tiongkok dalam hal perdagangan bebas, pembukaan pasar, dan menghadapi tantangan perang dagang ini secara bersama-sama.

    Kedua belah pihak juga sepakat untuk memperkuat kerja sama dalam perdagangan, investasi, dan rantai pasok.

    (kil/kil)

  • Kenapa Trump Incar China dalam Perang Dagang dan Apa yang Akan Terjadi?

    Kenapa Trump Incar China dalam Perang Dagang dan Apa yang Akan Terjadi?

    Jakarta

    Tiba-tiba fokus perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin mengerucut. Alih-alih membuka front perang dengan seluruh dunia, Trump membawa ketegangan ini pada teritori yang lebih familiar: AS melawan China.

    Puluhan negara bisa bernapas karena Trump menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari pada Kamis (10/04). Kendati begitu, negara-negara tersebut masih dikenakan tarif universal sebesar 10%.

    Tapi China yang mengekspor mulai dari iPhone sampai mainan anak dan menyumbang 14% dari total impor Amerika jadi satu-satunya negara yang dikenakan tarif ‘gila-gilaan’ sebesar 125%.

    Trump mengatakan kenaikan ini akibat sinyal Beijing yang bersiap membalas dengan tarif 84% untuk barang-barang ekspor dari Amerika. Trump bilang aksi ini “kurang menghormati.”

    Menurut politikus yang melenggang ke Gedung Putih dengan kampanye anti-China ini, ini bukanlah sekedar aksi balasan biasa.

    Buatnya, ini adalah urusan yang belum kelar pada masa kepresidenannya yang pertama.

    “Kita belum sempat melakukan hal yang benar, dan itulah yang kita lakukan sekarang sekarang,” katanya kepada para wartawan.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Untuk memahami motif utama presiden AS ini, kita perlu kembali ke momen sebelum semua orang berpikir Trump punya kesempatan buat jadi kandidat presiden, apalagi sebagai pemenangnya.

    Pada 2012, saat saya menulis laporan pertama dari Shanghai, ibukota bisnis China, hampir semua orang pemimpin bisnis global, pejabat-pejabat China, delegasi pemerintah, delegasi bisnis, koresponden asing, ekonom berpendapat meningkatkan perdagangan dengan China adalah keputusan yang tidak perlu dipikirkan lagi.

    Kerja sama ini akan meningkatkan pertumbuhan global, menyediakan suplai barang tanpa batas dan murah, pasokan tenaga kerja untuk pabrik dalam rantai suplai global, dan menyediakan kesempatan yang menarik buat perusahaan-perusahaan multinasional untuk menjual produk mereka kepada kelas menengah yang baru.

    ReutersSaat ini China memproduksi 60% mobil-mobil listrik di dunia sebagian besar adalah produksi jenama dalam negeri.

    Beberapa tahun setelah kedatangan saya, China telah melampaui AS dan menjadi pasar terbesar di dunia untuk produk Rolls Royce, General Motors, dan Volkswagen

    Lantas ada justifikasi yang lebih mendalam juga.

    Ketika China semakin kaya, kalau menurut teori, rakyat China akan mulai menginginkan reformasi politik.

    Kebiasaan belanja mereka juga akan membantu transisi China menjadi masyarakat yang konsumtif.

    Tapi prediksi pertama itu tidak pernah terjadi. Partai Komunis China yang berkuasa memegang erat-erat kekuasaan mereka.

    Baca juga:

    Sementara prediksi yang kedua ternyata tidak terjadi dengan cepat. China tidak cuma bergantung pada ekspor, tapi secara terbuka juga berencana untuk jadi semakin dominan.

    Cetak biru kebijakan yang terkenal dan diterbitkan pada 2015, “Made in China 2025”, pemerintah China mencanangkan visi besar yang ditopang negara untuk jadi pemimpin global dalam beberapa sektor manufaktur, dari kedirgantaraan, produksi kapal, hingga kendaraan listrik.

    Setahun berikutnya, seorang di luar sistem yang tak begitu paham politik memulai pencalonannya sebagai presiden AS.

    Retorika kampanyenya berulang kali memuat pesan kebangkitan China yang telah menggembosi ekonomi Amerika, membuat industri berat Amerika mundur, dan merugikan kehidupan para pekerja kerah biru.

    Baca juga:

    Perang Dagang Trump pada periode pemerintahan pertamanya segera menghancurkan segala konsensus.

    Penerusnya, Presiden Joe Biden, mempertahankan sebagian besar tarifnya pada China.

    Meski telah menyebabkan China sakit kepala, tapi aksi-aksi ini tidak mengubah banyak model ekonomi.

    Saat ini China memproduksi 60% mobil-mobil listrik di dunia sebagian besar diproduksi jenama lokal dan 80% baterai yang menggerakkannya.

    Dan sekarang Trump kembali, dengan kenaikan tarif.

    Bisa dibilang, ini akan jadi kejutan terbesar yang menggoncang sistem perdagangan dunia yang telah mapan yang pernah dikeluarkan presiden AS.

    Apa yang akan terjadi berikutnya bergantung pada dua pertanyaan.

    Pertama, apakah China akan menerima tawaran untuk negosiasi.

    Kedua, dengan asumsi China menerima tawaran negosiasi, apakah China bersedia membuka konsesi besar seperti yang diinginkan AS, termasuk perombakan total model ekonominya yang berorientasi pada ekspor.

    Jawabannya, yang paling pokok adalah kita berada di wilayah yang sama sekali belum terpetakan.

    Jadi kita harus mencurigai siapa pun yang mengaku tahu bagaimana Beijing akan bereaksi.

    Tetapi tentu ada alasan untuk waspada.

    Visi China mengenai kekuatan ekonominya yang berbasis pada kekuatan ekspor dan perlindungan pasar domestik sekarang terkait erat dengan ide kebangkitan nasional dan supremasi sistem satu partai.

    Kontrol ketatnya terhadap informasi tampaknya masih akan jadi hambatan yang sulit ditembus oleh perusahaan-perusahaan teknologi Amerika, sebagai contohnya.

    Tapi ada pertanyaan berikutnya yang harus dijawab AS.

    Apakah AS masih ingin perdagangan bebas? Donald Trump kerap kali menyebut tarif adalah hal perkara yang bagus, bahkan meski tarif tidak memiliki tujuan tertentu.

    Trump kerap bicara tentang keuntungan proteksionisme bagi AS untuk merangsang investasi domestik, mendorong perusahaan-perusahaan AS untuk membawa rantai suplai mereka kembali ke dalam negeri, dan meningkatkan pajak pendapatan.

    Dan kalau Beijing percaya hal-hal itu yang menjadi tujuan pengenaan tarif, mungkin saja mereka memutuskan tidak ada yang perlu dinegosiasikan.

    Alih-alih mendorong kerja sama ekonomi, kedua kekuatan super ekonomi dunia ini akan terjebak dalam situasi perang di mana pemenang mendapatkan semua keuntungan ekonomi.

    Jika demikian, itu akan menjadi penanda hancurnya tatanan lama, dan akan membuat masa depan yang mungkin tidak hanya berbeda, tapi juga berbahaya.

    Lihat juga Video Trump soal Perang Tarif dengan China: Saya Menghormati Xi Jinping, Dia Teman

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Trump Mulai Melunak, Kini ‘Ngarep’ Bisa Nego soal Tarif dengan China

    Trump Mulai Melunak, Kini ‘Ngarep’ Bisa Nego soal Tarif dengan China

    Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kembali mencapai puncaknya, Presiden Donald Trump ‘melunak’ dan menyatakan tetap optimistis bahwa kedua negara masih bisa mencapai kesepakatan tarif.

    Pernyataan tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, dalam konferensi pers, hanya beberapa jam setelah Tiongkok menaikkan tarif atas produk-produk asal AS menjadi 125%, dari sebelumnya 84%.

    Langkah terbaru Beijing ini merupakan bentuk retaliasi paling tajam sejauh ini terhadap kebijakan tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun eskalasi ini meningkatkan ketegangan, Gedung Putih menegaskan bahwa pintu negosiasi tetap terbuka.

    “Presiden telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa beliau terbuka untuk mencapai kesepakatan dengan China,” ujar Leavitt, dikutip dari Fox Business. “Presiden sangat optimistis bahwa kesepakatan dapat tercapai.”

    Menurut Leavitt, Trump siap memberikan sikap terbuka dan ramah jika Beijing bersedia menyusun langkah konkret menuju kompromi dagang. Namun, ia juga menekankan bahwa langkah balasan yang terus berlanjut dari pihak China tidak akan menguntungkan mereka sendiri.

    “Presiden … akan bersikap bijak jika China berniat membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat. Namun, jika China terus melakukan retaliasi, itu bukan langkah yang baik bagi China,” lanjutnya.

    “Amerika Serikat adalah ekonomi terkuat dan terbaik di dunia, seperti yang terbukti dari lebih dari 75 negara yang langsung menghubungi pemerintahan ini untuk menjalin kesepakatan yang menguntungkan.”

    Leavitt menambahkan bahwa tujuan utama Presiden Trump adalah memperjuangkan kepentingan rakyat Amerika dan menciptakan praktik perdagangan yang adil di seluruh dunia.

    Ketika ditanya apakah Trump menunggu langkah pertama dari China dalam pembicaraan dagang ini, Leavitt menolak memberikan pernyataan spesifik.

    “Saya tidak akan mengomentari komunikasi yang sedang atau mungkin tidak sedang berlangsung,” katanya.

    Namun demikian, ia menegaskan bahwa tim keamanan nasional AS siap untuk memfasilitasi dimulainya diskusi bilateral antara kedua negara. Leavitt juga menjanjikan bahwa pihak Gedung Putih akan menyampaikan perkembangan terbaru secara terbuka.

    “Seperti biasa, demi keterbukaan, kami akan memberikan pembaruan seiring dengan berjalannya proses ini,” ucapnya.

    Ketegangan antara AS dan China terkait tarif impor telah berlangsung sejak masa jabatan pertama Presiden Trump, dan semakin membara dalam beberapa bulan terakhir setelah ia menerapkan tarif timbal balik yang menyasar produk-produk China dengan tarif hingga 145%. Langkah itu menuai kekhawatiran global atas dampak terhadap rantai pasok internasional dan stabilitas ekonomi.

    Sementara itu, berbagai negara lain juga tengah berupaya menavigasi ketidakpastian perdagangan global dengan memperkuat diplomasi ekonomi mereka. Namun bagi pemerintahan Trump, tekanan terhadap China tampaknya merupakan bagian dari strategi lebih luas untuk memaksa perubahan dalam praktik dagang yang dianggap tidak adil.

    (luc/luc)

  • Apple Alihkan Produksi iPhone Rp369 Triliun dari China ke India

    Apple Alihkan Produksi iPhone Rp369 Triliun dari China ke India

    Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan raksasa, Apple Inc. dikabarkan akan memindahkan produksi iPhone dari China ke India senilai US$22 miliar atau sekitar Rp369 triliun (asumsi kurs Rp16.800 per dolar AS) dalam 12 bulan yang berakhir pada Maret.

    Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan produksi hampir 60% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, kebijakan itu juga dilakukan usai adanya kebijakan tarif baru yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Melansir dari Bloomberg, Minggu (13/4/2025), Apple kini memproduksi 20% atau satu dari lima iPhone di India. Peningkatan produksi iPhone ini menunjukkan Apple dan para pemasoknya tengah mempercepat peralihan dari China ke India.

    Adapun, sebagian besar iPhone buatan India dirakit di pabrik milik Foxconn Technology Group di India selatan. Divisi manufaktur elektronik Tata Group, yang telah membeli Wistron Corp. dan mengendalikan operasional Pegatron Corp., juga merupakan pemasok utama.

    Dari total produksi di India, Apple mengekspor iPhone senilai 1,5 triliun rupee atau U$17,4 miliar dari wilayah tersebut selama tahun fiskal yang berakhir Maret 2025, menurut pernyataan menteri teknologi India pada 8 April.

    Menurut sumber, pengiriman iPhone dari India ke AS meningkat usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencananya untuk menerapkan kebijakan tarif timbal balik alias tarif resiprokal pada Februari. Sementara itu, rata-rata produksi dan ekspor Apple dari India melonjak sepanjang tahun fiskal hingga Maret.

    Bloomberg sebelumnya juga melaporkan bahwa Apple akan semakin memprioritaskan iPhone dari rantai pasokan India untuk pelanggan di AS.

    Untuk diketahui, pemerintahan Trump pada Jumat malam memberikan pengecualian terhadap barang-barang elektronik, termasuk handphone dan komputer dari tarif resiprokal.

    Pengecualian tersebut merupakan kabar baik bagi perusahaan seperti Apple dan Nvidia Corp., meski tampaknya tidak mencakup tarif terpisah sebesar 20% atas barang dari China, yang diberlakukan sebagai tekanan terhadap Beijing terkait fentanyl.

    Hal ini juga berarti iPhone buatan India untuk saat ini tidak akan dikenai bea masuk. Kecuali, untuk pengecualian yang diumumkan pada Jumat, total tarif Trump terhadap China tetap sebesar 145%, dan kemungkinan besar akan memaksa Apple untuk mempercepat pergeseran rantai pasokan mereka.

    Namun, dengan hampir 200 pemasok dan ketergantungan besar terhadap China, perpindahan ke negara lain bisa memakan waktu bertahun-tahun.

    Meski Trump ingin iPhone dibuat di AS, Apple kemungkinan tidak akan memindahkan produksi ke sana dalam waktu dekat lantaran keterbatasan fasilitas dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat perangkat tersebut.

    Saat ini, Apple merakit seluruh lini iPhone di India, termasuk model Pro berbahan titanium yang lebih mahal.

    Keberhasilan manufaktur Apple di negara terpadat di dunia ini juga didukung oleh subsidi negara yang terkait dengan ambisi Perdana Menteri Narendra Modi untuk menjadikan India sebagai pusat manufaktur.

    Adapun, Modi juga berupaya memperluas manufaktur komponen elektronik dengan insentif keuangan baru senilai US$2,7 miliar, dan fokus pada pengembangan ambisi semikonduktor India.

    Kini, Apple memiliki pangsa pasar hampir 8% di pasar ponsel pintar India, di mana penjualannya yang sebagian besar berasal dari iPhone mencapai hampir US$8 miliar pada tahun fiskal 2024.