kab/kota: Beijing

  • Dibahas Xi Jinping-Putin, Transplantasi Organ Bukan Jaminan Manusia Hidup Abadi

    Dibahas Xi Jinping-Putin, Transplantasi Organ Bukan Jaminan Manusia Hidup Abadi

    Jakarta

    Percakapan tak terduga terjadi antara pemimpin China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin saat bertemu di parade militer Beijing. Mereka terekam berbicara tentang kemungkinan hidup hingga 150 tahun dengan bantuan transplantasi organ.

    Seorang penerjemah, berbicara atas nama Putin, memberi tahu Xi bahwa organ manusia dapat ditransplantasi berulang kali “sehingga seseorang bisa menjadi lebih muda dan lebih muda” terlepas dari usia, bahkan mungkin dapat menunda penuaan “tanpa batas waktu”.

    “Diprediksi bahwa pada abad ini mungkin bisa hidup hingga 150 tahun,” tambahnya.

    Transplantasi Organ Bukan Tiket Menuju Kehidupan Abadi

    Diberitakan BBC, transplantasi organ terbukti menyelamatkan nyawa, namun bukan jaminan hidup abadi. Umur organ yang ditransplantasikan tergantung pada kesehatan donor dan penerima.

    Rata-rata, ginjal dari donor hidup dapat bertahan 20-25 tahun, sementara dari donor yang sudah meninggal sekitar 15-20 tahun. Organ lain memiliki rentang hidup lebih pendek: hati sekitar 20 tahun, jantung 15 tahun, dan paru-paru hampir 10 tahun. Setiap operasi juga membawa risiko besar, dan pasien harus mengonsumsi obat anti-penolakan yang kuat seumur hidup, yang memiliki efek samping.

    Organ Buatan Khusus dari Hewan

    Para ilmuwan sedang berupaya menciptakan organ yang tidak akan ditolak oleh tubuh penerima, menggunakan babi yang telah dimodifikasi secara genetik sebagai donor. Dengan menggunakan alat pengedit gen CRISPR, mereka menghilangkan gen babi tertentu dan menambahkan gen manusia agar organ lebih kompatibel.

    Organ babi dianggap ideal karena ukurannya yang kurang lebih sama dengan organ manusia. Meskipun dua pasien yang menjadi pionir di bidang xenotransplantasi ini telah meninggal, prosedur mereka telah membantu memajukan ilmu transplantasi antar-spesies ini.

    Menciptakan Organ Manusia Baru

    Penelitian lain yang sedang dieksplorasi adalah menumbuhkan organ baru menggunakan sel manusia sendiri. Sel punca (stem cells) memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi semua jenis sel atau jaringan.

    Meskipun belum ada kelompok riset yang berhasil membuat organ manusia yang sepenuhnya fungsional dan siap ditransplantasi, para ilmuwan semakin dekat.

    Di Inggris, para peneliti berhasil membangun kembali kelenjar timus, organ penting dalam sistem kekebalan tubuh, menggunakan sel punca manusia dan media rekayasa hayati. Namun, semua kemajuan ini bertujuan untuk mengobati penyakit, bukan untuk membuat orang hidup hingga 150 tahun.

    Halaman 2 dari 3

    (kna/kna)

  • AS Selidiki Email Malware yang Targetkan Perundingan Dagang dengan China

    AS Selidiki Email Malware yang Targetkan Perundingan Dagang dengan China

    Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Amerika Serikat (AS) tengah menyelidiki email palsu yang mengatasnamakan seorang anggota Partai Republik dan berisi malware.

    FBI menduga email ditujukan untuk memberikan akses kepada China terhadap informasi perundingan dagang pemerintahan Donald Trump dengan Beijing. 

    Melansir laman Reuters pada Senin (8/9/2025) email berisi malware tersebut tampak dikirim oleh Anggota DPR AS John Moolenaar pada Juli lalu kepada sejumlah asosiasi perdagangan, firma hukum, serta lembaga pemerintah di AS. 

    Menurut para analis siber, serangan itu ditelusuri berasal dari kelompok peretas APT41 yang diyakini berhubungan dengan intelijen China. Moolenaar, yang dikenal sebagai pengkritik keras Beijing, saat ini menjabat sebagai ketua komite kongres yang fokus pada persaingan strategis antara AS dan China, termasuk ancaman terhadap keamanan nasional AS. 

    Email palsu ini disebut sebagai operasi peretasan terbaru yang dikaitkan dengan Beijing dan bertujuan memperoleh informasi terkait rekomendasi kepada Gedung Putih dalam perundingan dagang yang sensitif.

    Kedutaan Besar China di Washington menanggapi dengan mengatakan tidak mengetahui detail kasus tersebut. Pihaknya menekankan semua negara menghadapi serangan siber yang sulit dilacak. 

    “China dengan tegas menentang dan memerangi segala bentuk serangan maupun kejahatan siber. Kami juga menolak keras upaya menyudutkan pihak lain tanpa bukti kuat,” demikian pernyataan resmi yang dikirim melalui email.

    Menurut WSJ, email berisi malware itu pertama kali dikirim tak lama sebelum perundingan dagang AS-China di Swedia, yang kemudian menghasilkan perpanjangan gencatan senjata tarif hingga awal November. 

    Pada periode tersebut, Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping dijadwalkan bertemu dalam sebuah konferensi ekonomi di Asia. Email itu memuat ajakan untuk meninjau rancangan undang-undang terlampir dengan kalimat: Pandangan Anda sangat penting. 

    Apabila lampiran dibuka, malware di dalamnya berpotensi memberi akses luas kepada para peretas terhadap lembaga atau kelompok sasaran. Namun, belum dapat dipastikan apakah upaya peretasan itu berhasil. WSJ melaporkan, Kepolisian Capitol tengah melakukan penyelidikan, meski menolak memberikan komentar. 

    FBI dalam pernyataannya kepada Reuters mengatakan pihaknya mengetahui situasi tersebut dan sedang bekerja sama dengan mitra terkait untuk mengidentifikasi serta mengejar pelaku. Dalam pernyataan terpisah kepada WSJ, Moolenaar menyebut serangan itu sebagai bukti lain dari operasi siber China yang bertujuan mencuri strategi AS. 

    “Kami tidak akan gentar,” tegasnya.

    Kasus ini terungkap setelah staf di komite yang dipimpin Moolenaar menerima sejumlah pertanyaan aneh mengenai email tersebut, menurut sumber yang dikutip WSJ.

  • Alasan Medis di Balik Kim Jong Un-Putin Simpan Feses usai dari Luar Negeri

    Alasan Medis di Balik Kim Jong Un-Putin Simpan Feses usai dari Luar Negeri

    Jakarta

    Saat Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un melakukan kunjungan terbaru ke Beijing, China, ia tidak hanya membawa rombongan diplomatik, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih tak biasa yakni toilet pribadi berkeamanan tinggi.

    Meski terdengar aneh, sumber intelijen dari Korea Selatan dan Jepang menyebut hal itu bukan sekadar kemewahan unik. Korea Utara dilaporkan mengambil langkah luar biasa untuk melindungi segala hal yang bisa memberi petunjuk tentang kesehatan Kim, termasuk fesesnya.

    “Ada protokol khusus untuk memastikan tidak ada jejak, bahkan sehelai rambut atau materi biologis, yang tertinggal,” ujar seorang perwira intelijen Korea Selatan kepada Nikkei Asia, dikutip dari Financial Express.

    Obsesi terhadap kerahasiaan ini terlihat jelas selama pertemuan terbaru antara Kim dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Beijing.

    Menurut wartawan yang hadir, staf Kim terlihat secara metodis menggosok setiap permukaan yang disentuh pemimpin Korea Utara itu, mulai dari pelapis kursi hingga gelas tempat ia minum, sebelum pergi.

    Adapun prosedur ini bukan hanya diterapkan oleh Kim Jong Un. Para pemimpin dunia, baik dari negara otoriter maupun demokrasi, telah mengadopsi kebiasaan serupa untuk melindungi informasi biologis yang sensitif.

    Presiden Rusia Vladimir Putin, misalnya, diyakini bepergian dengan tim khusus yang bertugas mengambil dan membuang fesesnya dengan aman saat berada di luar negeri.

    Menurut Paris Match, tim ini memastikan tidak ada sampel yang tertinggal, karena hal ini dapat digunakan untuk menganalisis kesehatan atau perawatan medis presiden.

    Para ahli mengatakan alasannya sederhana, sampel tinja atau urine, secara teori, dapat mengungkap banyak hal tentang kesehatan seseorang, termasuk tanda-tanda penyakit, penggunaan obat-obatan, atau bahkan kondisi medis jangka panjang.

    Kondisi Apa Saja yang Bisa Terdeteksi Lewat Feses?

    Di sisi lain, tes feses atau tinja (stool test) digunakan untuk mencari patogen berupa bakteri, virus, hingga parasit, yang dapat menyebabkan penyakit. Tes feses juga dapat mencari tanda-tanda lain, seperti darah tersembunyi yang menandakan adanya masalah pada pencernaan, termasuk infeksi dan kanker.

    Dikutip dari Cleveland Clinic, tes feses dapat memeriksa beberapa kondisi gastrointestinal, seperti:

    Fisura ani (luka kecil pada anus, tempat keluarnya kotoran).Anemia (kekurangan sel darah merah).Kolitis (pembengkakan atau iritasi pada usus besar, bagian dari usus).Polip usus besar (gumpalan sel kecil di usus besar).Kanker kolorektal (usus besar) .Divertikulosis (kantong menonjol dalam usus).Insufisiensi pankreas eksokrin atau Exocrine pancreatic insufficiency (EPC) (tidak mampu memecah makanan di usus).Perdarahan gastrointestinal (GI) .Wasir (pembengkakan pembuluh darah di anus).Infeksi ( bakteri , virus , atau parasit ).Penyakit radang usus atau Inflammatory bowel disease (IBD) (iritasi pada saluran pencernaan).Steatorrhea (lemak berlebih pada kotoran).Tukak lambung (luka pada lambung).

    Jenis-jenis tes feses

    Ada beberapa jenis pemeriksaan feses. Dokter akan memilih tes yang paling sesuai berdasarkan gejala yang dialami:

    Fecal Occult Blood Test (FOBT): Tes ini memeriksa adanya jejak darah tersembunyi dalam feses. Jika hasilnya positif, berarti ada perdarahan di suatu bagian saluran pencernaan.

    FIT-DNA test: Mirip dengan FOBT karena sama-sama mendeteksi jejak darah kecil di feses. Bedanya, tes ini juga memeriksa adanya DNA yang berubah (mutasi) yang bisa menjadi tanda kondisi prakanker atau kanker. (FIT adalah singkatan dari Fecal Immunochemical Test).

    Tes infeksi: Tes ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Intinya, tujuannya mencari kuman (bakteri, virus, atau parasit) di feses, baik dengan menumbuhkan kuman di laboratorium, melihatnya di bawah mikroskop, atau mendeteksi DNA kuman.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/kna)

  • Jakarta duduki peringkat ke-17 kota dengan transportasi terbaik

    Jakarta duduki peringkat ke-17 kota dengan transportasi terbaik

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyampaikan Jakarta menempati peringkat ke-17 dari 50 kota terbaik di dunia dalam bidang transportasi publik pada 2025, menurut lembaga survei internasional Time Out.

    “Jakarta sekarang ini dari 50 kota, 18 ribu responden yang disurvei, kita berada di nomor 17. Di ASEAN, kita hanya kalah dari Singapura, lebih baik dari Kuala Lumpur, Manila, maupun Bangkok,” kata Pramono saat ditemui di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin.

    Menurut dia, capaian itu membuktikan Kota Jakarta semakin diperhitungkan secara global, terutama dalam penyediaan sarana publik.

    Dia pun berharap peringkat tersebut terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.

    “Mudah-mudahan dengan ini kita bisa lebih baik, bukan lagi ranking 17, tapi bisa lebih tinggi lagi,” ujar Pramono.

    Berikut 19 Kota dengan Transportasi Umum Terbaik berdasarkan Survei Internasional Time Out 2025:

    1. Hong Kong, SAR

    2. Shanghai, China

    3. Beijing, China

    4. Abu Dhabi, UEA

    5. Taipei, Taiwan

    6. London, Inggris

    7. Wina, Austria

    8. Seoul, Korea Selatan

    9. Mumbai, India

    10. Doha, Qatar

    11. Delhi, India

    12. Singapura, Singapura

    13. Zurich, Swiss

    14. Brighton, Inggris

    15. Edinburgh, Inggris

    16. Oslo, Norwegia

    17. Jakarta, Indonesia

    18. Warsawa, Polandia

    19. Tallinn, Estonia

    Dalam survei itu, disebutkan moda transportasi umum tersibuk di Jakarta adalah bus, dengan tingkat persetujuan 79 persen.

    Bus Transjakarta beroperasi di jalurnya sendiri (busway) di jalan-jalan di ibu kota. Layanan tersebut menawarkan pilihan paling terjangkau bagi warga setempat untuk berkeliling kota.

    Selain bus Transjakarta, ada pula Mikrotrans, yaitu bus berukuran sedang yang melayani antarhalte busway.

    Kemudian, terdapat sejumlah opsi transportasi berbasis rel, yakni MRT (mass rapid transit) dan LRT (light rail transit) yang membantu mengurangi kemacetan di ibu kota, serta kereta komuter yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jakarta Masuk Daftar Kota dengan Transportasi Umum Terbaik di Dunia!

    Jakarta Masuk Daftar Kota dengan Transportasi Umum Terbaik di Dunia!

    Jakarta

    Kanal gaya hidup asal Inggris, TimeOut, baru saja melakukan riset atau studi mengenai transportasi umum terbaik di dunia. Hasilnya, Jakarta mengungguli kota-kota besar di kawasan Eropa, seperti Polandia dan Estonia.

    Disitat dari laman TimeOut, Senin (8/9), studi tersebut melibatkan 18.500 informan dari 50 negara di dunia. Penelitian tersebut mencari tahu soal keragaman transportasi umum di suatu kota (seperti bus, kereta dan trem), kemudian sejauh mana kelayakan unitnya dan integrasi perjalanannya.

    Tahun ini, kawasan di Asia justru mendominasi daftar kota dengan transportasi umum terbaik di dunia. Menariknya, jaringan transportasi umum ikonik, seperti kereta bawah tanah New York dan feri lintas benua Istanbul, tak mampu bersaing dengan sistem kendaraan massal di Benua Kuning.

    Transportasi umum di Eropa. Foto: Doc. Timeout.

    Namun, dari Edinburgh hingga Abu Dhabi, Brighton hingga Beijing, semuanya berhasil masuk daftar prestisius tersebut. Uniknya, dari 19 kota yang dirilis, Jakarta menempati urutan ke-17!

    Menurut keterangan TimeOut, ada sejumlah alasan yang membuat Jakarta terpilih sebagai salah satu kota dengan transportasi umum terbaik di dunia. Misalnya, sistem terintegrasi yang menghubungkan antara kereta, MRT dan TransJakarta. Selain itu, jangkauan transportasi umum di Jakarta juga sangat luas.

    Studi tersebut mengungkap, ada 79 persen responden yang setuju Jakarta masuk salah satu kota dengan transportasi umum terbaik di dunia. Lebih lagi, sistem yang ada terbukti telah menekan kemacetan kronis yang kerap terjadi di kota berjuluk The Big Durian tersebut.

    Berikut 19 Kota dengan Transportasi Umum Terbaik di DuniaHongkong, HongkongShanghai, ChinaBeijing, ChinaAbu Dhabi, UAETaipei, TaiwanLondon, InggrisVienna, AustriaSeoul, Korea SelatanMumbai, IndiaDoha, QatarDelhi, IndiaSingapura, SingapuraZurich, SwissBrighton, InggrisEdinburgh, SkotlandiaOslo, NorwegiaJakarta, IndonesiaWarsaw, PolandiaTallinn, Estonia.

    (sfn/din)

  • Alasan Medis di Balik Kim Jong Un-Putin Simpan Feses usai dari Luar Negeri

    Tak Cuma Kim Jong Un, Vladimir Putin Juga Disebut Bawa Urine-Fesesnya usai dari LN

    Jakarta

    Belakangan ramai disorot setelah staf Korea Utara tampak membersihkan jejak Kim Jong Un setelah bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Beijing. Bahkan, Kim Jong Un juga disebut membawa toilet pribadinya ke Beijing. Langkah ini disebut untuk menyembunyikan informasi apa pun terkait kondisi kesehatannya.

    Hal serupa juga diterapkan oleh Putin saat menghadiri KTT Alaska (Alaska Summit) bersama Presiden AS Donald Trump yang diadakan pada 15 Agustus 2025. Menurut laporan The Express US, pengawal Putin dilaporkan membawa koper berisi feses untuk mencegah kekuatan asing memperoleh informasi tentang kesehatan pemimpin Rusia tersebut.

    “Para pengawal Putin mengumpulkan kotorannya dan membawanya kembali ke Rusia ketika sang pemimpin bepergian ke luar negeri,” lapor The Express US, dikutip dari NDTV.

    Selama pertemuan Putin, langkah-langkah keamanan ketat diberlakukan untuk melindungi dirinya. Ia dikelilingi oleh para pengawal, dan berbagai prosedur dijalankan demi menjaga keselamatan serta melindungi intelijen Rusia.

    Mengutip jurnalis investigasi Regis Gente dan Mikhail Rubin di majalah Prancis Paris Match, The Express US melaporkan anggota Dinas Perlindungan Federal (FPS) Rusia mengumpulkan limbah tubuh Putin, termasuk feses, menyimpannya dalam kantong khusus, lalu membawanya dengan koper khusus.

    Langkah keamanan tersebut kabarnya sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu, termasuk ketika Putin berkunjung ke Prancis pada Mei 2017, menurut laporan The Express US. Diduga, tindakan ini dilakukan untuk mencegah pihak asing mengambil sampel limbah tubuh Putin yang bisa saja mengungkap informasi tentang kondisi kesehatannya.

    Jurnalis Farida Rustamova juga melaporkan bahwa prosedur serupa diterapkan saat kunjungan Putin ke Wina, saat ia menggunakan toilet portabel.

    “Seorang sumber mengatakan bahwa praktik ini sudah dilakukan presiden sejak awal kepemimpinannya pada 1999,” tulis The Express US.

    Laporan ini muncul di tengah spekulasi yang terus beredar mengenai kesehatan presiden berusia 72 tahun tersebut. Kekhawatiran meningkat setelah Putin terlihat menggoyangkan kakinya saat konferensi pers di Astana, Kazakhstan, November lalu. Menurut dr Bob Berookhim, hal itu bisa jadi gejala kondisi neurologis seperti Parkinson, sebagaimana dikutip The Express US.

    Putin juga pernah terlihat gelisah di kursinya saat bertemu Presiden Belarus, Alexandr Lukashenko, pada 2023. Sementara pada 2022, Kremlin sempat menepis rumor yang beredar di kanal Telegram General SVR, yang menuduh Putin mengalami ‘insiden memalukan’ setelah terjatuh.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Ternyata Ini Alasan Kim Jong Un Hapus Jejak dan Bawa Toilet Sendiri saat di Beijing

    Ternyata Ini Alasan Kim Jong Un Hapus Jejak dan Bawa Toilet Sendiri saat di Beijing

    Jakarta

    Setelah Kim Jong Un bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Beijing, staf Korea Utara tampak hati-hati membersihkan barang-barang yang disentuh pemimpin tertinggi itu. Menurut analis, langkah tersebut merupakan bagian dari protokol keamanan untuk mencegah upaya mata-mata asing.

    Meski hubungan Kim dan Putin terlihat makin akrab, rekaman pada Rabu (3/8/2025) memperlihatkan betapa seriusnya Korea Utara berusaha menyembunyikan segala petunjuk terkait kondisi kesehatan Kim.

    Dalam sebuah unggahan di Telegram, reporter Kremlin Alexander Yunashev membagikan video yang memperlihatkan dua staf Kim dengan cermat membersihkan ruangan di Beijing, tempat Kim dan Putin berbincang selama lebih dari dua jam.

    Mereka terlihat mengelap sandaran punggung dan sandaran lengan kursi, membersihkan meja kopi di samping kursi Kim, serta menyingkirkan gelas minumnya.

    “Setelah negosiasi selesai, staf yang mendampingi kepala DPRK dengan hati-hati menghancurkan semua jejak keberadaan Kim,” kata reporter tersebut, merujuk pada Korea Utara, dikutip dari CNA.

    Setelah berbincang di ruangan itu, Kim dan Putin kemudian minum teh bersama sebelum berpisah dengan salam perpisahan yang hangat.

    Seperti dalam kunjungan luar negeri sebelumnya, Kim membawa toilet pribadinya di kereta hijau khas yang membawanya ke Beijing. Menurut laporan surat kabar Jepang Nikkei, langkah ini dilakukan untuk menyembunyikan informasi apa pun terkait kondisi kesehatannya, dengan mengutip sumber intelijen Korea Selatan dan Jepang.

    Michael Madden, pakar kepemimpinan Korea Utara dari Stimson Center, AS, menjelaskan bahwa praktik semacam ini telah menjadi protokol standar sejak era pendahulu Kim, yaitu ayahnya, Kim Jong Il.

    “Toilet khusus dan kantong sampah khusus berisi sampah, limbah, dan puntung rokok disediakan agar badan intelijen asing, bahkan yang bersahabat sekalipun, tidak mengambil sampel dan mengujinya,” kata Madden.

    “Ini akan memberikan wawasan tentang kondisi medis apa pun yang memengaruhi Kim Jong Un. Ini bisa termasuk rambut dan kutil kulit,” ujarnya.

    Pada 2019, setelah pertemuan puncak di Hanoi dengan Presiden AS Donald Trump, pengawal Kim terlihat menutup akses ke lantai kamar hotelnya selama berjam-jam untuk membersihkan ruangan, bahkan sampai mengambil barang-barang termasuk kasur.

    Tim Kim juga kerap terlihat dengan teliti membersihkan barang-barang sebelum ia gunakan. Saat bertemu Presiden Korea Selatan saat itu, Moon Jae-in, petugas keamanan Korea Utara menyemprot kursi dan meja dengan cairan pembersih lalu mengelapnya sebelum Kim duduk.

    Hal serupa terjadi menjelang pertemuan puncaknya dengan Putin pada 2023. Rekaman video menunjukkan tim keamanan Kim membersihkan kursinya dengan disinfektan dan memeriksanya secara ketat. Salah satu penjaga bahkan menggunakan detektor logam untuk memindai kursi, memastikan tidak ada ancaman yang tersembunyi.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Di Depan Presiden Korsel, Trump Bilang Mau Bertemu Kim Jong Un”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/suc)

  • Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital Nasional 8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
    Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
    FENOMENA
    yang merebak di ruang publik Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, memperlihatkan bagaimana dinamika politik kini tidak lagi sekadar berkutat pada ruang rapat parlemen, ruang sidang pengadilan, atau jalan-jalan kota yang penuh demonstran, tapi juga muncul sebagai konten digital yang dikonsumsi, dibagikan, dan diperdebatkan secara masif.
    Ketika gagasan politik dirangkum dalam simbol sederhana berupa angka, warna, dan infografis lalu beredar cepat melalui ponsel jutaan orang, kita menyaksikan kelahiran bentuk artikulasi politik baru.
    Tidak hanya di Indonesia, fenomena serupa telah terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Serikat dengan tagar
    #BlackLivesMatter
    , Hong Kong dengan
    Umbrella Movement
    , hingga Eropa dengan
    Fridays for Future.
    Semua menghadirkan satu pola yang semakin jelas: politik tidak lagi sekadar proses formal institusional, melainkan juga performa visual dan naratif yang dirancang agar cocok dengan logika algoritme media sosial.
    Kasus 17+8 Tuntutan Rakyat yang meledak di Indonesia adalah contoh paling mutakhir, di mana 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang disusun dengan ringkas, tapi resonan, dikemas dalam warna pink yang lembut, namun penuh makna, dan dipopulerkan oleh influenser digital yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis politik.
    Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi, hubungan antara estetika digital dengan substansi politik, dan sejauh mana masyarakat bisa bergantung pada gerakan berbasis viralitas untuk menyelesaikan problem struktural yang dalam.
    Masalah yang tersirat dari semua ini adalah bagaimana politik sebagai praksis kolektif kini menghadapi tantangan ganda.
    Di satu sisi, keberhasilan gerakan
    digital-first
    menunjukkan bahwa partisipasi rakyat masih sangat hidup, bahkan justru menemukan ruang ekspresi baru di luar kanal formal.
    Di sisi lain, keterbatasan struktur, kerapuhan organisasi, dan risiko superfisialitas mengintai, sebab logika media sosial cenderung lebih menyukai konten singkat, emosional, dan mudah dibagikan ketimbang argumentasi panjang yang penuh nuansa.
    Di sinilah problem konseptual muncul: apakah gerakan yang lahir dari viralitas dapat bertahan melampaui siklus trending?
    Apakah politik yang disajikan sebagai konten mampu menembus sistem hukum, kebijakan, dan birokrasi yang penuh resistensi?
    Pertanyaan semacam ini membawa kita pada dilema epistemologis dan normatif yang mengingatkan pada perdebatan lama tentang peran opini publik dalam demokrasi.
    Jürgen Habermas, dalam karya monumentalnya tentang ruang publik, menekankan pentingnya diskursus rasional yang terbentuk dalam arena komunikasi.
    Namun, pada era media sosial, yang kita hadapi bukan sekadar diskursus rasional, melainkan banjir konten yang mencampuradukkan opini, emosi, dan simbol.
    Teori-teori tentang gerakan sosial membantu kita memahami transisi ini. Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol, dalam analisisnya tentang jaringan komunikasi, menggambarkan bahwa kekuatan masyarakat kini terletak pada kemampuan membentuk jaringan horizontal yang mem-
    bypass
    institusi formal.
    Konsep
    networked movement
    menjelaskan mengapa gerakan tanpa pemimpin tunggal, tanpa organisasi mapan, tetap bisa meluas cepat karena jaringannya bersifat desentral.
    Zeynep Tufekci, peneliti asal Turki-Amerika, juga menekankan hal serupa dalam kajiannya tentang protes digital.
    Ia menunjukkan bahwa kekuatan viralitas bisa menciptakan mobilisasi masif dalam waktu singkat, tetapi tanpa kapasitas organisasi yang kokoh, gerakan tersebut rentan kehilangan arah setelah momen awal.
    Persis di sinilah kita melihat paradoks. Gerakan 17+8 di Indonesia mampu menggalang dukungan luas hanya dalam hitungan hari. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ia bisa bertahan lebih lama dan menghasilkan perubahan struktural nyata?
    Jika kita menggeser pandangan ke ranah filsafat politik, kita menemukan refleksi yang memperkaya analisis ini.
    Alexis de Tocqueville, ketika menganalisis demokrasi Amerika pada abad ke-19, sudah menyinggung tentang bahaya tirani mayoritas dan ketidakstabilan opini publik yang cepat berubah.
    Pada masa kini, fenomena itu menemukan bentuk digitalnya: opini publik yang viral dapat menjadi basis legitimasi sesaat, tetapi tidak selalu membawa konsistensi kebijakan.
    Hannah Arendt, dengan fokusnya pada ruang publik sebagai arena tindakan politik, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam bertindak kolektif.
    Tanpa kesinambungan, tindakan politik mudah memudar. Refleksi ini menyoroti bahwa politik sebagai konten menghadapi tantangan menjaga keberlanjutan, bukan hanya menciptakan ledakan viral sesaat.
    Studi kasus dari berbagai negara memperlihatkan pola yang mirip. Di Amerika Serikat,
    #BlackLivesMatter
    lahir dari pengalaman diskriminasi rasial dan kekerasan polisi, lalu menjadi gerakan global melalui visual dan hashtag.
    Di Hong Kong,
    Umbrella Movement
    pada 2014 memperlihatkan bagaimana simbol sederhana—payung kuning—mampu menjadi ikon perlawanan terhadap Beijing.
    Di Swedia, Greta Thunberg memulai
    Fridays for Future
    dengan aksi personal yang difoto dan dibagikan, lalu berkembang menjadi protes iklim global.
     
    Di dunia Arab, gelombang
    Arab Spring
    berawal dari unggahan di media sosial yang kemudian menyulut revolusi.
    Di Indonesia, gerakan
    #ReformasiDikorupsi
    pada 2019 memperlihatkan kekuatan mahasiswa memobilisasi protes melalui visual digital.
    Semua ini mengajarkan bahwa viralitas adalah katalis, tetapi tidak otomatis menjamin hasil politik.
    Jika kita menganalisa lebih dalam, yang menjadi kekuatan utama gerakan digital adalah kemampuan menciptakan narasi singkat, mudah diingat, dan bersifat simbolik.
    17+8 adalah contoh sempurna: angka 17 dan 8 bukan hanya jumlah tuntutan, tetapi juga resonansi dengan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.
    Warna pink bukan sekadar pilihan estetis, tetapi juga strategi membedakan diri dari warna-warna protes tradisional yang keras. Pink menyampaikan kesan empati, kelembutan, dan keterlibatan emosional yang lebih luas.
    Simbolisme ini sejalan dengan analisis semiotik Roland Barthes, yang menunjukkan bagaimana tanda-tanda visual dapat mengkristal menjadi mitos sosial.
    Barthes menulis bahwa mitos bukan kebohongan, melainkan cara tertentu dalam memberikan makna, dan dalam konteks ini pink menjadi mitos baru tentang perlawanan yang inklusif.
    Namun, di balik daya tarik simbolik, ada juga keterbatasan struktural. Tufekci menulis bahwa gerakan digital cenderung “mudah naik, mudah turun.”
    Tidak adanya organisasi mapan membuat mereka cepat meluas, tetapi juga cepat memudar. BLM bertahan lebih lama karena memiliki jaringan komunitas yang sudah lama ada di Amerika.
    Fridays for Future
    bertahan karena terhubung dengan isu global yang berkelanjutan. Sementara
    Umbrella Movement
    mengalami keterpecahan karena represi keras dan perbedaan strategi internal.
    Pertanyaannya, apakah 17+8 akan mengalami hal sama? Apakah ia akan menemukan struktur baru yang menghubungkan viralitas digital dengan advokasi hukum, perubahan kebijakan, atau bahkan lahirnya partai politik baru?
    Implikasinya bagi demokrasi sangat signifikan. Di satu sisi, gerakan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih peduli, bahwa demokrasi tidak mati, dan bahwa rakyat menemukan cara kreatif menuntut keadilan.
    Di sisi lain, ada risiko bahwa pemerintah hanya melihat gerakan ini sebagai “tren medsos” yang bisa dibiarkan padam dengan sendirinya.
    Ada pula risiko bahwa partai politik justru akan meniru strategi ini untuk tujuan pencitraan, sehingga gerakan rakyat direduksi menjadi gaya kampanye. Hal ini menimbulkan dilema antara substansi dan performa.
    Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulasi, mengingatkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda dan simbol sering kali lebih kuat daripada realitas itu sendiri.
    Politik sebagai konten bisa jatuh dalam jebakan simulasi, di mana performa digital lebih penting daripada hasil nyata.
    Di sinilah muncul kemungkinan solusi. Gerakan berbasis konten digital perlu mencari cara agar tidak hanya berhenti pada viralitas.
    Salah satunya adalah menjembatani antara dunia digital dan dunia formal: tuntutan yang viral harus diterjemahkan ke dalam advokasi hukum,
    judicial review,
    lobi parlemen, atau pembentukan jaringan sipil yang lebih kokoh.
    Hal ini membutuhkan kerja sama antara influenser digital dengan aktivis LSM, akademisi, dan praktisi hukum.
    Jika gerakan digital hanya berhenti pada “konten yang indah”, maka ia akan hilang bersama arus timeline. Namun, jika ia berhasil membentuk aliansi dengan struktur yang lebih berjangka panjang, maka ia dapat menjadi katalis perubahan nyata.
    Pengalaman BLM yang mendorong reformasi kepolisian, atau
    Fridays for Future
    yang memaksa isu iklim masuk agenda politik, menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan.
    Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan viralitas dengan ketahanan institusional.
    Habermas mengingatkan bahwa ruang publik harus menghasilkan diskursus rasional, bukan hanya pertukaran opini emosional.
    Tantangannya adalah bagaimana membuat konten digital yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyajikan argumentasi rasional yang bisa masuk ke ranah kebijakan.
    Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting. Mereka dapat menjadi jembatan antara konten digital yang viral dengan substansi kebijakan yang kompleks.
    Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya “intelektual organik” yang terhubung dengan rakyat.
    Dalam era digital, intelektual organik mungkin adalah mereka yang mampu menulis, berbicara, dan menyajikan analisis di media sosial tanpa kehilangan kedalaman.
    Akhirnya, kita melihat bahwa politik sebagai konten adalah gejala zaman yang tidak bisa diabaikan.
    Ia lahir dari perubahan struktur komunikasi global, dari media cetak ke televisi hingga media sosial. Ia memperlihatkan kreativitas rakyat dalam menyuarakan aspirasi.
    Ia juga menunjukkan keterbatasan, karena viralitas tidak selalu berarti keberlanjutan. Namun, justru dalam ketegangan itulah demokrasi diuji.
    Apakah ia akan mampu menyerap energi digital menjadi reformasi nyata, ataukah ia akan membiarkan energi itu hilang begitu saja.
     
    Masa depan demokrasi Indonesia, dan mungkin demokrasi global, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menjawab pertanyaan itu.
    Gerakan 17+8, dengan semua simbol, warna, angka, dan viralitasnya, adalah cermin dari era baru politik. Ia menunjukkan potensi sekaligus risiko.
    Ia adalah tanda bahwa politik kini harus dipahami bukan hanya sebagai keputusan di ruang sidang, tetapi juga sebagai konten yang viral di layar ponsel.
    Dan jika kita menutup refleksi panjang ini, jelas bahwa 17+8 bukan sekadar episode sesaat, melainkan momen penting yang menandai pergeseran paradigma.
    Ia membuat kita menyadari bahwa generasi digital menemukan cara baru untuk berbicara, memprotes, dan menuntut. Kita tidak bisa menolaknya, karena ini adalah bahasa politik zaman ini.
    Tantangan kita adalah memastikan bahwa bahasa baru ini tidak berhenti sebagai gaya visual, melainkan menjadi jalan menuju perubahan substantif.
    Demokrasi yang sehat hanya mungkin jika energi viral di dunia maya menemukan perwujudannya di dunia nyata. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kapal LNG Rusia Satu Persatu Bersandar di China Meski Ditentang AS

    Kapal LNG Rusia Satu Persatu Bersandar di China Meski Ditentang AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Sebuah kapal tanker kedua yang mengangkut gas alam cair (LNG) dari pabrik ekspor Rusia yang dikenai sanksi AS tiba di China pada Sabtu, sementara Beijing terus memperluas hubungannya dengan Moskow meskipun ditentang oleh Washington.

    Melansir dari Bloomberg, Sabtu (6/9/2025) kapal tanker Voskhod, yang mengangkut muatan dari pabrik Arctic LNG 2, bersandar di terminal impor Beihai di selatan China, menurut data pelacakan kapal yang dikompilasi oleh Bloomberg.

    Pengiriman pertama dari Arctic LNG 2 tiba di China pada akhir Agustus. Pengiriman tersebut terjadi menjelang kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin, di mana kedua negara memperkuat hubungan energi mereka melalui serangkaian perjanjian pipa gas. 

    Sementara Arctic LNG 2 menghadapi kesulitan dalam mencari pembeli setelah masuk daftar hitam oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden pada 2023.

    Setidaknya tiga kapal lagi dari Arctic LNG 2 tampaknya sedang dalam perjalanan ke China, menurut data pelacakan kapal Bloomberg. Adapun pengiriman lain mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk tiba karena es telah menumpuk di Rute Laut Utara, sehingga menyulitkan kapal tradisional untuk menempuh rute yang lebih pendek ke Asia.

    Sejak pertengahan Agustus lalu, beberapa kapal tanker LNG memang terpantau tengah menuju Asia dari fasilitas ekspor Rusia—yang dikenai sanksi Amerika Serikat (AS)—untuk mencari pembeli. 

    Untuk diketahui, Arctic LNG 2 memproduksi delapan kargo LNG pada musim panas lalu, tetapi terpaksa ditutup pada Oktober 2024 karena gagal mendapatkan pembeli. Penutupan juga disebabkan adanya penumpukan es musiman di sekitar fasilitas.

    Fasilitas LNG tersebut, yang awalnya dikenai sanksi oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden, kembali melakukan pemuatan pada Juni lalu. Namun, kala itu belum ada kargo yang berhasil bersandar di fasilitas impor mana pun. Masih belum jelas apakah empat kapal yang saat ini menuju Asia akan benar-benar menemukan pembeli. Sekitar selusin kapal, termasuk yang mampu berlayar di perairan es, telah disiapkan untuk melayani Arctic LNG 2.

  • Ternyata Bukan hanya Foto Prabowo yang Lenyap di Koran Jepang

    Ternyata Bukan hanya Foto Prabowo yang Lenyap di Koran Jepang

    GELORA.CO -Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing baru-baru ini menarik perhatian.  

    Kunjungan untuk menghadiri peringatan 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok ini malah menimbulkan beragam spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. 

    Banyak pengamat yang menyebut kunjungan ini sebagai momen penting yang penuh makna untuk memperkuat posisi diplomasi Indonesia di panggung global. 

    Perayaan ini banyak diliput oleh media global. Dalam momen bersejarah itu, sekitar 25 pemimpin dunia hadir. 

    Namun yang banyak diliput oleh berbagai media adalah para pemimpin yang berdiri berdampingan di atas mimbar, antara lain Presiden Indonesia Prabowo Subianto., Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Tiongkok Xi Jinping,  Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, serta Presiden Kazakstan Jomart Tokayev. 

    Media China banyak yang menampilkan gambar empat pemimpin; Prabowo Subianto., Vladimir Putin, Xi Jinping, Kim Jong Un. Sementara, media Jepang justru hanya menampilkan tiga pemimpin.

    Yomiuri Shimbun, salah satu surat kabar terbesar di Jepang, hanya menampilkan foto “Trio Blok Timur”, yaitu Xi Jinping, Putin, dan Kim Jong Un. Sosok Prabowo sama sekali tidak ditampilkan. 

    Media sosial pun ramai membahas hal ini. Banyak netizen berspekulasi bahwa foto Prabowo sengaja dipotong karena Indonesia dianggap bukan negara besar. 

    Yomiuri Shimbun nampaknya  lebih memilih fokus pada Xi, Putin, dan Kim, karena acara tersebut adalah;  “peringatan 80 tahun kemenangan dari fasis Jepang”. Bagi publik Jepang, trio itulah yang relevan sebagai musuh tradisional dalam memori sejarah Perang Dunia II.

    Beberapa pendapat yang berseliweran di media sosial menggambarkan bahwa tidak disertakannya foto Prabowo karena Indonesia bukan dari bagian Blok Timur. 

    Beberapa analis justru menegaskan tidak tampilnya gambar Prabowo dalam framing media Jepang juga bukan diartikan berarti Indonesia tidak penting, melainkan karena editorial mereka sedang menegaskan narasi historis yang spesifik.

    Artikel editorial tersebut dimuat dalam versi bahasa Inggris berjudul “China-Russia-N. Korea Cooperation: 3 Regimes Cannot Become a Pillar of World Order. Japan and Europe Must Keep Emerging Nations Close”.

    Atau jika diterjemahkan: “Kerja sama China, Rusia, dan Korea Utara: Tiga rezim ini tidak boleh menjadi pilar utama dunia. Jepang dan Eropa harus merangkul negara-negara berkembang.”

    Isi artikel membahas pertemuan para pemimpin Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara di Beijing untuk menunjukkan sikap menantang Amerika Serikat. Media itu menilai langkah ini sebagai upaya mengubah tatanan dunia yang sudah menopang stabilitas global sejak Perang Dunia II.

    The Yomiuri Shimbun menekankan bahwa negara-negara demokratis, termasuk Jepang, kini berada di persimpangan jalan: apakah mereka mampu membendung pengaruh Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara atau tidak.

    Menurut artikel tersebut, sambutan hangat Beijing terhadap Putin dan Kim Jong Un menunjukkan Tiongkok melawan sentrisme PBB dan diplomasi damai yang selama ini mereka klaim.

    Karena itu, wajar jika Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa memilih tidak mengirimkan perwakilan pemerintah mereka ke Beijing. 

    Media itu juga menyebut bahwa konfrontasi antara kubu negara otoriter (Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara) dengan kubu negara demokratis (Jepang, AS, dan Eropa) bisa menjadi tak terhindarkan.