kab/kota: Beijing

  • Tertekan Perang Harga Sengit, Penjualan BYD di China Turun

    Tertekan Perang Harga Sengit, Penjualan BYD di China Turun

    Bisnis.com, JAKARTA — Penjualan bulanan raksasa kendaraan listrik BYD Co., turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari 18 bulan, di tengah perang harga dan persaingan yang sengit di pasar China.

    Pengiriman pada September 2025 turun 5,5% dari tahun sebelumnya menjadi 396.270 unit, menandai kontraksi pertama BYD sejak Februari 2024. Jika fluktuasi di sekitar liburan Tahun Baru Imlek tidak diperhitungkan, ini akan menjadi penurunan pertama sejak 2020, ketika Covid mengganggu rantai pasokan.

    Melansir Bloomberg, Kamis (2/10/2025), penurunan ini terjadi ketika perusahaan memangkas target penjualannya tahun ini sebesar 16% menjadi 4,6 juta unit, meskipun seorang eksekutif senior mengatakan langkah tersebut mencerminkan respons gesit BYD terhadap perubahan pasar dan target yang direvisi tetap merupakan sebuah pencapaian.

    Terlepas dari hasil tersebut, saham BYD yang diperdagangkan di Hong Kong naik sebanyak 2,9% pada Kamis (2/10/2025) pagi.

    Momentum BYD mungkin melambat, tetapi kemungkinan besar mereka masih mengirimkan lebih banyak kendaraan bertenaga baterai daripada Tesla Inc. dari Amerika, yang akan melaporkan angka pengiriman kuartal ketiganya pada hari Kamis nanti.

    Menurut konsensus Bloomberg, perusahaan yang dipimpin Elon Musk ini diperkirakan telah mengirimkan sekitar 439.600 mobil. Angka tersebut lebih rendah dari 582.522 unit EV yang telah terjual BYD dalam periode yang sama.

    Dengan September dan Oktober yang biasanya merupakan bulan-bulan sibuk bagi pasar otomotif di China, BYD dan para pesaingnya kemungkinan akan berupaya memaksimalkan kuartal terakhir untuk memenuhi target penjualan tahunan mereka.

    Pajak pembelian untuk beberapa EV tertentu akan kembali diberlakukan secara bertahap mulai 2026, yang mendorong para analis memperkirakan peningkatan pengiriman karena konsumen ingin memanfaatkan keringanan pajak tersebut sebelum masa berlakunya berakhir.

    Sebaliknya, Geely Automobile Holdings dengan cepat mengejar pesaingnya dengan menjual 273.125 unit pada September, menunjukkan pertumbuhan sebesar 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Grup ini sedang menjalani restrukturisasi untuk bersaing lebih baik dengan BYD, termasuk privatisasi merek Zeekr EV-nya, yang sedang dalam proses penarikan dari Bursa Efek New York.

    Merek lain yang juga menikmati lonjakan penjualan pada September antara lain Xpeng Inc., yang mencatatkan lonjakan 95% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 41.581 unit, dan Zhejiang Leapmotor Technology Co., yang meraup kenaikan 97% menjadi 66.657 unit.

    Xiaomi Corp. terus meningkatkan produksinya setelah meluncurkan kendaraan sport utility YU7 pada Juni. Perusahaan ini mengirimkan lebih dari 40.000 unit bulan lalu, mencetak rekor.

    Analis Morgan Stanley, termasuk Tim Hsiao, mengatakan dalam sebuah catatan riset bahwa selama lonjakan penjualan akhir tahun, BYD perlu menjual rata-rata 447.000 kendaraan per bulan pada kuartal terakhir untuk mencapai target 4,6 juta unit.

    Berdasarkan data penjualan yang dirilis oleh produsen mobil sejauh ini, segmen kendaraan listrik dan hybrid China tumbuh 10% secara bulanan pada September, lebih rendah dari perkiraan analis Citi Research sebesar 15%.

    Dengan Beijing mendesak beberapa industri, termasuk sektor otomotif, untuk mengakhiri perang harga yang tidak berkelanjutan, produsen dapat kesulitan mempertahankan momentum penjualan mereka tanpa diskon besar-besaran. Namun, tekanan pemerintah tampaknya hanya berdampak terbatas pada produsen mobil.

  • Dunia Berubah Drastis 5 Tahun Lagi, Begini Menurut Ahli China

    Dunia Berubah Drastis 5 Tahun Lagi, Begini Menurut Ahli China

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kecerdasan buatan super (artificial superintelligence/ASI) diperkirakan akan lahir 5 tahun mendatang atau tepatnya tahun 2030. Hal ini akan mengubah kehidupan manusia di dunia.

    Namun, kemampuan ASI diprediksi hanya akan melampaui manusia dalam beberapa aspek tertentu. Hal itu disampaikan Zhang Peng, CEO Zhipu AI, salah satu startup AI yang lagi naik daun di China.

    Belakangan industri AI global tengah ramai dengan spekulasi soal kapan teknologi ini akan melampaui kecerdasan manusia.

    CEO OpenAI Sam Altman pekan lalu memperkirakan ASI bisa hadir pada akhir dekade ini, sementara CEO SoftBank Masayoshi Son tahun lalu menyebut prediksi 2035.

    Namun Zhang menilai konsep ASI masih terlalu abstrak untuk dipatok pada tenggat waktu tertentu.

    “Menurut saya, pencapaian ASI yang melampaui kecerdasan manusia pada 2030 mungkin bisa diartikan mengungguli manusia dalam satu atau beberapa aspek. Namun, kemungkinan besar ASI masih jauh tertinggal di banyak bidang,” ujarnya saat meluncurkan model bahasa besar terbaru, GLM-4.6, dikutip dari Reuters, Rabu (1/10/2025).

    Didirikan pada 2019 sebagai spinoff Universitas Tsinghua, Zhipu AI kini muncul sebagai pemain terdepan dalam persaingan AI di China. Pada April lalu, perusahaan mengajukan dokumen untuk rencana pencatatan saham di bursa China daratan.

    Pada Juni, OpenAI sempat menyoroti Zhipu sebagai pesaing baru yang cepat berkembang dan dianggap sebagai bagian dari upaya Beijing mendorong AI buatan China ke pasar global.

    Zhang menanggapi hal itu dengan mengatakan pihaknya merasa tersanjung, namun ekspansi internasional yang dilakukan adalah bisnis pada umumnya.

    Zhang menuturkan pendapatan dari pasar luar negeri mulai tumbuh, meski mengakui Zhipu AI belum akan bersaing langsung dengan model-model asal AS di segmen langganan konsumen.

    Sebaliknya, perusahaan kini berkompetisi dengan OpenAI dalam layanan untuk klien korporasi.

    Baru-baru ini, Zhipu AI meluncurkan paket langganan coding untuk pengembang sebagai bagian dari upaya memperluas sumber pendapatan langsung dari konsumen.

    Zhang optimistis minat konsumen China untuk membayar layanan AI akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan, seiring bertambahnya penerimaan nilai AI dan turunnya harga layanan.

    Adapun model terbaru GLM-4.6 disebut sebagai versi peningkatan dari GLM-4.5 yang rilis Juli lalu. Model ini memiliki kemampuan lebih baik dalam pemrograman, penalaran, penulisan, serta aplikasi berbasis agen.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Diplomat Senior China Tiba-tiba Diganti Usai Menghilang dari Publik

    Diplomat Senior China Tiba-tiba Diganti Usai Menghilang dari Publik

    Beijing

    Seorang diplomat senior China tiba-tiba diganti setelah keberadaannya misterius selama berbulan-bulan usai kembali dari perjalanan dinas ke luar negeri. Penggantian ini memicu spekulasi bahwa diplomat senior itu terjerat kasus yang membuatnya ditahan otoritas Beijing.

    Laporan media pemerintah China, seperti dilansir Associated Press, Rabu (1/10/2025), mengumumkan bahwa pemerintah telah menunjuk Liu Haixing sebagai pemimpin baru Departemen Internasional. Liu Haixing merupakan seorang diplomat berpengalaman yang pernah menduduki berbagai posisi diplomatik di Eropa.

    Sepulangnya ke Beijing, Liu Haixing menjabat sebagai Asisten Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Departemen Urusan Eropa.

    Dia ditunjuk menggantikan Liu Jianchao — tidak memiliki hubungan keluarga dengan Liu Haixing — yang tidak terlihat di depan publik sejak Juli lalu di tengah spekulasi bahwa dia ditahan karena alasan disiplin.

    Departemen Internasional, yang sebelumnya dipimpin oleh Liu Jianchao, merupakan sayap diplomatik Partai Komunis yang berkuasa di China. Departemen ini bertugas menjalin hubungan dengan partai-partai politik di negara-negara lainnya.

    Penunjukan Liu Haixing yang disampaikan lewat situs resmi Departemen Internasional ini, menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan Liu Jianchao.

    Liu Jianchao menjabat sebagai kepala Departemen Internasional sejak Juni 2022. Dia telah bepergian ke luar negeri secara ekstensif sebagai bagian dari upaya diplomatik China pascapandemi. Nama Liu Jianchao bahkan beredar sebagai salah satu calon Menteri Luar Negeri yang baru.

    Namun sosok Liu Jianchao tidak pernah terlihat di depan publik sejak akhir Juli lalu, setelah dia kembali dari perjalanan dinas ke luar negeri.

    Laporan media terkemuka, Wall Street Journal (WSJ), yang mengutip beberapa sumber menyebut bahwa Liu Jianchao kini ditahan untuk menjalani interogasi sebagai bagian dari penyelidikan disiplin. Tidak diketahui secara jelas soal pelanggaran atau kasus apa yang menjeratnya.

    Kasus hilangnya Liu Jianchao ini menyusul rentetan kasus serupa di China beberapa waktu terakhir. Salah satunya adalah hilangnya mantan Menteri Luar Negeri Qin Gang yang menjadi sorotan publik pada Juni 2023 lalu. Pada saat itu, Qin baru menjabat Menteri Luar Negeri selama tujuh bulan.

    Wang Yi, yang sebelumnya pernah menjabat Menteri Luar Negeri China, kembali ditunjuk oleh pemerintah untuk menduduki jabatan penting tersebut.

    WSJ melaporkan pada saat itu bahwa investigasi internal partai mendapati Qin terlibat dalam perselingkuhan selama masa jabatan sebelumnya sebagai Duta Besar China untuk Amerika Serikat (AS).

    Langkah penegakan disiplin semacam ini diyakini berlanjut saat Presiden Xi Jinping memimpin kampanye pembersihan disiplin yang gencar sejak pengangkatannya pada tahun 2012. Dilaporkan lebih dari 6 juta pejabat China telah dihukum karena korupsi dan pelanggaran lainnya.

    Tonton juga video “Istri Arya Daru Beberkan soal Teror di Makam Suaminya” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Ulah China Bikin AS Kebakaran Jenggot, Krisis Besar Mengancam Dunia

    Ulah China Bikin AS Kebakaran Jenggot, Krisis Besar Mengancam Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) makin resah dengan serangan siber besar-besaran yang diduga dilakukan oleh Kementerian Keamanan Negara China atau Ministry of State Security (MSS).

    Aksi peretasan ini bukan hanya menyasar jaringan di Negeri Paman Sam, tapi juga puluhan negara lain, dan dipandang sebagai ancaman serius bagi keamanan global.

    Pada 2023, Direktur CIA William J. Burns bahkan terbang diam-diam ke Beijing untuk memperingatkan langsung Menteri Keamanan Negara China.

    Dalam pertemuan itu, Burns menegaskan akan ada konsekuensi jika malware yang ditanam benar-benar diluncurkan. Namun, bukannya surut, serangan justru semakin masif.

    Kelompok peretas yang dikenal dengan nama Salt Typhoon terungkap telah melakukan penyusupan selama bertahun-tahun. Mereka diduga mencuri informasi hampir seluruh warga AS dan menargetkan berbagai negara lain.

    Dalam pernyataan bersama, sejumlah negara korban Salt Typhoon menyebut data yang dicuri bisa memberi Beijing kemampuan untuk melacak komunikasi dan pergerakan target di seluruh dunia.

    Menurut pakar, MSS kini telah berkembang menjadi salah satu badan spionase siber paling tangguh di dunia, menyaingi Badan Keamanan Nasional (NSA) AS dan GCHQ Inggris.

    Berbeda dengan peretas bayaran China di masa lalu yang cenderung ceroboh, operasi Salt Typhoon berjalan sistematis, yakni menemukan celah sistem, menyusup, mencuri data, berpindah antarjaringan, hingga menghapus jejak keberadaan.

    “Salt Typhoon menunjukkan sisi strategis dan keterampilan tinggi dari operasi siber MSS, yang selama ini tertutupi oleh sorotan terhadap peretas kontrak berkualitas rendah,” ujar Alex Joske, penulis buku tentang kementerian itu, dikutip dari New York Times, Selasa (30/9/2025).

    Bagi Washington, ancaman ini tak main-main. Dalam skenario konflik masa depan, China dinilai mampu melumpuhkan infrastruktur vital AS mulai dari komunikasi, listrik, hingga pasokan air. 

    Nigel Inkster, mantan pejabat intelijen MI6 Inggris, menyebut serangan itu sekaligus menjadi strategi intimidasi Beijing.

    “Jika mereka tetap tidak terdeteksi di jaringan, itu memberi keuntungan besar saat krisis. Tapi jika terdeteksi, tetap menjadi efek gentar. Pesannya jelas: ‘Lihat apa yang bisa kami lakukan jika mau’,” kata dia.

    Bangkitnya MSS sendiri tak lepas dari reformasi Xi Jinping sejak 2012. Xi membatasi peran militer dalam operasi peretasan, membersihkan pejabat korup di kementerian, serta menempatkan keamanan nasional sebagai inti kebijakan.

    Dengan menggandeng perusahaan teknologi domestik, MSS kini punya alur perekrutan peretas ofensif yang lebih solid.

    Pemerintah China bahkan mewajibkan setiap kerentanan perangkat lunak baru dilaporkan terlebih dahulu ke basis data yang diduga dikendalikan MSS. Perusahaan teknologi diberi insentif finansial untuk memenuhi kuota bulanan dalam melaporkan celah keamanan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • India Cermati Kedekatan Baru Trump dan Pakistan

    India Cermati Kedekatan Baru Trump dan Pakistan

    Jakarta

    Barangkali tak ada isyarat diplomatik yang lebih jelas ketimbang sebuah undangan ke Gedung Putih.

    Pekan lalu, dua tokoh utama Pakistan, Perdana Menteri Shahbaz Sharif dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Asim Munir, datang ke Washington untuk bertemu Presiden Donald Trump. Mereka membicarakan sejumlah agenda, terutama soal ekonomi dan keamanan.

    Gedung Putih membagikan foto-foto dari pertemuan di Oval Office, yang memperlihatkan Munir menyerahkan sekotak logam tanah jarang kepada Trump. Ini merupakan kunjungan kedua sang jendral ke Amerika Serikat tahun ini.

    Trump, dengan caranya yang khas, ikut mengamankan restu Islamabad atas rencananya menyulap damai di Jalur Gaza, sebagai satu-satunya adidaya nuklir di dunia muslim.

    Sharif sebaliknya membawa pulang janji kelonggaran tarif dan janji investasi AS di sektor energi, pertambangan dan pertanian, ke negeri yang sedang didekap krisis ekonomi itu.

    Yang mencolok adalah seloroh yang dilontarkan Trump, bahwa Pakistan punya cadangan minyak yang berukuran “masif.” Saat mengumumkan kesepakatan pada Juli lalu, dia bahkan mengatakan India mungkin “suatu hari nanti akan membeli minyak Pakistan”.

    Banjir pujian bagi sang ‘juru damai’

    Dalam kunjungannya, Sharif menyebut Trump sebagai “tokoh perdamaian”, dan memuji peran sang presiden dalam memfasilitasi gencatan senjata antara India dan Pakistan usai konflik singkat pada Mei lalu, yang dipicu oleh serangan militan terhadap wisatawan di wilayah Kashmir India. Munir bahkan mengatakan bahwa Trump layak menerima Nobel Perdamaian.

    Kebangkitan pamor Pakistan di Gedung Putih terlihat kontras dengan hubungan AS dan India yang mendingin. Padahal, kedua negara sempat dibayangkan akan semakin dekat di masa jabatan kedua Trump, melalui hubungan pribadinya dengan Perdana Menteri Narendra Modi.

    Secara geopolitik, AS dan India selama bertahun-tahun membangun hubungan strategis, terutama dalam menghadapi Cina, sembari menjaga hubungan dagang yang saling menguntungkan.

    Tapi dalam lanskap global yang digambar ulang usai invasi Rusia ke Ukraina, India malah dikenai tarif 50 persen oleh AS, antara lain akibat keteguhannya membeli minyak dari Moskow.

    Strategi jangka panjang India

    Di India, kedekatan baru antara AS dan Pakistan memicu kekhawatiran terhadap loyalitas Washington sebagai mitra strategis.

    Harsh Pant, Kepala Program Studi Strategis di lembaga pemikir Observer Research Foundation (ORF) di New Delhi, mengatakan kepada DW bahwa Pakistan sebagai episentrum strategi AS, bisa menjadi titik balik dalam kebijakan India di kawasan.

    “Jika India meragukan komitmen jangka panjang Washington, hal itu akan mengubah secara fundamental bagaimana India merespons tantangan di kawasan Indo-Pasifik,” ujar Pant, yang juga profesor hubungan internasional di King’s College London.

    “Perkembangan itu tidak hanya akan merombak pendekatan India terhadap kawasan, tetapi juga berdampak pada strategi Indo-Pasifik AS secara keseluruhan, kemitraan Quad, serta berbagai upaya kolaboratif antara India dan AS untuk menyeimbangkan pengaruh China yang terus meningkat,” tambah Pant, merujuk pada forum kerja sama empat kekuatan Indo-Pasifik: India, AS, Australia, dan Jepang, yang digadang-gadang Washington sebagai penyeimbang pengaruh Beijing di kawasan.

    Gurita diplomasi Pakistan

    Potret geopolitik kawasan semakin rumit, karena Pakistan tak hanya bermain di satu meja. Islamabad belum lama ini juga menandatangani pakta pertahanan dengan Arab Saudi—sekutu lama Amerika di Timur Tengah. Pakta tersebut memuat klausul pertahanan bersama, bahwa “setiap agresi terhadap salah satu negara akan dianggap sebagai agresi terhadap keduanya”.

    Bagi India, kenyataan bahwa musuh bebuyutannya menjalin aliansi dengan kekuatan utama di Timur Tengah menjadi perhatian strategis. Namun begitu, Ajay Bisaria, mantan Duta Besar India untuk Pakistan, mengatakan kepada DW bahwa New Delhi belum merasa terancam.

    “Mengingat kondisi ekonomi Pakistan yang sulit, mereka terpaksa menyesuaikan kebijakan luar negerinya agar tetap relevan bagi tiga donor utama: AS, Cina, dan Arab Saudi,” kata mantan dubes itu.

    Menurutnya, India paham Pakistan sedang berusaha memetik keuntungan ekonomi dari posisinya “dengan memanfaatkan dinamika geopolitik yang berubah dan membangun hubungan transaksional. India melihat manuver Pakistan sebagai upaya bertahan agar tetap relevan secara global,” ujar mantan dubes itu.

    Bisaria menambahkan, para pemimpin India yakin kedekatan AS–Pakistan punya masa kadaluwarsa.

    “India waspada terhadap manuver ini, tapi tidak terlalu khawatir mengingat rapuhnya upaya Pakistan menyeimbangkan ragam kepentingan, dan fakta bahwa hubungan AS–Pakistan akan mengecewakan dalam jangka panjang,” lanjutnya.

    Trump yang transaksional

    Meera Shankar, mantan Duta Besar India untuk AS, mengatakan kepada DW, Trump memandang India dan Pakistan dari lensa yang bersifat transaksional dan berfokus pada keuntungan ekonomi.

    Kedua negara, menurut Shankar, “dipandang melalui sudut padang persaingan ekonomi, bukan sebagai mitra strategis di kawasan Indo-Pasifik. Ekonomi India sebenarnya bukan pesaing AS, melainkan bersifat melengkapi, yang membantu meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan AS,” kata Shankar.

    Diplomat itu memperingatkan, Pakistan telah belajar memanfaatkan prioritas-prioritas AS dengan menawarkan konsesi kecil secara bertahap, agar tetap dipandang berguna. Namun dia pun mencatat, relasi ini bukan kemitraan sejati, bukan hubungan yang dibangun atas kepercayaan.

    “Hubungan AS–Pakistan kini dibentuk oleh apa yang bisa ditawarkan Pakistan—seperti kerja sama kontra-terorisme secara transaksional—dan bukan oleh kemitraan yang berlandaskan kepercayaan atau nilai jangka panjang,” ujarnya.

    Pasang surut hubungan AS–Pakistan

    Amitabh Mattoo, Dekan Fakultas Studi Internasional Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi mengatakan, pasang-surut relasi Washington dan Islamabad adalah fenomena yang berulang.

    “Fenomena ini adalah ciri khas geopolitik Asia Selatan sejak era Perang Dingin. Setiap kali AS kembali mendekati Pakistan, hal itu lebih karena alasan yang bersifat instrumental,” kata Mattoo kepada DW.

    Mulai dari “Perang Dingin melawan Uni Soviet, kemudian ‘perang melawan teror’, dan kini, mungkin, kebutuhan akan akses logistik serta pengaruh taktis di kawasan Asia Barat dan Asia Tengah yang bergejolak,” tambahnya.

    Menurut Mattoo, Washington kini lebih sadar tentang sikap ganda Pakistan dalam misi kontra-terorisme dan tetap berkomitmen pada India sebagai mitra strategis, terutama di kawasan Indo-Pasifik.

    “Dalam konteks ini, pendekatan Washington terhadap Islamabad bukan berarti meninggalkan New Delhi, melainkan bagian dari strategi ‘hedging’ di kawasan yang tidak stabil—meski pemerintahan Trump semakin sulit ditebak,” pungkasnya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

  • Warga RI Makin Gampang Cari Kerja di China, Begini Syaratnya

    Warga RI Makin Gampang Cari Kerja di China, Begini Syaratnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan baru Amerika Serikat (AS) yang menetapkan biaya visa kerja H-1B hingga US$100.000 (sekitar Rp1,6 miliar) per tahun dinilai memberatkan perusahaan dan pekerja asing.

    Situasi ini langsung dimanfaatkan China dengan meluncurkan program visa baru untuk menarik talenta teknologi global.

    Visa kategori K, yang diumumkan pada Agustus dan resmi berlaku pekan ini, menyasar lulusan muda asing di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).

    Berbeda dengan H-1B yang mengharuskan sponsor perusahaan dan tunduk pada sistem undian, visa K memungkinkan pekerja asing masuk, tinggal, dan bekerja di China tanpa perlu tawaran kerja terlebih dahulu.

    “Amerika Serikat jelas merugikan dirinya sendiri dengan kebijakan H-1B, dan waktunya sangat tepat bagi China meluncurkan visa K,” kata Michael Feller, Kepala Strategi di Geopolitical Strategy, dikutip dari Reuters, Selasa (30/9/2025).

    China sendiri selama ini dikenal memiliki pasokan besar untuk engineer lokal. Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi akibat tarif impor AS, Beijing berusaha membangun citra sebagai negara yang terbuka terhadap investasi dan tenaga kerja asing.

    Upaya ini juga diperkuat dengan kebijakan bebas visa bagi warga sebagian besar negara Eropa, Jepang, dan Korea Selatan.

    Meski menjanjikan, visa K masih menyisakan banyak pertanyaan. Pedoman pemerintah hanya menyebut syarat umum seperti usia, latar belakang pendidikan, dan pengalaman kerja, tanpa rincian mengenai insentif finansial, status tinggal permanen, maupun fasilitas keluarga.

    Kendala bahasa juga dinilai signifikan, mengingat mayoritas perusahaan teknologi di China beroperasi dengan bahasa Mandarin.

    Selain itu, ketegangan politik antara India dan China bisa membatasi jumlah pelamar dari India, yang selama ini menjadi penerima terbesar visa H-1B di AS dengan porsi 71% tahun lalu.

    “China harus memastikan warga India merasa diterima dan dapat bekerja secara bermakna meskipun tanpa kemampuan bahasa Mandarin,” kata Feller.

    Upaya perekrutan talenta asing sebenarnya bukan hal baru bagi China. Sebelumnya, pemerintah menawarkan insentif besar, termasuk subsidi rumah dan bonus hingga 5 juta yuan (Rp11 miliar), untuk menarik kembali ilmuwan China di luar negeri. Namun, program khusus bagi talenta non-China, seperti visa K, masih tergolong baru.

    Meski peluang perubahan besar dalam kebijakan imigrasi China dinilai kecil, analis menilai kehadiran visa K tetap memperkuat posisi Beijing dalam persaingan teknologi global dengan Washington.

    “Jika China berhasil menarik sebagian kecil saja dari talenta teknologi dunia, posisinya di bidang teknologi mutakhir akan semakin kuat,” ujar Feller.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump Ganti Gertak Rusia, Bagaimana Reaksi Ukraina?

    Trump Ganti Gertak Rusia, Bagaimana Reaksi Ukraina?

    Washington DC

    Mendadak nada Presiden Amerika Serikat Donald Trump berubah soal invasi Rusia di Ukraina. Tidak lagi menampakkan rasa kagum pada kekuatan otoriter Vladimir Putin, dia malah menulis Ukraina bisa merebut kembali semua wilayahnya, “dan mungkin lebih dari itu,” tulisnya di platform Truth Social.

    Pernyataan mengejutkan itu datang setelah pidato Trump di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, AS, yang juga ditandai pertemuan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

    “Saya memahami sepenuhnya situasi militer dan ekonomi Ukraina serta Rusia,” tulis Trump.

    “Saya pikir Ukraina, dengan dukungan Uni Eropa, bisa berjuang dan merebut kembali seluruh wilayah dalam bentuk aslinya. Dengan waktu, kesabaran, dan bantuan finansial dari Eropa – terutama NATO – pemulihan wilayah yang menjadi asal mula perang ini bukanlah hal yang mustahil. Kenapa tidak? Rusia sudah berperang tanpa arah selama tiga setengah tahun, perang yang seharusnya bisa dimenangkan oleh kekuatan militer sejati dalam waktu kurang dari seminggu.”

    Trump mengulangi pandangan itu dalam pertemuan lanjutan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dia menyebut Rusia berisiko menjadi “macan kertas”, karena keberhasilan militernya terbatas meski telah menelan banyak korban jiwa. Namun, dia juga mengakui bahwa perang ini kemungkinan masih akan berlangsung lama.

    Zelensky: “Kita lihat nanti”

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyambut pernyataan Trump dengan optimisme terbatas. Dalam wawancara dengan Fox News, dia menyebut unggahan Trump sebagai kejutan kecil yang menggembirakan.

    “Saya melihat sinyal yang sangat positif bahwa Trump dan Amerika akan berdiri di pihak kami hingga perang usai. Kita akan lihat, tapi semoga Tuhan memberkati ini menjadi kenyataan,” ujarnya.

    Pada Februari lalu, pertemuan keduanya di Oval Office berakhir ricuh di depan kamera. Saat itu, Zelensky mencoba menjelaskan posisi Ukraina dalam mempertahankan diri dengan segala cara dari agresi Rusia, namun akhirnya justru diminta meninggalkan Gedung Putih.

    Kini, Trump justru menyampaikan kekagumannya kepada Zelenksy. “Dia pria pemberani yang berjuang dalam sebuah perang sengit,” demikian pernyataan resmi Gedung Putih yang dikutip dari akun X milik presiden AS.

    Respons beragam di Ukraina

    Retorika baru Trump menuai berbagai respons dari kalangan politik Ukraina. Penasehat Kantor Kepresidenan Ukraina, Mykhailo Podolyak, menduga perubahan sikap itu karena Trump menyadari bahwa “Putin telah benar-benar menghancurkan reputasinya sendiri.”

    “Trump semula berharap bahwa kedekatannya dengan Putin akan membantunya menemukan solusi untuk konflik besar yang melanda seluruh Eropa. Dia ingin tampil sebagai pemimpin kuat Amerika dalam proses itu. Tapi sekarang dia sadar, itu semua ilusi,” ujar Podolyak kepada Deutsche Welle.

    Dia menyebut hal paling penting dari perubahan retorika ini adalah kesiapan AS menjual lebih banyak senjata ke negara-negara Eropa melalui NATO. “Itu semua harus sampai ke medan tempur,” katanya.

    Podolyak juga berterima kasih atas tekanan AS terhadap Eropa untuk menghentikan sanksi setengah hati terhadap Rusia — yang sudah mencapai 18 paket — dan beralih pada larangan nyata, termasuk sanksi sekunder kepada negara-negara yang masih membeli energi dari Rusia. Menurutnya, tekanan ekonomi adalah satu-satunya cara yang efektif untuk membuat Kremlin menghentikan perang.

    Namun tak semua pihak di Ukraina optimistis. Oleksiy Honcharenko dari oposisi “Solidaritas Eropa” memperingatkan bahwa pernyataan Trump bisa menimbulkan harapan palsu.

    “Itu bukan bantuan nyata. Dia hanya ingin mencuci tangan dari konflik ini. Trump tak bicara soal kemenangan Ukraina. Ia bilang: ‘Urus sendiri dengan Uni Eropa. Semoga sukses.’”

    Anggota fraksinya, Volodymyr Ariev, juga menyarankan rakyat Ukraina agar tidak memupuk ilusi.

    “Posisi Trump pada dasarnya tak berubah. Dia hanya mengulangi yang sudah kita tahu: Ukraina bisa menang kalau punya cukup senjata, dan perang akan terus berlangsung.”

    Ariev menambahkan, baru jika Trump dan Eropa mengirim lebih banyak senjata dan menjatuhkan sanksi berat, barulah bisa dibicarakan perubahan kondisi perang. “Untuk saat ini, kita harus bertahan dan mengandalkan kekuatan pertahanan sendiri.”

    Jaroslav Zhelezniak dari oposisi Partai “Holos” bahkan lebih singkat. “Apa yang baru dari ucapan Trump dan apa artinya bagi kita? Tidak ada. Apa yang bisa kita harapkan setelah ini? Juga tidak ada.”

    Dari kubu pemerintah, nada yang sama terdengar. Danylo Hetmantsev dari Partai “Diener des Volkes” menyebut Trump akhirnya sadar bahwa Rusia tak menginginkan perdamaian. Tapi dia menilai pernyataan Trump soal perang yang akan berlangsung lama adalah skenario buruk.

    “Itu berarti bahkan Trump, yang dulu percaya ia bisa cepat mengakhiri perang dan meraih Hadiah Nobel Perdamaian, kini tak yakin lagi bisa melakukannya,” tulisnya di Telegram.

    Kenapa sekarang?

    Direktur Pusat Riset Sosial “Ukrainian Meridian”, Dmytro Lewus, percaya perubahan retorika Trump adalah hasil dari kerja keras diplomatik Ukraina dan mitra-mitra Eropanya. Kyiv bersikukuh pada posisinya. Kunjungan Zelensky ke Washington bersama para pemimpin Uni Eropa dan NATO disebutnya sebagai keberhasilan Ukraina.

    Rusia juga turut mempengaruhi Trump, menurut Lewus. Meski mendapat berbagai bentuk konsesi, Moskow tetap bersikeras pada posisinya, bahkan menuntut Kyiv menyerah. Sikap arogan Rusia itu, katanya, bisa jadi membuat Trump kecewa.

    Namun Oleksandr Kraiev, pakar Amerika Utara dari Ukrainian Prism, skeptis. “Ini hanya diplomasi burung beo dari Trump. Dia hanya mengulangi apa yang baru-baru ini dia dengar. Dia bertemu delegasi Eropa dan Ukraina, lalu mengatakan apa yang ingin kita dengar. Dalam bukunya pun Trump menulis, katakan pada orang apa yang ingin mereka dengar untuk mencapai kesepakatan.”

    Kraiev menambahkan, Trump saat ini menuntut Eropa memberlakukan sanksi pada China, India, dan negara-negara lain yang berpihak pada Rusia, sementara dirinya sendiri hanya ingin tampil sebagai mediator.

    “Jadi, ini langkah yang benar dan positif, tapi tetap didasari kepentingannya sendiri.”

    Pendapat senada datang dari Taras Beresovets – mantan jurnalis yang kini menjadi perencana strategi politik dan personel militer. Dia menduga retorika baru Trump soal Ukraina lebih berkaitan dengan perubahan taktik Amerika terhadap China.

    “Pernyataan itu lebih merupakan upaya menaikkan taruhan, bukan terhadap Moskow, melainkan terhadap Beijing. Saya yakin parade militer di Tiananmen mengesankan Trump, dan kini ia justru memprovokasi musuh yang sebenarnya dia anggap utama. Karena itu sikapnya berubah. Tapi, bisa jadi dua hari lagi Trump berubah pikiran lagi. Kita tak perlu bereuforia, tapi juga tak perlu putus asa,” tulisnya di Telegram.

    Diadaptasi dari bahasa Ukraina oleh Markian Ostaptschuk
    Disadur oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video: Macron Sepakat dengan Trump di Sidang PBB, Desak Rusia Akhiri Perang

    (nvc/nvc)

  • SMIC Tes Mesin DUV Lokal, China Selangkah Lagi Mandiri Chip AI

    SMIC Tes Mesin DUV Lokal, China Selangkah Lagi Mandiri Chip AI

    Jakarta

    Industri semikonduktor China kembali mencatat tonggak penting. Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC) dilaporkan mulai menguji mesin litografi deep-ultraviolet (DUV) buatan lokal pertama yang dikembangkan oleh startup Shanghai, Yuliangsheng.

    Langkah ini memperlihatkan upaya serius Beijing dalam melepaskan ketergantungan terhadap teknologi impor, khususnya dari AS dan sekutunya, di tengah sanksi dan pembatasan ekspor.

    Menurut laporan Financial Times, mesin DUV immersion ini dipakai SMIC untuk produksi chip berbasis proses 7nm, yang sangat vital bagi pengembangan kecerdasan buatan (AI). Sebelumnya, China sangat bergantung pada peralatan litografi dari ASML Belanda. Kini, dengan hadirnya mesin lokal, SMIC berpotensi memperkuat pasokan chip AI dalam negeri.

    Meski begitu, tantangan masih besar. Sumber menyebutkan tingkat keberhasilan awal mesin ini masih rendah karena litografi membutuhkan presisi ekstrem. Walau diklaim bisa mendukung produksi hingga 5nm, fokus awal tetap pada 7nm demi efisiensi dan kestabilan produksi.

    Permintaan AI Jadi Pendorong Utama

    Ledakan kebutuhan chip di China, terutama dari perusahaan AI seperti Huawei dan Baidu, membuat pemerintah mendorong swasembada semikonduktor dengan subsidi besar-besaran. SMIC sebelumnya sempat mengandalkan mesin DUV impor lama, namun keterbatasan pasokan akibat larangan ekspor AS sejak 2022 menjadi hambatan besar.

    Dengan mesin Yuliangsheng, SMIC berharap dapat menjaga volume produksi meski harus mengorbankan yield (tingkat hasil baik). Pendekatan ini mirip dengan strategi Huawei Mate 60 yang tetap diproduksi meski hasil chip tidak setinggi standar global.

    Jika uji coba sukses, analis memprediksi langkah ini bisa mempercepat target Tiongkok mencapai 70% kemandirian rantai pasok semikonduktor pada 2030. Pasar pun bereaksi positif, saham SMIC di Hong Kong melonjak hingga 5% setelah kabar uji coba ini.

    Namun, para ahli menekankan bahwa jalan menuju teknologi litografi EUV (extreme ultraviolet) untuk chip di bawah 5nm masih jauh, mengingat monopoli ASML di sektor tersebut.

    Terlepas dari itu, bagi China, terobosan ini bisa menjadi batu loncatan menuju era baru produksi chip yang lebih mandiri di tengah tekanan geopolitik global.

    (afr/afr)

  • Profil dr Tan Shot Yen, Pakar Gizi yang Beri Kritik Keras MBG di DPR

    Profil dr Tan Shot Yen, Pakar Gizi yang Beri Kritik Keras MBG di DPR

    Jakarta

    Nama pakar gizi komunitas, dr Tan Shot Yen mendadak menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ini karena dr Tan melontarkan kritik tajam terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI.

    Dalam audiensi yang digelar bersama Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) dan sejumlah organisasi lainnya, dr Tan dengan tegas mempertanyakan terkait konsep menu yang dibagikan kepada anak-anak.

    Alih-alih mendapatkan makanan dengan gizi tinggi, anak-anak justru diberikan makanan fast food seperti burger, spageti, bakmi, dan tepung-tepungan lain.

    “Akhirnya apa ini, mau sampai kapan makannya burger, gitu, lo. Ya, jadi saya setuju bahwa ada anak yang tidak suka dengan pangan lokal karena mereka tidak terbiasa, tapi bukan berarti lalu request anak-anak lalu dijawab oleh dapur, ya wislah…. Kalau request-nya cilok? Mati kita,” ujar dr Tan dalam rapat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

    Profil dr Tan Shot Yen

    Dr dr Tan Shot Yen, M.Hum lahir pada 17 September 1964 di Beijing, China. Saat ini, dirinya dikenal sebagai ahli gizi yang gemar memberikan edukasi di sosial medianya. dr Tan memiliki sekitar 1,2 juta pengikut di akun Instagram.

    Perjalanan akademisnya dimulai di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara (1983-1990). Setelah resmi menyandang gelar dokter, ia melanjutkan program Profesi Kedokteran Negara di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tahun 1991.

    Tak berhenti di sini, dr Tan kembali menimba ilmu dan meraih gelar seperti di bidang instructional physiotherapy di Perth, Australia (1992) dan meraih diploma Penyakit Menular Seksual dan HIV-AIDS di Thailand (1996).

    dr Tan juga menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, pada tahun 2009. Ini menjadi modal yang baik bagi dirinya untuk bisa memandang masalah kesehatan dengan sudut pandang yang lebih luas.

    Selain dikenal sebagai praktisi kesehatan, dr Tan juga dikenal dengan kemampuan menulisnya. Dirinya rutin mengirim beberapa tulisan atau artikel di beberapa media massa.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Anak Nggak Mau Makan, Apakah Bisa Diganti Susu?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/up)

  • China Makin Perkasa Diterpa Guncangan, AS Sudah Tak Dibutuhkan

    China Makin Perkasa Diterpa Guncangan, AS Sudah Tak Dibutuhkan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah China beberapa saat lalu dilaporkan melarang penggunaan chip Nvidia asal Amerika Serikat (AS). Kabarnya, perusahaan lokal diimbau untuk beralih ke chip buatan lokal.

    Hal ini dilakukan setelah Presiden AS Donald Trump melunak dan mengeluarkan lisensi yang memungkinkan ekspor chip Nvidia ke China. Padahal, sebelumnya Trump sempat memblokir akses chip H20 Nvidia ke negara kekuasaan Xi Jinping.

    Terkait pelarangan chip AS di China, hingga sekarang ternyata belum ada imbauan formal yang dikeluarkan. Setidaknya begitu menurut BYD, raksasa mobil listrik China yang selama ini menggunakan chip buatan Nvidia.

    Kendati demikian, BYD mengaku sudah memiliki rencana jika nantinya benar-benar dilarang menggunakan chip Nvidia.

    Executive Vice President BYD, Stella Li, mengatakan pihaknya belum menerima araham langsung dari pemerintah China untuk berhenti menggunakan chip Nvidia. Namun, perusahaan sudah menyiapkan ‘plan B’.

    “Semua orang memiliki backup. BYD juga punya backup,” kata Li kepada Dan Murphy dari CNBC International, dikutip Rabu (24/9/2025).

    Li menolak menjabarkan secara perinci terkait plan B yang disiapkan. Namun, ia mengingatkan kembali pada era pandemi Covid-19. Kala itu, terjadi kelangkaan semikonduktor global yang berdampak ke sektor otomotif.

    Namun, BYD diklaim tidak mengalami masalah. Pasalnya, BYD banyak mengembangkan teknologi secara mandiri alias in-house. Dengan begitu, mudah bagi BYD untuk mencari alternatif secara cepat.

    BYD mengatakan pihaknya ingin memiliki kontrol kuat dalam rantai pasokan, mulai dari manufaktur hingga pengembangan baterai sendiri untuk mobil yang diproduksi.

    Nvidia merupakan salah satu perusahaan yang paling terdampak dari ketegangan geopolitik antara AS dan China. Chip H20 yang dikembangkan khusus untuk pasar China sempat diblokir oleh AS, lalu kembali diizinkan untuk diekspor.

    Kini, China dilaporkan meminta perusahaan teknologi lokal untuk tidak membeli chip Nvidia. Kendati demikian, rancangan chip Nvidia untuk mobil berbeda dengan chip AI yang menjadi target pemblokiran.

    Salah satu sistem Nvidia yang dinamai ‘Nvidia Driver AGX Origin’ dirancang untuk otomasi pengemudian. BYD merupakan klien untuk produk ini.

    Belum ada indikasi pemerintah China akan turut melarang sistem Nvidia khusus untuk pengembangan mobil otomatis.

    Menurut Li, sepertinya Beijing tak akan melarang chip AS untuk sektor otomotif.

    “[Pemblokiran] ini akan secara otomatis membunuh Nvidia. Nvidia adalah perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar. Jika mereka kehilangan pasar dari China, dampaknya akan besar,” kata Li.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]