Kisah Bapak yang 3 Tahun Tinggal di Mobil, Irit Merantau demi Keluarga
Tim Redaksi
BEIJING, KOMPAS.com
– Seorang ayah di China memilih tinggal di mobilnya selama hampir tiga tahun terakhir demi menghemat biaya hidup di kota besar.
Pria bernama Yin (38), programmer di Beijing, itu mengatakan bahwa keputusan tersebut justru memberinya kenyamanan dan ketenangan yang tidak ia temukan saat menyewa apartemen.
“Selama tiga tahun terakhir saya tinggal di dalam mobil. Selama mobilnya cukup luas dan stasiun pengisian daya mudah ditemukan, pengalaman ini tak kalah nyaman dibanding menginap di hotel,” ujar Yin seperti dikutip dari
South China Morning Post
(SCMP).
Yin bekerja di Beijing pada hari kerja dan pulang ke rumahnya di Tianjin setiap akhir pekan. Jarak antara dua kota ini sekitar 130 kilometer.
Ia biasanya bangun pukul 05.30 setiap Senin untuk menempuh perjalanan ke Beijing, lalu kembali ke Tianjin pada Jumat sore.
Sebelum menetap di dalam mobil, Yin sempat menyewa apartemen di Beijing dengan biaya sekitar 2.500 yuan per bulan (sekitar Rp 5,7 juta).
Namun pada pertengahan 2022, ia memutuskan mengganti kendaraannya dengan mobil listrik berukuran lebih besar dan mulai memodifikasi interiornya agar layak ditinggali.
Kini, mobil tersebut telah dilengkapi kasur kecil, peralatan masak elektrik, bahkan sistem karaoke. Ia juga memanfaatkan ruang di dalam mobil sebagai tempat bekerja dan berkomunikasi dengan keluarga.
“Aktivitas saya setelah bekerja biasanya menonton TV, karaoke, dan menelepon keluarga. Saya juga kadang-kadang meng-
coding
. Tidak punya hobi lain seperti main
game
,” kata dia.
“Saya biasanya tidur jam 10 atau 11 malam,” tambahnya.
Biaya hidup Yin pun jauh lebih rendah sejak tinggal di mobil. Ia hanya perlu membayar tol sekitar 400 yuan (sekitar Rp 909.000) setiap bulan dan biaya pengisian daya mobil di bawah 300 yuan (sekitar Rp 681.000).
Jika harus pulang ke Tianjin di luar akhir pekan, ia naik kereta dengan tarif sekitar 100 yuan (sekitar Rp 227.000) sekali jalan.
Namun, bukan berarti hidup di mobil tanpa tantangan. Menurut Yin, kendala utama adalah akses ke toilet dan kamar mandi.
Ia biasanya memarkir mobil di taman kota, bangun sekitar pukul 06.30, berjalan santai, lalu menyiapkan sarapan dengan kompor listrik kecil.
Pada musim panas, ia mandi menggunakan air dari tangki kecil yang dipasang di mobil.
Sementara saat musim dingin, ia memilih pulang ke Tianjin pada Rabu malam untuk mandi, kemudian kembali ke Beijing keesokan harinya.
“Saya juga suka berkemah, dan sering membawa keluarga jalan-jalan dengan mobil. Kami tidur di dalam mobil juga,” ungkapnya.
Ketika ditanya soal pandangan orang lain terhadap gaya hidupnya, Yin mengaku tidak ambil pusing.
“Saya tetap komitmen dengan gaya hidup yang saya sukai,” katanya.
Kisah Yin menuai berbagai reaksi di media sosial China. Sebagian besar warganet memuji pengorbanan dan dedikasinya sebagai kepala keluarga.
“Pria rajin dan hemat seperti ini, yang bekerja keras demi keluarganya, pantas dihormati,” tulis seorang pengguna Weibo.
Namun, ada pula yang mengaku tidak sanggup membayangkan hidup di ruang sempit seperti mobil.
“Saya akan stres kalau bangun tidur di tempat sekecil itu,” komentar pengguna lain.
Meski menuai pro dan kontra, Yin tetap mantap dengan pilihannya demi kehidupan yang menurutnya lebih sederhana dan efisien.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
kab/kota: Beijing
-
/data/photo/2025/07/21/687dff90e91e8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Kisah Bapak yang 3 Tahun Tinggal di Mobil, Irit Merantau demi Keluarga Internasional
-

China Pecat 2 Jenderal Top dalam Operasi Antikorupsi
Beijing –
Dua jenderal top China dipecat dari Partai Komunis yang berkuasa di negara tersebut dan dari militer karena “pelanggaran serius terhadap disiplin dan hukum”. Pemecatan kedua jenderal itu dilakukan saat operasi “pembersihan” antikorupsi marak menargetkan pemimpin militer negara tersebut.
Pemecatan kedua jenderal top itu, seperti dilansir Reuters, Jumat (17/10/2025), diumumkan oleh Kementerian Pertahanan China.
He Weidong, merupakan jenderal nomor dua di China, dan Miao Hua, merupakan perwira politik tertinggi pada militer China, menjadi pejabat militer paling senior yang dipecat sebagai bagian dari kampanye antikorupsi yang menargetkan pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat, nama resmi militer China, sejak tahun 2023.
Pemecatan He merupakan pemecatan pertama terhadap seorang jenderal yang masih aktif menjabat dalam Komisi Militer Pusat sejak Revolusi Kebudayaan tahun 1966 hingga 1976 silam. He tidak terlihat di depan publik sejak Maret lalu, namun penyelidikan terhadap aktivitasnya tidak diungkapkan otoritas China sebelumnya.
Juru bicara Kementerian Pertahanan China, Zhang Xiaogang, mengatakan bahwa He dan Miao bersama tujuh pejabat militer senior lainnya, yang namanya disebutkan dalam pengumuman kementerian, “secara serius telah melanggar aturan disiplin partai dan diduga melakukan kejahatan serius terkait tugas yang melibatkan jumlah uang yang sangat besar”.
“Pelanggaran mereka bersifat serius, dengan konsekuensi yang sangat merugikan,” sebut Zhang dalam pernyataannya.
Pemecatan He, yang berusia 67 tahun, memiliki implikasi di luar militer karena dia juga menjabat di Politbiro yang beranggotakan 24 orang, yang merupakan eselon kekuasaan tertinggi kedua Partai Komunis yang berkuasa di China.
Sebagai salah satu dari dua wakil ketua komisi, sang jenderal merupakan komandan ketiga paling berkuasa dalam militer China dan telah dianggap sebagai orang dekat Presiden Xi Jinping yang merupakan panglima tertinggi militer negara tersebut.
Pengumuman ini disampaikan beberapa hari sebelum Komite Sentral Partai Komunis — badan elite beranggotakan lebih dari 200 pejabat senior — dijadwalkan menggelar sidang pleno keempatnya di Beijing. Keputusan lebih lanjut terkait para anggotanya, termasuk pemecatan anggota Komite Sentral, diperkirakan akan diresmikan dalam rapat tersebut.
Sementara itu, Miao telah dipecat dari Komisi Militer Pusat pada Juni lalu setelah diselidiki atas “pelanggaran disiplin serius” pada November tahun lalu.
Tonton juga video “Jadwal Tanding Kris Dayanti di World Kungfu Championship 2025” di sini:
Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)
-

Video: China Tuding AS Ciptakan Kepanikan Atas Ekspor Tanah Jarang
Jakarta, CNBC Indonesia- China menuduh Amerika Serikat menciptakan kepanikan terkait pengendalian ekspor mineral tanah jarang. Namun Beijing menegaskan masih terbuka untuk dialog dagang untuk meredakan ketegangan. Juru bicara Kementerian Perdagangan He Yongqian menilai Washington melebih-lebihkan kebijakan China dan menciptakan kesalahpahaman.
Selengkapnya dalam program Squawk Box CNBC Indonesia (Jumat, 17/10/2025) berikut ini.
-

China Tangkap Pendeta dan Jemaat Jaringan Gereja ‘Bawah Tanah’
Jakarta –
Jumat lalu, Grace Jin Drexel menerima pesan singkat dari ayahnya, seorang pendeta terkemuka di China yang bernama Jin Mingri.
Dalam pesan tersebut, sang ayah meminta Jin untuk mendoakan seorang pendeta lain yang menghilang, diduga ditahan saat berkunjung ke Shenzen yang berlokasi di selatan.
“[Namun] tak lama setelah itu, saya mendapat telepon dari ibu. Ia mengaku tidak bisa menghubungi ayah,” kata Jin Drexel yang menetap di Amerika Serikat, kepada BBC.
Beberapa jam kemudian, keluarga kemudian menyadari bahwa Jin Mingri rupanya turut menjadi bagian dari apa yang disebut para aktivis sebagai penangkapan terbesar terhadap umat Kristen di China dalam beberapa dekade terakhir.
Kini, sejumlah pihak khawatir bahwa penangkapan 30 umat Kristen yang terafiliasi dengan jaringan Gereja Zion yang didirikan Jin Mingri adalah penanda awal dari penindasan lebih besar terhadap gereja bawah tanah di China.
Mereka merujuk undang-undang baru di China yang ditengarai bertujuan untuk membatasi aktivitas gereja bawah tanah, serta meningkatnya tekanan dari aparat terhadap para jemaat dalam beberapa bulan terakhir.
Kenapa Pemerintah China menangkap mereka?
Kendati dipimpin Partai Komunis China yang menganut ideologi ateis, negara tersebut memiliki populasi kristen tergolong besar. Pemerintah mencatat dalam beberapa tahun terdakhir, terdapat sekitar 38 juta umat Protestan dan hampir enam juta umat Katolik.
Para pegiat hak asasi manusia (HAM) dan akademisi memperkirakan puluhan juta warga China lainnya beribadah di gereja-gereja bawah tanah yang tidak terdaftar, atau yang dikenal sebagai house church. Gereja ini tidak mengikuti ideologi resmi negara.
Selama bertahun-tahun, gereja semacam itu pun telah menerima dampak pengetatan dan sikap keras pemerintah China.
Gedung-gedung mereka dihancurkan, salib-salib dicopot dari ruang publik, sementara materi keagamaan diawasi semakin ketat. Bahkan, beberapa aplikasi Kristen telah dilarang beredar di negara tersebut.
Pada 2005 dan 2018, pemerintah memperbarui serta memperketat regulasi terhadap kelompok keagamaan. Sementara pada 2016, Presiden Xi Jinping menyerukan “sinisisasi” agama, yakni upaya menyesuaikan agama dengan nilai-nilai Tiongkok.
Gereja bawah tanah seperti Zionyang didirikan Jin Mingrisangat terdampak oleh aturan 2018, yang mewajibkan izin pemerintah untuk beribadah di ruang publik.
Beberapa gereja terpaksa menghentikan kegiatan publik dan beralih ke layanan daring, atau bahkan menutup diri sepenuhnya.
Tahun-tahun berikutnya pun tak lebih baik, diwarnai penangkapan dan vonis terhadap beberapa pendeta terkemuka.
Operasi penangkapan besar-besaran
Beberapa bulan terakhir, tanda-tanda pengetatan bahkan kian terasa.
Pada Mei lalu, pendeta Gao Quanfu dari Gereja Light of Zion di Xi’an ditahan atas tuduhan “menggunakan aktivitas takhayul untuk merusak pelaksanaan hukum.”
Sebulan berselang, beberapa anggota Gereja Linfen Golden Lampstand di Shanxi dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan penipuantudingan yang dinilai para pegiat HAM sebagai tuduhan palsu.
Pada September, pemerintah juga mengumumkan kode etik daring baru bagi para pemuka agama, yakni izin khotbah daring hanya diberikan kepada mereka yang telah mengantongi lisensi.
Kebijakan ini dipandang sebagai upaya untuk membatasi layanan ibadah daring gereja-gereja bawah tanah.
Jin Drexler menambahkan, anggota Gereja Zion juga menghadapi interogasi dari polisi dalam beberapa bulan terakhir.
Tindakan itu dipandang para anggota gereja sebagai sinyalemen menjelang penindasan yang sebenarnya. Namun, mereka tak menyangka bahwa skalanya bakal semasif ini.
Pada Jumat dan Sabtu lalu, otoritas China melancarkan operasi besar-besaran di setidaknya sepuluh kota, termasuk kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.
Dari rangkaian operasi tersebut, pihak gereja menyatakan bahwa sejumlah pendeta, pemimpin, dan jemaat gereja telah dicokok otoritas China, termasuk Jin yang ditangkap di markas utamanya di Beihai, Provinsi Guangxi.
BBC memperoleh salinan surat resmi penahanan Jin yang dikeluarkan oleh biro keamanan publik Beihai. Surat itu menyebutkan bahwa Jin ditahan di Penjara Nomor Dua Beihai serta diduga telah melakukan “penggunaan ilegal jaringan informasi.”
BBC telah meminta konfirmasi dari otoritas setempat mengenai penahanan tersebut.
Getty ImagesTercatat ada 38 juta umat Protestan dan 6 juta umat Katolik di China, namun diyakini ada lebih puluhan juta warga China menghadiri gereja bawah tanah
Belakangan, beberapa anggota gereja yang ditangkap memang telah dibebaskan, tapi sebagian besar masih ditahan. Beberapa di antaranya berada di penjara yang sama dengan Jin.
Corey Jackson, pendiri kelompok advokasi Kristen Luke Alliance, mengatakan penangkapan dengan skala nasional seperti sekarang adalah yang pertamabelum pernah terjadi sebelumnya.
“Kami memperkirakan ini hanya awal dari penindasan yang lebih besar,” ujar Corey, seraya menambahkan bahwa gereja bawah tanah lain kini mulai bersiap menghadapi penangkapan serupa.
Kelompok advokasi Kristen lainnya, Open Doors, menilai skala penangkapan ini signifikan.
“Gereja Zion dikenal luas dan vokal, serta mungkin telah mencapai tingkat organisasi yang membuat pihak berwenang gelisah serta merasa sudah bisa dikendalikan,” kata seorang juru bicara Open Doors.
Ia memperingatkan bahwa “kebijakan pemerintah China untuk menindak gereja rumah akan terus berlanjut”, serta menilai otoritas berpotensi akan menuduh lebih banyak anggota gereja dengan kasus penipuan atau kejahatan ekonomi “sebagai strategi intimidasi.”
Sean Long, pendeta Gereja Zion yang kini berbasis di Amerika Serikat, mengatakan bahwa gereja lain kemungkinan akan menjadi sasaran berikutnya karena “gelombang baru penganiayaan agama tengah berkembang cepat di seluruh China.”
Ia menyebut penangkapan terbaru ini sebagai “penyisiran sistematis” untuk “mencabut akar Zion,” dan mengutip pepatah China yang menyatakan “membunuh ayam untuk menakuti monyet”.
“Zion adalah ayam itu. Kami yang paling berpengaruh Ini untuk menakuti gereja dan umat Kristen lain di Tiongkok,” ujar Sean Long.
Terkait peristiwa ini, juru bicara Kedutaan Besar China di London mengatakan, “Kami ingin menegaskan bahwa warga China menikmati kebebasan beragama sesuai hukum. Namun, semua kelompok dan aktivitas keagamaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan di China.”
Awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa pemerintah “menentang keras campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri China, dengan dalih isu agama,” sebagai tanggapan atas kecaman Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio terhadap penangkapan gereja Zion.
Bagaimana asal muasal gereja?
Kisah Gereja Zion bermula dari sosok Jin Mingri, yang juga dikenal dengan nama Ezra Jin.
Lahir pada 1969 di Provinsi Heilongjiang yang berlokasi di timur laut China, Jin tumbuh sebagai penganut setia ideologi negara.
Namun, semuanya berubah pada 1989, ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Beijing dan ikut serta dalam gerakan pro-demokrasi yang berujung tragis dalam peristiwa Tiananmen.
Meskipun ia tidak berada di lokasi saat pembantaian terjadi pada 4 Juni, peristiwa itu mengubah hidupnya.
“Itu momen yang sangat penting. Sepanjang hidupnya, ia [Jin Mingri] percaya pada negara,” kata Jin Drexel.
“[Namun] ketika keyakinan itu dikhianati, seluruh pandangannya runtuh. Itu menjadi momen besar dalam perjalanan imannya.”
Awalnya Jin mendalami agama di Gereja Tiga-Diri.
Pada 2002, ia pindah ke Amerika Serikat bersama istri dan putrinya untuk belajar di seminari di California, di mana kedua putranya kemudian lahir.
Keluarga itu kembali ke China pada 2007 agar Jin Mingri bisa melanjutkan pelayanannya. Namun, ia memutuskan mendirikan gereja independen setelah tidak lagi sejalan dengan doktrin Gereja Tiga-Diri yang menekankan kesetiaan kepada negara.
“Ia tidak bisa menjadi pendeta karena di sana bukan gereja yang berkenan kepada Tuhan Kamu tidak bisa melayani dua tuan,” ujar Jin Drexel.
Semula, Gereja Zion adalah kelompok kecil beranggotakan 20 orang dan mengambil tempat di sebuah rumah di Beijing.
Seiring waktu, gereja kemudian berkembang dan mulai menggelar kebaktian di aula besar dalam gedung perkantoran.
Namun, seiring bertambahnya pengaruh, pengawasan pun meningkat. Pada 2018, otoritas China meminta gereja memasang kamera CCTV di gedung tersebut dengan alasan keamanan.
Ketika gereja menolak, jemaat mulai menghadapi apa yang disebut para pemimpin gereja sebagai bentuk pelecehan. Tak lama, gereja kemudian ditutup.
Pemerintah memberlakukan larangan keluar negeri terhadap Jin Mingri dan menempatkannya di bawah pengawasan ketat, sementara keluarganya dan beberapa anggota gerejatermasuk Sean Long, berhasil meninggalkan China menuju AS.
Sejak insiden itu, Gereja Zion lantas bersalin ke model hibrida, menggabungkan ibadah daring besar dengan pertemuan kecil secara langsung.
Kini gereja itu memiliki sekitar 100 cabang di 40 kota di antero China, dengan lebih dari 10.000 pengikut.
Meski nasib Jin Mingri dan para jemaat yang ditahan masih belum pasti sampai saat ini, bahkan penindasan yang lebih luas masih membayangi, Sean Long yakin bahwa Gereja Zion dan gereja bawah tanah di China akan tetap bertahan.
“Penganiayaan tidak bisa menghancurkan gereja,” pungkasnya.
“Jika kita melihat sejarah, di mana ada penindasan, di situ pula muncul kebangkitan.”
(haf/haf)
-

Manuver Apple di Tengah Tekanan Politik AS: Tambah Investasi di China
Jakarta –
Di tengah memanasnya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China, CEO Apple Tim Cook justru mengambil langkah yang terbilang berani.
Dalam kunjungannya ke Beijing, Cook berkomitmen untuk meningkatkan investasi Apple di China dan mempererat kerja sama dengan para mitra lokal. Kunjungan ini menjadi yang kedua bagi Cook ke China tahun ini.
Ia datang sekaligus mempromosikan peluncuran iPhone Air yang sempat tertunda di pasar Asia. Dalam pertemuan dengan Li Lecheng, pimpinan Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT), Cook menyampaikan apresiasi atas dukungan pemerintah China dan menyatakan Apple akan “meningkatkan investasi serta kualitas kerja sama dengan mitra China.”
MIIT menyebut kedua pihak mendiskusikan perkembangan bisnis Apple di China dan peluang kolaborasi di sektor teknologi informasi dan elektronik. Li meyakinkan bahwa pasar China yang sangat besar dan rantai industri yang lengkap menawarkan iklim usaha yang menguntungkan bagi perusahaan asing.
Pernyataan Cook ini berpotensi memicu sorotan dari pemerintahan Donald Trump. Selama beberapa tahun terakhir, Apple berupaya mengimbangi tekanan politik AS dengan memindahkan sebagian produksi iPhone ke India dan mengalokasikan investasi besar di sektor manufaktur dalam negeri.
Pada Februari, Apple menjanjikan paket investasi senilai USD 500 miliar di Amerika Serikat, yang kemudian meningkat menjadi USD 600 miliar pada Agustus.
Meski begitu, memindahkan seluruh perakitan iPhone ke AS bukanlah opsi realistis. Kompleksitas rantai pasok, biaya tenaga kerja, hingga kesiapan ekosistem membuat Apple tetap membutuhkan China sebagai basis produksi utama.
Bahkan saat ekspor iPhone dari China turun hingga 72% pada April dibanding tahun lalu, negara itu masih menjadi tulang punggung manufaktur Apple, disusul India yang terus naik perannya.
Trump sebelumnya mendorong seluruh produksi iPhone kembali ke AS dan sempat memperingatkan Cook agar tak memperluas perakitan di India. Namun situasi kini lebih fleksibel, terutama karena eskalasi perang dagang dan kekhawatiran terhadap pasokan komponen penting.
Langkah Apple menguatkan kembali pijakannya di China muncul saat hubungan Beijing-Washington berada di titik rendah. China baru-baru ini memperketat ekspor mineral tanah jarang yang krusial untuk industri chip, sementara Trump mengancam menaikkan tarif barang impor asal China.
Dalam kondisi itu, Apple tampaknya memilih strategi keseimbangan: tetap menunjukkan dukungan pada kebijakan ekonomi AS, sambil tidak menutup pintu bagi China sebagai pusat rantai pasok global. Kunjungan Cook menjadi sinyal bahwa Apple belum siap melepas pasar dan infrastruktur manufaktur yang telah dibangun selama puluhan tahun di Negeri Tirai Bambu.
(asj/asj)
-

Trump Berulah, CEO Apple Langsung Terbang ke China Janji Begini
Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah memanasnya hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, CEO Apple Tim Cook dikabarkan langsung terbang ke Beijing untuk memastikan keberlanjutan investasi raksasa teknologi itu di pasar China.
Langkah Cook ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump kembali menekan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS) agar memindahkan manufaktur ke dalam negeri, sekaligus memperketat kebijakan perdagangan terhadap Beijing.
Dalam pertemuannya dengan Menteri Perindustrian Tiongkok Li Lecheng pada Rabu (15/10), Cook menegaskan bahwa Apple akan terus meningkatkan investasinya di China. Namun, tidak ada rincian mengenai nilai investasi tersebut. Pihak Apple pun belum memberikan komentar resmi.
Sejauh ini, Apple menjadi salah satu perusahaan AS yang relatif aman dari dampak perang dagang Washington-Beijing, berbeda dengan perusahaan teknologi seperti Nvidia dan Qualcomm yang sempat diselidiki otoritas China.
Meski begitu, para analis menilai langkah Cook adalah upaya menjaga keseimbangan hubungan dengan dua negara besar yang sama-sama vital bagi bisnis Apple.
China sendiri masih menjadi pusat utama produksi bagi Apple. Mayoritas iPhone dirakit di pabrik-pabrik China, meski Apple belakangan mulai memindahkan sebagian kapasitas produksinya ke India.
Sebagai bagian dari lawatannya, Cook juga mengunjungi Lens Technology, salah satu pemasok kaca utama Apple yang telah menjadi mitra selama 19 tahun. Perusahaan ini memproduksi kaca untuk iPhone dan Apple Watch.
Li Lecheng menyatakan bahwa pemerintah Tiongkok akan terus menciptakan iklim bisnis yang kondusif bagi perusahaan asing, termasuk Apple, sekaligus mendorong kolaborasi dengan pemasok lokal.
Kunjungan Cook ke Beijing dilakukan setelah Apple mengumumkan pendirian dana energi bersih senilai 720 juta yuan di China pada Maret lalu.
Menurut data IDC, pengiriman iPhone di Tiongkok naik 0,6% secara tahunan menjadi 10,8 juta unit pada kuartal ketiga 2025, menjadikan Apple satu-satunya merek besar yang mencatat pertumbuhan di tengah pasar ponsel yang lesu.
“Dunia bisnis selalu menjadi penstabil hubungan Tiongkok-AS dan pendorong kerja sama pragmatis,” ujar Duta Besar Tiongkok untuk AS, Xie Feng, dikutip dari Reuters, Kamis (16/10/2025).
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
-

Potret Kota Beijing Lewat Lensa Realme GT 8 Pro X Ricoh GR
Potret Kota Beijing Lewat Lensa Realme GT 8 Pro X Ricoh GR
-

Intip Spesifikasi Pesawat Tempur J-10 Buatan China yang Diminati Indonesia
Jakarta –
Indonesia dikabarkan semakin serius mempertimbangkan pesawat tempur Chengdu J-10 buatan China sebagai tambahan kekuatan TNI Angkatan Udara. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bahkan menegaskan bahwa jet tempur itu akan segera datang ke Tanah Air.
“Sebentar lagi terbang di Jakarta,” ungkap Menhan Sjafrie seperti dikutip dari Antara. Sayangnya, Sjafrie tidak menjelaskan lebih detail kapan jet tempur buatan negeri Tirai Bambu itu mengudara di Indonesia.
Melansir berbagai sumber, J-10 yang dijuluki Vigorous Dragon merupakan jet tempur multirole generasi 4++ yang dikembangkan Chengdu Aircraft Corporation (CAC). Jet ini didesain dengan sayap delta dan canard, serta menggunakan satu mesin turbofan, menjadikannya sangat lincah di udara.
Sebagai pesawat multiperan, Chengdu J-10 dapat melaksanakan berbagai misi, mulai dari pertempuran udara-ke-udara hingga serangan ke sasaran di darat. J-10 hadir dalam beberapa varian, seperti J-10A, J-10B, J-10B, dan J-10S.
Secara spesifikasi, Chengdu J-10 pakai mesin tunggal AL-31FN buatan Rusia dengan kecepatan maksimum mencapai Mach 1,8. CAC kabarnya juga mulai menggunakan mesin buatan lokal Shenyang WS-10.
Pesawat ini memiliki hingga 11 titik gantung senjata di sayap dan badan, serta dilengkapi sistem avionik modern seperti radar canggih, kontrol fly-by-wire, serta kokpit digital full layar. Kombinasi desain sayap delta dan canard membuatnya sangat gesit untuk manuver ekstrem di udara.
Pesawat ini menjadi tulang punggung Angkatan Udara China (PLAAF) dan juga digunakan oleh beberapa negara sekutu Beijing. Daya tarik utama J-10 untuk Indonesia adalah kemampuannya yang mumpuni, desain modern, serta harga yang lebih kompetitif dibandingkan jet tempur buatan negara barat.
Akan tetapi integrasi J-10 ke dalam armada TNI AU bukan tanpa tantangan. Indonesia harus memastikan kompatibilitas teknologi, mengingat sebagian besar pesawat tempur yang dimiliki saat ini berasal dari Amerika Serikat dan Rusia.
Meski belum ada detail resmi terkait waktu pengiriman, tipe dan jumlah unit J-10 yang akan dibeli, pernyataan Menhan jadi sinyal kuat bahwa Indonesia sedang memperluas kerja sama pertahanan dengan China.
Jika terealisasi, Chengdu J-10 bisa menjadi tambahan strategis yang memperkuat posisi Indonesia di kawasan, sekaligus menandai era baru modernisasi armada tempur TNI yang tidak tergantung dengan armada tempur buatan AS atau negara-negara barat.
(lua/din)
-

China Tuding Trump Biang Kerok Badai Perang Dagang!
Jakarta –
Badai perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China semakin nyata. Penetapan tarif masuk dan kontrol ketat ekspor produk strategis dilakukan kedua negara sebagai aksi saling balas untuk membatasi perekonomian lawan main.
Melansir CNN, Rabu (15/10/2025), memanasnya tensi perang dagang antar dua negara ekonomi terbesar di dunia ini bermula saat China menetapkan kebijakan kontrol ekspor logam tanah jarang secara besar-besaran pada Kamis (9/10) kemarin.
Menanggapi hal ini, Presiden AS Donald Trump menuduh langkah China tersebut sebagai tanda permusuhan. Alhasil Trump dengan segera mengancam akan memberi tambahan tarif masuk hingga 100% untuk produk-produk Negeri Tirai Bambu pada Jumat (10/10).
Namun menurut Beijing, perluasan pembatasan yang dilakukan AS terhadap perusahaan-perusahaan China lah yang menjadi penyebab utama meningkatnya ketegangan perang dagang, mendorong mereka untuk memperketat ekspor mineral-mineral penting untuk produksi berbagai macam barang elektronik, mobil, dan semikonduktor.
Terlepas dari siapa penyebab utama eskalasi perang dagang ini, pergerakan AS dan China telah mengguncang pasar global dan menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Ketegangan ini juga berisiko menggagalkan negosiasi antar kedua negara yang sudah diupayakan selama beberapa bulan terakhir.
Meski begitu, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa pihaknya tetap terbuka untuk berdialog. Namun mereka juga menegaskan dialog ini akan sangat sulit terjadi jika AS terus mengancam akan memberikan tindakan baru.
“Bagi Beijing, sebagian besar eskalasi saat ini dapat dihindari seandainya pemerintahan Trump tidak menambah pembatasan pada akhir September, yang secara besar-besaran meningkatkan jumlah entitas China dalam daftar kontrol ekspornya,” kata para ahli dan analis China.
Profesor hubungan internasional di Universitas Renmin sekaligus penasihat pemerintah, Jin Canrong, mengatakan setiap pembatasan yang dilakukan Beijing merupakan tanggapan dari serangkaian kebijakan Washington.
“Setelah menyerang China, AS kini berpura-pura tidak bersalah dan bahkan mencoba berperan sebagai korban,” tulisnya dalam unggahan di media sosial Tiongkok, Weibo, pada Sabtu (11/10).
Tonton juga Video: Edisi #527: Mulai Mereda, China-AS Sepakat Pangkas Tarif
(igo/fdl)
