kab/kota: Beijing

  • Great Institute: Prabowo Bangun Ekonomi ala Deng Xiaoping, Negara Lebih Dominan

    Great Institute: Prabowo Bangun Ekonomi ala Deng Xiaoping, Negara Lebih Dominan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Dewan Direktur Great Institute Syahganda Nainggolan menilai arah kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto menunjukkan kemiripan dengan pemikiran pemimpin reformasi ekonomi China, Deng Xiaoping. 

    Menurut Syahganda, Prabowo mengusung gaya sosialis yang pragmatis, berbeda dengan pendekatan ekonomi neoliberal seperti yang dianut oleh mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

    “Prabowo ini kepalanya seperti Deng Xiaoping. Dia pengen jadi sosialis yang pragmatis,” kata Syahganda dalam acara Peluncuran Bisnis Indonesia Economic & Financial Report (BIEFR) 2025, dikutip Jumat (24/10/2025). 

    Prabowo memang disebut mengidolakan Deng Xiaoping. Sosok penting dalam tranformasi ekonomi China itu merupakan penerus Mao Zedong yang dikenal sebagai pemimpin progresif yang memulihkan ekonomi China setelah kehancuran akibat Revolusi Budaya. 

    Meski berakar pada komunisme, Deng menekankan pragmatisme ekonomi dan membuka jalan bagi reformasi besar-besaran. Salah satu hasil kebijakannya adalah pembangunan Shenzhen, kota di selatan China yang menjadi simbol transformasi ekonomi negara itu. 

    Peneliti China, Kerry Brown, dalam artikelnya ‘Deng Xiaoping Southern Tour’, mencatat bahwa perjalanan Deng ke wilayah selatan pada 1980-an saat ekonomi lesu menginspirasi reformasi total yang melahirkan pertumbuhan pesat dan liberalisasi ekonomi.

    Melalui kebijakan Zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang serupa dengan kawasan ekonomi khusus di Indonesia, Deng membuka China terhadap investasi asing, terutama di Shenzhen yang dekat dengan Hong Kong. Kota itu berkembang dari desa nelayan menjadi pusat industri dan teknologi global, markas bagi raksasa seperti Tencent.

    Kini, menurut Hurun Global Rich List 2023, Shenzhen menempati peringkat keempat kota dengan miliarder terbanyak di dunia, berada di bawah Beijing, New York, dan Shanghai.

    Dalam hal ini, Syahganda pun menyinggung kecocokan pandangan ekonomi Prabowo dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Setahun lalu, Syahganda sempat berdiskusi dengan bendahara negara baru itu. 

    Politikus itu menilai Purbaya lebih sejalan dengan Prabowo, ketimbang menkeu sebelumnya yaitu Sri Mulyani yang memegang mazhab ekonomi neoliberal. 

    “Kalau menteri itu harus sepenuh hati melayani presidennya. Nah, kalau Bu Sri Mulyani enggak bisa karena mazhabnya beda. Bukan soal jahat atau enggak, ini mazhabnya beda. Bu Sri Mulyani mazhabnya yang disebut orang neolib dan itu enggak ada yang salah karena itu pilihan saja,” tuturnya. 

    Syahganda menambahkan, pandangan ekonomi Prabowo banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya yang dekat dengan dunia ekonomi dan koperasi. 

    Dia menyebut, investor global Ray Dalio, bahkan pernah menilai Prabowo mirip dengan Deng Xiaoping dalam hal pandangan ekonomi.

    “Kita lihat memang waktu Ray Dalio datang ke Indonesia, Pak Prabowo lo mirip Deng Xiaoping, dia ngomong itu. Faktanya, presiden kita itu mau ngambil jalan itu,” ujarnya.

    Kebijakan ekonomi Prabowo juga disebut menunjukkan pergeseran paradigma dari model yang memberi dominasi besar pada swasta ke arah ekonomi yang lebih digerakkan oleh negara (state-driven). Dia menilai pendekatan ini memperkuat peran negara dalam mengatur arah pembangunan nasional.

    “Shifting paradigm dari yang dulu lebih menekankan negara dan swasta, di mana negaranya disetir oleh swasta, ke arah yang lebih heavy state-driven economy. Prabowo ini betul-betul ingin negara hadir kuat,” terangnya.

    Di samping itu, Syahganda juga menyoroti sikap Prabowo terhadap proyek strategis nasional (PSN) dan sumber daya alam, seperti timah dan tanah jarang (rare-earth). Syahganda menilai Prabowo berupaya memastikan aset negara tidak lagi dikuasai oleh kepentingan oligarki.

    “Prabowo kan larinya ke situ, karena melanggar UU Pasal 33, ini gue ambil balik. Dia buat badan khusus untuk tanah jarang yang mengendalikan semua karena dia tahu ini bagian dari pembangunan masa depan,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Syahganda menyebut, gaya kepemimpinan ekonomi Prabowo juga selaras dengan teori negara kesejahteraan (welfare state) seperti yang diterapkan di beberapa negara Amerika Latin. Dia menilai orientasi kebijakan Prabowo fokus pada pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan bersama (common prosperity).

    “Presiden kita ini yakin bahwa yang perlu ditekankan adalah sisi ekonomi, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama. Di situ memang agak berkurang demokrasi kita karena mereka yakin seperti China dan Vietnam, pertumbuhan bisa tinggi di bawah kepemimpinan kuat,” tambahnya.

    Selama 1 tahun pertama pemerintahan Prabowo, secara keseluruhan Syahganda melihat arah perubahan paradigma yang jelas meski masih dalam tahap awal. Untuk itu, dia mengapresiasi keyakinan Prabowo untuk menekankan pembangunan ekonomi rakyat.

    “Setahun pertama Prabowo sebenarnya baru shifting paradigm, tapi saya apresiasi karena dia punya keyakinan. Misalkan, dia mau sejahterakan rakyat, dari situ dia mau buat kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

  • Maaf Bukan RI, Malaysia Jadi Penentu Perang Dagang Trump-Xi Jinping

    Maaf Bukan RI, Malaysia Jadi Penentu Perang Dagang Trump-Xi Jinping

    Jakarta, CNBC Indonesia – Malaysia akan berperan penting dalam menurunkan atau semakin menaikkan intensitas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini terkait putaran kelima perundingan perang dagang keduanya, yang akan berlangsung di Kuala Lumpur, akhir pekan ini.

    Pertemuan terjadi di sela-sela KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 26-28 Oktober. Presiden AS Donald Trump akan hadir, sekaligus memulai perjalanan besar pertamanya ke sekutu Asia seperti Jepang, termasuk menghadiri KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan (Korsel) 30 Oktober yang diharapkan mempertemukannya dengan Presiden China Xi Jinping.

    Menurut peneliti senior tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute Jayant Menon sebenarnya kedua negara memegang masing-masing kartu. AS mengancam akan memanfaatkan kekuatan perangkat lunaknya (software) menjelang perundingan dagang baru dengan China. Sementara China mungkin akan memainkan isu kedelai atau narkotika jenis fentanil di mana sebelumnya AS ingin makin masif ke pasar kedelai China dan Trump meneriakkan upaya lebih keras pemerintah Xi Jinping atas klaimnya soal keterkaitan Beijing atas peredaran fentanil di Paman Sam.

    “Pada satu sisi, hal ini dapat dipandang sebagai bagian dari strategi negosiasi agresif, yang dirancang untuk mengintimidasi demi mengamankan kesepakatan terbaik,” kata Menon sebagaimana dibuat South China Morning Post (SCMP), Jumat (24/10/2025).

    “Hal ini juga secara tidak langsung mencerminkan betapa khawatirnya AS terhadap kontrol ekspor logam tanah jarang baru-baru ini,” tambahnya.

    “Namun, jika Washington memainkan kartu teknologi… kemungkinan besar dampaknya kecil, karena Beijing telah menunjukkan bahwa mereka tidak bisa dipaksa,”.

    Hal sama juga dikatakan kepala ekonom untuk Asia di Economist Intelligence Unit, Nick Marro. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak memperkirakan Beijing akan membuat konsesi besar dalam hal pengendalian ekspor tanah jarang, meskipun ada potensi cengkeraman pada industri manufaktur berteknologi tinggi jika pembatasan terkait perangkat lunak benar-benar terwujud.

    Sebagaimana diketahui AS pekan kemarin mengancam menaikkan tarif important hingga 100% ke China. Hal tersebut akibat kebijakan pembatasan ekspor mineral kritis logam tanah jarang (rare earth) China, yang penting bagi industri AS.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ketegangan Dagang AS-China Memuncak Jelang Pertemuan Trump-Xi Jinping

    Ketegangan Dagang AS-China Memuncak Jelang Pertemuan Trump-Xi Jinping

    Bisnis.com, JAKARTA – Hubungan dagang AS-China kembali tegang sepekan jelang pertemuan kedua pemimpinnya, Donald Trump dan Xi Jinping, yang dipicu oleh langkah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang.

    Ketegangan yang telah lama membara memuncak pada awal Oktober, setelah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) sebagai respons terhadap keputusan AS menambah daftar perusahaan yang dilarang membeli teknologi asal Negeri Paman Sam.

    Langkah China memperketat kendali atas mineral penting, termasuk di luar wilayahnya, dinilai sebagai ekspansi besar terhadap instrumen kebijakan perdagangannya dan menunjukkan niat Beijing untuk memanfaatkan dominasinya dalam rantai pasok global.

    China, yang memproduksi lebih dari 90% pasokan logam tanah jarang dunia, merancang pembatasan tersebut dengan meniru aturan AS yang sebelumnya membatasi ekspor produk semikonduktor ke negara Asia tersebut.

    “Ini merupakan perluasan besar dari yurisdiksi ekstrateritorial. Bahasanya sangat eksplisit, secara khusus menargetkan sejumlah chip,” ujar Cory Combs, analis di lembaga konsultasi Trivium China dikutip dari Reuters, Kamis (23/10/2025).

    Menurut dua sumber yang mengetahui pembahasan internal, pemerintahan Trump terkejut oleh langkah balasan China. Sumber lain menyebut pejabat AS kini tengah menanyakan dampak kebijakan itu terhadap perusahaan-perusahaan Amerika.

    Para analis menilai, meski Beijing berupaya menggambarkan kebijakan ekspornya bersifat terbatas, kerangka aturan tersebut telah disiapkan lama dan kemungkinan besar akan tetap diterapkan.

    Washington menuduh Beijing melancarkan perang ekonomi, sementara Trump memperingatkan pertemuan puncak dengan Xi bisa saja batal. Kedua pihak pun saling menuding sebagai penyebab eskalasi mendadak hubungan bilateral.

    Padahal, hanya beberapa pekan sebelumnya Trump sempat memuji adanya kemajuan dalam pembahasan sejumlah isu — mulai dari perdagangan dan aplikasi TikTok hingga penyelundupan fentanyl dan perang di Ukraina — setelah pembicaraan di Madrid dan panggilan telepon dengan Xi pada September lalu.

    Para analis menilai, sekalipun pertemuan antara Trump dan Presiden Xi Jinping tetap berlangsung, keyakinan masing-masing pihak bahwa mereka berada di posisi lebih kuat — ditambah sikap Beijing yang semakin tegas — membuat kemungkinan tercapainya kesepakatan hanya terbatas pada sejumlah isu kecil.

    “China menilai negosiasi saja tidak cukup dan langkah tandingan yang efektif terhadap AS diperlukan untuk mencegah tekanan lebih lanjut,” kata Wu Xinbo, Direktur Pusat Kajian Amerika di Universitas Fudan, Shanghai.

    Wu menambahkan, langkah terbaru China mencerminkan perubahan pendekatan dalam negosiasi ekonomi dan perdagangan dengan AS selama masa jabatan kedua Trump.

    Trump Ancam Tarif 100%

    Trump menegaskan masih berencana bertemu Xi di Korea Selatan pada akhir Oktober, di sela-sela pertemuan APEC, dan berharap dapat mencapai kesepakatan. Namun, dia kembali mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100% jika pembicaraan gagal.

    Sebagai upaya terakhir meredam ketegangan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dijadwalkan bertemu di Malaysia dalam beberapa hari ke depan.

    Pertemuan tersebut mengikuti serangkaian negosiasi keras di berbagai ibu kota Eropa — mulai dari Jenewa hingga Stockholm — yang mencakup isu perdagangan, fentanyl, akses pasar, dan komitmen ekonomi. Kedua pihak saling menuding gagal menepati janji setelah pembicaraan itu.

    Seorang sumber yang memahami kebijakan Gedung Putih menyebut para pejabat senior Trump memandang langkah China terhadap ekspor logam tanah jarang sebagai perang ekonomi terbuka.

    “Potensi eskalasinya sangat serius. “Tidak ada solusi cepat seperti jeda 90 hari yang pernah dilakukan sebelumnya,” ujar sumber tersebut.

    Sama-sama Percaya Diri

    Michael Hart, Presiden Kamar Dagang AS di China, mengatakan salah satu tantangan utama adalah keyakinan masing-masing pihak bahwa kedua negara memiliki posisi tawar yang lebih kuat.

    “Pejabat China merasa percaya diri terhadap perekonomian mereka dan melihat AS sedang dilanda kekacauan ekonomi dan politik. Karena itu, mereka merasa berada di posisi yang kuat,” ujarnya.

    Namun, di sisi lain, pejabat AS justru merasa yakin kondisi ekonomi mereka lebih solid dan menilai ekonomi China sedang melemah.

    Ketidakselarasan kebijakan AS terhadap China disebut semakin memperumit upaya meredakan ketegangan, di tengah kombinasi langkah hukuman dan pelonggaran terbatas terhadap ekspor chip serta kesepakatan aplikasi media sosial TikTok.

    “Orang-orang yang saya temui di Washington mengatakan kebijakan pemerintahan Trump terhadap China cukup keras. Namun mereka juga mengakui, Presiden Trump sendiri terkadang lebih fleksibel dan pragmatis,” kata Hart.

    Meski kedua pihak bersiap melanjutkan pembicaraan, Washington dan Beijing juga mulai memperluas strategi diversifikasi ekonomi serta menyiapkan langkah baru untuk mengurangi ketergantungan satu sama lain.

    Pada awal pekan ini, Trump menandatangani pakta mineral strategis dengan Australia guna mengimbangi peran dominan China di sektor tersebut. Di sisi lain, AS juga tengah mempertimbangkan kebijakan baru untuk membatasi ekspor produk berbasis perangkat lunak.

    Pejabat AS juga menyatakan pemerintah sedang menyiapkan tarif sektoral tambahan yang mencakup industri semikonduktor, farmasi, dan sektor strategis lainnya.

    Sebaliknya, China diperkirakan dapat mengambil langkah balasan dengan memperketat penerapan aturan ekspor logam tanah jarang, meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan AS, atau meningkatkan tarif seperti yang dilakukan pada April lalu.

    Di tengah ketidakpercayaan yang kian dalam, sebagian pejabat AS menilai skenario paling optimistis adalah kesepakatan lanjutan dari Phase One Deal tahun 2020. Kesepakatan yang mencakup pembelian kedelai atau produk pertanian lain dinilai lebih mudah dicapai.

    “Skenario terbaik adalah langkah-langkah membangun kepercayaan dan arahan untuk melanjutkan negosiasi kesepakatan baru yang bisa diluncurkan pada paruh pertama tahun depan,” ujar Peter Harrell, mantan pejabat ekonomi internasional di pemerintahan Biden.

  • China Berani Blokir Amerika, Trump Balas Lebih Kejam

    China Berani Blokir Amerika, Trump Balas Lebih Kejam

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tak tinggal diam usai China membatasi ekspor tanah jarang. Kabarnya, pemerintahan AS tengah mempertimbangkan melakukan blokir ekspor yang lebih luas ke Beijing.

    Seorang pejabat dan tiga sumber yang dikutip Reuters menyebutkan pemerintahan Trump mempertimbangkan rencana mengekang ekspor software ke China. Kebijakan itu berlaku untuk laptop hingga mesin jet.

    Reuters mencatat rencana ini menindaklajuti ancaman Trump terkait larangan ekspor software penting ke China awal bulan ini. Kala itu, ia mengatakan pembatasan akan berlaku untuk software AS yang dikirim secara global atau perangkat yang diproduksi dengan software asal AS.

    Pada unggahan di media sosialnya, Trump mengatakan AS akan membebankan tarif tambahan 100% untuk pengiriman barang China ke AS dan kontrol ekspor baru untuk seluruh software penting. Ia mengatakan kebijakan baru itu akan berlaku paling lambat pada 1 November 2025 mendatang.

    Sumber mengatakan tindakan itu kemungkinan tidak akan dilanjutkan.

    Sementara dua sumber mengatakan kontrol baru yang tengah dipertimbangkan memperlihatkan panasnya pertikaian AS dengan China. Padahal, beberapa orang dalam pemerintahan lebih memilih pendekatan diplomasi yang ‘lembut’.

    Salah satu sumber juga mengatakan kemungkinan AS tak akan pernah menerapkan rencana tarif lebih tinggi. Namun, pengumuman langkah pembatasan ekspor digaungkan sebagai cara untuk menekan China.

    Soal pembatasan ekspor software ke China, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengonfirmasi sudah dipertimbangkan. Keputusan akan dilakukan dengan koordinasi bersama anggota G7.

    “Jika pembatasan ekspor ini, baik software, mesin atau hal lain, terjadi kemungkinan besar akan dikoordinasikan dengan sekutu G7,” ujarnya.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Rebut Nexperia dari China, Belanda Nyaris Lumpuhkan Industri Otomotif Eropa

    Rebut Nexperia dari China, Belanda Nyaris Lumpuhkan Industri Otomotif Eropa

    Jakarta

    Beberapa hari silam, asosiasi produsen otomotif Eropa ACEA melayangkan peringatan ancaman “penghentian produksi,” setelah produsen cip Belanda Nexperia mengumumkan tidak lagi bisa menjamin suplai bagi pabrik-pabrik Eropa.

    Produsen Jerman Volkswagen, misalnya, mengumumkan akan menghentikan sementara produksi VW Golf pekan ini karena kekurangan cip, lapor kantor berita Reuters. Keluhan serupa juga disuarakan pabrikan lain.

    Huru-hara terbaru dipicu larangan ekspor yang diberlakukan Beijing terhadap pabrik Nexperia di Tiongkok. Karena pada akhir September silam, perusahaan Belanda yang sudah dimiliki sepenuhnya oleh raksasa teknologi Cina Wingtech sejak 2018 itu, diambil alih paksa oleh pemerintah di Den Haag.

    Untuk itu, pemerintah mengaktifkan undang era Perang Dingin bernama Availability of Goods Act, yang belum pernah digunakan sebelumnya.

    Den Haag menyebut keputusan itu diambil karena ada kekhawatiran akan transfer teknologi sensitif dari Nexperia ke perusahaan induknya di Cina. Nexperia memproduksi cip untuk mobil dan elektronik konsumen, termasuk komponen sederhana seperti dioda dan transistor.

    Belanda tidak mengambil alih kepemilikan saham, melainkan namun memiliki kewenangan membatalkan atau memblokir keputusan manajemen jika dianggap membahayakan keamanan nasional atau ekonomi. Keputusan tersebut membuat saham Wingtech di bursa Shanghai turun 10 persen.

    Wingtech menyebut langkah Belanda sebagai “campur tangan berlebihan yang didorong oleh bias geopolitik”, dan mengatakan sedang berkonsultasi dengan pengacara serta meminta dukungan pemerintah Cina untuk “melindungi hak dan kepentingan perusahaan.”

    Ketegangan dengan Beijing

    Dalam panggilan telepon pada Selasa (21/10), Menteri Perdagangan Cina Wang Wentao menyampaikan protes langsung kepada Menteri Ekonomi Belanda Vincent Karremans.

    “Tindakan yang diambil Belanda terhadap Nexperia Semiconductor telah secara serius memengaruhi stabilitas rantai industri dan pasokan global,” kata Wang.

    Ia menambahkan, “Cina mendesak Belanda untuk bertindak dari sudut pandang menjaga keamanan dan stabilitas rantai industri serta pasokan global, dan segera menyelesaikan masalah ini dengan tepat.”

    Menurut Kementerian Perdagangan Cina, pembicaraan tersebut dilakukan atas permintaan Karremans. Dalam pernyataannya, Karremans mengatakan, “Kami membahas langkah lanjutan menuju solusi yang bisa mengakomodasi kepentingan Nexperia, ekonomi Eropa, dan ekonomi Cina. Dalam waktu ke depan, kami akan terus berkomunikasi dengan otoritas Cina untuk mencari penyelesaian yang konstruktif.”

    Namun hingga kini, kedua pihak belum mencapai kesepakatan.

    Industri otomotif Eropa terdampak

    Nexperia memproduksi cip yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan digunakan secara luas di industri otomotif serta elektronik konsumen. Sebagian besar cip diproduksi di Eropa, tetapi dikemas di Cina, membuat kedua pihak tidak dapat segera menemukan mitra alternatif.

    Akibat blokir ekspor tersebut, industri otomotif Jerman mulai memperingatkan risiko gangguan produksi. Asosiasi industri otomotif VDA meminta pemerintah Belanda mencari solusi cepat dan praktis.

    “Situasi ini bisa menyebabkan pembatasan produksi dalam waktu dekat, bahkan hingga penghentian produksi, jika gangguan pasokan cip Nexperia tidak segera diatasi,” ujar Presiden VDA Hildegard Mueller dalam pernyataannya.

    Sengketa ini memperburuk ketegangan perdagangan global yang telah menekan industri Eropa, di tengah kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) serta pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh Cina, yang sama-sama penting bagi industri kendaraan listrik dan semikonduktor.

    Nexperia dan hubungannya dengan Wingtech

    Nexperia dulunya merupakan bagian dari Philips Semiconductors sebelum dibeli Wingtech pada tahun 2018 senilai 3,63 miliar dolar AS atau sekitar Rp58,6 triliun. Sejak Desember 2024, AS menempatkan Wingtech dalam daftar hitam (entity list), karena dituduh membantu pemerintah Cina mengakuisisi perusahaan Barat dengan kemampuan manufaktur semikonduktor sensitif

    Dalam pernyataan sebelumnya, Kementerian Ekonomi Belanda menepis keterlibatan Amerika Serikat dalam keputusan pengambilalihan Nexperia, dan menyebut waktunya “murni kebetulan.”

    Dalam putusannya pada 1 Oktober, pengadilan komersial Amsterdam beralasan penangguhan CEO Wingtech Zhang Xuezheng dari posisinya sebagai direktur eksekutif di Nexperia diputuskan, setelah menemukan “alasan kuat untuk meragukan kebijakan manajemen.”

    Wingtech menyebut keputusan itu sebagai upaya terselubung untuk mengambil alih kekuasaan di perusahaan, dan mengatakan akan menempuh jalur hukum untuk melindungi kepentingannya.

    Editor: Rizki Nugraha

    (ita/ita)

  • Ketika Dunia Terjebak di Antara Dua Raksasa

    Ketika Dunia Terjebak di Antara Dua Raksasa

    Jakarta

    Ada yang berubah dalam wajah globalisasi. Dunia yang dulu percaya bahwa perdagangan bebas adalah jembatan menuju kemakmuran kini justru terbelah oleh tembok tarif dan sekat teknologi.

    Amerika Serikat dan Tiongkok-dua raksasa yang dulu saling membutuhkan-kini saling mencurigai. Perseteruan dagang yang pernah redup, kembali menyala dengan bara baru: perang atas masa depan ekonomi hijau dan kecerdasan buatan.

    Washington menaikkan tarif hingga 100 persen untuk mobil listrik asal Tiongkok, dengan dalih melindungi industri dalam negerinya. Beijing membalas dengan langkah senyap: membatasi ekspor grafit, gallium, dan germanium-bahan yang menjadi darah bagi industri baterai dan chip semikonduktor.

    Dunia pun bergetar, sebab yang diguncang bukan hanya harga, melainkan struktur kekuasaan ekonomi global.

    Dalam laporan IMF (2025), ketegangan ini diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia hingga 0,7 persen. Nilai yang tampak kecil di atas kertas, namun sejatinya menggoyang jutaan lapangan kerja dan rantai pasok lintas benua.

    AS kini menanggung defisit perdagangan USD 128 miliar terhadap Tiongkok, sementara ekspor Tiongkok ke negara-negara selatan melonjak-pertanda strategi Beijing mengalihkan porosnya ke BRICS, ASEAN, dan Afrika.

    Namun perang ini bukan lagi tentang baja atau tekstil, melainkan tentang siapa yang menguasai algoritma dan energi bersih. Tiongkok menguasai 80 persen pasar global baterai kendaraan listrik dan lebih dari 60 persen logam tanah jarang (rare earth) yang jadi bahan dasar chip dan turbin angin.

    Sementara AS berupaya mempertahankan supremasi lewat subsidi besar-besaran untuk energi bersih dan pembatasan ekspor teknologi tinggi. Dunia menyaksikan dua raksasa bertarung di medan baru: medan ideologi ekonomi.

    Kini globalisasi bergerak dengan wajah lain. Ia tak lagi menebarkan keterbukaan, melainkan menciptakan blok-blok kepentingan yang semakin tertutup. Neo-merkantilisme modern hadir dalam bentuk kebijakan proteksi hijau dan nasionalisme teknologi.

    Setiap negara berlomba melindungi rantai pasok kritisnya, seolah dunia kembali ke masa pra-WTO-masa ketika kekuatan diukur dari siapa yang mampu memproduksi sendiri dan menutup diri dari risiko luar. Dunia menjadi cermin retak tempat keadilan ekonomi global dipertaruhkan.

    Bagi negara berkembang, situasi ini adalah ujian kebijakan. Banyak yang tergoda mengikuti pola proteksionisme, padahal tanpa kesiapan industri dan riset, proteksi hanya memperlambat pembelajaran.

    ASEAN, termasuk Indonesia, seharusnya tidak sekadar menjadi arena rebutan, tetapi menjadi arsitek tata niaga baru yang lebih seimbang. Perdagangan harus dipandang bukan sebagai kompetisi tanpa batas, melainkan sebagai ekosistem kolaboratif berbasis teknologi dan keberlanjutan.

    Indonesia berada tepat di tengah badai itu. Menurut BPS (April 2025), impor nonmigas dari Tiongkok mencapai USD 25,77 miliar, hampir 40 persen dari total impor nasional. Sebaliknya, ekspor kita ke sana hanya USD 18,9 miliar, sebagian besar bahan mentah.

    Kita masih berdiri di ujung rantai nilai global, menambang lebih banyak daripada mencipta. Di saat negara lain menyiapkan pabrik chip, kita baru menyiapkan gudang bijih nikel.

    Padahal, sejarah jarang memberi peluang kedua. Ketika perusahaan global menjalankan strategi China+1 untuk mencari lokasi produksi baru, Indonesia seharusnya menjadi magnet alami: kaya sumber daya, berpenduduk muda, dan berada di jantung ASEAN. Tapi peluang itu tak akan berarti tanpa reformasi struktural: penyederhanaan regulasi, investasi di riset, dan keberanian membangun ekosistem industri hijau.

    Kita perlu menyiapkan strategi baru-bukan sekadar menunggu investasi datang, melainkan menciptakan daya saing berbasis value creation. Pemerintah perlu berani mengubah paradigma hilirisasi: dari sekadar mengolah bahan mentah menjadi alat diplomasi ekonomi yang menghubungkan industri dalam negeri dengan rantai pasok global. Indonesia harus menjadi simpul, bukan hanya sumber.

    Perang dagang ini sejatinya adalah panggung besar untuk menilai siapa yang siap melangkah ke era baru. Dunia tak lagi diatur oleh tarif semata, tetapi oleh inovasi, efisiensi, dan kecerdasan buatan. Mereka yang menguasai teknologi akan menguasai rantai pasok; mereka yang hanya mengandalkan bahan mentah akan tertinggal dalam sejarah.

    Kita perlu keluar dari logika lama-bahwa kekayaan alam cukup untuk menjamin masa depan. Yang menentukan bukan apa yang ada di perut bumi, melainkan apa yang tumbuh di kepala manusia. Indonesia harus menyiapkan diri menjadi produsen nilai tambah, bukan sekadar pemasok bahan mentah.

    Mungkin inilah waktunya Indonesia mengambil posisi yang lebih berani: menjadi jembatan antara dua raksasa, bukan korban tarik-menarik di antara keduanya. Dengan diplomasi ekonomi yang cerdas, kita bisa memanfaatkan kebijakan proteksi mereka sebagai ruang inovasi bagi diri sendiri. Sebagaimana Jepang pascaperang dan Korea pada era 1980-an, kita bisa menulis narasi kebangkitan melalui teknologi, bukan sekadar perdagangan.

    Jika perang dagang ini adalah pertarungan dua raksasa, maka negara seperti kita adalah para penonton yang punya pilihan: sekadar menatap atau mulai menulis naskah sendiri. Namun sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani melangkah keluar dari ketakutan. Setiap krisis menyimpan biji peluang, setiap guncangan global membuka celah bagi bangsa yang mau berinovasi.

    Dunia boleh terbelah antara Washington dan Beijing, tetapi masa depan tidak akan menunggu mereka saja. Ia akan berpihak kepada yang berpikir cepat, berinvestasi dalam pengetahuan, dan menolak tunduk pada nasib.

    Mungkin, di antara riuh mesin dan senyap pasar dunia, Indonesia sedang menulis babnya sendiri. Sebuah kisah kecil di tengah panggung besar-tentang bangsa yang mencoba berdiri tegak di antara dua bayang raksasa, menatap masa depan dengan kepala tegak, dan berkata pelan: kami tidak ingin hanya menjadi pasar, kami ingin menjadi pemain.

    Edi Setiawan. Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.

    (rdp/imk)

  • Harga Emas Dunia Ambles Dua Hari Beruntun, Simak Prediksinya Hari Ini – Page 3

    Harga Emas Dunia Ambles Dua Hari Beruntun, Simak Prediksinya Hari Ini – Page 3

    Secara fundamental, harga emas saat ini masih dibayangi oleh isu geopolitik dan kebijakan global. Laporan terbaru mengindikasikan bahwa Gedung Putih tengah mempertimbangkan pembatasan ekspor teknologi baru ke China. Langkah ini dikhawatirkan dapat meningkatkan kembali ketegangan antara Washington dan Beijing.

    Kendati demikian, menurut Andy Nugraha, efek dari isu geopolitik ini terhadap harga emas belum terlalu dominan.

    “Langkah ini menciptakan ketidakpastian baru bagi perdagangan global, terutama di sektor teknologi, namun efeknya terhadap emas belum terlalu terasa karena fokus utama investor tetap pada inflasi dan arah suku bunga The Fed,” jelas Andy.

    Sementara itu, pergerakan mata uang dan obligasi AS belum mampu memberikan dukungan kuat bagi emas. Indeks Dolar AS melemah tipis 0,13% ke level 98,84, tetapi ini belum cukup untuk mendongkrak emas.

    Imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun juga turun ke 3,951%. Pergerakan ini menunjukkan bahwa sebagian investor mulai mengantisipasi kebijakan pemangkasan suku bunga yang diperkirakan akan dilakukan oleh Federal Reserve (The Fed) menjelang akhir tahun 2025.

     

  • Jelang KTT ASEAN, China Tegaskan Penguatan Kemitraan Asia Tenggara

    Jelang KTT ASEAN, China Tegaskan Penguatan Kemitraan Asia Tenggara

    JAKARTA – Pemerintah China menegaskan pentingnya kemitraan serta penguatan komitmen kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara jelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-47 ASEAN.

    “China dan negara-negara ASEAN merupakan tetangga dekat dengan visi yang serupa dan kepentingan yang saling terkait. Kemitraan strategis komprehensif China-ASEAN terus menguat, memberikan stabilitas dan kepastian bagi perkembangan Asia dan dunia yang lebih luas,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Rabu, 22 Oktober dilansir ANTARA.

    KTT Ke-47 ASEAN dengan tema “Inklusivitas dan Keberlanjutan” rencananya akan berlangsung 26–28 Oktober 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia.

    “Baik China maupun ASEAN telah menjalin komunikasi antarpemimpin yang erat, memperkuat rasa saling percaya politik, dan memperkuat momentum pembangunan terpadu,” tambah Guo Jiakun.

    China dan ASEAN, ungkap Guo Jiakun, juga sudah merumuskan Rencana Aksi untuk Implementasi Kemitraan Strategis Komprehensif ASEAN-China (2026-2030), memanfaatkan keunggulan komparatif masing-masing untuk meningkatkan integrasi dan ketahanan rantai industri dan pasokan serta akan secara resmi menandatangani protokol peningkatan Kawasan Perdagangan Bebas China-ASEAN 3.0.

    “Protokol tersebut akan memberikan dorongan lebih besar bagi integrasi ekonomi regional dan perdagangan global. Kelancaran operasional kereta China-Laos dan kereta cepat Jakarta-Bandung telah meningkatkan konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sepanjang jalur tersebut,” ungkap Guo Jiakun.

    Kerja sama di bidang kecerdasan buatan dan ekonomi digital, tambah Guo Jiakun, juga membuka prospek baru bagi pembangunan yang didorong oleh inovasi.

    “Berbagai acara telah diselenggarakan dalam Tahun Pertukaran Antar-Masyarakat China-ASEAN, dan kerja sama di bidang pendidikan, kepemudaan, lembaga kajian, dan media telah membuahkan hasil yang bermanfaat,” kata Guo Jiakun. 

    Ditambah lagi, China telah meluncurkan “visa ASEAN” kepada warga negara dari negara-negara ASEAN maupun kebijakan bebas visa penuh kepada warga Singapura, Thailand, Malaysia dan Brunei sehingga perjalanan lintas negara makin mudah dan mendekatkan masyarakat kedua pihak.

    “China dan ASEAN telah bekerja sama untuk perdamaian dan stabilitas regional. China dengan tegas mendukung sentralitas ASEAN dalam arsitektur regional dan menyelesaikan urusan internal ASEAN melalui ‘ASEAN Way’,” tegas Guo Jiakun.

    Ia juga mengatakan China berkomitmen untuk menangani perbedaan di Laut China Selatan dengan tepat melalui dialog dan konsultasi dengan negara-negara yang terkait langsung, serta bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk sepenuhnya dan efektif mengimplementasikan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct atau DOC), mempercepat konsultasi mengenai Kode Etik Perilaku (Code of Conduct atau COC di Laut China Selatan) dan memperdalam kerja sama maritim praktis di Lau China Selatan.

    “Di dunia yang berubah dengan cepat, semakin penting untuk terlibat dalam kerja sama dan fokus pada hasil yang saling menguntungkan. China akan tetap berkomitmen untuk membina lingkungan yang bersahabat, aman, saling menguntungkan, dan inklusif serta punya visi masa depan bersama di kawasan,” ungkap Guo Jiakun.

    Namun Guo Jiakun tidak menyebutkan siapa pemimpin China yang akan menghadiri KTT ke-47 ASEAN nanti.

    “China sangat mementingkan hubungannya dengan ASEAN dan kerja sama Asia Timur, dan mendukung kepemimpinan bergilir Malaysia di ASEAN. Mengenai siapa yang akan hadir, kami akan menyampaikan informasi pada waktunya,” ungkap Guo Jiakun.

    Rencananya akan ada 5 pertemuan yang meliputi pertemuan pemimpin ASEAN, menteri ASEAN dan pejabat senior ASEAN untuk membahas sejumlah topik utama antara lain di bidang ekonomi dan perdagangan inklusif, keberlanjutan iklim dan energi bersih, hingga ekonomi digital regional.

    Hal itu termasuk kesepakatan yang telah diambil di tingkat menteri, utamanya tentang jaringan listrik ASEAN yang terintegrasi, yang membuka kemungkinan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai.

    Selain sejumlah hal tersebut, KTT Ke-47 ASEAN yang turut mengundang pemimpin negara-negara mitra dialog ASEAN seperti AS, China, Jepang, dan India untuk membahas potensi kerja sama ASEAN dengan negara-negara di luar kawasan, serta membahas dan menyatakan sikap ASEAN tentang perjanjian damai Gaza.

    KTT Ke-47 ASEAN ini juga akan mencatat sejarah baru, di mana para anggota ASEAN akan mengukuhkan Timor-Leste sebagai anggota tetap ASEAN.

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump dipastikan akan menghadiri KTT ASEAN pada 26 Oktober 2025.

    Selain mengikuti agenda ASEAN, Trump juga akan menyaksikan penandatangan perjanjian perdamaian antara Kamboja dan Thailand.

     

  • China Kembangkan Kapal Selam Super Senyap dan Mematikan

    China Kembangkan Kapal Selam Super Senyap dan Mematikan

    Jakarta

    China terus meningkatkan kemampuan kapal selamnya dengan teknologi yang semakin senyap dan mematikan. Langkah ini menandai ambisi Beijing untuk menantang dominasi Amerika Serikat (AS) di kawasan strategis Rantai Pulau Pertama, wilayah penting yang membentang dari Jepang hingga Filipina dan berpotensi menjadi garis depan konflik di Pasifik.

    Selama beberapa dekade, armada kapal selam China dikenal berisik dan tertinggal jauh dari AS. Namun, laporan terbaru dari Royal United Services Institute (RUSI) menunjukkan kemajuan signifikan dalam teknologi peredam suara, sistem senjata, dan sensor bawah laut.
    Kapal selam diesel-listrik China kini jauh lebih senyap dibandingkan generasi sebelumnya, sementara versi bertenaga nuklir terus disempurnakan agar mendekati standar kapal selam milik AS.

    Menurut US Naval War College, China kini berada di ambang memproduksi kapal selam bertenaga nuklir kelas dunia. Berkat kapasitas galangan kapal yang masif, China mampu membangun kapal selam lebih cepat daripada AS, yang justru menghadapi keterlambatan dan pembengkakan biaya.
    Diproyeksikan pada tahun 2030, China akan memiliki 55 kapal selam serang non-nuklir, 13 kapal selam nuklir, dan 8 kapal selam balistik nuklir, meningkat signifikan dari total tahun 2020.

    Tembok Besar Bawah Laut

    Selain memperkuat armadanya, China juga tengah mengembangkan sistem “Tembok Besar Bawah Laut” – jaringan hidrofon, sensor, dan drone laut untuk mendeteksi kapal selam musuh di Laut China Selatan dan perairan sekitar Taiwan.
    Sistem ini memungkinkan Beijing memantau dan merespons pergerakan kapal selam AS dan sekutunya dengan lebih cepat, bahkan sebelum mereka memasuki zona sensitif.

    Analis RUSI, Cmdr. Edward Black dan Sidharth Kaushal, memperingatkan bahwa kombinasi antara kapal selam ultra senyap dan jaringan sensor bawah laut ini dapat menjadi ancaman serius bagi operasi bawah laut AS. Dalam skenario konflik Taiwan, sistem tersebut bisa memaksa kapal selam AS beroperasi dari jarak yang lebih jauh, mengurangi efektivitas serangan dan pengintaian.

    Kecerdasan Buatan Jadi Senjata Baru

    China juga mengklaim kemajuan besar dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi kapal selam musuh, termasuk yang menggunakan teknologi siluman akustik.
    Makalah ilmiah dari akademisi China bahkan menyebut AI dapat menurunkan peluang kelangsungan hidup kapal selam musuh hingga hanya 5 persen – meski klaim ini belum bisa diverifikasi secara independen.

    Namun, investasi besar dalam AI pertahanan menunjukkan tekad Beijing untuk memadukan kekuatan militer konvensional dengan teknologi masa depan.

    Implikasi Geopolitik di Pasifik

    Bagi AS, perkembangan ini menjadi tantangan strategis besar. Armada kapal selam mereka selama ini berfungsi sebagai alat utama untuk menekan dan menahan kekuatan militer China di Pasifik Barat.

    Namun, dengan sistem sensor dan pertahanan bawah laut yang kian luas, China berpotensi membatasi ruang gerak kapal selam AS di sekitar Rantai Pulau Pertama. Meski demikian, para analis menilai efektivitas sistem China masih bergantung pada perluasan infrastruktur bawah laut dan keakuratan datanya di wilayah yang sangat luas.

    Rantai Pulau Pertama kini menjadi pusat perhatian dunia karena dapat menentukan keseimbangan kekuatan di kawasan. China diyakini akan terus berupaya menolak akses militer AS ke wilayah ini, baik lewat peningkatan armada laut, rudal hipersonik, maupun sistem sensor bawah laut.

    Dengan kemampuan kapal selam yang semakin senyap dan mematikan, Beijing berpotensi mengubah dinamika peperangan bawah laut dan menantang dominasi maritim AS yang telah bertahan selama puluhan tahun.

    (afr/afr)

  • Memanas China Vs Australia di Laut China Selatan

    Memanas China Vs Australia di Laut China Selatan

    Jakarta

    Hubungan China dan Australia memanas. Hal itu dipicu insiden di Laut China Selatan.

    Dirangkum detikcom, Rabu (22/10/202%), Pemerintah Australia awalnya mengecam China atas tindakan militer yang dianggap ‘tidak aman’ dalam insiden yang melibatkan jet tempur China dan pesawat pengintai Australia di atas Laut China Selatan. Dalam insiden itu, jet tempur China disebut menjatuhkan suar di dekat pesawat pengintai Australia saat keduanya mengudara.

    Dilansir AFP, Departemen Pertahanan Australia mengatakan pesawat pengintai Poseidon miliknya sedang melakukan patroli pengintaian di atas Laut China Selatan pada Minggu (19/10). Pesawat tersebut kemudian didekati oleh satu unit jet tempur China.

    Jet tempur China itu, menurut Australia, melepaskan suar ‘dalam jarak dekat’ dengan pesawat pengintai Australia. Pihak Australia menganggap aksi tersebut membahayakan awak pesawat mereka.

    Insiden tersebut menjadi babak terbaru dari serangkaian insiden antara Australia dan China di wilayah udara dan jalur pelayaran Asia yang semakin diperebutkan.

    “Setelah meninjau insiden tersebut dengan sangat cermat, kami menilai ini tidak aman dan tidak profesional,” kata Menteri Pertahanan (Menhan) Australia, Richard Marles, saat berbicara kepada wartawan.

    Marles mengatakan Australia telah mengangkat insiden tersebut dengan para diplomat China di Canberra dan Beijing. Marles mengatakan Australia akan terus melaksanakan latihan kebebasan navigasi di kawasan tersebut.

    Insiden serupa pernah terjadi tahun lalu, ketika jet tempur China menjatuhkan suar di jalur penerbangan helikopter Seahawk milik Australia yang mengudara di wilayah udara internasional. Canberra pada saat itu menuduh jet tempur Beijing berupaya mencegat helikopternya.

    Dalam insiden lainnya tahun 2023, sebuah kapal penghancur China dituduh membombardir para penyelam angkatan laut Australia yang sedang menyelam dengan sinyal sonar di lepas pantai Jepang. Hal itu menyebabkan cedera ringan pada para penyelam Australia.

    China telah mengklaim hampir seluruh perairan Laut China Selatan, meskipun putusan internasional pada tahun 2016 lalu menyimpulkan bahwa klaim Beijing tersebut tidak memiliki dasar hukum.

    Giliran China Protes Australia

    Terbaru, giliran Pemerintah China yang melayangkan ‘protes keras’ kepada Australia terkait insiden udara melibatkan pesawat militer kedua negara di atas perairan Laut China Selatan. Beijing menuduh pesawat militer Canberra telah melanggar wilayah udaranya.

    Militer China mengatakan pihaknya telah mengambil ‘tindakan pencegahan efektif’ dan menuduh pesawat Australia itu telah ‘secara ilegal melanggar’ wilayah udara China di atas Kepulauan Xisha yang merupakan nama sebutan Beijing untuk Kepulauan Paracel.

    Dalam pernyataan terbaru, seperti dilansir AFP, Kementerian Pertahanan China mengecam pernyataan Australia, yang mereka sebut telah ;memutarbalikkan benar dan salah, mengalihkan kesalahan kepada China, dan secara sia-sia berupaya menutupi penyusupan keji dan ilegal tersebut’.

    Kementerian Pertahanan China mengatakan pihaknya telah melayangkan protes keras terhadap pemerintah Australia.

    “Kami sangat tidak puas dengan hal ini dan telah mengajukan protes keras kepada pihak Australia,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan China, Jiang Bin, dalam pernyataan terbaru.

    Jiang menyebut Canberra telah ‘secara keliru menuduh’ Beijing melakukan tindakan tidak aman selama insiden di udara tersebut. Dia mendesak Australia menghentikan tindakannya.

    “Kekeliruan ini sama sekali tidak dapat dipertahankan. Kami mendesak Australia untuk segera menghentikan tindakannya yang melanggar hukum, provokatif, dan mengada-ada,” ujar Jiang dalam pernyataannya.

    Dia menambahkan bahwa militer China akan ‘terus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk secara tegas menjaga kedaulatan nasional’.

    Lihat juga Vidoe ‘Detik-detik 2 Kapal China Tabrakan Saat Kejar Kapal Filipina’:

    Halaman 2 dari 4

    (haf/haf)