Nasib (Partai) Politik Anak Muda
Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
GERAKAN
politik anak muda saat ini di Indonesia berada di persimpangan. Partai yang membawa nama mereka di antara dua kemungkinan: energi pembaruan atau ornamen yang dipinjam elite lama.
Di satu sisi, anak-anak muda yang melabuhkan diri pada permainan politik hadir dengan imajinasi politik yang lebih cair, menantang kemapanan, serta lebih dekat dengan isu-isu masa depan seperti iklim, kesehatan mental, ekonomi digital, dan transparansi
kekuasaan
.
Namun, di sisi lain, gerakan politik mereka rawan “dibajak” oleh kekuatan lama yang mengendalikan sumber daya.
Partai politik yang membawa identitas kemudaan kelihatan modern dan seperti harapan baru. Namun, ketika masuk ke dunia politik yang sebenarnya, anak muda hanya punya harapan, tapi hampir tidak punya peluang kemenangan.
Sangat nyata bahwa politik itu bukan hanya soal harapan, ide, atau bahkan sekadar kejujuran. Politik butuh jaringan, orang lapangan, dan terutama uang. Ini bukan soal materialistis, tapi soal kenyataan.
Seperti orang mau berlayar ke lautan, semangat saja tidak cukup. Harus ada kapal, mesin, bahan bakar, dan kru.
Begitu juga dengan partai
politik anak muda
. Semangat kemudaan itu ibarat angin kencang yang bagus. Namun, kalau tidak ada kapal yang kuat, anginnya hanya lewat tanpa membawa ke mana-mana.
Di media sosial anak muda bisa debat gratis. Mereka bisa bikin konten gratis. Namun, memenangkan pemilu itu butuh biaya sangat besar.
Ada lebih dari 800.000 TPS di seluruh negeri. Setiap TPS butuh saksi. Saksi harus dilatih. Saksi harus makan. Saksi harus dapat transport.
Belum lagi biaya kantor partai, konsolidasi ke daerah, rapat-rapat, spanduk, baliho, survei, alat peraga, dan mobilisasi massa.
Sementara itu, anak muda masih tahap merintis hidup. Baru bekerja, gaji belum besar, belum punya bisnis besar, belum punya aset, dan belum punya jaringan pengusaha.
Betul bahwa anak muda kuat di media sosial, tapi media sosial tidak mengisi kotak suara. Di ruang digital, anak muda menang trending, viral, ramai, dan bahkan penuh gagasan bagus.
Kenyataannya, dari sejak “Firaun belum beristri pun”, pemilu akan dimenangkan yang mampu hadir sampai ke kampung-kampung, pelosok, desa terpencil.
Di banyak daerah, orang memilih bukan karena melihat media sosial, tapi karena ketua RT bicara, tokoh agama memberikan rekomendasi, perangkat desa datang, keluarga besar menentukan, atau karena dapat bantuan langsung dari komunitas tertentu.
Di sinilah partai anak muda berada dalam ketergantungan kepada modal. Sementara itu, kelompok pemodal politik selalu berhitung, partai ini punya peluang menang atau tidak. Jika peluang menang kecil, mereka tidak mau buang uang.
Partai anak muda dianggap belum punya pengalaman, kedudukan dalam pemerintahan, jaringan pejabat, pengaruh di lembaga-lembaga negara.
Jadi “para donatur” akan lebih memilih “bersedekah” kepada partai besar atau partai lama.
Di sinilah kelemahan partai anak muda. Mereka menang dalam perdebatan, tapi kalah di lapangan. Partai mereka menang di layar HP, tapi kalah di TPS. Mereka punya suara di dunia maya, tapi tidak punya saksi di dunia nyata.
Akhirnya, anak muda diolah elite lama yang membutuhkan simbol. Mereka ditampilkan sebagai wajah segar, jargon baru, gaya kekinian, tetapi pola yang menopangnya tetaplah kekuatan lama.
Mereka ingin memperpanjang napasnya, tetapi dengan wajah yang terlihat lebih bersih dan diterima publik.
Hukum besi perniagaan politik adalah para elit lama tidak akan mau membuang sumber daya. Itu rumus paten permainan kekuasaan di mana dan kapan pun.
Selain itu, para elite pun tidak akan menyokong karena seseorang muda, melainkan kepada kelompok muda yang sudah memiliki modal awal juga, entah itu nama keluarga yang populer, orangtua yang pernah berkuasa, jaringan bisnis yang mapan, atau hubungan kuat dengan elite lama. Dengan kata lain, yang dibiayai mereka bukan “kemudaan”, tetapi “peluang”.
Adapun anak muda yang bergerak dari bawah tetap saja terjebak dalam lingkaran realitas. Mereka punya idealisme, punya gagasan, punya dukungan emosional dari sebagian publik, tetapi tidak punya daya dorong finansial untuk melangkah jauh.
Kampanye kreatif mereka di media sosial hanya menarik, tetapi tidak mampu menandingi kekuasaan modal ketika pemilihan tiba.
Di TPS, yang jumlahnya ratusan ribu itu, suara ditentukan bukan oleh viralnya video, tetapi oleh konsolidasi rapat, struktur saksi, distribusi logistik, dan kemampuan menjaga suara. Sudah barang tentu, semuanya mahal.
Realitas pahit inilah yang membuat partai anak muda sering kali hanya berhenti pada level harapan. Mereka menjadi inspirasi, bukan kemenangan. Mereka menggetarkan forum diskusi, tetapi tidak menggerakkan perolehan kursi.
Akhirnya, satu-satunya jalan agar figur muda bisa melaju adalah bergabung dengan kekuatan lama, baik dalam bentuk dukungan finansial, warisan nama, atau jaringan keluarga.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.