kab/kota: Ankara

  • Militan Kurdi Umumkan Gencatan Senjata dengan Turki Usai Konflik 40 Tahun

    Militan Kurdi Umumkan Gencatan Senjata dengan Turki Usai Konflik 40 Tahun

    Ankara

    Militan Kurdi mengumumkan gencatan senjata dengan Turki menyusul seruan penting dari pemimpin Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dipenjara, Abdullah Ocalan, yang meminta kelompok itu membubarkan diri. Gencatan senjata ini berarti mengakhiri konflik bersenjata selama 40 tahun dengan Ankara.

    Pengumuman gencatan senjata ini, seperti dilansir AFP, Sabtu (1/3/2025), merupakan reaksi pertama dari PKK setelah Ocalan menyerukan pembubaran kelompok tersebut dan meminta para pejuang PKK meletakkan senjata mereka setelah bertempur melawan militer Turki selama lebih dari empat dekade terakhir.

    “Demi membuka jalan bagi penerapan seruan pemimpin Apo (sebutan untuk Ocalan-red) untuk perdamaian dan masyarakat demokratis, kami mendeklarasikan gencatan senjata yang berlaku mulai hari ini,” tegas Komite Eksekutif PKK dalam pernyataan via kantor berita pro-PKK, ANF, pada Sabtu (1/3) waktu setempat.

    “Kami setuju dengan isi seruan tersebut dan kami mengatakan bahwa kami akan mematuhi dan melaksanakannya,” kata komite yang berbasis di Irak bagian utara.

    “Tidak satu pun dari pasukan kami akan mengambil tindakan bersenjata kecuali diserang,” imbuh komite tersebut dalam pernyataannya.

    PKK yang ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Turki, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, telah mengobarkan pertempuran dan pemberontakan sejak tahun 1984 silam dengan tujuan membentuk tanah air bagi etnis Kurdi, yang jumlahnya mencapai 20 persen dari total 85 juta jiwa penduduk Turki.

    Sejak Ocalan dipenjara tahun 1999, terdapat sejumlah upaya untuk mengakhiri pertumpahan darah, yang telah merenggut lebih dari 40.000 nyawa.

    Meskipun Erdogan mendukung pemulihan hubungan itu, pemerintahannya meningkatkan tekanan terhadap oposisi, menangkap ratusan politisi, aktivis dan wartawan.

    Usai sejumlah pertemuan dengan Ocalan digelar di penjara tempat dia ditahan, partai DEM yang pro-Kurdi menyampaikan seruannya agar PKK meletakkan senjata dan menggelar kongres untuk mengumumkan pembubaran kelompok tersebut.

    PKK mengatakan pada Sabtu (1/3) bahwa mereka siap menggelar kongres seperti yang dicetuskan Ocalan, tetapi “agar hal ini dapat terwujud, lingkungan yang aman harus diciptakan” dan Ocalan “harus secara pribadi mengarahkan dan memimpin demi keberhasilan kongres”.

    PKK dalam pernyataannya juga mencetuskan agar kondisi penjara Ocalan diringankan, dan menambahkan bahwa dia “harus dapat hidup dan bekerja dalam kebebasan fisik dan dapat menjalin hubungan tanpa hambatan dengan siapa pun yang dia inginkan, termasuk teman-temannya”.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Pemimpin PKK yang Dipenjara Menyerukan agar Kelompok Kurdi Membubarkan Diri dan Menyerahkan Senjata – Halaman all

    Pemimpin PKK yang Dipenjara Menyerukan agar Kelompok Kurdi Membubarkan Diri dan Menyerahkan Senjata – Halaman all

    Pemimpin PKK yang Dipenjara Menyerukan agar Kelompok Kurdi Membubarkan Diri dan Menyerahkan Senjata

    TRIBUNNEWS.COM- Abdullah Ocalan, pemimpin Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dipenjara, pada tanggal 27 Februari dalam sebuah pernyataan video yang sangat dinanti-nantikan menyerukan agar partainya meletakkan senjata dan membubarkan diri. 

    Ocalan mengatakan bahwa PKK telah “menyelesaikan hidupnya seperti kelompok-kelompok sejenisnya dan membuat pembubarannya menjadi hal yang penting.”

    Organisasi PKK telah terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan negara Turki selama beberapa dekade.

    “Bahasa periode perdamaian dan masyarakat demokratis juga harus dikembangkan sesuai dengan kenyataan. Dalam iklim yang diciptakan oleh seruan yang disampaikan oleh [Anggota Parlemen Turki dari Partai Gerakan Nasionalis] Devlet Bahceli dan kemauan yang ditunjukkan oleh Presiden [Recept Tayyip Erdogan] dan pendekatan positif dari partai politik lain terhadap seruan yang diketahui, saya menyerukan untuk meletakkan senjata dan memikul tanggung jawab historis atas seruan ini,” imbuh Ocalan. 

    “Seperti yang akan dilakukan oleh setiap masyarakat dan partai kontemporer yang belum dibubarkan secara paksa, kumpulkan kongres Anda dan buat keputusan untuk berintegrasi dengan negara dan masyarakat; semua kelompok harus meletakkan senjata mereka dan PKK harus membubarkan diri. Saya menyampaikan salam saya kepada semua orang yang percaya pada kehidupan bersama dan yang mengindahkan seruan saya,” pungkas pemimpin Kurdi yang dipenjara itu.

    Sebagai tanggapan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Turki akan terbebas dari belenggu jika organisasi teroris menanggapi seruan ini dan meletakkan senjata serta membubarkan diri.”

    Dipenjara pada tahun 1999, Ocalan menjalani hukuman seumur hidup di penjara Imrali di pulau Imrali, Turki, di Laut Marmara. Organisasinya telah terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan Turki selama beberapa dekade.

    Awal bulan ini, terungkap bahwa Ocalan telah menggarap rencana perdamaian “demokratis” untuk perseteruan selama puluhan tahun antara organisasi militan Kurdi dan Turki. 

    Rencana Ocalan diharapkan akan segera dipresentasikan secara resmi, mungkin sebelum Tahun Baru Kurdi di bulan Maret.

    Kelompok nasionalis Turki juga telah mengulurkan cabang zaitun kepada Ocalan dan telah menawarkan kemungkinan pembebasan jika ia meninggalkan militansi, sehingga memunculkan harapan bagi rencana perdamaian setelah hampir 10 tahun perundingan yang terhenti.

    Cabang PKK di Suriah – Unit Perlindungan Rakyat (YPG) – merupakan bagian integral dari kelompok militan Kurdi yang didukung AS di Suriah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF). 

    Sejak jatuhnya pemerintahan mantan presiden Suriah Bashar al-Assad pada bulan Desember, SDF telah terlibat dalam bentrokan sengit dengan militan yang didukung Turki di Suriah utara. 

    Pertempuran tersebut telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan meningkatnya pemboman militer Turki. 

    Ankara baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang bersumpah untuk membasmi milisi PKK dan cabangnya di Suriah jika mereka tidak memilih untuk menyerahkan senjata mereka. 

    SDF, yang dibentuk pada tahun 2015, berafiliasi dengan pemerintahan otonom yang didukung AS yang telah memerintah sebagian wilayah Suriah utara selama lebih dari satu dekade. 

    Sejak jatuhnya pemerintahan Assad, muncul pertanyaan mengenai nasib faksi Kurdi di Suriah baru – yang diperintah oleh mantan sekutu Al-Qaeda, Hayat Tahrir al-Sham (HTS).

    Kekhawatiran tersebut khususnya terkait dengan potensi penggabungan SDF ke dalam militer baru Suriah. 

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Turki: Pemimpin Pemberontak Kurdi Perintahkan Kelompoknya Bubar

    Turki: Pemimpin Pemberontak Kurdi Perintahkan Kelompoknya Bubar

    Ankara

    Ada kabar terbaru dari kaum Kurdi, spesifiknya adalah Partai Buruh Kurdistan (PKK), kelompok pemberontak gerilya bersenjata pimpinan Abdullah Ocalan. Dari dalam penjara Turki, Ocalan menyerukan kelompoknya untuk bubar.

    Dilansir AFP, Kamis (27/2/2025), Ocalan menyerukan militan Kurdi untuk meletakkan senjata-senjata mereka dan membubarkan diri. Ini adalah deklarasi penting dalam sejarah politik Kurdistan.

    Ocalan dipenjara sejak 1999. Ocalan dan kelompoknya, PKK, adalah musuh dari Turki. Pemerintah Turki mengategorikan PKK sebagai kelompok teroris dan pertempuran sudah sering terjadi.

    Dilansir Deutsche Welle (DW), pesan Ocalan itu disampaikan setelah pertemuan dengan pejabat senior Turki sayap kiri yang pro-Kurdi, yakni Partai Kesetaraan dan Demokrasi (DEM). Sebagai catatan, PKK pimpinan Ocalan memang berhaluan politik kiri yakni berideologi Marxisme-Leninisme.

    Pada Kamis (27/2) waktu Turki, pemimpin partai sayap kanan Turki yakni Devlet Bahceli dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) sebagai koalisi Presiden Recep Tayyip Erdogan menyarankan agar Ocalan ditawari pembebasan pada bulan Oktober. Syaratnya, PKK menolak jalan kekerasan dan bersedia membubarkan diri.

    Erdogan butuh dukungan DEM supaya tetap langgeng berkuasa di Turki. Soalnya, Erdogan sudah tidak lagi diperbolehkan melanjutkan jabatannya lagi.

    (dnu/taa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Masih Ingat Mesut Ozil? Mantan Bintang Real Madrid dan Arsenal itu Gabung Partai Politik Berkuasa

    Masih Ingat Mesut Ozil? Mantan Bintang Real Madrid dan Arsenal itu Gabung Partai Politik Berkuasa

    TRIBUNJATIM.COM – Lama tak terdengar kabar, mantan Pesepakbola Mesut Ozil kini terjun ke dunia politik.

    Pemain yang pernah meraih Piala Dunia bersama Jerman itu kini menjadi pembuat keputusan senior di partai yang berkuasa di negara itu. 

    Eks pemain Arsenal dan Real Madrid itu kini gabung menjadi komite eksekutif dan pengambil keputusan pusat AKP selama kongres di Ankara.

    Ozil bergabung dengan komite keputusan pusat dan eksekutif Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada kongres di Ankara pada hari Minggu, di mana Presiden Recep Tayyip Erdogan terpilih kembali sebagai ketua partai untuk kesembilan kalinya. 

    Pemain sepak bola Jerman-Turki ini telah menjalin hubungan dekat dengan Erdogan selama beberapa tahun.

    Pada tahun 2019, presiden tersebut menjadi pendamping pria di pernikahan Ozil dengan mantan Miss Turki Amine Gulse. 

    Selama karier sepak bolanya yang gemilang, ia bermain untuk Real Madrid, Arsenal, dan Fenerbahce, di antara klub-klub lain, memenangkan gelar La Liga Spanyol dan empat trofi Piala FA Inggris. 

    Ia bermain 92 kali untuk tim nasional Jerman, memenangi Piala Dunia pada tahun 2014, dan memenangi gelar pemain terbaik tim nasional Jerman sebanyak lima kali. 

    Namun, hubungannya dengan tim nasional memburuk setelah Piala Dunia 2018, ketika Ozil pensiun dari sepak bola internasional, dengan tuduhan bahwa media Jerman dan asosiasi sepak bola, DFB, telah melakukan diskriminasi rasial terhadapnya. 

    “Saya orang Jerman saat kami menang, dan seorang imigran saat kami kalah,” katanya saat itu. 

    Episode ini terjadi beberapa minggu setelah Ozil dan Ilkay Gundogan dari Manchester City, pemain internasional Jerman lainnya keturunan Turki, dikritik di Jerman setelah terlihat bertemu dengan Erdogan. 

    “Pekerjaan saya adalah pemain sepak bola dan bukan politisi, dan pertemuan kami bukanlah bentuk dukungan terhadap kebijakan apa pun,” kata Ozil saat itu.

    “Perlakuan yang saya terima dari DFB dan banyak pihak lain membuat saya tidak ingin lagi mengenakan seragam tim nasional Jerman. Saya merasa tidak diinginkan dan berpikir apa yang telah saya capai sejak debut internasional saya pada tahun 2009 telah dilupakan.”

    Sejak itu, Ozil telah melakukan sejumlah intervensi pada masalah politik dan hak asasi manusia. 

    Ia secara terbuka  mengutuk  tindakan keras Tiongkok terhadap Muslim Uighur pada Desember 2019, yang membuat marah otoritas Tiongkok.

    Klub tempat Ozil bernaung saat itu, Arsenal, menjauhkan diri dari kecaman tersebut. 

    Tahun berikutnya, ia mengomentari konflik antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh yang disengketakan, dengan menyatakan bahwa wilayah tersebut “diakui secara hukum dan internasional sebagai bagian dari Azerbaijan, tetapi saat ini diduduki secara ilegal”. 

    Ia juga sering berbicara mendukung hak-hak Palestina dan menentang pelanggaran Israel. 

    Ozil bukanlah pemain sepak bola pertama yang bergabung dengan AKP – mantan bek Aston Villa Alpay Ozalan telah menjadi anggota parlemen Turki sejak 2018.

    SUMBER: MIDDLE EAST EYE 

  • Turki Terbuka untuk Bertindak Sebagai Penjamin Keamanan dalam Perjanjian Damai Ukraina dan Rusia – Halaman all

    Turki Terbuka untuk Bertindak Sebagai Penjamin Keamanan dalam Perjanjian Damai Ukraina dan Rusia – Halaman all

    Turki Terbuka untuk Bertindak Sebagai Penjamin Keamanan dalam Perjanjian Damai Ukraina dan Rusia

    TRIBUNNEWS.COM- Turki terbuka untuk memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina sebagai bagian dari kesepakatan akhir dengan Rusia untuk mengakhiri perang, kata menteri luar negeri Turki pada hari Senin selama jumpa pers dengan mitranya dari Rusia.

    Hakan Fidan mengatakan bahwa Turki, pada prinsipnya, siap mengambil langkah apa pun yang dapat berkontribusi pada perdamaian saat perang Rusia-Ukraina memasuki tahun ketiga minggu ini. Namun, ia menambahkan bahwa Ankara perlu melihat bagaimana pembicaraan berlangsung sebelum membuat komitmen akhir.

    “Setelah kami melakukan persiapan teknis yang diperlukan terkait masalah ini, [Presiden Recep Tayyip Erdogan] akan membuat keputusan yang diperlukan,” katanya. “Namun untuk saat ini, kami mengikuti dengan saksama diskusi dan pertemuan tersebut.”

    Fidan juga mengungkapkan bahwa Ankara mendukung inisiatif perdamaian baru Presiden AS Donald Trump untuk mengadakan pembicaraan langsung dengan pimpinan Rusia, yang mengecualikan Ukraina selama putaran pertama minggu lalu di Riyadh.

    Menteri luar negeri Turki mengatakan Ankara memandang inisiatif Amerika memiliki pendekatan “berorientasi pada hasil” dan percaya bahwa solusi hanya dapat dicapai melalui negosiasi yang melibatkan kedua belah pihak.

    “Kami siap memberikan segala bentuk dukungan bagi terciptanya perdamaian melalui dialog,” ujarnya.

    Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, di sisi lain, mengklaim bahwa Ukraina menolak menandatangani rancangan perjanjian damai di Istanbul pada Maret 2022 menyusul tekanan dari Inggris dan sekutu Barat lainnya. Ia menambahkan bahwa kesepakatan tersebut juga mencakup jaminan keamanan dari anggota Dewan Keamanan PBB, Jerman, dan Turki.

    “Telah dijelaskan bagaimana hal ini akan berjalan. Faktanya, pihak Ukraina sendiri yang merumuskan jaminan ini,” kata Lavrov. “Namun, Barat melarangnya.”

    Menurut rancangan perjanjian damai, Rusia saat itu tidak setuju Turki menjadi penjamin.

    Pernyataan Lavrov pada hari Senin mengindikasikan bahwa Moskow terbuka terhadap Ankara sebagai salah satu penjamin keamanan.

    Meskipun ada kekhawatiran di ibu kota Eropa atas sikap agresif Trump terhadap Ukraina dan presidennya, Volodymyr Zelensky, pejabat Turki yakin negosiasi tersebut pada akhirnya dapat mengarah pada diskusi serius. Ankara telah lama menganjurkan perundingan langsung yang melibatkan semua pihak.

    Komentar Trump telah mendorong beberapa pemimpin Eropa untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan Washington. Awal bulan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengadakan pertemuan puncak Eropa untuk membahas krisis tersebut – kecuali Ankara.

    Sejak awal perang, Turki telah menjaga keseimbangan yang baik antara kedua belah pihak, menolak untuk bergabung dengan sanksi internasional sambil mengizinkan pengunjung Rusia untuk bepergian ke negara tersebut. Perdagangan bilateral sebagian besar terus berlanjut, meskipun ada beberapa kesulitan transaksi keuangan karena sanksi Barat.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST EYE

  • Tak Kunjung Bergabung ke Uni Eropa, Turki Lirik BRICS

    Tak Kunjung Bergabung ke Uni Eropa, Turki Lirik BRICS

    Bisnis.com, JAKARTA – Turki masih terus berupaya untuk bergabung dengan kelompok negara BRICS sebagai bagian dari upaya memperkuat perekonomiannya. Hal ini dilakukan menyusul status Turki yang tak kunjung mendapatkan keanggotaan di Uni Eropa setelah beberapa dekade.

    Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengatakan Presiden Recep Tayyip Erdogan ingin meningkatkan pilihan ekonomi Turki dan Uni Eropa adalah pilihan pertama negara tersebut.

    “Jika kita tidak bisa menjadi bagian dari UE, maka alternatif lain selalu tersedia,” kata Fidan kepada dikutip dari Bloomberg pada Sabtu (22/2/2025).

    Pernyataan Fidan menggarisbawahi upaya Turki untuk mencari aliansi ekonomi yang dapat menjadi alternatif bagi UE. Fidan menekankan bahwa Turki belum sepenuhnya meninggalkan harapan untuk bergabung dengan blok tersebut dan menegaskan kembali keluhan lama Ankara bahwa perbedaan budaya adalah alasan utama terhentinya bergabung dengan blok tersebut.

    UE mengatakan keanggotaan Turki diblokir karena kekhawatiran terhadap hak asasi manusia dan standar demokrasi.

    Turki telah mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan BRICS dan para pemimpinnya berpendapat bahwa keanggotaan tersebut akan memberikan akses yang lebih mudah bagi bisnis Turki ke pasar negara berkembang utama. 

    Namun, Turki mengatakan pada bulan November bahwa mereka hanya diberikan status negara mitra dan belum menjadi anggota penuh.

    “Di dunia modern, tidak ada satu negara pun yang mampu mengatasi masalah ekonomi dan politik sendirian,” kata menteri tersebut pada KTT para menteri luar negeri G-20 di Johannesburg, Afrika Selatan. 

    Merujuk pada BRICS, dia mengatakan pihaknya tertarik, tetapi belum ditawari keanggotaan. Adapun, BRICS merujuk pada negara-negara pendiri aliansi tersebut, yakni Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. BRICS telah menambahkan lima negara lagi, termasuk Iran dan Indonesia, sebagai negara anggota penuh pada tahun lalu. 

    Negara-negara lain berupaya untuk bergabung dengan blok tersebut, yang mengendalikan lembaga pemberi pinjaman multilateral dan telah memicu kemarahan Presiden AS Donald Trump karena berpotensi merusak peran global dolar. 

    Meskipun negara-negara BRICS bekerja sama pada tingkat tertentu, khususnya keuangan, mereka tidak memiliki kekompakan dengan UE, sebagian karena perbedaan kepentingan dan lintasan ekonomi.

    Bagi Fidan, fokus yang lebih besar pada kerja sama internasional akan menguntungkan semua negara.  “Jika kita bisa melembagakan multilateralisme, maka akan mudah bagi kita untuk mengatasi masalah geopolitik, perang dan perdamaian, serta masalah ekonomi,” ujarnya. 

    Sebaliknya, dia mengatakan membantu diri sendiri ada dalam keinginan setiap negara, sehingga mendorong persaingan yang sangat ketat.

    Dorongan Turki untuk melakukan tindakan multilateral tercermin dalam pendekatannya terhadap Afrika, di mana Turki telah menjalin hubungan dengan negara-negara seperti Somalia dalam bidang kontraterorisme. “Turki menawarkan peluang bagi beberapa negara Afrika,” kata Fidan.

  • Zelensky Ngambek Tak Diajak AS-Rusia soal Perang Ukraina

    Zelensky Ngambek Tak Diajak AS-Rusia soal Perang Ukraina

    Jakarta

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky merajuk karena tak diajak Amerika Serikat dan Rusia berunding soal upaya mengakhiri perang Ukraina. Zelensky pun mengkritisi pertemuan antara pejabat AS dan Rusia di Arab Sauda tanpa partisipasi Ukraina.

    Dirangkum detikcom, Rabu (19/2/2025), kekecewaan Zelensky bermula ketika Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bertemu dengan pejabat Rusia di Riyadh, Arab Saudi, Selasa (18/2). Usai pertemuan, Rubio menyatakan bahwa pihaknya ingin mencapai solusi yang “adil” dan “berkelanjutan” untuk perang Ukraina.

    Dalam sambutannya kepada wartawan Rubio mengatakan bahwa “tujuannya adalah untuk mengakhiri konflik ini dengan cara yang adil, langgeng, berkelanjutan, dan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat,” ujarnya.

    Sementara, juru bicara Departemen Luar Negeri Tammy Bruce mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kedua diplomat tinggi telah sepakat untuk “menunjuk tim tingkat tinggi masing-masing untuk mulai bekerja pada jalur untuk mengakhiri konflik di Ukraina sesegera mungkin”.

    Rubio mengatakan bahwa negara-negara Eropa harus terlibat dalam pembicaraan untuk mengakhiri perang, dan bahwa “peluang luar biasa ada untuk bermitra” dengan Rusia.

    “Kunci untuk membukanya adalah mengakhiri konflik ini,” katanya.

    Zelensky pun bereaksi keras atas pertemuan AS dan Rusia. Zelensky menegaskan setiap pembicaraan yang bertujuan untuk mengakhiri perang harus “adil” dan melibatkan negara-negara Eropa, termasuk Turki.

    Pembicaraan “sedang berlangsung antara perwakilan Rusia dan perwakilan Amerika Serikat. Tentang Ukraina–tentang Ukraina lagi–dan tanpa Ukraina,” kata Zelensky selama kunjungan resmi ke Turki seperti dilansir AFP, Selasa (18/2/2025).

    “Ukraina, Eropa dalam arti luas–dan ini termasuk Uni Eropa, Turki, dan Inggris–harus dilibatkan dalam percakapan dan pengembangan jaminan keamanan yang diperlukan dengan Amerika mengenai nasib bagian dunia kita,” kata Zelensky saat konferensi pers dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan selama kunjungan ke Ankara.

    Zelensky Batalkan Perjalanan ke Arab Saudi

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Ankara. Pertemuan terjadi saat Kyiv berupaya memperkuat posisinya dalam menanggapi perundingan Amerika Serikat (AS)-Rusia. Foto: (AFP/HANDOUT)

    Zelensky bahkan menunda rencana kunjungannya ke Arab Saudi, lantaran Kyiv tak dilibatkan dalam pertemuan AS dan Rusia di Riyadh, pekan ini.

    Zelensky yang saat ini sedang berkunjung ke Turki, seperti dilansir Reuters, Rabu (19/2/2025), mengumumkan sendiri penundaan kunjungannya ke Saudi. Awalnya dia dijadwalkan berkunjung ke Riyadh pada Rabu (19/2) waktu setempat.

    Diumumkan Zelensky bahwa kunjungannya ke Saudi ditunda hingga 10 Maret mendatang. Dia mengaku tidak ingin ada “kebetulan-kebetulan apa pun”.

    Menurut dua sumber yang memahami situasi terkini, penundaan kunjungan itu diambil Zelensky agar tidak memberikan “legitimasi” terhadap pertemuan pejabat Washington-Moskow yang digelar di Riyadh pada Selasa (18/2) waktu setempat.

    “(Ukraina) Tidak ingin memberikan legitimasi apa pun terhadap hal apa pun yang terjadi di Riyadh,” ungkap salah satu sumber itu saat berbicara kepada Reuters.

    Zelensky mengatakan di Ankara bahwa dirinya tidak diundang ke pertemuan di Riyadh pada Selasa (18/2) antara delegasi pejabat tinggi AS dan Rusia, yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) kedua negara.

    Washington dan Moskow mengatakan setelah pembicaraan itu bahwa mereka sepakat untuk terus melanjutkan upaya dalam mengakhiri perang di Ukraina.

    “Kami tidak ingin siapa pun memutuskan apa pun di belakang kami… Tidak ada keputusan yang dapat dibuat tanpa Ukraina mengenai cara mengakhiri perang di Ukraina,” tegas Zelensky dalam pernyataannya.

    Trump Kecewa Zelensky Ngeluh

    Presiden AS Donald Trump. Foto: Jim Watson/AFP/Getty Images

    Presiden AS Donald Trump justru menyalahkan Zelensky atas invansi Rusia. Trump bahkan mengatakan dia lebih yakin kesepakatan mengakhiri perang akan terjadi setelah perundingan AS dengan Rusia.

    Dilansir AFP, Rabu (19/2/2025), Trump menekan Zelensky untuk mengadakan pemilu-yang sejalan dengan salah satu tuntutan utama Moskow-, Trump juga mengecam Zelensky karena mengeluh tidak dilibatkan dalam perundingan AS-Rusia di Arab Saudi.

    Trump juga menyarankan agar Zelensky bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum bulan ini berakhir ketika Washington merombak sikapnya terhadap Rusia.

    “Saya sangat kecewa, saya dengar mereka kesal karena tidak mendapatkan kursi (dalam perundingan AS-Rusia),” kata Trump kepada wartawan di Florida ketika ditanya tentang reaksi Ukraina.

    “Hari ini saya mendengar, ‘oh, kami tidak diundang’. Nah, Anda sudah berada di sana selama tiga tahun… Anda seharusnya tidak pernah memulainya. Anda bisa saja membuat kesepakatan,” katanya.

    Zelensky sebelumnya mengkritik perundingan AS-Rusia karena tidak menyertakan Kyiv, dengan mengatakan upaya untuk mengakhiri perang harus “adil” dan melibatkan negara-negara Eropa, sambil menunda perjalanannya ke Arab Saudi. Pernyataan Zelensky ini lah yang diduga membuat Trump marah hingga kemudian dia menyerang Zelensky.

    Ketika ditanya apakah Amerika Serikat akan mendukung tuntutan Rusia yang ingin memaksa Zelensky mengadakan pemilu baru sebagai bagian dari kesepakatan, Trump tidak menjawab tegas, namun dia mengkritik Ukraina.

    “Mereka menginginkan kursi di meja perundingan, tapi bisa dibilang… bukankah rakyat Ukraina punya hak untuk bersuara? Sudah lama sejak kita mengadakan pemilu,” kata Trump.

    “Itu bukan hal yang berasal dari Rusia, itu berasal dari saya, dari negara lain,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 3

    (taa/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • AS-Ukraina Memanas, Trump Sebut Zelensky ‘Diktator Tanpa Pemilu’

    AS-Ukraina Memanas, Trump Sebut Zelensky ‘Diktator Tanpa Pemilu’

    Jakarta

    Tensi hubungan Amerika Serikat (AS) dan Ukraina memanas. Presiden AS Donald Trump melontarkan kritik kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai diktator.

    “Seorang diktator tanpa pemilu, Zelensky lebih baik bergerak cepat atau dia tidak akan punya negara yang tersisa,” tulis Trump di platform Truth Social dilansir AFP, Kamis (20/2/2025).

    Pernyataan Trump ini menambah ketegangan yang melibatkan Trump dan Zelensky dalam upaya mengakhiri konflik Rusia dan Ukraina. Zelensky sempat menyebut Trump menerima informasi yang salah dari Rusia usai Presiden Amerika itu menyebut Ukraina sebagai pemicu perang dengan Rusia.

    Dalam kritik yang dilontarkan di platform Truth Social, Trump juga mempertanyakan legitimasi Zelensky sebagai Presiden Ukraina. Jabatan Zelensky sedianya berakhir tahun lalu, namun diperpanjang atas pertimbangan darurat militer.

    “Dia menolak untuk mengadakan pemilu, nilainya sangat rendah dalam jajak pendapat di Ukraina, dan satu-satunya hal yang dia kuasai adalah mempermainkan (Joe) Biden ‘seperti biola,’” kata Trump dalam postingan Truth Social.

    “Sementara itu, kami berhasil merundingkan diakhirinya perang dengan Rusia, sesuatu yang semua orang akui hanya bisa dilakukan oleh ‘TRUMP’ dan Pemerintahan Trump,” tambah Trump.

    Volodymyr Zelensky sebelumnya juga telah memutuskan untuk menunda rencana kunjungannya ke Arab Saudi. Hal itu dilakukan setelah pemerintahnya tidak dilibatkan dalam pertemuan para pejabat Amerika Serikat dan Rusia di Riyadh, Saudi pekan ini. Pertemuan yang membahas perang Ukraina itu sama sekali tidak melibatkan para pejabat Ukraina.

    Zelensky yang saat ini sedang berkunjung ke Turki, seperti dilansir Reuters, Rabu (19/2), mengumumkan sendiri penundaan kunjungannya ke Saudi. Awalnya dia dijadwalkan berkunjung ke Riyadh pada Rabu (19/2) waktu setempat.

    Diumumkan Zelensky bahwa kunjungannya ke Saudi ditunda hingga 10 Maret mendatang. Dia mengaku tidak ingin ada “kebetulan-kebetulan apa pun”.

    Menurut dua sumber yang memahami situasi terkini, penundaan kunjungan itu diambil Zelensky agar tidak memberikan “legitimasi” terhadap pertemuan pejabat Washington-Moskow yang digelar di Riyadh pada Selasa (18/2) waktu setempat.

    “(Ukraina) Tidak ingin memberikan legitimasi apa pun terhadap hal apa pun yang terjadi di Riyadh,” ungkap salah satu sumber itu saat berbicara kepada Reuters.

    Zelensky mengatakan di Ankara bahwa dirinya tidak diundang ke pertemuan di Riyadh pada Selasa (18/2) antara delegasi pejabat tinggi AS dan Rusia, yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) kedua negara.

    Washington dan Moskow mengatakan setelah pembicaraan itu bahwa mereka sepakat untuk terus melanjutkan upaya dalam mengakhiri perang di Ukraina.

    “Kami tidak ingin siapa pun memutuskan apa pun di belakang kami… Tidak ada keputusan yang dapat dibuat tanpa Ukraina mengenai cara mengakhiri perang di Ukraina,” tegas Zelensky dalam pernyataannya.

    (ygs/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Fakta Baru Perundingan AS-Rusia: Trump Sindir Zelensky-Perang Usai?

    Fakta Baru Perundingan AS-Rusia: Trump Sindir Zelensky-Perang Usai?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Delegasi Amerika Serikat (AS) dan Rusia mengadakan pertemuan di Riyadh, Arab Saudi, Selasa (18/2/2025). Pertemuan ini dilakukan saat hubungan antara Washington dan Moskow memanas lantaran serangan Rusia ke wilayah tetangganya, Ukraina, di mana AS mendukung Kyiv dalam perang tersebut.

    Dalam pertemuan tersebut, Rusia dipimpin langsung oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Sergei Lavrov dan Penasihat Utama Kebijakan Luar Negeri, Yuri Ushakov. Di sisi lain, AS diwakili Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Penasihat Keamanan Nasional AS Mike Waltz.

    Kemudian, Saudi sebagai tuan rumah diwakili Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud. Turut mendampingi Pangeran Faisal adalah Penasihat Keamanan Nasional Saudi, Mosaad bin Mohammad Al Aiban.

    Pertemuan itu pun menghasilkan sejumlah kesepakatan. Meski begitu, belum ada tanda-tanda konkret bahwa dialog keduanya akan segera menghasilkan penghentian penuh perang di Ukraina.

    Berikut sejumlah hasil dan dinamika yang terjadi pasca pertemuan keduanya dikutip Associated Press dan Al Jazeera:

    1. Membangun kembali hubungan diplomatik yang rusak

    Hal pertama dalam daftar pencapaian kedua negara adalah kesepakatan untuk mengakhiri hubungan diplomatik yang telah memburuk. Lavrov mengatakan setelah pembicaraan hari Selasa bahwa kedua belah pihak sepakat untuk mempercepat penunjukan duta besar baru.

    “Diplomat senior dari kedua negara akan segera bertemu untuk membahas hal-hal spesifik terkait dengan penghapusan hambatan buatan terhadap pekerjaan kedutaan besar AS dan Rusia serta misi lainnya,” ujarnya.

    Pemusnahan personel kedutaan besar AS dan Rusia dimulai jauh sebelum pasukan Rusia memasuki Ukraina pada tahun 2022, dimulai setelah Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014. Hal itu dianggap ilegal oleh sebagian besar dunia selama pemerintahan Obama, yang memerintahkan beberapa kantor Rusia di AS untuk ditutup.

    Hal ini semakin memanas setelah peristiwa peracunan mata-mata Rusia yang diasingkan dan putrinya di Inggris pada tahun 2018, yang oleh otoritas Inggris disalahkan pada Rusia. Ini mengakibatkan pengusiran massal diplomat dan penutupan sejumlah konsulat di kedua negara dan Eropa.

    Ketika ditanya oleh The Associated Press apakah AS kini menganggap kasus-kasus tersebut telah selesai, Rubio menolak untuk menjawab tetapi mengatakan bahwa mustahil untuk mendapatkan perjanjian damai Ukraina tanpa keterlibatan diplomatik.

    “Saya tidak akan bernegosiasi atau membahas setiap elemen gangguan yang ada atau telah ada dalam hubungan diplomatik kita, mengenai mekanismenya,” katanya.

    “Mengakhiri konflik tidak dapat terjadi kecuali kita memiliki setidaknya beberapa kenormalan dalam cara misi diplomatik kita beroperasi di Moskow dan di Washington, D.C.”

    2. Negosiasi untuk mengakhiri konflik di Ukraina

    Kedua pihak sepakat untuk membentuk kelompok kerja tingkat tinggi guna mulai menjajaki penyelesaian konflik melalui negosiasi. Belum jelas kapan kedua tim ini akan bertemu pertama kali, tetapi keduanya mengatakan akan segera bertemu.

    Mengenai konsesi yang mungkin perlu dibuat oleh semua pihak, penasihat keamanan nasional Trump, Mike Waltz, yang berpartisipasi dalam pembicaraan hari Selasa, mengatakan masalah wilayah dan jaminan keamanan akan menjadi salah satu pokok bahasan yang dibahas.

    Rubio mengatakan tim tingkat tinggi, termasuk para ahli yang mengetahui detail teknis, akan mulai bekerja sama dengan pihak Rusia mengenai “parameter seperti apa akhir dari konflik ini.”

    Mengenai isu utama misi penjaga perdamaian prospektif untuk memantau potensi gencatan senjata di Ukraina, diplomat tinggi Rusia mengatakan Moskow tidak akan menerima pasukan dari anggota NATO, mengulangi pernyataannya bahwa upaya Ukraina untuk bergabung dengan aliansi militer Barat menimbulkan masalah keamanan besar.

    “Kami menjelaskan bahwa pengerahan pasukan dari negara-negara anggota NATO, bahkan jika mereka ditempatkan di bawah bendera Uni Eropa atau bendera nasional, tidak akan mengubah apa pun dan tentu saja tidak dapat diterima oleh kami,” kata Lavrov.

    3. Pengecualian Ukraina dan Eropa dari perundingan

    Baik Ukraina maupun negara-negara Eropa tidak diundang ke perundingan hari Selasa di Riyadh. Namun pejabat AS mengatakan tidak ada niat untuk mengecualikan mereka dari perundingan perdamaian jika perundingan itu dimulai dengan sungguh-sungguh.

    “Tidak ada yang dikesampingkan di sini,” kata Rubio. “Jelas, akan ada keterlibatan dan konsultasi dengan Ukraina, dengan mitra kami di Eropa dan negara-negara lain. Namun pada akhirnya, pihak Rusia akan sangat diperlukan dalam upaya ini.”

    4. Zelensky kesal

    Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky jelas kesal karena tidak diikutsertakan dalam pertemuan tersebut. Ia bahkan menunda rencana untuk mengunjungi Arab Saudi pada hari Rabu untuk menghindari keterkaitan perjalanannya dengan perundingan AS-Rusia pada hari Selasa.

    Berbicara dari Ankara sebelumnya, Zelensky telah mengisyaratkan alasannya. Ia mengatakan bahwa ia tidak ingin memberikan “kesan yang salah”. Namun, pejabat Ukraina lain yang tidak disebutkan namanya, berbicara kepada kantor berita AFP bahwa Kyiv menuduh pemerintahan Presiden AS Donald Trump “memuaskan keinginan Putin” dengan mengadakan pertemuan tersebut tanpa pemimpin Eropa atau Ukraina.

    “Sejak awal, seluruh negosiasi ini tampaknya sangat berpihak pada Rusia. Bahkan, muncul pertanyaan apakah negosiasi ini harus disebut sebagai negosiasi atau dalam beberapa hal, serangkaian kapitulasi Amerika,” kata Nigel Gould-Davies, peneliti senior untuk Eurasia dan Rusia di Institut Internasional untuk Studi Strategis di London dan mantan duta besar Inggris untuk Belarus.

    5. Kemungkinan pencabutan sanksi AS terhadap Rusia

    Ketika ditanya apakah AS dapat mencabut sanksi terhadap Moskow yang dijatuhkan selama masa jabatan Biden, Rubio menyatakan bahwa “untuk mengakhiri konflik apa pun, harus ada konsesi yang dibuat oleh semua pihak” dan “kami tidak akan menentukan sebelumnya apa saja konsesi tersebut.”

    Ketika ditanya apakah AS dapat secara resmi menghapus Lavrov dari daftar sanksinya, Rubio mengatakan bahwa “kami belum sampai pada tingkat pembicaraan itu.”

    6. Potensi kerja sama AS-Rusia

    Kirill Dmitriev, kepala Dana Investasi Langsung Rusia yang bergabung dengan delegasi Rusia di Riyadh, mengatakan kepada wartawan bahwa Rusia dan AS harus mengembangkan usaha patungan di bidang energi.

    “Kami membutuhkan proyek bersama, termasuk di Arktik dan wilayah lainnya,” katanya.

    Jika kedua belah pihak berhasil merundingkan akhir konflik Ukraina, Rubio mengatakan, hal itu dapat membuka “peluang luar biasa” untuk bermitra dengan Rusia “dalam berbagai isu yang diharapkan akan baik bagi dunia dan juga meningkatkan hubungan kita dalam jangka panjang.”

    7. Tetangga AS teriak

    Menteri Luar Negeri Kanada Melanie Joly mengatakan Ukraina membutuhkan jaminan keamanan yang ‘kuat’ sebagai bagian dari kesepakatan apa pun untuk mengakhiri perang. Pasalnya, ia menyoroti langkah Rusia yang telah memotong batasan-batasan tertentu untuk menciptakan stabilitas kawasan.

    “Posisi Kanada adalah Ukraina harus ikut serta,” kata Joly dalam bahasa Prancis selama pengarahan virtual dengan wartawan.

    “Kami tahu betul bahwa Presiden (Rusia) Putin tidak memiliki batasan dan bahwa setelah Ukraina, serangan itu pasti dapat dilakukan terhadap wilayah NATO,” katanya.

    Ia menambahkan bahwa penting bagi Kanada, AS, dan Eropa untuk menawarkan jaminan keamanan kepada Ukraina.

    “Kami tidak ingin berada dalam situasi di mana pada dasarnya ada gencatan senjata, ada perdamaian yang tidak bertahan lama, dan pasukan Rusia meninggalkan wilayah Ukraina, mengatur ulang diri mereka, dan kembali menyerang Ukraina. Kami akan menemukan diri kami dalam situasi yang bahkan lebih berbahaya daripada saat ini,” tambah Joly.

    8. Trump sindir Zelensky

    Trump tidak menunjukkan kesabaran terhadap keberatan Ukraina karena dikecualikan dari perundingan di Arab Saudi. Ia berulang kali mengatakan bahwa para pemimpin Ukraina seharusnya tidak pernah membiarkan konflik dimulai, yang mengindikasikan bahwa Kyiv seharusnya bersedia memberikan konsesi kepada Rusia sebelum mengirim pasukan ke Ukraina pada tahun 2022.

    “Hari ini saya mendengar, ‘Oh, baiklah, kami tidak diundang.’ Ya, Anda sudah berada di sana selama tiga tahun. Anda seharusnya mengakhirinya tiga tahun lalu,” kata Trump kepada wartawan di kediamannya di Florida. “Anda seharusnya tidak pernah memulainya. Anda bisa membuat kesepakatan.”

    (pgr/pgr)

  • Zelensky Ngambek Tak Diajak AS-Rusia soal Perang Ukraina

    Zelensky Batal ke Arab Saudi Usai Kesal Tak Diajak Perundingan AS-Rusia

    Ankara

    Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menunda rencana kunjungannya ke Arab Saudi, setelah pemerintahnya tidak dilibatkan dalam pertemuan para pejabat Amerika Serikat (AS) dan Rusia di Riyadh, Saudi pekan ini. Pertemuan yang membahas perang Ukraina itu sama sekali tidak melibatkan para pejabat Ukraina.

    Zelensky yang saat ini sedang berkunjung ke Turki, seperti dilansir Reuters, Rabu (19/2/2025), mengumumkan sendiri penundaan kunjungannya ke Saudi. Awalnya dia dijadwalkan berkunjung ke Riyadh pada Rabu (19/2) waktu setempat.

    Diumumkan Zelensky bahwa kunjungannya ke Saudi ditunda hingga 10 Maret mendatang. Dia mengaku tidak ingin ada “kebetulan-kebetulan apa pun”.

    Menurut dua sumber yang memahami situasi terkini, penundaan kunjungan itu diambil Zelensky agar tidak memberikan “legitimasi” terhadap pertemuan pejabat Washington-Moskow yang digelar di Riyadh pada Selasa (18/2) waktu setempat.

    “(Ukraina) Tidak ingin memberikan legitimasi apa pun terhadap hal apa pun yang terjadi di Riyadh,” ungkap salah satu sumber itu saat berbicara kepada Reuters.

    Zelensky mengatakan di Ankara bahwa dirinya tidak diundang ke pertemuan di Riyadh pada Selasa (18/2) antara delegasi pejabat tinggi AS dan Rusia, yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) kedua negara.

    Washington dan Moskow mengatakan setelah pembicaraan itu bahwa mereka sepakat untuk terus melanjutkan upaya dalam mengakhiri perang di Ukraina.

    “Kami tidak ingin siapa pun memutuskan apa pun di belakang kami… Tidak ada keputusan yang dapat dibuat tanpa Ukraina mengenai cara mengakhiri perang di Ukraina,” tegas Zelensky dalam pernyataannya.

    Presiden AS Donald Trump, sejak menjabat pada 20 Januari lalu, telah berulang kali berjanji untuk segera mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina. Dia mendorong dimulainya perundingan damai, namun komentar dari para pejabat tinggi AS memicu pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya dia rencanakan.

    Menteri Pertahanan (Menhan) AS Pete Hegseth mengatakan kepada sekutu-sekutu NATO pekan lalu bahwa tidak realistis bagi Ukraina untuk bergabung dengan aliansi militer tersebut, sebagai bagian dari penyelesaian yang dinegosiasikan dengan Rusia.

    Dia juga menyebut harapan Kyiv untuk memulihkan perbatasannya yang diakui secara internasional sebagai “tujuan ilusi”.

    Hegseth sempat berusaha mencabut kembali pernyataannya itu sehari usai melontarkannya, namun komentar semacam itu memicu kekhawatiran sebagian warga Ukraina bahwa AS akan menentukan nasib negara mereka tanpa sepengetahuan mereka.

    Tidak hanya itu, Trump juga melakukan percakapan telepon terpisah dengan Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin pekan lalu, sehingga meningkatkan kekhawatiran di antara sekutu Ukraina di Eropa bahwa negara itu tidak akan diikutsertakan dalam proses perdamaian.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu