Jika Juli Saja Banjir, Bagaimana Nasib Jakarta di Musim Hujan? Megapolitan 9 Juli 2025

Jika Juli Saja Banjir, Bagaimana Nasib Jakarta di Musim Hujan?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        9 Juli 2025

Jika Juli Saja Banjir, Bagaimana Nasib Jakarta di Musim Hujan?
Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com –

Hujan
deras yang mengguyur wilayah Jabodetabek sejak Sabtu (5/7/2025) hingga Senin, (7/7/2025) memicu
banjir
di berbagai titik
Jakarta
, meski bulan Juli biasanya termasuk puncak musim kemarau.
Genangan air mencapai ketinggian 210 cm di beberapa titik, menenggelamkan pemukiman warga dan memaksa ratusan jiwa mengungsi. Sejumlah ruas jalan pun lumpuh karena tak bisa dilalui kendaraan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana bisa banjir terjadi saat musim kemarau?
Lebih penting lagi, jika di periode yang seharusnya kemarau saja Jakarta sudah banjir, lantas bagaimana nasib Jakarta saat musim
hujan
tiba?
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, bahwa Indonesia saat ini mengalami anomali iklim yang disebut “
kemarau basah
”.
Artinya, meski secara kalender seharusnya musim kering, curah hujan tetap tinggi akibat sejumlah faktor atmosferik dan laut.
Beberapa penyebab utama antara lain:
“Anomali curah hujan ini diprediksi akan berlangsung hingga Oktober 2025,” ujar Dwikorita.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut banjir kali ini tergolong luar biasa karena disebabkan oleh tiga sumber sekaligus:
Kondisi ini membuat pompa-pompa pengendali banjir sempat tidak bisa difungsikan karena saluran pembuangan lebih rendah dari permukaan laut. Bahkan, 10 dari 600 unit pompa rusak akibat beban air yang terlalu tinggi.
Meski cuaca menjadi pemicu utama, para ahli menilai, bahwa penyebab mendasar
banjir Jakarta
tidak bisa dilepaskan dari masalah tata ruang dan tata kota yang belum optimal.
“Lahan terbuka di Jakarta terus menyusut setiap tahun. Ini berdampak pada peningkatan suhu dan gangguan pola hidrologi,” jelas Kepala BMKG, Dwikorita.
Dwikorita bahkan mengungkapkan, bahwa curah hujan ekstrem pada tahun 2020 sempat mencapai 300 mm, lebih tinggi dari 2025 yang hanya sekitar 200 mm.
Namun, dampak banjir kali ini justru lebih luas. Artinya, infrastruktur dan kondisi lingkungan kota memiliki peran besar.
Dilansir dari Kompas TV, pakar tata kota Nirwono Joga menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta fokus pada tiga strategi utama:
1. Penataan Bantaran Kali
Banjir kiriman dari hulu menyebabkan seluruh bantaran kali rawan terendam. Penertiban dan penataan bantaran sungai menjadi langkah pertama yang harus diprioritaskan.
2. Pembangunan Rusunawa Mixed-Use
Untuk merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai, dibutuhkan hunian yang tidak hanya layak tetapi juga terjangkau dan strategis. Nirwono menyarankan Rusunawa Mixed-Use:
“Pemerintah bisa memanfaatkan aset seperti sekolah negeri, kantor kelurahan, atau aset pemda lainnya tanpa perlu pembebasan lahan,” jelas Nirwono.
3. Benahi 13 Sungai Secara Bertahap
Jakarta memiliki 13 sungai utama yang semuanya berpotensi meluap saat hujan deras.
Nirwono menyarankan agar Pemprov Jakarta tidak menargetkan semua sekaligus, melainkan cukup satu sungai per tahun. Dalam lima tahun, lima sungai besar bisa selesai ditangani.
“Belum ada satu pun gubernur yang mampu melakukan itu. Padahal ini realistis dan bisa dicapai jika ada kemauan politik,” tegasnya.
Banjir Jakarta
bukan sekadar soal cuaca. Tata kota yang berantakan, alih fungsi lahan, dan lambatnya penanganan sungai turut memperparah krisis setiap kali hujan turun.
Jika Juli saja sudah banjir, pertanyaannya, siapkah Jakarta menghadapi musim hujan akhir tahun nanti?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.