Jeritan Warga Tolak Pembatasan Masa Sewa Rusun: Kami Mau Tinggal di Mana Lagi? Megapolitan 8 Februari 2025

Jeritan Warga Tolak Pembatasan Masa Sewa Rusun: Kami Mau Tinggal di Mana Lagi?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Februari 2025

Jeritan Warga Tolak Pembatasan Masa Sewa Rusun: Kami Mau Tinggal di Mana Lagi?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Warga rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jakarta dibuat resah oleh rencana Pemerintah Provinsi Jakarta yang akan membatasi masa sewa hunian mereka.
Aturan ini, yang sedang difinalisasi dalam revisi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 111 Tahun 2014, akan membatasi penyewa kategori umum hanya bisa tinggal selama enam tahun dan penyewa terprogram maksimal sepuluh tahun.
Bagi warga, kebijakan ini dianggap tidak adil.
Mereka yang selama ini bergantung pada rusun sebagai tempat tinggal murah kini menghadapi ketidakpastian, tidak tahu ke mana harus pergi setelah batas waktu habis.
Beberapa bahkan mengaku merasa dibohongi, karena sejak awal mereka tidak diberitahu soal aturan ini.
Bagi Dewi (48), penghuni Rusunawa Pasar Rumput, kebijakan ini seperti mimpi buruk.
Baginya, mencari tempat tinggal di Jakarta bukan perkara mudah, terutama dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu.
“Pokoknya ya enggak setuju lah cuma enam tahun,” ujarnya saat ditemui di lokasi, Jumat (7/2/2025).
Dewi berharap sebelum enam tahun ia sudah memiliki rumah sendiri.
Namun, ia sadar bahwa memiliki rumah di Jakarta bukan perkara gampang.
“Syukur-syukur Tuhan sudah ngasih rumah sebelum enam tahun. Mendingan rumah sendiri, enggak stres disuruh pindah sana-sini,” kata dia.
Senada dengan Dewi, penghuni lain bernama Nona (56) merasa kebijakan ini menyulitkan, terutama bagi mereka yang sudah lanjut usia.
“Kalau enam tahun saya kurang setuju, karena kalau sudah tua gini susah pindah-pindah lagi, ribet,” keluhnya.
Sementara itu, Arnold (58) mengaku bisa menerima pembatasan masa sewa, asalkan alasannya jelas dan ada solusi bagi mereka yang harus pindah.
“Sebenarnya tergantung alasannya. Kalau bisa
rolling
dengan yang lain ya enggak masalah, kita setuju aja,” katanya.
Selain keberatan dengan batas waktu sewa, warga juga menolak aturan yang melarang rusun diwariskan ke anak mereka.
Selama ini, banyak penghuni berharap bisa menyerahkan unit yang mereka tempati kepada anak-anaknya agar mereka tidak perlu repot mencari tempat tinggal baru.
“Enggak setuju lah, orang anak kita. Kalau saya besok meninggal, sayang dong enggak bisa ditempatin anak, padahal kan udah bayar,” ujar Nona.
Begitupula dengan Arnold.
Dia juga menganggap aturan rusunawa yang tidak boleh diteruskan olehnya dianggap tidak masuk akal.
“Biarin aja sih untuk anak, selama bayarnya lancar. Ngapain juga enggak boleh diwariskan,” kata dia.
Di sisi lain, Dewi mengaku iba jika ada warga yang harus keluar dari rusun setelah orang tuanya meninggal dunia.
“Saya sih kasihan. Misal ibunya udah enggak ada, kan otomatis anaknya yang nempatin, masa diusir lagi? Kasihan enggak ada tempat tinggal,” kata dia.
Di Rusunawa Rawa Bebek, Jakarta Timur, kemarahan warga lebih terasa.
Banyak dari mereka adalah korban penggusuran yang direlokasi ke rusunawa oleh pemerintah.
Salah satunya adalah Dina (33), Ketua RT 12 RW 017 di rusun tersebut.
Dia merasa dibohongi oleh pemerintah karena saat pindah ke rusun, tidak ada aturan soal batas waktu sewa.
“Alah pemerintah bohong. Dulu enggak ada peraturan pembatasan, tapi sekarang ada batasnya,” ucap Dina.
Ia mengingat betul bahwa saat ia dan keluarganya direlokasi dari Bukit Duri pada 2017, mereka dijanjikan bisa tinggal di rusun selamanya.
“Saya dipaksa pindah ke sini, jadi saya nurut aja. Kan kita rakyat kecil enggak bisa bantah,” kata Dina.
Merasa suaranya tidak didengar, nantinya, Dina berencana menggelar aksi demonstrasi bersama warga lainnya.
 
“Kita akan demo, ngapain pusing-pusing?” tegasnya.
Hal yang sama dirasakan oleh Siti (47), penghuni Rusunawa Rawa Bebek yang direlokasi dari Bukit Duri sejak 2016.
Ia merasa hidupnya semakin terhimpit sejak pindah ke rusun, terutama dalam mencari nafkah.
“Di sini enak buat tidur aja, kerjaan susah. Warga gusuran di sini tuh terpaksa, di sini sudah ngirit tetap saja (ekonomi) enggak muter, di sini susah jualan,” kata Siti.
Sejak 2017, ia baru membayar uang sewa sebanyak tujuh kali karena penghasilannya dari berdagang mainan sangat kecil.
“Kalau dapat (uang) Rp 50.000-100.000 sehari, Alhamdulillah,” kata Siti.
Bagi banyak warga rusunawa, kebijakan ini bukan hanya tentang batas waktu sewa, tetapi juga tentang nasib dan masa depan mereka.
Ida (32), yang juga direlokasi dari Pasar Ikan dan Bukit Duri, merasa kebijakan ini bertentangan dengan janji awal pemerintah.
“Perjanjian itu awalnya 20 tahun ditempati enggak boleh pindah tangan, ketika tanda tangan perjanjian. Tapi kok 10 tahun sekarang?” tanyanya heran.
Dengan kondisi ekonomi yang sulit, banyak warga mengaku tak punya pilihan lain selain tinggal di rusun.
“Ini kan bekas gusuran Pasar Ikan dan Bukit Duri. Kalau pindah (setelah) 10 tahun doang, mau tinggal di mana ya? Bingunglah,” tambahnya.
Ketika kebijakan ini benar-benar diterapkan, warga hanya bisa berharap pemerintah memberikan solusi yang lebih manusiawi bagi mereka yang terancam kehilangan tempat tinggal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.