Jakarta, CNBC Indonesia – Jepang sedang gonjang-ganjing. Ketidakpastian meliputi sejak guncangan pemilu terjadi, mengganggu pemerintahan bahkan berisiko memperlambat reformasi ekonomi yang terjadi.
Ini akibat pemilu sela, yang dilakukan akhir pekan lalu. Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa dan memegang kendali pemerintahan, gagal mengamankan mayoritas suara dalam pemilihan majelis rendah pada 27 Oktober.
Koalisinya dengan Komeito kehilangan mayoritasnya pada hari Minggu. Ini kemungkinan akan memaksa Perdana Menteri (PM) Shigeru Ishiba menjadi pemerintahan minoritas yang memerlukan dukungan dari partai lain untuk meloloskan undang-undang.
Menurut pengamat ini akan mengganggu upaya peningkatan belanja pemerintah, di mana Ishiba mungkin akan menawarkan pemotongan pajak dan belanja yang lebih tinggi untuk konsesi. Ini membuat reformasi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing Jepang lebih lambat.
Sejak tahun 2021 “negara ini telah memiliki tiga perdana menteri dan Ishiba mungkin juga tidak akan bertahan lama dalam jabatannya,” kata pengamat Marcel Thieliant dari Capital Economics, dikutip AFP, Rabu (30/10/2024).
“Itu berarti bahwa proyek reformasi besar-besaran tidak mungkin terjadi,” tegasnya.
Hal sama juga dikatakan ekonom dari Economist Intelligence Unit Syetarn Hansakul. Ia mengantisipasi bagaimana pencairan agenda reformasi LDP, yang mencakup rencana untuk meningkatkan belanja pertahanan dan kesejahteraan sosial.
“Selain sentimen investor, hal ini akan mengurangi kepercayaan di antara rumah tangga dan dunia usaha. Pemulihan permintaan domestik dapat terganggu sebagai dampaknya,” katanya.
Sebelumnya, Ishiba memang menjanjikan lebih banyak dukungan bagi rumah tangga, untuk mempercepat kenaikan upah dan membantu merevitalisasi daerah pedesaan. Namun beberapa partai oposisi menginginkan lebih.
Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP) misalnya, yang berpotensi menjadi menguasai lebih banyak suara, menginginkan subsidi energi bagi konsumen dan pajak yang lebih rendah bagi pekerja paruh waktu. Meskipun bertujuan untuk mengurangi kekurangan pekerja di Jepang yang menua, hal ini juga akan mengurangi pendapatan pajak pemerintah.
Jepang sendiri merupakan salah satu negara dengan rasio utang terhadap output tertinggi di dunia, yaitu sekitar 250% dari produk domestik bruto (PDB). Laporan media menunjukkan bahwa Ishiba akan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi baru bulan depan dan berencana memasukkan beberapa usulan dari DPP.
“(Meskipun) Ishiba tampaknya menghargai disiplin fiskal, dia kemungkinan akan terus berkompromi dan menahan diri untuk tidak membahas langkah-langkah pendapatan tambahan meskipun hal itu penting dalam jangka panjang,” kata analis Shigeto Nagai dari Oxford Economics.
Federasi Bisnis Jepang (Keidanren) mendesak semua pihak untuk mengatasi perbedaan dan berkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi. Ketua Asosiasi Eksekutif Perusahaan Jepang mengatakan negara itu tidak bisa membiarkan penundaan dalam mengatasi masalah ini.
“Semua pihak harus menghadapi kenyataan yang ada, terlibat dalam diskusi menyeluruh, dan mengambil kebijakan yang diperlukan”, katanya.
Pengaruhi Kebijakan Bank Sentral
Gonjang-ganjing politik ini pun diyakini akan menghambat keluarnya Bank of Japan (BoJ) dari kebijakan moneternya saat ini. Di mana BoJ mulai menjauh dari sikap moneter yang sangat longgar dan menuju ke arah keselarasan yang lebih besar dengan bank sentral lainnya.
Sebelum ditunjuk sebagai pemimpin LDP, Ishiba secara terbuka mendukung kelanjutan hal ini. Tetapi setelah yen melonjak dan saham-saham anjlok setelah pengangkatannya, ia mundur.
BoJ sendiri diperkirakan akan mempertahankan biaya pinjaman pada pertemuan rutinnya pada hari Kamis ini. Namun sebagian besar ekonom memperkirakan kenaikan berikutnya pada bulan Desember.
Banyak pihak dari pihak oposisi menginginkan jeda untuk menghindari kenaikan suku bunga bagi konsumen dan dunia usaha. Meskipun hal ini berarti melemahnya yen dan harga impor yang lebih tinggi.
Suku bunga yang lebih tinggi akan berdampak. Ini membuat pembayaran utang Jepang yang sangat besar menjadi lebih mahal.
“Karena putus asa untuk memenangkan pemilihan Majelis Tinggi tahun depan, pemerintahan Ishiba bisa menjadi lebih berhati-hati terhadap laju kenaikan suku bunga,” kata Nagai lagi.
“Memang benar bahwa jika pasar keuangan masih bergejolak, BoJ kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunganya, namun kami pikir ketidakstabilan politik akan teratasi setelah pemerintahan baru terbentuk, setidaknya untuk saat ini,” kata Masamichi Adachi dari UBS mengatakan optimismenya soal kenaikan yang mungkin masih bisa terjadi pada bulan Desember.
(sef/sef)