Jenis Media: Nasional

  • Tutorial Cetak Surat Keterangan untuk Pencairan BSU Kemenag 2025

    Tutorial Cetak Surat Keterangan untuk Pencairan BSU Kemenag 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) melaporkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) senilai Rp270 miliar yang ditujukan bagi guru non-sertifikasi sebagai bagian dari penguatan kesejahteraan pendidik sudah bisa dicairkan.

    Notifikasi sebagai syarat pencairan BSU pun sudah bisa diunduh dan dicetak di aplikasi Simpatika.

    Bantuan yang diberikan ini diperuntukkan khusus bagi Guru Madrasah Non PNS yang sudah lulus kriteria dari data Kemenag.

    Apabila guru sudah menerima notifikasi BSU pada akun Simpatikanya, maka langsung melakukan cetak Surat Pernyataan dan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang tertera di Simpatika, lalu menandatanganinya di atas materai untuk pengambilan BSU.

    Cara Cek Penerima BSU Kemenag 2025

    Apabila ragu karena belum mendapatkan notifikasi, maka guru dapat melakukan pengecekan daftar penerima BSU Kemenag 2025 dengan cara berikut ini:

    Apabila terdaftar sebagai penerima, maka akan muncul ucapan selamat dan tombol untuk mencetak dokumen persyaratan pencairan.

    Namun apabila tidak terdaftar sebagai penerima, maka akan muncul pemberitahuan bahwa belum ditetapkan sebagai penerima.

    Cara Mencairkan BSU Kemenag 2025

    Sementara dalam laman resmi Kemenag sebelumnya dijelaskan tentang mekanisme penerima BSU Kemenag. Guru terlebih dahulu menerima notifikasi pada akun Simpatikanya, berikut langkah-langkah pencairan BSU Kemenag yang perlu dilakukan:

    1. Cetak Surat Keterangan Penerima BSU
    Guru mencetak Surat Keterangan Penerima BSU Guru Madrasah bukan PNS 2020 yang tersedia di akun Simpatika.

    2. Cetak dan Tanda Tangani SPTJM
    Guru mencetak Surat Pernyataan dan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari Simpatika, kemudian menandatanganinya di atas materai.

    3. Cetak Surat Kuasa Rekening
    Guru mencetak surat kuasa blokir debet dan tutup rekening yang tertera di Simpatika, lalu menandatanganinya tanpa materai.

    4. Datang ke Bank Penyalur
    Setelah seluruh dokumen siap, guru mendatangi kantor BRI atau BRI Syariah yang ditunjuk dengan membawa KTP, NPWP (jika sudah memiliki), Surat Keterangan Penerima BSU, SPTJM bermaterai, serta surat kuasa yang telah ditandatangani.

    5. Buka Rekening Baru
    Bagi guru baru, maka mengisi formulir pembukaan rekening baru di BRI atau BRI Syariah. Setelah proses selesai, pihak bank akan menyerahkan buku rekening dan kartu ATM.

    Tutorial Cetak Surat Keterangan untuk Cairkan BSU Kemenag 2025

    Salah satu persyaratan pencairan Bantuan Subsidi Upah (BSU) Kemenag yakni mencetak Surat Keterangan Penerima BSU, Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM), Surat Kuasa yang diunduh dari SIMPATIKA.

    Berikut panduan untuk mencetak surat kelengkapan pencairan BSU tersebut:

    Buka situs resmi https://simpatika.siap.id/madrasah/ dan pilih Login PTK
    Masukan UserID (PegID/NPK/NUPTK) dan password
    Pilih menu “Data Bantuan” kemudian klik “Status Penerima”
    Apabila muncul anda ditetapkan sebagai penerima BSU, maka akan muncul tombol “Cetak”
    Klik tombol “Cetak” sebagai persyaratan pencairan BSU Kemenag

  • Pemerintah Abai Reformasi Polri

    Pemerintah Abai Reformasi Polri

    Pemerintah Abai Reformasi Polri
    Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    KEBERADAAN
    frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
    Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
    Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
    Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
    Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
    Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
    Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
    Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
    Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
    Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
    Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
    Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
    Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
    Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
    Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
    Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
    Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
    Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
    Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
    political will
    yang memadai dari pemerintah.
    Putusan MK
    semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
    Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
    Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
    Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
    Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
    Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
    political will
    , di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
    Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
    Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
    Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
    Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
    Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Danrem Lilawangsa-Aceh Bantah Tuduhan Prajurit Rampas Bantuan Bencana

    Danrem Lilawangsa-Aceh Bantah Tuduhan Prajurit Rampas Bantuan Bencana

    Bisnis.com, JAKARTA – Komandan Korem (Danrem) 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Ali Imran membantah keras tuduhan terkait perampasan bantuan bencana oleh prajurit TNI, namun sebaliknya mereka justru mengamankan bantuan tersebut untuk didistribusikan kepada masyarakat terdampak.

    “Saya Danrem 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Ali Imran, membantah keras atas tuduhan kepada anggota TNI, merampas bantuan yang ada. Salah itu,” kata Kolonel Inf Ali Imran, di Lhokseumawe, Aceh, Minggu.

    Kolonel Ali Imran menegaskan, TNI melaksanakan perintah dari Menko Polkam dan dan BNPB untuk mengamankan logistik yang turun dari Pelabuhan dan dibawa ke Korem sebagai Posko Bencana yang telah ditetapkan oleh BNPB.

    “TNI hanya menjalankan tugas membantu mengangkat bantuan dari pelabuhan ke posko terpadu yang dipimpin oleh BNPB, kemudian bantuan ini akan didistribusikan ke wilayah-wilayah,” ujarnya dikutip dari Antaranews, Senin (15/12/2025).

    Putra asli Aceh ini mengatakan, sistem pengambilan bantuan tercatat, baik barang masuk maupun keluar, apalagi proses ini turut didampingi keuchik (kepala desa), Camat, Babinsa dan Babinkamtibmas. 

    Upaya ini bertujuan agar semua masyarakat yang terdampak bencana mendapatkan bantuan yang adil dan merata. “Biar kita bisa mendata dengan jelas, desa mana yang sudah dapat dan mana yang belum,” katanya.

    “Jangan sampai terjadi ada desa yang tidak mendapatkan bantuan, misal, ada desa yang mengaku belum dapat bantuan, namun setelah dicek, ternyata sudah berulang kali dapat, sedangkan masih ada desa lain yang belum dapat bantuan, jadi kita atur dengan jelas,” ujarnya.

    Dirinya juga mengaku sejak terjadi bencana alam di Aceh, pihaknya terus berupaya untuk membantu kesulitan masyarakat. Bahkan sampai saat ini, para prajuritnya terus berjuang dan berupaya keras membantu penanggulangan pascabencana Aceh hingga menuju pemulihan.

    “Ya, tidak ada niat kami untuk merampas, saya sudah tiga minggu jungkir balik nih, saya orang Aceh, tidak mungkinlah, saya mau merampas bantuan untuk masyarakat saya sendiri,” tegasnya.

    Kolonel Ali Imran menjelaskan, bantuan itu untuk seluruh daerah terdampak bencana di 12 kabupaten/kota yang ada di wilayah kerjanya, termasuk Bener Meriah, Aceh Tengah dan Kabupaten Gayo Lues yang masih didistribusikan melalui jalur darat “AirDrop”.

    “Bahkan saya perintahkan Dandim Aceh Utara, akan membawa secara estafet sampai ke kilometer 42. Sekarang dari Bener Meriah sudah banyak turun untuk mengambil bantuan,” ujarnya.

    Dia juga menuturkan, sempat adanya peristiwa pembegalan oleh sejumlah kelompok orang terhadap kapal pengangkut bantuan beberapa hari lalu di tengah laut. Sebagai pimpinan TNI di Korem, tidak ingin kejadian itu terulang.

    “Jadi biar jelas siapa yang mengambil, dan fitnah itu. Kejadian berapa hari kemarin, padahal turut membawa bantuan dengan kapal ada TNI, tetapi dia masih berani, dengan mengatas namakan seseorang, terus ambil. Itu tidak boleh,” katanya.

    Danrem Ali Imran menguraikan, bahwa bantuan yang ada bukan punya pribadi, melainkan dari pemerintah pusat, Kementan, Bapanas, relawan-relawan donatur asal Jakarta maupun daerah lainnya yang mengirim ke Aceh.

    Dalam kesempatan ini, dirinya juga menghimbau kepada masyarakat, khususnya yang terdampak bencana, jangan mudah terprovokasi isu-isu tidak benar.

    “Kita minta kepada masyarakat untuk mengerti dan bersabar, kita sedang mengalami bencana dan berupaya agar cepat pemulihan,” ujarnya.

    “Apalagi kita orang Aceh, mayoritas agama Islam, memfitnah orang lain itu dosa. Keinginan kita bersama, penyaluran bantuan tepat sasaran langsung kepada korban,” demikian Kolonel Ali Imran.

  • Jatanras Polda Jatim Tembak Mati Pelaku Pembacokan Anggota Polres Lumajang

    Jatanras Polda Jatim Tembak Mati Pelaku Pembacokan Anggota Polres Lumajang

    Surabaya (beritajatim.com) – Dalam waktu kurang dalam seminggu, Anggota Subdit III Jatanras Polda Jatim berhasil menemukan pelaku pembacokan terhadap anggota Polres Lumajang, Aiptu Susanto. Pelaku berinisial AS (30) warga Lumajang terpaksa ditembak mati karena melawan saat akan diamankan, Senin (15/12/2025) dini hari.

    Kasubdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim, AKBP Arbaridi Jumhur mengatakan setelah peristiwa pembacokan terhadap Aiptu Susanto pada Kamis (11/12/2025), pihaknya langsung bergerak cepat untuk mengamankan pelaku.

    “Malam setelah kejadian, kami langsung pantau pelaku. Kita lakukan sweeping ke rumah para kerabat korban dan sempat kita gerebek namun pelaku AS berhasil melarikan diri,” kata Jumhur.

    Anggota Jatanras Polda Jatim tidak menyerah begitu saja. Bersama dengan anggota Satreskrim Polres Lumajang mereka terus mencari keberadaan pelaku. Pada Minggu (14/12/2025) sekitar pukul 23.00 anggota di lapangan mendapat informasi jika AS hendak kabur ke rumah rekannya di Pasuruan.

    “Setelah kita telusuri, pelaku kita amankan di wilayah Lumajang. Saat diamankan, pelaku ini hendak membacok anggota kembali dengan celurit yang dibawa. Terpaksa kita lakukan tindakan tegas terukur,” jelas Jumhur.

    Jumhur menjelaskan saat diamankan, pelaku bersama rekannya yang saat ini masih diburu petugas. Rekannya berhasil kabur dari sergapan anggota Jatanras Polda Jatim.

    “Barang bukti yang kita amankan ada motor sarana dan senjata tajam yang digunakan pelaku. Saat ini kita masih lakukan pengembangan apakah ada pelaku lain,” tutur Jumhur.

    Diketahui sebelumnya, Aiptu Susanto dibacok oleh komplotan pencuri saat melaksanakan tugas di Jalan Gajah Mada, Kepuharjo, Lumajang, Kamis (11/12/2025). Peristiwa pembacokan ini bermula ketika Aiptu Susanto berusaha mengejar dua pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang baru saja beraksi.

    Saat kejar-kejaran, kedua pelaku lantas menabrak pengendara lain hingga terjatuh. Melihat kedua pelaku terjatuh, Aiptu Susanto mendekat dan berusaha mengamankan pelaku. Namun, pelaku AS tidak menyerah. Ia mengeluarkan celurit dan membacok Aiptu Susanto secara membabi buta.

    Akibat sabetan celurit, Aiptu Susanto mengalami tiga luka bacok, yang paling parah ada di bagian perut. Aiptu Susanto lantas dirawat di RSUD dr Haryoto Lumajang. Setelah melewati masa kritis selama dua hari, kondisi Aiptu Susanto dikabarkan berangsur-angsur membaik. [ang/suf]

  • Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
    Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

    No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
    DALAM
    tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
    no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .”
    Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
    Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
    a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
    .”
    Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
    Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
    courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
    .”
    Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
    Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
    Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
    Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
    Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
    Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
    Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
    Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
    Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
    Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
    Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
    Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
    Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
    Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
    Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
    Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
    Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
    Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
    Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
    Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
    Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
    Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
    Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
    Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
    Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
    Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
    Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
    Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
    Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
    Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
    Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
    Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
    Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ferdy Sambo Muncul Lagi Jelang Natal, Berkhotbah kepada Warga Binaan di Lapas Cibinong

    Ferdy Sambo Muncul Lagi Jelang Natal, Berkhotbah kepada Warga Binaan di Lapas Cibinong

    GELORA.CO –  Eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Ferdy Sambo, menuai sorotan di media sosial. 

    Terpidana hukuman penjara seumur hidup kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Nofriansyah Yosua Hutabarat, itu terlihat memimpin doa dan khotbah dalam sebuah ibadah persekutuan doa di Lapas Kelas IIA Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

    Momen tersebut berlangsung pada Sabtu (13/12/2025) dan diikuti oleh ratusan warga binaan. 

    Dalam dokumentasi yang beredar, Ferdy Sambo berdiri di atas mimbar, memipin doa kepada sesama narapidana. 

    Dalam khotbahnya, ia menyinggung soal kebebasan yang tidak selalu berkaitan dengan kondisi fisik melainkan juga spiritual. 

    “Yang bisa kita dapatkan tanpa belenggu fisik maupun spiritual kiranya bersama tuhan kita Yesus Kristus,” kata Ferdy seperti dikutip dari video yang beredar di media sosial. 

    Sementara itu, belum ada keterangan resmi dari pihak Lapas Cibinong terkait kegiatan keagamaan yang diikuti oleh Ferdy Sambo. 

    Sejumlah warganet menanggapi video itu dengan beragam komentar.

    Dari vonis mati jadi seumur hidup

    Mantan jenderal bintang 2 Polri tersebut divonis hukuman mati karena terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan berencana ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.

    Namun, vonis mati itu dianulir hakim agung.

    Mahkamah Agung (MA) menganulir hukuman mantan jenderal bintang dua Polri itu menjadi penjara seumur hidup.

    Dalam putusannya, Majelis Hakim MA mempertimbangkan bahwa Sambo telah mengakui kesalahannya.

    “Terdakwa juga tegas mengakui kesalahannya dan siap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan,” demikian pertimbangan hakim dalam salinan putusan yang diterima Kompas.com, Senin (28/8/2023).

    Menurut hakim, Sambo memang terbukti bersalah karena memerintahkan Bharada E menembak Brigadir J. Namun, hal itu dipicu oleh peristiwa di Magelang, Jawa Tengah.

    Peristiwa di Magelang tersebut disebut mengguncang jiwa Sambo karena menyangkut harkat dan martabat serta harga diri keluarga, sehingga ia marah besar kepada Brigadir J.

    Meski tak dapat dibuktikan peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi di Magelang, menurut hakim, hal itu tak dapat menghilangkan perbuatan pidana Sambo.

    “Hal tersebut tetap dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana yang adil bagi trdakwa dilihat dari segi alasan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana karena telah menjadi fakta hukum di persidangan,” bunyi pertimbangan hakim.

    Tak hanya itu, hakim juga mempertimbangkan karier Sambo di kepolisian selama 30 tahun.

    “Karena bagaimanapun terdakwa saat menjabat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai Kadiv Propam pernah berjasa kepada negara dengan berkontribusi ikut menjaga ketertiban dan keamanan serta menegakkan hukum di Tanah Air,” demikian pertimbangan hakim.

    “Bahwa dengan pertimbangan tersebut, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo, maka demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, terhadap pidana mati yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki menjadi pidana penjara seumur hidup,” lanjut hakim.

  • Ferdy Sambo Muncul Lagi Jelang Natal, Berkhotbah kepada Warga Binaan di Lapas Cibinong

    Ferdy Sambo Muncul Lagi Jelang Natal, Berkhotbah kepada Warga Binaan di Lapas Cibinong

    GELORA.CO –  Eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Ferdy Sambo, menuai sorotan di media sosial. 

    Terpidana hukuman penjara seumur hidup kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Nofriansyah Yosua Hutabarat, itu terlihat memimpin doa dan khotbah dalam sebuah ibadah persekutuan doa di Lapas Kelas IIA Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

    Momen tersebut berlangsung pada Sabtu (13/12/2025) dan diikuti oleh ratusan warga binaan. 

    Dalam dokumentasi yang beredar, Ferdy Sambo berdiri di atas mimbar, memipin doa kepada sesama narapidana. 

    Dalam khotbahnya, ia menyinggung soal kebebasan yang tidak selalu berkaitan dengan kondisi fisik melainkan juga spiritual. 

    “Yang bisa kita dapatkan tanpa belenggu fisik maupun spiritual kiranya bersama tuhan kita Yesus Kristus,” kata Ferdy seperti dikutip dari video yang beredar di media sosial. 

    Sementara itu, belum ada keterangan resmi dari pihak Lapas Cibinong terkait kegiatan keagamaan yang diikuti oleh Ferdy Sambo. 

    Sejumlah warganet menanggapi video itu dengan beragam komentar.

    Dari vonis mati jadi seumur hidup

    Mantan jenderal bintang 2 Polri tersebut divonis hukuman mati karena terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan berencana ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.

    Namun, vonis mati itu dianulir hakim agung.

    Mahkamah Agung (MA) menganulir hukuman mantan jenderal bintang dua Polri itu menjadi penjara seumur hidup.

    Dalam putusannya, Majelis Hakim MA mempertimbangkan bahwa Sambo telah mengakui kesalahannya.

    “Terdakwa juga tegas mengakui kesalahannya dan siap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan,” demikian pertimbangan hakim dalam salinan putusan yang diterima Kompas.com, Senin (28/8/2023).

    Menurut hakim, Sambo memang terbukti bersalah karena memerintahkan Bharada E menembak Brigadir J. Namun, hal itu dipicu oleh peristiwa di Magelang, Jawa Tengah.

    Peristiwa di Magelang tersebut disebut mengguncang jiwa Sambo karena menyangkut harkat dan martabat serta harga diri keluarga, sehingga ia marah besar kepada Brigadir J.

    Meski tak dapat dibuktikan peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi di Magelang, menurut hakim, hal itu tak dapat menghilangkan perbuatan pidana Sambo.

    “Hal tersebut tetap dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana yang adil bagi trdakwa dilihat dari segi alasan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana karena telah menjadi fakta hukum di persidangan,” bunyi pertimbangan hakim.

    Tak hanya itu, hakim juga mempertimbangkan karier Sambo di kepolisian selama 30 tahun.

    “Karena bagaimanapun terdakwa saat menjabat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai Kadiv Propam pernah berjasa kepada negara dengan berkontribusi ikut menjaga ketertiban dan keamanan serta menegakkan hukum di Tanah Air,” demikian pertimbangan hakim.

    “Bahwa dengan pertimbangan tersebut, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo, maka demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, terhadap pidana mati yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki menjadi pidana penjara seumur hidup,” lanjut hakim.

  • ‘Nabi Nuh’ dari Ghana Bangun Bahtera Raksasa, Sebut Banjir Besar Melanda Natal 2025

    ‘Nabi Nuh’ dari Ghana Bangun Bahtera Raksasa, Sebut Banjir Besar Melanda Natal 2025

    GELORA.CO – Bagi sebagian besar umat Kristiani, tanggal 25 Desember adalah waktu perayaan Natal yang penuh sukacita. Namun, menurut seorang pria Ghana yang mengaku dirinya Nabi, tanggal tersebut menandai awal dari banjir tiga tahun yang akan menutupi Bumi dengan lautan tak berujung. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup, katanya, adalah dengan menaiki salah satu bahtera kayu yang telah dipilihkan Tuhan untuk ia bangun.

    Ebo Noah, yang dikenal secara daring dengan banyak nama lain, termasuk Ebo Jesus dan Igbo Noah, adalah sosok kontroversial dan misterius yang mengklaim telah dipilih oleh Tuhan untuk mengambil alih peran Nabi Nuh dan sekali lagi menyelamatkan umat manusia serta semua spesies hewan dari banjir besar yang dikisahkan dalam Alkitab. Ia mengklaim banjir tersebut akan dimulai pada Natal tahun ini.

    Dilansir Oddity Central, tidak banyak orang yang benar-benar tahu tentang “Nuh modern” ini, termasuk informasi dasar seperti nama asli dan lokasinya. Namun, ia telah mendapatkan banyak pengikut di media sosial. Klip dirinya mengenakan pakaian compang-camping dan membaca buku, atau memeriksa bahtera kayunya, telah beredar daring selama berbulan-bulan, tetapi minat orang-orang semakin meningkat menjelang Natal.

    Nuh dari Ghana ini telah berkhotbah tentang banjir besar yang akan datang sejak Agustus, mengklaim bahwa ia diperintahkan oleh Tuhan untuk membangun hingga sepuluh bahtera. Menurut beberapa sumber, bahteranya dapat menampung beberapa ribu orang, sementara sumber lain menyebut kapasitas hingga 600 juta orang, yang terdengar sangat berlebihan.

    Seperti yang bisa Anda bayangkan, Ebo Noah menghadapi banyak ejekan di media sosial, termasuk dari orang-orang yang bertanya apakah bahteranya memiliki Wi-Fi atau apakah penumpang dapat menggunakan Cash App di dalamnya. Namun, ia tampaknya menerima semuanya dengan cukup baik, dengan mengatakan bahwa Nabi Nuh sendiri pernah ditertawakan, dan hal itu tidak menghalanginya dari misinya.

    Pada suatu waktu, Noah mengklaim bahwa hewan-hewan seperti kambing dan burung mulai berdatangan “atas perintah ilahi” ke lokasi tempat ia membangun bahtera, meskipun tidak ada yang mengonfirmasi klaim ini. Bahtera itu sendiri tampak tidak lebih dari perahu kayu yang hampir tidak mampu menampung beberapa lusin orang, apalagi ratusan juta orang serta hewan.

    Ebo Noah memiliki ratusan ribu pengikut di platform media sosial seperti TikTok dan Instagram, tetapi beberapa orang mempertanyakan keberadaannya. Tidak ada media arus utama Ghana yang mampu menemukannya, dan bahkan lokasi bahtera pun tidak jelas. Beberapa orang percaya bahwa ia adalah produk AI, meskipun video yang menampilkannya terlihat sangat realistis.

    Tanpa cara untuk mengonfirmasi identitas Ebo Noah atau khotbahnya, yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu hari pertama Natal.

  • Prabowo Minta Hunian Terdampak Bencana Segera Dibangun hingga Insentif Transportasi Nataru

    Prabowo Minta Hunian Terdampak Bencana Segera Dibangun hingga Insentif Transportasi Nataru

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas (ratas) dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih pimpinan lembaga tinggi negara di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/12/2025).

    Ratas itu membahas soal penanggulangan pascabencana di Sumatra serta persiapan libur Natal dan Tahun Baru.

    Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya menyebut ratas akhir pekan itu digelar setelah Prabowo menyelesaikan peninjauan langsung ke lokasi terdampak bencana banjir dan longsor Sumatra. 

    “Setelah melakukan peninjauan langsung ke lokasi terdampak bencana, Presiden Prabowo memanggil beberapa Menteri Kabinet Merah Putih di kediaman pribadinya di Hambalang pada Minggu, 14 Desember 2025,” ujar Teddy melalui keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025). 

    Terkait dengan bencana di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, Prabowo menekankan kepada para menteri dan kepala lembaga negara atas pentingnya percepatan pembangunan hunian bagi masyarakat terdampak. 

    “Pembangunan hunian sementara dan hunian tetap untuk seluruh warga terdampak bencana di Sumatra. Presiden ingin secepat mungkin segera selesai terbangun,” kata Teddy.

    Selain itu, Presiden turut menyoroti pemenuhan kebutuhan dasar para pengungsi. Kepala Negara meminta agar kebutuhan tersebut dapat dipastikan terpenuhi secara menyeluruh. 

    “Penambahan secara maksimal alat berat dan truk air minum, persediaan air bersih, serta toilet portabel, terutama di lokasi yang paling terdampak,” lanjut Teddy. 

    Sementara itu, berkaitan dengan persiapan libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026, Presiden ke-8 itu turut memberikan instruksi soal stabilitas ketahanan pangan, harga kebutuhan pokok, dan perkembangan perekonomian nasional. 

    Pemerintah juga membahas pemberian insentif pada sejumlah sektor guna mendukung kelancaran mobilitas masyarakat selama periode libur akhir tahun. 

    “Pemberian insentif terhadap beberapa sektor untuk kelancaran liburan akhir tahun, terutama pengurangan harga secara signifikan untuk tarif jalan tol, tiket pesawat terbang, kereta api, kapal laut, serta fasilitas publik lainnya,” pungkas Teddy. 

    Beberapa menteri dan pejabat yang hadir selain Teddy yakni Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin serta Menteri Luar Negeri Sugiono. 

    Kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Kepala Badan Pengaturan BUMN Dony Oskaria, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Brian Yuliarto.

  • Desak Status Bencana Nasional, Anggota DPRD Sumut Ingatkan Nias untuk Pisah dari Indonesia

    Desak Status Bencana Nasional, Anggota DPRD Sumut Ingatkan Nias untuk Pisah dari Indonesia

    GELORA.CO – Anggota DPRD Sumatera Utara dari Fraksi Partai NasDem, Berkat Kurniawan Laoli, menyatakan secara tegas bahwa Pulau Nias terancam mengambil sikap politik ekstrem, termasuk keluar dari Provinsi Sumatera Utara, apabila pemerintah pusat tidak segera menetapkan status bencana nasional atas rangkaian bencana yang melanda Sumut sejak akhir November 2025.

    Laoli menilai, kondisi pascabencana di Nias sudah berada pada titik kritis dan tidak lagi mampu ditangani oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, baik dari sisi anggaran maupun kapasitas penanganan.

    “Kondisi di Nias sudah darurat. Jika pemerintah pusat terus lamban dan status bencana nasional tidak segera ditetapkan, maka kami akan mendorong Nias untuk pisah dari Provinsi Sumut, bahkan dari Indonesia,” tegas Laoly kepada Waspada.id, Minggu (14/12).

    Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan sikap Laoli atas video pernyataannya yang beredar luas di media sosial, yang memuat ancaman politik sebagai bentuk tekanan agar pemerintah pusat segera bertindak.

    Laoli mengungkapkan, bencana banjir dan banjir bandang yang terjadi pada akhir November 2025 telah berdampak luas di 18 kabupaten/kota di Sumatera Utara, termasuk seluruh wilayah Pulau Nias. Kerusakan meliputi infrastruktur jalan, jembatan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, serta permukiman warga.

    Namun hingga pertengahan Desember 2025, penanganan masih didominasi oleh penyaluran bantuan darurat, bukan rekonstruksi menyeluruh.

    “Seharusnya sekarang sudah masuk tahap rekonstruksi. Tapi yang terjadi, masyarakat masih bergantung pada bantuan. Ini menandakan negara belum hadir secara maksimal,” ujar Laoli.

    Ia menegaskan, keterbatasan anggaran Pemprovsu menjadi kendala utama. Dana yang tersedia dinilai tidak sebanding dengan skala kerusakan dan luas wilayah terdampak.

    Laoli juga menyoroti buruknya sistem distribusi logistik ke Pulau Nias. Saat ini, pengiriman logistik harus melalui jalur Medan–Padang terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan ke Nias melalui jalur laut.

    “Pengiriman barang ke Nias hanya bisa dilakukan sekitar satu kali dalam seminggu. Akibatnya, pasokan terbatas dan harga kebutuhan pokok melonjak drastis,” katanya.

    Kondisi tersebut, menurut Laoli, menjadi bukti bahwa penanganan bencana berskala besar seperti ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah daerah, melainkan harus diambil alih oleh pemerintah pusat melalui penetapan status bencana nasional.

    Soroti Anggaran BTT

    Desakan serupa sebelumnya juga disuarakan oleh Aliansi Masyarakat Sumut Bersatu Peduli Bencana dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Jalan Imam Bonjol, Medan, Jumat (12/12).

    Koordinator aksi yang juga Ketua Umum Horas Bangso Batak (HBB), Lamsiang Sitompul, SH, MH, menyatakan bahwa penanganan banjir belum maksimal karena keterbatasan dana.

    Ia menyinggung data Bantuan Tak Terduga (BTT) Pemprovsu yang sebelumnya disebut mencapai Rp843 miliar, namun kini tersisa sekitar Rp123 miliar.

    “Ke mana sisa dana Rp843 miliar itu? Ini harus diusut. Di sisi lain, pemerintah daerah jelas tidak lagi punya anggaran memadai,” tegas Lamsiang.

    Ia juga mendesak DPRD Sumut agar secara resmi meminta Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional di Sumatera Utara.

    “Korban meninggal sudah ribuan dan masih ada yang hilang. Tapi belum ada sikap tegas dari pemerintah pusat. Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya, didampingi Koordinator Lapangan, Johan Merdeka.

    Laoli menegaskan kembali, ancaman pemisahan wilayah bukanlah tujuan utama, melainkan peringatan keras agar pemerintah pusat segera bertindak cepat, terkoordinasi, dan menyeluruh.

    “Jika negara terus abai, maka jangan salahkan masyarakat Nias jika mengambil sikap politik yang lebih keras,” pungkasnya.