Di era digital, kita sering menemukan perdebatan keagamaan di media sosial. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul dalam diskusi adalah “mana dalilnya?”. Sekilas, ini tampak sebagai ekspresi kecintaan terhadap ilmu dan keinginan untuk berpegang pada sumber yang jelas. Namun, dalam banyak kasus, pertanyaan ini justru menjadi cermin dari sikap sombong yang tidak disadari.
Apakah setiap Muslim harus tahu dalil? Tentu. Tapi, apakah setiap Muslim harus menjadi mujtahid yang bisa menggali hukum sendiri dari Al-Qur’an dan hadis? Tidak. Ada jenjang dalam ilmu, dan ada adab dalam bertanya. Mempertanyakan dalil dengan nada meremehkan ulama atau menuntut penjelasan tanpa dasar ilmu yang cukup justru bisa menunjukkan sikap yang kurang tepat.
Ketika Bertanya Menjadi Cermin Kesombongan
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Tapi, ilmu agama bukan sekadar kumpulan dalil yang bisa dihafal dan dikutip dengan sesuka hati. Ia memiliki metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama sejak berabad-abad lalu.
Ketika seseorang yang awam dari ilmu alat (nahwu shorof, ushul fiqh, qawa’idul fiqhiyyah, ilmu hadis, dan sebagainya) bertanya “mana dalilnya”, tanpa niat sungguh-sungguh untuk belajar, itu bisa menjadi tanda hilangnya husnudhon kepada ulama. Seolah-olah ulama berbicara tanpa dasar, atau seakan dirinya lebih berhak menentukan kebenaran hanya dengan satu atau dua kutipan dalil yang ia temukan di internet.
Bertanya dengan nada menantang justru bisa menunjukkan kesombongan terselubung. Ia seperti pasien yang meminta dokter menjelaskan kandungan kimia pada obat, padahal tugasnya hanya mengonsumsi agar sembuh. Ilmu itu ada jenjangnya. Tidak semua harus menjadi koki untuk menikmati makanan yang lezat, sebagaimana tidak semua orang harus menjadi mujtahid untuk mengamalkan agama.
Kapan Boleh Bertanya “Mana Dalilnya?”
Bukan berarti pertanyaan “mana dalilnya?” selalu salah. Dalam konteks akademik, atau bagi mereka yang sedang mendalami ilmu agama, seperti di pesantren, terlebih saat bahtsul masail—bertanya tentang dalil adalah hal yang wajar, bahkan diperlukan. Namun, harus disampaikan dengan penuh adab, niat mencari ilmu, bukan sekadar membantah atau meremehkan.
Apa itu Bahtsul Masail? Sebuah forum sakral di pondok pesantren untuk mendiskusikan hukum suatu kasus, tentunya dengan berlandaskan ‘ibarot (dasar) yang telah dirumuskan oleh para ulama. Itulah warisan berharga dari para ulama kita, yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan.
Jika seseorang benar-benar ingin belajar, maka ia akan bertanya dengan penuh rendah hati, mencari penjelasan dari mereka yang berilmu, bukan sekadar mencari-cari dalil untuk memperkuat pendapatnya sendiri.
Menjaga Tawadhu’ dalam Menuntut Ilmu
Islam sangat menekankan adab dalam menuntut ilmu. Sebagaimana kata seorang penyair:
العِلْمُ حَرَبٌ لِلْفَتَى المُتَعَالِي ، كَالسَّيْلِ حَرَبٌ لِلْمَكَانِ العَالِي
Artinya: “Ilmu akan menghindar dari pemuda yang merasa dirinya tinggi. Seperti aliran air yang selalu menghindari tempat yang tinggi.” Artinya, semakin rendah hati seseorang, semakin banyak ilmu yang bisa ia dapatkan.
Para ulama dan masyayikh kita tidak berbicara tanpa ilmu. Jika kita belum sampai pada maqam mereka, lebih baik kita berpegang pada prinsip sami’na wa atho’na, mendengar dan menaati dengan penuh hormat. Apakah itu termasuk feodalisme? Tidak. Silakan baca, sudah banyak tulisan yang membahasnya. Sebab, ilmu yang berkah bukan sekadar tentang dalil, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukannya dengan penuh tawadhu’.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)









