Jenis Media: Kesehatan

  • Makan Rebusan-Kukusan yang Keburu Dingin? Hati-hati, Ini Risikonya

    Makan Rebusan-Kukusan yang Keburu Dingin? Hati-hati, Ini Risikonya

    Jakarta

    Makanan rebusan-kukusan begitu nikmat disantap ketika masih hangat. Selain sensasi memakannya akan berbeda, jika terlalu lama didiamkan di suhu ruang, maka bisa menyebabkan pertumbuhan bakteri.

    Spesialis gizi klinis, dr Ardian Sandhi Pramesti, SpGK mengatakan, makanan kukusan-rebusan yang didiamkan di suhu ruang bisa menimbulkan risiko. Salah satunya adalah pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan keracunan makanan, seperti mual, muntah, dan diare.

    “Ini karena makanan rebus atau kukus punya kadar air tinggi, yang membuatnya rentan terhadap bakteri jika dibiarkan di “danger zone” suhu, yaitu antara 4°C hingga 60°C. Di rentang suhu ini, bakteri seperti Salmonella, E. coli, atau Bacillus cereus bisa berkembang biak dengan cepat, bahkan dua kali lipat setiap 20 menit,” katanya kepada detikcom, Kamis (13/12/2025).

    dr Ardian menuturkan, ada studi yang menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama dari penyakit akibat makanan adalah pendinginan yang tidak benar setelah dimasak.

    “Jadi, kalau makanan masak yang panasnya dibiarkan dingin perlahan di suhu ruang, bakteri di makanan itu bisa menghasilkan toksin yang tahan panas, artinya, meski dipanaskan ulang, toksinnya tetap ada dan ini yang menyebabkan infeksi,” tuturnya.

    “Khusus untuk makanan karbohidrat tinggi seperti singkong atau kentang, Bacillus cereus sering jadi masalah karena bisa tumbuh di makanan yang didinginkan lambat,” tambahnya.

    Namun, jika makanan sudah dingin karena disimpan disimpan dengan benar di kulkas dengan suhu

    “Jadi risiko muncul kalau dibiarkan dingin di meja atau suhu ruang terlalu lama,” katanya.

    Oleh karena itu, disarankan untuk mengonsumsi makanan rebus atau kukus seperti ubi, singkong, kentang, atau jagung secara langsung setelah matang. Hal ini untuk memaksimalkan manfaat nutrisi dan meminimalisir risiko keracunan.

    “Tapi, kalau nggak bisa langsung habis, nggak masalah kok, asalkan dinginkan cepat dan simpan langsung di kulkas, terus durasi maksimal 2 jam di suhu ruang, lalu masukkan kulkas, terus bisa dimakan dingin atau dipanaskan ulang sebelum dikonsumsi,” tuturnya.

    Menurut dr Ardian, yang terpenting adalah jangan sering-sering memanaskan dan mendinginkan makanan secara berulang, Hal ini bisa menurunkan kualitas kandungan nutrisinya.

    Halaman 2 dari 2

    (elk/up)

    Tren Rebusan-Kukusan

    16 Konten

    Tren sarapan pakai menu rebus-rebusan dan kukusan tengah digandrungi Gen-Z. Diklaim lebih sehat karena minim tambahan minyak. Ya lumayan sih, dibanding sarapan nasi-lontong yang tinggi kalori ya kan?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Keturunan vs Gaya Hidup: Mana yang Lebih Menentukan Risiko Diabetes?

    Keturunan vs Gaya Hidup: Mana yang Lebih Menentukan Risiko Diabetes?

    Jakarta

    “Kalau orang tua saya kena diabetes, berarti saya pasti kena juga dong?” Pertanyaan ini sering muncul dan membuat banyak orang pasrah terhadap nasib kesehatannya. Tetapi apakah genetik benar-benar menentukan segalanya?

    Memang, faktor keturunan berperan. Penelitian menunjukkan bahwa risiko diabetes tipe 2 teramati lebih tinggi pada mereka yang memiliki riwayat keturunan diabetes. Salah satunya, sebuah studi pada jurnal Diabetes menunjukkan risiko terkena diabetes tipe 2 meningkat hingga tiga kali lipat jika memiliki salah satu orang tua yang menderita diabetes; dan bahkan bila keduanya diabetes, risikonya bisa naik sampai enam kali lebih tinggi.

    Namun, genetik bukan vonis, karena faktor gaya hidup punya kekuatan besar untuk ‘mematikan’ potensi itu. Data menunjukkan mayoritas kasus diabetes tipe 2 dapat dicegah dengan pola hidup sehat.

    Faktanya, lebih dari 90% kasus diabetes tipe 2 berpotensi dicegah dengan menjalankan pola makan sehat, rutin berolahraga minimal 30 menit per hari, menjaga berat badan dalam kisaran normal, serta menghindari rokok.

    Penelitian yang melibatkan lebih dari 550.000 orang di Asia menemukan bahwa mereka yang punya risiko genetik tinggi tapi menjalankan gaya hidup sehat-aktif bergerak, menjaga berat badan, tidak merokok, dan menjalankan pola makan sehat teramati memiliki kemungkinan terkena diabetes tipe 2 sebesar 57% lebih rendah apabila dibandingkan dengan yang menjalankan gaya hidup tidak sehat.

    Sebaliknya, apapun faktor risiko genetik atau riwayat keturunan yang dimiliki, mereka yang menjalani hidup pasif atau sedenter, makan sembarangan, dan kelebihan berat badan tetap berisiko lebih tinggi terkena diabetes.

    Artinya, gen boleh diwariskan, tapi kebiasaan bisa dipilih. Dan pilihan itulah yang menentukan arah hidup kita.

    Jadi, daripada khawatir pada faktor keturunan, lebih baik mulai memperbaiki pola makan dan aktivitas harian. Kurangi asupan manis berlebih, lebih sering bergerak, dan jaga berat badan ideal.

    Langkah kecil bisa berdampak besar – seperti mengganti gula pasir dengan Tropicana Slim Sweetener Diabtx, gula nol kalori yang aman untuk gula darah, dengan mineral alami kromium yang berperan membantu kerja hormon insulin untuk mendukung kontrol gula darah. Ingat, kita mungkin tidak bisa mengubah gen kita, tapi kita bisa mengubah cara kita hidup.

    (prf/ega)

  • Mau ‘Ditantang’ Lari Menkes Juga? Tak Cuma ASN, Bahkan Dokter Pun Banyak yang Gemuk

    Mau ‘Ditantang’ Lari Menkes Juga? Tak Cuma ASN, Bahkan Dokter Pun Banyak yang Gemuk

    Jakarta

    Profesi aparatur sipil negara (ASN) dilaporkan banyak mengalami obesitas sentral atau lemak berlebih di bagian perut. Sebagai catatan, seseorang dinyatakan mengidap obesitas sentral saat ukuran lingkar perutnya melampaui 80 cm bagi wanita dan 90 cm bagi pria.

    Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dr Dicky L Tahapary, SpPD-KEMD menyoroti laporan ASN termasuk profesi dengan catatan obesitas sentral tinggi. Terlepas dari kasus tersebut, sebetulnya banyak faktor di balik sejumlah profesi tertentu kerap lebih rentan mengalami kondisi tersebut.

    “Sebenarnya mungkin perlu dilihat pekerjaan dari yang bersangkutan, nggak harus ASN atau dokter atau pengacara atau apapun itu, ya tapi pola kerja yang memang lebih banyak diam gitu ya di balik layar atau lebih banyak duduk gitu ya, itu pasti lebih tinggi,” jelasnya saat ditemui di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (13/11/2025).

    Terlebih, bila yang bersangkutan tidak terbiasa olahraga lantaran sulit menyempatkan waktu di tengah padatnya beban pekerjaan.

    “Pekerjaan yang sering shift malam itu juga lebih tinggi biasanya dibandingkan yang shift siang, misalnya kalau mau coba dicari deh, ada publikasi yang menarik ya pada dokter,” lanjutnya.

    “Dokter-dokter penyakit dalam itu angka obesitas tinggi juga, ya mungkin karena tadi pekerjaannya sebagian besar kan di balik meja, kan jadi nggak harus ASN juga tergantung, seharusnya banyak yang lain, belum ada penelitiannya kayak gitu. Menarik dicari, membandingkan profesi,” pungkasnya.

    (naf/up)

  • Awas Basi! Kenali Tanda-tanda Rebusan dan Kukusan Sudah Tak Layak Konsumsi

    Awas Basi! Kenali Tanda-tanda Rebusan dan Kukusan Sudah Tak Layak Konsumsi

    Jakarta

    Makanan rebusan maupun kukusan seperti ubi, singkong, kentang kini digemari oleh kalangan Gen Z. Jenis makanan ini memang sehat sebab rendah lemak dan mempertahankan nutrisi yang lebih baik daripada dengan gorengan.

    Kendati demikian, dibandingkan dengan gorengan, makanan rebusan maupun kukusan cenderung lebih cepat basi. Menurut spesialis gizi klinik, dr Ardian Sandhi Pramesti, SpGK, hal ini karena gorengan memiliki minyak yang bertindak sebagai pengawet alami dan mengurangi kadar air, berbeda dengan kukusan.

    “Kukusan punya kadar air tinggi yang memudahkan bakteri, jamur, atau ragi berkembang biak,” katanya kepada detikcom, Kamis (13/11/2025).

    Karenanya, penting untuk mengetahui tanda-tanda rebusan atau kukusan yang sudah tidak layak konsumsi. Menurut dr Ardian, tanda-tanda pembusukan pada umbi-umbian kukus biasanya muncul dalam 1-3 hari di suhu ruang atau lebih lama jika di kulkas.

    “Jangan konsumsi jika ada gejala berikut, karena bisa menandakan kontaminasi bakteri seperti Salmonella atau E. coli yang berpotensi menyebabkan keracunan makanan (food poisoning),” ungkapnya.

    Adapun beberapa gejala atau tanda pada umbi-umbian tak layak konsumsi yang dimaksud yaitu:

    Perubahan warna: Kulit atau dagingnya menghitam, kecoklatan, atau muncul bintik hitam atau hijau. Misalnya, ubi atau kentang yang mulanya oranye/kuning jadi gelap dan lembek.Bau tidak sedap: Aroma asam, busuk, atau seperti alkohol, bukan bau alami makanan segar. Ini sering disebabkan oleh fermentasi bakteri.Tekstur berubah: Menjadi lembek, berlendir (slimy), atau berair berlebih. Jagung kukus yang biasanya kenyal bisa jadi lembab dan berjamur, sementara singkong atau kentang bisa berubah jadi seperti bubur.Muncul jamur atau gelembung: Bercak putih/hijau (mold) atau gelembung gas di permukaan, tanda aktivitas mikroba yang menghasilkan gas.Rasa aneh: Jika dicicipi (tapi sebaiknya jangan jika sudah curiga), rasanya asam atau pahit tidak wajar.

    Sementara, untuk singkong khususnya, pastikan sudah direbus lalu dikukus dengan matang sempurna. Umbi-umbian ini mengandung senyawa sianida alami yang bisa beracun jika kurang matang.

    “Tapi ini bukan persoalan kondisi basi, melainkan persiapan awal,” tuturnya.

    Halaman 2 dari 2

    (elk/up)

    Tren Rebusan-Kukusan

    16 Konten

    Tren sarapan pakai menu rebus-rebusan dan kukusan tengah digandrungi Gen-Z. Diklaim lebih sehat karena minim tambahan minyak. Ya lumayan sih, dibanding sarapan nasi-lontong yang tinggi kalori ya kan?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Kasus Viral ‘Rahim Copot’ Jadi Pengingat Pentingnya Edukasi Reproduksi Sejak Dini

    Kasus Viral ‘Rahim Copot’ Jadi Pengingat Pentingnya Edukasi Reproduksi Sejak Dini

    Jakarta

    Belakangan ini warganet dihebohkan dengan kisah seorang ibu yang disebut mengalami “rahim copot” usai melahirkan di tangan dukun beranak. Cerita tersebut viral di TikTok dan membuat banyak orang, terutama perempuan muda, merasa takut dan ngeri membayangkannya.

    Namun, menurut dr Andon Hestiantoro, SpOG(K), pakar obstetri dan ginekologi, istilah rahim copot yang ramai dibicarakan itu kemungkinan besar merupakan inversio uteri, yaitu kondisi ketika rahim terbalik dan sebagian keluar melalui vagina akibat proses persalinan yang tidak tepat.

    Kondisi ini bisa terjadi bila penolong persalinan menarik tali pusat terlalu cepat saat plasenta belum lepas sempurna.

    “Biasanya ini terjadi pada persalinan yang ditangani penolong yang kurang sabar atau belum berpengalaman. Kalau dilakukan bidan terlatih, tidak akan ditarik paksa karena mereka tahu cara melepaskan plasenta dengan aman,” jelas dr Andon kepada detikcom, Rabu (12/11/2025).

    Selain faktor teknis, risiko gangguan pada rahim juga bisa meningkat bila kondisi tubuh ibu tidak optimal saat hamil.

    “Banyak perempuan di Indonesia yang HB-nya rendah karena asupan gizi yang kurang. Padahal, rahim yang sehat butuh otot yang kuat dan suplai darah yang baik,” ucap dia.

    Gangguan rahim perlu dicegah sejak remaja

    Menurut dr Andon, persoalan ini sebetulnya berakar dari minimnya edukasi kesehatan reproduksi sejak remaja. Banyak perempuan muda yang belum memahami pentingnya menjaga gizi, melakukan pemeriksaan rutin, dan mempersiapkan kehamilan dengan benar.

    “Kalau sejak remaja sudah paham pentingnya nutrisi dan kesehatan reproduksi, maka saat hamil pun tubuhnya lebih siap. Persalinan jadi lebih aman,” ujarnya.

    Kasus viral ini, kata dr Andon, seharusnya tidak menimbulkan ketakutan berlebihan, tetapi menjadi pengingat pentingnya pengetahuan kesehatan reproduksi.

    Alih-alih panik, ada baiknya mulai peduli dengan hal-hal dasar seperti gizi seimbang, pemeriksaan rutin, dan memilih tenaga medis yang tepat saat persalinan.

    “Jangan takut melahirkan secara normal. Kalau tubuh ibu sehat dan ditangani tenaga medis yang terlatih, prosesnya bisa berjalan lancar dan aman,” tutup dr Andon.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Studi BRIN Sebut Pola Makan Anak Indonesia Jauh dari Gizi Seimbang”
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/up)

  • Video: Rencana BGN Buat SPPG Daerah Terpencil untuk Warga Adat

    Video: Rencana BGN Buat SPPG Daerah Terpencil untuk Warga Adat

    Video: Rencana BGN Buat SPPG Daerah Terpencil untuk Warga Adat

  • Potret Jajanan ‘Si Paling Sehat’ yang Lagi Viral, Serba Rebusan-Kukusan

    Potret Jajanan ‘Si Paling Sehat’ yang Lagi Viral, Serba Rebusan-Kukusan

    Potret Jajanan ‘Si Paling Sehat’ yang Lagi Viral, Serba Rebusan-Kukusan

  • Pak Menkes! ASN Buncit Jangan Langsung Diajak Lari, Rawan Cedera Sendi Lho

    Pak Menkes! ASN Buncit Jangan Langsung Diajak Lari, Rawan Cedera Sendi Lho

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin berkelakar bahwa aparatur sipil negara (ASN) Kemenkes yang masuk kategori obesitas abdominal atau ‘buncit’ akan diajak lari bersama.

    Tetapi, olahraga lari termasuk high impact dan sangat rawan terjadi cedera sendi bagi mereka yang kelebihan berat badan, termasuk mereka yang ‘buncit’.

    Spesialis ortopedi dr Langga Sintong, SpOT(K) dari Siloam Hospitals Mampang mengatakan sebenarnya saran dari Menkes BGS termasuk bagus untuk membantu ‘mengusir’ lemak perut, namun pemilihan jenis olahraga juga penting.

    “Obesitas sebaiknya olahraga untuk cardio-nya jangan berlari, karena tumpuan ke sendinya berat. Sebaiknya yang low impact exercise,” kata dr Langga saat dihubungi detikcom, Kamis (13/11/2025).

    “Low impact exercise untuk cardio seperti sepeda dan berenang, sama latihan (penguatan) otot dengan tujuan menaikkan massa otot, agar membantu membakar kalori,” sambungnya.

    Sebagai tenaga medis, dr Langga sangat mendukung saran dari Menkes BGS kepada ASN untuk hidup lebih sehat. Ini sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada masyarakat agar optimal.

    Namun, kepada para ASN ‘buncit’ yang ingin mencoba olahraga lari, sebaiknya melihat kondisi tubuh terlebih dulu.

    “Bisa start dari olahraga jalan atau yang low impact. Tapi yang sudah terbiasa, bisa olahraga lari,” katanya.

    Sebelumnya, Menkes membahas temuan banyaknya usia dewasa yang masih produktif, tetapi malas untuk bergerak dan akhirnya menimbulkan obesitas.

    “Ternyata banyak yang dewasa-dewasa tuh, usia-usia ini nih, usia produktif, malas gerak dan terjadi obesitas. Itu dulu itunya tuh. Kami bertiga (Wamenkes Dante dan Wamenkes Benyamin) nggak ada yang kelihatan obesitas ya,” ucap Budi saat ditemui di Kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Rabu (12/11/2025).

    Lalu Menkes menanggap pertanyaan wartawan terkait bagaimana bila ada ASN Kemenkes yang perutnya masih terlihat ‘buncit’. Setelah itu, Menkes mengatakan para ASN yang ‘buncit’ akan diajak lari oleh Wamen.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Jakarta

    Kasus dugaan paparan bahan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Serang, Banten, kembali menjadi sorotan setelah dua kontainer produk alas kaki asal Indonesia dikembalikan Amerika Serikat. Produk tersebut diduga terpapar radionuklida buatan yang dikenal berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

    Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kerawanan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, menjelaskan produk berasal dari perusahaan industri alas kaki di luar kawasan industri utama, tetapi masih dalam radius sekitar 5 kilometer dari sumber kontaminasi, yakni fasilitas milik PT Peter Metal Technology (PT PMT).

    “Terdapat dua kontainer suspect Cs-137 yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Produk berasal dari industri alas kaki di Cikande, radius 5 kilometer dari sumber kontaminasi,” kata Bara dalam konferensi pers di Kemenko Pangan, Selasa (12/11/2025).

    Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan proses produksi di perusahaan terkait kini telah dinyatakan aman setelah mendapat surat clearance dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir).

    “Sudah selesai, sudah di-clearance. Tidak ada masalah,” ujar Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Taufik Bawazier, menanggapi kasus ini.

    Meski dinyatakan aman secara operasional, sejumlah pakar mengingatkan efek jangka panjang paparan Cesium-137. Mengingat, zat tersebut adalah radionuklida buatan yang memancarkan radiasi beta dan gamma, dengan radiasi gamma yang bisa menembus tubuh manusia dan menjadi sumber paparan eksternal berbahaya.

    Pakar global health security Dicky Budiman, menegaskan Cs-137 memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun, sehingga kontaminasi di lingkungan dapat berlangsung sangat lama jika tidak ditangani dengan benar.

    “Radiasi gamma-nya bisa menembus tubuh dan menjadi sumber paparan eksternal. Kalau lingkungan terkontaminasi, dampaknya jangka panjang,” ujarnya.

    Secara biologis, bila masuk ke tubuh, baik terhirup, tertelan, atau lewat kulit luka, Cs-137 akan cepat terdistribusi ke jaringan lunak seperti otot. Zat ini kemudian bisa menetap di dalam tubuh selama berbulan-bulan hingga ratusan hari, menyebabkan paparan internal yang terus-menerus.

    Dicky menjelaskan jalur paparan Cs-137 bisa berasal dari:

    Paparan eksternal: akibat kedekatan dengan sumber padat terkontaminasi seperti logam atau tungku peleburan.

    Paparan internal: melalui konsumsi makanan, air, atau debu radioaktif dari lingkungan yang sudah tercemar.

    “Bahaya ini bergantung pada dosis dan lama paparan. Dosis tinggi dalam hitungan jam atau hari bisa menimbulkan sindrom radiasi akut, gejalanya mual, muntah, diare, bahkan kerusakan sumsum tulang. Dosis rendah tapi terus-menerus justru yang berbahaya karena meningkatkan risiko kanker dalam jangka panjang,” jelasnya.

    BACA JUGA:

    Efek radiasi Cs-137 terhadap tubuh manusia juga disebut Dicky terbagi menjadi tiga fase:

    Efek akut, muncul dalam hitungan jam hingga hari: mual, muntah, kelelahan ekstrem, hingga kerusakan organ vital.

    Efek subkronis, muncul dalam beberapa minggu hingga bulan: penurunan sistem imun, infeksi berulang, dan perdarahan.

    Efek kronis atau laten, baru muncul 5 hingga 20 tahun setelah paparan: berupa peningkatan risiko kanker tiroid, leukemia, kanker paru, payudara, hingga gangguan reproduksi.

    “Efek laten ini yang paling berbahaya karena muncul setelah bertahun-tahun. Itu sebabnya pemantauan kesehatan jangka panjang sangat penting,” ujar Dicky.

    “Kasus ini bukan masalah sekilas. Jika tidak ditangani dengan benar, Cs-137 bisa mencemari tanah dan air selama puluhan tahun. Ini harus jadi prioritas nasional,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: 9 Orang Terpapar Radiasi Cs-137 Sudah Pulang dari RS”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Jakarta

    Kasus dugaan paparan bahan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Serang, Banten, kembali menjadi sorotan setelah dua kontainer produk alas kaki asal Indonesia dikembalikan Amerika Serikat. Produk tersebut diduga terpapar radionuklida buatan yang dikenal berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

    Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kerawanan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, menjelaskan produk berasal dari perusahaan industri alas kaki di luar kawasan industri utama, tetapi masih dalam radius sekitar 5 kilometer dari sumber kontaminasi, yakni fasilitas milik PT Peter Metal Technology (PT PMT).

    “Terdapat dua kontainer suspect Cs-137 yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Produk berasal dari industri alas kaki di Cikande, radius 5 kilometer dari sumber kontaminasi,” kata Bara dalam konferensi pers di Kemenko Pangan, Selasa (12/11/2025).

    Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan proses produksi di perusahaan terkait kini telah dinyatakan aman setelah mendapat surat clearance dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir).

    “Sudah selesai, sudah di-clearance. Tidak ada masalah,” ujar Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Taufik Bawazier, menanggapi kasus ini.

    Meski dinyatakan aman secara operasional, sejumlah pakar mengingatkan efek jangka panjang paparan Cesium-137. Mengingat, zat tersebut adalah radionuklida buatan yang memancarkan radiasi beta dan gamma, dengan radiasi gamma yang bisa menembus tubuh manusia dan menjadi sumber paparan eksternal berbahaya.

    Pakar global health security Dicky Budiman, menegaskan Cs-137 memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun, sehingga kontaminasi di lingkungan dapat berlangsung sangat lama jika tidak ditangani dengan benar.

    “Radiasi gamma-nya bisa menembus tubuh dan menjadi sumber paparan eksternal. Kalau lingkungan terkontaminasi, dampaknya jangka panjang,” ujarnya.

    Secara biologis, bila masuk ke tubuh, baik terhirup, tertelan, atau lewat kulit luka, Cs-137 akan cepat terdistribusi ke jaringan lunak seperti otot. Zat ini kemudian bisa menetap di dalam tubuh selama berbulan-bulan hingga ratusan hari, menyebabkan paparan internal yang terus-menerus.

    Dicky menjelaskan jalur paparan Cs-137 bisa berasal dari:

    Paparan eksternal: akibat kedekatan dengan sumber padat terkontaminasi seperti logam atau tungku peleburan.

    Paparan internal: melalui konsumsi makanan, air, atau debu radioaktif dari lingkungan yang sudah tercemar.

    “Bahaya ini bergantung pada dosis dan lama paparan. Dosis tinggi dalam hitungan jam atau hari bisa menimbulkan sindrom radiasi akut, gejalanya mual, muntah, diare, bahkan kerusakan sumsum tulang. Dosis rendah tapi terus-menerus justru yang berbahaya karena meningkatkan risiko kanker dalam jangka panjang,” jelasnya.

    BACA JUGA:

    Efek radiasi Cs-137 terhadap tubuh manusia juga disebut Dicky terbagi menjadi tiga fase:

    Efek akut, muncul dalam hitungan jam hingga hari: mual, muntah, kelelahan ekstrem, hingga kerusakan organ vital.

    Efek subkronis, muncul dalam beberapa minggu hingga bulan: penurunan sistem imun, infeksi berulang, dan perdarahan.

    Efek kronis atau laten, baru muncul 5 hingga 20 tahun setelah paparan: berupa peningkatan risiko kanker tiroid, leukemia, kanker paru, payudara, hingga gangguan reproduksi.

    “Efek laten ini yang paling berbahaya karena muncul setelah bertahun-tahun. Itu sebabnya pemantauan kesehatan jangka panjang sangat penting,” ujar Dicky.

    “Kasus ini bukan masalah sekilas. Jika tidak ditangani dengan benar, Cs-137 bisa mencemari tanah dan air selama puluhan tahun. Ini harus jadi prioritas nasional,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: 9 Orang Terpapar Radiasi Cs-137 Sudah Pulang dari RS”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)