Jenis Media: Kesehatan

  • Video: Anak Masih Bisa Gondongan Seusai Divaksin, tapi Gejala Lebih Ringan

    Video: Anak Masih Bisa Gondongan Seusai Divaksin, tapi Gejala Lebih Ringan

    Video: Anak Masih Bisa Gondongan Seusai Divaksin, tapi Gejala Lebih Ringan

  • Video: Kasus DBD Nasional di 2024 Naik, Jawa Barat Jadi yang Tertinggi

    Video: Kasus DBD Nasional di 2024 Naik, Jawa Barat Jadi yang Tertinggi

    Video: Kasus DBD Nasional di 2024 Naik, Jawa Barat Jadi yang Tertinggi

  • Video Tanggapan Veronica Tan soal Meningkatnya Tren Childfree

    Video Tanggapan Veronica Tan soal Meningkatnya Tren Childfree

    Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan, turut menanggapi soal meningkatnya tren childfree. Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan periode 2023 terkait childfree dan ditemukan 71 ribu perempuan enggan memiliki anak.

  • Video: Gondongan Serang Anak Indonesia, Kasus Lebih dari 6 Ribu

    Video: Gondongan Serang Anak Indonesia, Kasus Lebih dari 6 Ribu

    Video: Gondongan Serang Anak Indonesia, Kasus Lebih dari 6 Ribu

  • Video Pakar: Anak Terpapar Asap Rokok 3 Kali Lebih Rentan Masuk IGD

    Video Pakar: Anak Terpapar Asap Rokok 3 Kali Lebih Rentan Masuk IGD

    Video Pakar: Anak Terpapar Asap Rokok 3 Kali Lebih Rentan Masuk IGD

  • Duh! Lomba Marathon Digelar Saat Polusi Udara Parah di New Delhi

    Duh! Lomba Marathon Digelar Saat Polusi Udara Parah di New Delhi

    Foto Health

    REUTERS/Anushree Fadnavis – detikHealth

    Kamis, 14 Nov 2024 21:00 WIB

    New Delhi – Kualitas udara di New Delhi, India, masuk dalam katagori “berbahaya” akibat polusi udara. Meski demikian, lomba lari marathon tetap digelar.

  • Frekuensi Bercinta Ideal untuk Pasutri, Sekali Seminggu Cukup Nggak Ya?

    Frekuensi Bercinta Ideal untuk Pasutri, Sekali Seminggu Cukup Nggak Ya?

    Jakarta

    Frekuensi pasangan suami istri dalam berhubungan intim bisa sangat bervariasi. Hal ini memunculkan pertanyaan, sebenarnya seberapa sering frekuensi bercinta yang ‘sehat’ untuk pasangan suami istri?

    Dikutip dari Very Well Health, ada banyak sekali faktor yang dapat memengaruhi frekuensi bercinta pasutri. Beberapa di antaranya seperti usia, durasi hubungan, stres, kondisi hubungan emosional, hingga libido masing-masing individu.

    Sebuah survei yang diterbitkan pada tahun 2020 menemukan bahwa rata-rata frekuensi seksual menurut kelompok umur adalah sebagai berikut:

    Usia 18-24: Sekitar 37 persen pria dan 52 persen wanita berhubungan seks setidaknya sekali seminggu.Usia 25-34: Sekitar 50 persen pria dan 50 persen wanita berhubungan seks setidaknya sekali seminggu.Usia 35-44: Sekitar 50 persen pria dan 53 persen wanita berhubungan seks setidaknya sekali seminggu.

    Hal tersebut menunjukkan frekuensi rata-rata kebanyakan berada di angka satu kali seminggu.

    Sebuah survei lain yang dilakukan pada tahun 1989 hingga 2014 menemukan adanya penurunan terbesar dalam frekuensi seksual dapat dilihat pada orang berusia 50-an. Satu studi lain di Dublin menemukan bahwa 75 persen orang berusia 50-64 tahun masih aktif secara seksual, dibandingkan dengan 23 persen orang berusia 75 tahun ke atas.

    Meskipun rata-rata melakukan hubungan intim sebanyak satu kali seminggu, tetap hal yang normal apabila pasangan berhubungan intim di bawah angka tersebut. Studi di Dublin juga mengungkapkan bahwa sebanyak 36 persen orang dewasa yang aktif secara seksual melakukan seks 1-2 kali dalam sebulan dan ‘hanya’ sebanyak 33 persen orang dewasa yang aktif secara seksual melakukan hubungan seksual sekali atau dua kali setiap minggu.

    Perlu diingat oleh setiap pasangan suami istri, bahwa kehidupan seks yang baik tidak ditentukan oleh seberapa sering mereka bercinta. Melainkan ditentukan oleh kepuasan bersama, keterbukaan komunikasi, keintiman emosional, dan keseimbangan dalam memuaskan satu sama lain dengan preferensi yang berbeda.

    Pada akhirnya, kehidupan seks yang sehat adalah tentang kepuasan dan kedekatan, bukan untuk mencapai target angka tertentu.

    (avk/kna)

  • Kisah Bayi Kembar Paling Prematur di Dunia, Lahir saat Usia Kandungan 22 Minggu

    Kisah Bayi Kembar Paling Prematur di Dunia, Lahir saat Usia Kandungan 22 Minggu

    Jakarta

    Kelahiran Adiah dan Adrial Nadarajah mencetak rekor sebagai bayi kembar paling prematur di dunia yang pernah lahir. Keduanya lahir saat usia kandungan ibunya tepat 22 minggu.

    Kehamilan cukup bulan biasanya berlangsung selama 40 minggu, sehingga 18 minggu dianggap prematur. Sang bunda, Shakina Rajendram mengatakan bahwa ketika ia mulai melahirkan pada usia kandungan 21 minggu dan lima hari, dokter mengatakan kepadanya bahwa bayinya “tidak dapat bertahan hidup” dan “peluang bertahan hidup 0 persen”.

    Meski berita dari dokter itu sangat menyakitkan, Rajendram dan suaminya menolak untuk percaya bahwa bayi mereka tidak akan selamat. Jadi, mereka menjelajahi Internet, menemukan informasi yang membuat mereka khawatir sekaligus bersemangat.

    Bayi-bayi itu baru berusia 21 minggu dan lima hari kehamilan; untuk memperoleh kesempatan, mereka harus tinggal di dalam rahim satu setengah hari lebih lama, dan Rajendram harus pergi ke rumah sakit khusus yang dapat merawat “bayi prematur mikro”.

    Rajendram dan Nadarajah akhirnya mengunjungi Rumah Sakit Mount Sinai di Toronto, salah satu dari sejumlah pusat medis di Amerika Utara yang menyediakan resusitasi dan perawatan aktif pada usia kehamilan 22 minggu.

    Hanya satu jam setelah tengah malam pada tanggal 4 Maret 2022, pada usia kehamilan 22 minggu, Adiah Laelynn Nadarajah lahir dengan berat di bawah 12 ons. Kakaknya, Adrial Luka Nadarajah, menyusulnya 23 menit kemudian, dengan berat kurang dari 15 ons.

    “Bagi kami, mereka sempurna dalam segala hal,” kata Rajendram kepada CNN. “Mereka lahir lebih kecil dari telapak tangan kami. Orang-orang masih tidak percaya saat kami memberi tahu mereka.”

    Bayi-bayi itu lahir pada waktu yang tepat untuk memenuhi syarat untuk menerima perawatan proaktif, resusitasi, nutrisi, dan dukungan organ vital, menurut Rumah Sakit Mount Sinai. Bahkan satu jam sebelumnya, tim perawatan mungkin tidak dapat melakukan intervensi medis.

    Dr Prakesh Shah, kepala dokter anak di Rumah Sakit Mount Sinai, mengatakan bahwa ia terus terang kepada pasangan itu tentang tantangan yang akan dihadapi anak kembar mereka. Ia memperingatkan tentang perjuangan hanya untuk menjaga Adiah dan Adrial tetap bernapas, apalagi memberi mereka makan.

    Berat badan bayi-bayi itu tidak lebih dari sekaleng soda, dengan organ-organ mereka terlihat melalui kulit yang tembus pandang. Jarum yang digunakan untuk memberi mereka nutrisi berdiameter kurang dari 2 milimeter, kira-kira seukuran jarum rajut tipis.

    “Pada tahap tertentu, banyak dari kita akan merasa bahwa, ‘apakah ini hal yang benar untuk dilakukan pada bayi-bayi ini?’ Bayi-bayi ini merasakan sakit yang hebat, tertekan, dan kulit mereka terkelupas. Bahkan melepas plester bedah akan berarti bahwa kulit mereka akan terkelupas,” kata Dr Shah.

    Bayi paling prematur yang pernah lahir adalah Curtis Means dari Alabama, yang lahir pada usia kehamilan 21 minggu dan satu hari.

    (kna/kna)

  • Siasat Cegah Warga RI Berobat ke Luar Negeri, Perkuat Akses Obat Inovatif

    Siasat Cegah Warga RI Berobat ke Luar Negeri, Perkuat Akses Obat Inovatif

    Jakarta

    Ketersediaan obat inovatif di Indonesia masih termasuk rendah. Sejauh ini hanya ada sembilan persen obat inovatif atau temuan obat baru yang beredar di Indonesia.

    Kondisi ini disebut bisa berdampak kepada kualitas kesehatan yang kurang optimal. Hal ini salah satu yang memicu banyak warga Indonesia yang lebih memilih mengakses pengobatan ke luar negeri.

    “Saat ini, akses Indonesia terhadap obat-obatan baru terbatas hanya 9 persen, salah satu yang terendah di kawasan Asia-Pasifik,” ujar Ketua Umum International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Dr Ait-AIlah Mejri saat ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2024).

    Minimnya ketersediaan produk inovatif ini mengurangi akses pasien terhadap obat yang berkualitas dan efektif bagi pengobatan. Jika tidak tersedia di dalam negeri, sangat mungkin masyarakat memilih mendapatkannya di luar negeri.

    Selain itu tersedianya akses bagi penerima manfaat BPJS Kesehatan terhadap sebagian obat-obatan baru pada umumnya membutuhkan rata-rata waktu 71 bulan sejak pertama kali diluncurkan di tingkat dunia.

    “Keterlambatan ini menyebabkan sekitar 2 juta orang Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain mencari pengobatan di luar negeri setiap tahunnya, yang berkontribusi pada kerugian devisa hingga USD 11,5 miliar atau sekitar Rp 180 triliun,” katanya menambahkan.

    Menurut Mejri, perlu upaya yang serius bagi pemangku kepentingan untuk menjamin ketersediaan obat baru yang inovatif di Indonesia. Kolaborasi berbagai pihak dibutuhkan khususnya dalam mengatasi hambatan percepatan ketersediaan obat baru.

    Upaya peningkatan kualitas obat di Indonesia

    Kementerian Kesehatan RI baru-baru ini meluncurkan penilaian teknologi kesehatan atau Health Technology Assessment (HTA) sebagai salah satu upaya strategis dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap obat dan teknologi medis yang aman, efektif, dan efisien.

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam keterangannya mengatakan HTA ini ditujukan agar warga Indonesia memiliki akses ke produk kesehatan dengan kualitas yang bagus, harga terjangkau, dan dapat dibayarkan lewat prosedur Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

    “Bukan hanya obat-obatan, tapi juga prosedur klinis serta alat-alat kesehatan. Kita harus melakukannya dengan lebih cepat, jadi saya minta untuk mengubah prosedur dan mengadopsi dari negara lain yang telah sukses menerapkannya seperti Singapura. Obat-obatan, prosedur, dan alat kesehatan yang masuk harus berkualitas terbaik, dengan harga terjangkau dan relatif cepat,” beber Menkes Budi dikutip dari laman resmi Kemenkes.

    (kna/kna)

  • Waspada, Dokter Ungkap BAB Kelamaan di Toilet Bisa Jadi Gejala Kena Kanker Usus

    Waspada, Dokter Ungkap BAB Kelamaan di Toilet Bisa Jadi Gejala Kena Kanker Usus

    Jakarta

    Duduk terlalu lama di toilet untuk buang air besar juga dikaitkan dengan pertanda kanker kolorektal atau kanker usus besar. Tidak sedikit di antara mereka yang menghabiskan waktu cukup lama untuk mengejan, karena kesulitan BAB.

    Sebetulnya, ada beberapa kondisi yang bisa menjadi pemicu sebelum berkembang sebagai kanker, yakni sindrom iritasi usus besar dan penyakit Crohn.

    Namun, bila sembelit semakin parah dan kebutuhan untuk duduk di toilet dalam waktu lama relatif intens, hal ini bisa menjadi sinyal kanker.

    “Jika pertumbuhan di dalam usus besar tumbuh cukup besar, hal itu dapat menghalangi aliran tinja, yang dapat menyebabkan sembelit dan perdarahan,” kata ahli gastroentologi di As, Uradomo.

    American Cancer Society baru-baru ini bahkan mencatat peningkatan kanker usus besar di usia muda, yakni di bawah 55 tahun. Peningkatan dilaporkan relatif signifikan dibandingkan era 90-an.

    Lembaga nirlaba tersebut memperkirakan akan ada 106.590 kasus baru kanker usus besar dan 46.220 kasus baru kanker rektum tahun ini.

    Dalam karier Uradomo, ia mengingat lebih banyak anak muda yang berbicara kepadanya tentang wasir dan sembelit, kemudian didiagnosis mengidap kanker rektum.

    Karenanya, ia meminta masyarakat mewaspadai gejala sembelit atau duduk di toilet dalam waktu lama selama lebih dari tiga minggu. Hal ini menjadi pertanda serius ada kemungkinan atau indikasi kanker.

    Segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat dan menyampaikan kekhawatiran gejala kepada dokter. Bergantung pada tingkat keparahan gejala, dokter perawatan primer dapat merujuk ke dokter spesialis gastroenterologi atau ahli bedah kolorektal untuk pemeriksaan lebih lanjut.

    (naf/kna)