Jenis Media: Kesehatan

  • Alasan Pengidap Penyakit Gula Disarankan Batasi Minum Jus Buah

    Alasan Pengidap Penyakit Gula Disarankan Batasi Minum Jus Buah

    Jakarta

    Kebiasaan konsumsi minuman manis menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan kasus diabetes. Lantas, bagaimana dengan konsumsi jus buah?

    Spesialis penyakit dalam dr Dicky Lavenus Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, FINASIM menjelaskan mengonsumsi buah dengan cara dibuat jus memang kurang disarankan, terlebih pada seseorang yang sudah memiliki masalah diabetes.

    “Semakin gampang dicerna makanannya, pasti gula darahnya cepat naik. Contohnya buah. Buah kalau dibikin jus, kadang-kadang nggak cukup satu buah, perlu dua. Udah gitu langsung diminum aja,” ujar dr Dicky ketika ditemui di acara #Hands4Diabetes, Minggu (16/11/2025).

    “Ketika jumlah buah yang digunakan lebih banyak, maka gula yang masuk ke dalam tubuh akan semakin banyak. Ini belum ditambah, seringkali jus buah yang dijual seringkali diberi gula tambahan.

    Oleh karena itu, dr Dicky menyarankan sebaiknya buah dikonsumsi dalam bentuk utuh yang sudah dipotong-potong. Ketika mengunyah makanan, tubuh akan mempersiapkan hormon-hormon untuk bekerja, sehingga waktu makanan masuk, kadar gulanya tidak terlalu meroket.

    Meski begitu, jus buah bukannya tidak boleh dikonsumsi sama sekali. Khususnya pada orang sehat, jus boleh dikonsumsi asalkan tidak berlebihan.

    Jadi tetap bisa menikmati macam-macam buah. Yang paling gampang buah-buah murah. Yang ada di rujak itu kan gampang, bengkoang, timun, kedondong, itu kan seratnya banyak,” kata dr Dicky mengingatkan pentingnya mengonsumsi variasi buah.

    “Maksudnya nggak boleh berlebihan. Boleh nggak minum jus buah? Ya boleh-boleh saja,” tandasnya.

    (avk/kna)

  • Siasat Kemenkes Atasi Kasus TBC di Indonesia, Eliminasi 2030 Masih Realistis?

    Siasat Kemenkes Atasi Kasus TBC di Indonesia, Eliminasi 2030 Masih Realistis?

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menargetkan eliminasi kasus TBC pada tahun 2030. Koordinator Tim Kerja Surveilans Kemenkes dr Triya Novita Dinihari penanganan TBC memerlukan bantuan berbagai pihak, karena menurutnya ini tak serta merta masalah kesehatan saja, tapi juga masalah sosial.

    Salah satunya, ia menyoroti masih banyaknya masyarakat yang tinggal di wilayah padat penduduk, yang akhirnya dapat meningkatkan risiko penyebaran TBC. Namun, di sisi lain masyarakat juga tidak memiliki pilihan lain karena hanya dapat tinggal di wilayah tersebut.

    Pada saat ini, pemerintah ini tengah dalam proses melakukan revisi Peraturan Presiden No 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Nantinya akan ada 29 kementerian yang terkait dalam proses penanggulangan TBC.

    “Jadi misalkan kalau ada pasien TB yang rumahnya tidak layak, bagaimana rumah ini harus dibetulkan, apakah ini pekerjaan Kementerian Kesehatan, pasti bukan. Jadi kita menyertakan Kementerian Perumahan untuk hal itu,” ujar dr Dini pada awak media di Jakarta Selatan, Rabu (12/11/2025).

    “Lalu, misalkan mengobati pasien TB-RO (TBC resisten obat), tapi tidak semua orang itu punya BPJS, tidak semua orang punya KTP. Di sinilah kita juga akan melibatkan Kependudukan,” sambungnya.

    Menurut dr Dini bentuk penanganan utama TBC adalah diagnosis dan pengobatan yang cepat. Menurutnya, skrining harus dilakukan dengan metode tes yang lebih efektif. Saat ini pihaknya, mengusahakan tes-tes ini bisa dilakukan lebih baik di puskesmas.

    Berkaitan dengan target eliminasi TBC di tahun 2030, meski waktunya tinggal 5 tahun lagi, dr Dini optimis target tersebut masih bisa dicapai.

    Dalam rencana revisi Perpres yang dilakukan, salah satunya melakukan revisi pada angka insiden yang disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2029 di angka 190 per 100 ribu penduduk. Sedangkan, insiden kasus TBC saat ini berada di angka 386 per 100 ribu penduduk.

    “Jadi kalau ditanya mungkin nggak (eliminasi tercapai)? Kalau saya harus mungkin. Ya nggak bisa bussines as usual, kita harus banting setir nih. Kalau misalnya kita dulu nunggu orang datang ke puskesmas, sekarang nggak bisa seperti itu. Samperin orang itu datang, harus aktif,” ujar dr Dini.

    Penemuan kasus secara aktif ini juga akan dilakukan di tempat-tempat prioritas, misalnya di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, hingga daerah padat penduduk. dr Dini juga mendorong untuk tiap daerah memiliki inovasi masing-masing dalam menemukan kasus.

    “Semua komponen harus bergerak dan semua lini bergerak,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Dokter Jelaskan soal Diabetes Tipe 5, Kelompok Ini Lebih Rentan Kena

    Dokter Jelaskan soal Diabetes Tipe 5, Kelompok Ini Lebih Rentan Kena

    Jakarta

    Belum lama ini, ilmuwan mengumumkan jenis diabetes terbaru, diabetes tipe lima. Jenis diabetes yang umum di telinga orang adalah diabetes tipe satu, tipe dua, dan gestasional. Diabetes tipe satu berkaitan dengan autoimun, tipe dua berkaitan dengan gaya hidup, sedangkan gestasional merupakan jenis diabetes yang terjadi selama kehamilan.

    Penyakit ini dilaporkan sudah dialami oleh 20-25 juta orang di seluruh dunia, dengan Asia dan Afrika dengan wilayah dengan kasus paling banyak.

    Spesialis penyakit dalam dr Dicky Lavenus Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, FINASIM menjelaskan diabetes tipe lima merupakan diabetes yang terjadi pada pasien malnutrisi atau kurang gizi. Menurut dr Dicky, ini bisa disebabkan faktor kehamilan atau 1000 hari pertama kehidupan anak.

    “Itu memang kemampuan pankreas produk insulinnya, dia nggak bagus, jadi pasiennya nggak gemuk. Kalau diabetes tipe dua, kebanyakan gemuk dulu, baru timbul diabetes,” ujar dr Dicky ketika ditemui awak media dalam acara #Hands4Diabetes di Jakarta Selatan, Minggu (16/11/2025).

    Pasien diabetes tipe lima biasanya bertubuh kurus dan berat lahirnya tidak terlalu tinggi.

    dr Dicky menuturkan diagnosis diabetes tipe lima lebih sulit. Selain belum banyak yang diketahui soal diabetes ini, proses diagnosis berarti perlu menyingkirkan diabetes tipe satu dan tipe dua terlebih dahulu.

    “Masih belum ada kesepakatan lah, diagnosis yang pastinya dengan apa. Dan mungkin jumlahnya nggak terlalu banyak,” katanya.

    dr Dicky memperkirakan anak dengan kondisi stunting mungkin akan lebih berisiko mengalami diabetes tipe lima. Terlebih, berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada, diabetes tipe lima lebih banyak terjadi di negara-negara yang pendapatannya cenderung rendah.

    Menurut dr Dicky, jika dilakukan pemeriksaan mendalam terkait diabetes tipe lima di wilayah yang tinggi kondisi stuntingnya, mungkin saja diabetes tipe ini ditemukan.

    “Jadi mungkin kalau di area-area Indonesia yang mungkin stuntingnya tinggi. Mungkin kalau kita kejar, kita cari jenis-jenis diabetes, mungkin proporsi diabetes tipe 5-nya mungkin ada,” ungkap dr Dicky.

    “Tapi kita belum ada penelitian khusus,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Keseruan Senam Sehat di #Hands4Diabetes Bareng Tropicana Slim Jakarta

    Keseruan Senam Sehat di #Hands4Diabetes Bareng Tropicana Slim Jakarta

    Foto Health

    Averus Kautsar – detikHealth

    Minggu, 16 Nov 2025 16:37 WIB

    Jakarta – Acara Tropicana Slim #Hands4Diabetes dihadiri oleh ribuan peserta. Mereka terlihat begitu antusias mengikuti berbagai rangkaian acara yang ada.

  • Dokter di NTT Selamatkan Pasien Aneurisma Otak, Sempat Dikira Sudah Meninggal

    Dokter di NTT Selamatkan Pasien Aneurisma Otak, Sempat Dikira Sudah Meninggal

    Jakarta

    Pelayanan kesehatan di daerah sudah menunjukkan perbaikan yang signifikan. RSUP Ben Mboi Kupang berhasil melakukan operasi perdana clipping, coiling, dan bypass pembuluh darah otak, menjadikan NTT provinsi pertama di kawasan Timur Indonesia yang mampu menangani ketiga prosedur tersebut secara mandiri.

    “RS Ben Mboi telah meningkatkan kapasitas layanan stroke, yang ditandai dengan dilaksanakannya operasi perdana clipping, coiling, dan bypass pembuluh darah otak,” ujar dr Annas Ahmad, Direktur RSUP Ben Mboi, dalam konferensi pers dikutip dari laman Kemenkes, Sabtu (15/11).

    dr Annas menjelaskan bahwa tindakan clipping pertama dilakukan pada 13 November terhadap pasien perempuan berusia 56 tahun. Pasien sempat dikira meninggal oleh keluarganya karena tidak menunjukkan respons saat dirujuk.

    Pasien itu merupakan satu dari tiga pasien yang ditangani dalam rangkaian operasi bedah saraf kompleks meliputi clipping, coiling, dan bypass pembuluh darah otak oleh tim gabungan dari RS PON, RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, dan RSUP Ben Mboi. Seluruh tindakan operasi berjalan lancar dan ketiga pasien dilaporkan dalam kondisi stabil.

    Keluarga pasien sebelumnya menyangka ia telah meninggal karena tak merespons dalam perjalanan rujukan. Namun pascaoperasi, Sabina mampu membuka mata, menjawab pertanyaan, dan menunjukkan respons yang baik.

    Kepala Dinas Kesehatan NTT, drg Iien Adriany, yang mewakili Gubernur NTT, menyebut capaian ini sebagai momentum transformasi layanan kesehatan di wilayah timur.

    Ia menegaskan keberhasilan tersebut membuat masyarakat tidak lagi bergantung pada rujukan ke luar pulau.

    “Jejaring pengampuan dibangun agar standar layanan antara pusat dan daerah semakin setara, sehingga masyarakat tidak lagi harus menempuh perjalanan panjang,” tegasnya.

    (kna/kna)

  • Gatal-gatal Nggak Sembuh? Mungkin Bukan Penyakit Kulit tapi Kena Diabetes

    Gatal-gatal Nggak Sembuh? Mungkin Bukan Penyakit Kulit tapi Kena Diabetes

    Jakarta

    Diabetes merupakan penyakit silent killer yang seringkali tidak menunjukkan gejala awal. Namun, dalam beberapa kasus, diabetes mungkin saja menimbulkan gejala gatal-gatal.

    Spesialis penyakit dalam dr Dicky Lavenus Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, FINASIM mengungkapkan gejala diabetes baru muncul dengan dua syarat, pertama adalah gula darahnya sudah sangat tinggi. Pada kondisi ini, biasanya baru muncul gejala seperti mudah haus, mudah lapar, sering buang air kecil, hingga gatal-gatal.

    Lalu syarat kedua adalah ketika sudah muncul komplikasi. Misalnya kaki kesemutan, sulit ereksi pada laki-laki, hingga serangan jantung.

    “Makanya kita perlu edukasi, supaya jangan nunggu gejala. Jadi lakukan deteksi dini. Masalahnya, kalau dia gulanya nggak terlalu tinggi, kan nggak terlalu banyak keluhan,” ujar dr Dicky ketika ditemui di acara #Hands4Diabetes di Jakarta Selatan, Minggu (16/11/2025).

    “Termasuk gatal-gatal tadi di kulit itu bisa. Cuma nggak terlalu khas untuk diabetes, tapi bisa. Kadang luka susah sembuh di kaki, tapi lagi-lagi, munculnya kalau gula (darah) sudah cukup tinggi,” sambungnya.

    dr Dicky mengungkapkan pada wanita masalah ini juga menimbulkan gejala khusus, misalnya haid menjadi tidak teratur, Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), hingga kesulitan memiliki anak.

    Oleh karena itu, dr Dicky menekankan pentingnya pemeriksaan dini. Sebelum muncul gejala, ada baiknya kadar gula darah bisa diperiksa secara rutin.

    “Makanya penginnya deteksi dini dengan cek gula darah, karena memang belum bisa ketahuan kalau nggak dicek gulanya darahnya. Kalau mau lebih awal lagi cek insulinnya juga, cuma kan masih mahal ya, belum bisa jadi kebijakan,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Video Mitos atau Fakta: Asbes Tetap Berbahaya Meski Ditutup Plavon

    Video Mitos atau Fakta: Asbes Tetap Berbahaya Meski Ditutup Plavon

    Video Mitos atau Fakta: Asbes Tetap Berbahaya Meski Ditutup Plavon

  • Peneliti AS Semakin Dekat Wujudkan Transplantasi Ginjal Babi untuk Manusia

    Peneliti AS Semakin Dekat Wujudkan Transplantasi Ginjal Babi untuk Manusia

    Jakarta

    Para dokter di NYU Langone Health melaporkan dua studi baru yang menunjukkan kemajuan besar dalam upaya membuat transplantasi ginjal babi menjadi opsi nyata bagi pasien manusia.

    Upaya ini penting karena kebutuhan donor ginjal terus meningkat, sementara ketersediaannya tidak mencukupi. Dialisis memang bisa memperpanjang hidup pasien gagal ginjal stadium akhir, tetapi umumnya hanya bertahan sekitar lima tahun dan membebani tubuh.

    Xenotransplantasi, transplantasi organ lintas spesies, menghadapi tantangan utama: penolakan organ oleh sistem imun manusia. Dua studi yang diterbitkan di jurnal Nature memberikan pemahaman baru tentang bagaimana mencegah tubuh menyerang ginjal babi.

    Uji coba terbaru

    Diberitakan BBC, dalam riset tersebut, dokter NYU melakukan transplantasi ginjal babi yang telah dimodifikasi secara genetik ke tubuh seorang donor otak mati, Maurice Miller, 57 tahun.

    Miller sebelumnya ingin menyumbangkan organ, namun tidak bisa karena riwayat kanker; keluarganya akhirnya menyetujui donasi seluruh tubuh untuk riset.

    Pencarian Obat Imunosupresif

    Selama 61 hari, tubuh Miller dipertahankan dengan ventilator. Tim mengambil biopsi ginjal secara berkala dan memantau darah serta jaringan lainnya. Dua kali terjadi episode penolakan, namun untuk pertama kalinya dalam sejarah xenotransplantasi, penolakan berhasil dikendalikan dengan obat yang tersedia, dan ginjal tetap berfungsi.

    Menurut peneliti utama Dr Robert Montgomery, temuan ini memperjelas jenis obat imunosupresif yang paling efektif untuk penerima organ babi di masa mendatang. Ia mengatakan ginjal babi menunjukkan kemampuan fungsi yang sangat mendekati ginjal manusia.

    “Ini adalah pertama kalinya kita benar-benar bisa memahami episode penolakan ginjal babi dari awal sampai akhir pada tubuh manusia,” kata Montgomery.

    Temuan ini menjadi langkah penting setelah berbagai kemajuan tahun ini, termasuk kasus pasien hidup, Tim Andrews, yang berhasil menggunakan ginjal babi selama 271 hari sebelum akhirnya harus dilepas.

    Ahli transplantasi ginjal Dr Minnie Sarwal (UCSF), yang tidak terlibat dalam studi, menyebut fungsi ginjal stabil selama 61 hari sebagai bukti konsep yang kuat bahwa ginjal babi rekayasa genetika bisa bekerja dalam sirkulasi manusia, dan bahwa respons penolakan bisa ditangani dengan terapi yang sudah ada.

    “Bagian itu memang bukan terobosan, tapi saya rasa sangat melegakan bahwa perawatan kami saat ini berhasil dalam model itu, yang memang kami harapkan, tetapi konfirmasinya sangat menggembirakan,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 3

    (kna/kna)

  • Gen Z Makin Berisiko Kena Penyakit Gula gegara Kebanyakan Makan Ini

    Gen Z Makin Berisiko Kena Penyakit Gula gegara Kebanyakan Makan Ini

    Jakarta

    Diabetes melitus merupakan salah penyakit kronis yang kini mulai banyak dialami oleh anak muda. Bahkan, jika dulunya jenis diabetes yang banyak dialami adalah tipe 1 (yang dipengaruhi genetik dan autoimun), kini mulai banyak kasus diabetes tipe 2 (yang dipengaruhi gaya hidup) dialami anak muda. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran gaya hidup yang cukup besar di kalangan anak muda.

    Hal tersebut dibenarkan oleh spesialis penyakit dalam dr Dicky Lavenus Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, FINASIM. Salah satu faktor yang besar adalah pola makan tinggi karbohidrat serta rendahnya aktivitas fisik.

    “Misalkan banyak konsumsi makanan-makanan, processed food, ultra processed food dan tinggi karbohidrat, tinggi lemak, ditambah olahraganya kurang, banyak konsumsi minuman-minuman berpemanis dan lain sebagainya,” ujar dr Dicky ketika ditemui di acara #Hands4Diabetes, di Jakarta Selatan, Minggu (16/11/2025).

    dr Dicky mengungkapkan kebiasaan konsumsi karbohidrat tinggi di sisi lain juga meningkatkan risiko obesitas. Kondisi obesitas dapat meningkatkan risiko diabetes.

    Ia menambahkan lingkungan saat ini kebanyakan kurang mendukung untuk hidup sehat. Misalnya, banyaknya jajanan tidak sehat yang dijual hingga lingkungan yang tidak baik untuk olahraga, bagi sebagian orang.

    Namun, menurutnya edukasi adalah faktor utama. Jika seseorang memiliki kesadaran yang tinggi terkait diabetes, maka gaya hidup sehat pasti akan diterapkan secara otomatis.

    “Dari sisi dokter sekarang diabetes tipe dua agak lebih tricky. Karena dulu kita mikirnya kalau muda, udah pasti lah tipe satu atau karena faktor genetik karena monogenik diabetes. Nah, sekarang kita juga perlu mikir jangan-jangan dia diabetes tipe dua. Jadi pendekatannya memang agak berubah jadinya,” tandasnya.

    (kna/kna)

  • Lari di Rute Hijau IPB Half Marathon 2025, Pulang-pulang Bawa Pohon

    Lari di Rute Hijau IPB Half Marathon 2025, Pulang-pulang Bawa Pohon

    Jakarta

    Ingin menjajal alternatif race lari dengan rute di bawah rindangnya pepohonan? IPB Half Marathon 2025 tak cuma menyajikan rute yang teduh, para pelari bahkan bisa bawa pulang pepohonan.

    Ini sekaligus menjadi keunikan yang dihadirkan di race yang menyusuri rute hijau mengelilingi kampus IPB Dramaga, Bogor, Minggu (16/12/2025) tersebut. Sehabis finish, para pelari dipersilakan mengambil bibit tanaman sesukanya.

    Pantauan detikcom, ada beberapa jenis bibit tanaman yang disediakan untuk dibawa pulang para pelari. Bibit tanaman buah terdiri dari pohon mangga gedong gincu, rambutan, serta durian. Selain itu tersedia juga bibit tanaman hias yakni pucuk merah dan albasia atau sengon.

    Di antara berbagai jenis bibit yang tersedia, bibit pohon mangga terpantau paling diminati. Walau begitu, para pelari yang tidak kebagian bibit mangga tetap antusias memilih dan membawa pulang bibit yang lain.

    Para pelari memilih bibit tanaman untuk dibawa pulang. Foto: Uyung/detikHealth

    Variasi Tanjakan-Turunan di Rute Hijau

    Memasuki tahun ke empat, IPB Half Marathon di 2025 ini mengusung tema Inspiring Run for The Earth. Tidak berlebihan jika rutenya disebut sebagai jalur hijau, karena memang didominasi pepohonan baik di kategori 5K, 10K, maupun 21K.

    “Jalurnya juga macem-macem, dari jalanan aspal lebar, jadi seperti masuk pedesaan dengan pohon bambu,” kata Femi, seorang peserta kategori 10K.

    Track-nya memang cukup variatif dengan banyak tanjakan dan turunan, hingga track gravel ketika rute 5K melintasi stadion mini IPB. Ai, seorang peserta kategori 21K mencatat elevation gain 336 meter, yang artinya tanjakannya lumayan banyak.

    Meski demikian, banyaknya loop atau pengulangan segmen serta persinggungan rute antar kategori menjadi tantangan tersendiri bagi yang ingin mencatatkan Personal Best (PB) atau rekor waktu terbaik. Jika tidak cermat menyimak petunjuk, siap-siap saja salah belok di persinggungan dengan kategori lain, seperti dialami Ai.

    “Penanda gelang buat yang loop pertama itu harusnya dikasih sebelum yang kategori 21K ketemu sama yg pelari kategori lain, soalnya ini jadinya salah jalan karena itu,” keluh Ai, peserta kategori 21K yang total jarak tempuhnya menjadi 26 km gara-gara salah belok.

    Perwakilan detikcom runners di IPB Half Marathon 2025. Minus Ai yang telat finish karena nyasar. Foto: Noviansyah/detikHealth

    (up/up)