Jenis Media: Kesehatan

  • 8 Tes Buta Warna Ini Bikin Mata ‘Kelabakan’, Bisa Temukan Serangga Tersembunyi?

    8 Tes Buta Warna Ini Bikin Mata ‘Kelabakan’, Bisa Temukan Serangga Tersembunyi?

    Jakarta

    Apa kamu pernah melihat gambar serangga dengan warna-warna tertentu lalu diminta menebak bentuknya? Ini merupakan salah satu tes buta warna.

    Menggunakan ilustrasi serangga, tes ini memadukan warna dan pola tertentu. Dapatkah kamu menyelesaikan semua tes buta warna berikut?

    Tes Buta Warna Tebak Gambar Serangga

    Berikut beberapa tes buta warna berisi gambar serangga yang harus kamu jawab. Coba perhatikan dengan teliti dan jawab dengan benar.

    1. Kemampuan manuver terbangnya ini hampir tidak tersaingi di dunia serangga.

    asah otak health Foto: detikHealth

    2. Serangga yang punya capit. Racun yang dimiliki bisa dihargai sangat mahal.

    asah otak health Foto: detikHealth

    3. Posisi kaki depan serangga ini menekuk seperti sedang berdoa. Uniknya, kepalanya bisa berputar 180 derajat.

    asah otak health Foto: detikHealth

    4. Hewan yang melalui tahap metamorfosis. Sayapnya cantik.

    asah otak health Foto: detikHealth

    5. Suka hinggap di daun, serangga ini berwarna hijau.

    tes buta warna Foto: detikHealth

    6. Kakinya banyak, tubuhnya ada yang berwarna coklat kemerahan.tes buta warna Foto: detikHealth

    7. Hewan pemakan segala. Tubuhnya oval dan punya antena

    tes buta warna Foto: detikHealth

    8. Bisa menghasilkan jaring. Jumlah kakinya ada 8.

    tes buta warna Foto: detikHealth

    Jawaban Tes Buta Warna Tebak Gambar Serangga

    Bisa menjawab semuanya dengan mudah? Coba cocokkan dengan kunci jawabannya berikut ini.

    1. Capung
    2. Kalajengking
    3. Belalang sembah
    4. Kupu-kupu
    5. Belalang
    6. Kelabang
    7. Kecoa
    8. Laba-laba

    Halaman 2 dari 4

    (elk/suc)

  • Tension Pneumoperitoneum, Kondisi Dialami Pria Tewas dengan 9 Kg Tinja di Perutnya

    Tension Pneumoperitoneum, Kondisi Dialami Pria Tewas dengan 9 Kg Tinja di Perutnya

    Jakarta

    James Stewart (41), pria asal Ohio, Amerika Serikat, meninggal dengan 9 kg tinja yang memenuhi perutnya. Saat diperiksa, perutnya tampak memar, membengkak, dan terasa sangat keras.

    Ia diketahui memiliki riwayat sembelit parah serta mengonsumsi obat-obatan yang dapat menimbulkan efek samping gastrointestinal berat. Hasil autopsi menunjukkan bahwa usus besarnya tersumbat tinja yang mengeras, hingga akhirnya memicu tension pneumoperitoneum. Sebenarnya, kondisi apakah itu?

    Spesialis penyakit dalam dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, menjelaskan tension pneumoperitoneum adalah kondisi ketika udara terperangkap di rongga perut hingga menimbulkan tekanan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah perforasi atau robeknya usus.

    “Sembelit yang kronis juga bisa menyebabkan perforasi, yang akibatnya menjadi tension pneumoperitoneum. Dan kondisi seperti ini sangat mengancam jiwa,” tuturnya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    Menurut dr Aru, kondisi ini sebenarnya masih dapat diselamatkan jika ditangani segera oleh tim medis, salah satunya melalui tindakan operasi.

    “Ya masih bisa, asal tidak terlambat,” tegasnya.

    Tension pneumoperitoneum merupakan kondisi yang jarang terjadi, tetapi sangat berbahaya. Dikutip dari laman Cureus, udara yang terakumulasi di rongga perut di bawah tekanan tinggi dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen, mengganggu aliran darah, serta menghambat fungsi organ.

    Gejalanya dapat berupa distensi perut mendadak, nyeri hebat, hingga ketidakstabilan hemodinamik seperti hipotensi (tekanan darah rendah).

    dr Aru juga mengingatkan tanda-tanda sembelit kronis yang perlu diwaspadai, termasuk feses yang sangat keras.

    “Tanda-tandanya sembelit kronis adalah BAB yang kurang dari 3 hari sekali dalam seminggu, dan sudah dialami lebih dari 3 bulan,” beber dr Aru.

    “Di mana fesesnya keras dan kadang tidak tuntas. Sebaiknya segera diwaspadai,” sambungnya.

    (sao/suc)

  • Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Jakarta

    Stroke tidak hanya menyerang orang lanjut usia, tetapi juga dapat terjadi pada usia muda. Hal ini dialami oleh Delia, seorang wanita asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang terkena stroke pada 29 Agustus 2025, saat usianya baru 20 tahun.

    Ia mengaku kondisi tersebut dipicu oleh banyaknya masalah yang membuatnya mengalami stres berat. “Awalnya emang lagi ada masalah yang menurutku ni bener-bener buat aku down gitu. Jadinya kepikiran berat,” ucapnya melalui akun TikTok-nya atas izin yang bersangkutan, Sabtu (22/11/2025).

    Gejala awal yang dirasakan Delia berupa pusing hebat disertai kesulitan berbicara. Tubuhnya masih dapat digerakkan, tetapi terasa sangat lemas.

    Delia sempat menunggu karena mengira gejalanya akan membaik dengan sendirinya. Namun hingga dua jam berlalu, kemampuan bicaranya tak juga pulih. Walhasil dirinya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

    “Pas di rumah sakit di Wonogiri deket rumah, itu cuma pembengkakan otak itu sudah di CT scan. Tapi dokter spesialisnya bilang kalau cuma pembengkakan otak kok nggak bisa ngomong, ini harus di MRI gitu kan mangkanya dirujuk ke rumah sakit yang ada di Solo,” katanya.

    Setelah dirujuk, Delia menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan (Computed Tomography), dan serangkaian pemeriksaan lainnya. Bahkan Ia ditempatkan di ruang High Care Unit (HCU) untuk pemantauan intensif karena gejalanya mengarah pada stroke.

    “Di rumah sakit solo. Transcranial Doppler (TCD) nya itu hasilnya penyumbatan di pembuluh darah dan kaku gitu pembuluh darahnya. Jadi kalo banyak pikiran pembuluh darahnya bakal mengkaku dan menyumbat lagi,” tuturnya lagi.

    Setelah lima hari di HCU dan menjalani terapi, kondisinya berangsur membaik. Kemampuan bicaranya perlahan kembali, meski masih terdengar pelo. Delia kemudian diperbolehkan pulang dengan terapi lanjutan dan obat pengencer darah yang harus diminum setiap hari.

    Meski kondisi berangsur membaik, ia mengaku sempat kembali ‘kolaps’. Menurutnya, hal itu terjadi karena ia kembali mengalami stres.

    “Kambuh itu. Hampir gak ada. Sumpah kayak aduh sampe matanya udah (madep) keatas. Nggak bisa ngomong lagi. Tangan udah dingin, kaki udah dingin. Ah udah gitu lah pokoknya. Itu juga karena aku ada pikiran lagi, berlebihan lagi. Kayak terlalu apa yang aku pikirin itu kayak terlalu over gitu loh,” sambungnya.

    Pemicu stroke di usia muda

    Direktur Medik dan Keperawatan RS PON, dr Reza Aditya Arpandy, SpS, menjelaskan penyebab stroke di usia muda kerap kali berbeda dengan usia lanjut. Beberapa pemicu yang cukup sering ditemukan antara lain kelainan pembuluh darah bawaan, seperti aneurisma (pelebaran pembuluh darah yang mudah pecah) dan AVM/arteriovenous malformation (hubungan abnormal antara arteri dan vena).

    Selain itu, lanjutnya, ada penyakit jantung tertentu yang bisa membuat bekuan darah naik ke otak, misalnya kelainan katup jantung, PFO/patent foramen ovale (lubang kecil yang tidak menutup sejak lahir), atau aritmia seperti atrial fibrillation.

    “Gangguan pembekuan darah juga bisa meningkatkan risiko, misalnya kondisi trombofilia, antiphospholipid syndrome, atau kelainan genetik yang membuat darah terlalu mudah menggumpal,” katanya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    “Stroke pada usia muda juga bisa dipicu oleh cedera leher yang menyebabkan robekan pembuluh darah, serta penyakit seperti lupus, vaskulitis, atau infeksi tertentu. Pada sebagian kecil kasus, migrain berat juga berperan,” lanjutnya.

    Sementara dari sisi gaya hidup, dr Reza mengatakan faktor risiko seperti merokok, kurang tidur, obesitas, konsumsi minuman berenergi berlebihan, serta penggunaan pil kontrasepsi pada perempuan yang merokok atau memiliki migrain turut meningkatkan risiko. Terlebih banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka memiliki tekanan darah tinggi atau diabetes tanpa gejala.

    “Karena itu, stroke pada usia muda biasanya terjadi karena kombinasi faktor bawaan dan gaya hidup, bukan hanya karena stres,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Jakarta

    Stroke tidak hanya menyerang orang lanjut usia, tetapi juga dapat terjadi pada usia muda. Hal ini dialami oleh Delia, seorang wanita asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang terkena stroke pada 29 Agustus 2025, saat usianya baru 20 tahun.

    Ia mengaku kondisi tersebut dipicu oleh banyaknya masalah yang membuatnya mengalami stres berat. “Awalnya emang lagi ada masalah yang menurutku ni bener-bener buat aku down gitu. Jadinya kepikiran berat,” ucapnya melalui akun TikTok-nya atas izin yang bersangkutan, Sabtu (22/11/2025).

    Gejala awal yang dirasakan Delia berupa pusing hebat disertai kesulitan berbicara. Tubuhnya masih dapat digerakkan, tetapi terasa sangat lemas.

    Delia sempat menunggu karena mengira gejalanya akan membaik dengan sendirinya. Namun hingga dua jam berlalu, kemampuan bicaranya tak juga pulih. Walhasil dirinya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

    “Pas di rumah sakit di Wonogiri deket rumah, itu cuma pembengkakan otak itu sudah di CT scan. Tapi dokter spesialisnya bilang kalau cuma pembengkakan otak kok nggak bisa ngomong, ini harus di MRI gitu kan mangkanya dirujuk ke rumah sakit yang ada di Solo,” katanya.

    Setelah dirujuk, Delia menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan (Computed Tomography), dan serangkaian pemeriksaan lainnya. Bahkan Ia ditempatkan di ruang High Care Unit (HCU) untuk pemantauan intensif karena gejalanya mengarah pada stroke.

    “Di rumah sakit solo. Transcranial Doppler (TCD) nya itu hasilnya penyumbatan di pembuluh darah dan kaku gitu pembuluh darahnya. Jadi kalo banyak pikiran pembuluh darahnya bakal mengkaku dan menyumbat lagi,” tuturnya lagi.

    Setelah lima hari di HCU dan menjalani terapi, kondisinya berangsur membaik. Kemampuan bicaranya perlahan kembali, meski masih terdengar pelo. Delia kemudian diperbolehkan pulang dengan terapi lanjutan dan obat pengencer darah yang harus diminum setiap hari.

    Meski kondisi berangsur membaik, ia mengaku sempat kembali ‘kolaps’. Menurutnya, hal itu terjadi karena ia kembali mengalami stres.

    “Kambuh itu. Hampir gak ada. Sumpah kayak aduh sampe matanya udah (madep) keatas. Nggak bisa ngomong lagi. Tangan udah dingin, kaki udah dingin. Ah udah gitu lah pokoknya. Itu juga karena aku ada pikiran lagi, berlebihan lagi. Kayak terlalu apa yang aku pikirin itu kayak terlalu over gitu loh,” sambungnya.

    Pemicu stroke di usia muda

    Direktur Medik dan Keperawatan RS PON, dr Reza Aditya Arpandy, SpS, menjelaskan penyebab stroke di usia muda kerap kali berbeda dengan usia lanjut. Beberapa pemicu yang cukup sering ditemukan antara lain kelainan pembuluh darah bawaan, seperti aneurisma (pelebaran pembuluh darah yang mudah pecah) dan AVM/arteriovenous malformation (hubungan abnormal antara arteri dan vena).

    Selain itu, lanjutnya, ada penyakit jantung tertentu yang bisa membuat bekuan darah naik ke otak, misalnya kelainan katup jantung, PFO/patent foramen ovale (lubang kecil yang tidak menutup sejak lahir), atau aritmia seperti atrial fibrillation.

    “Gangguan pembekuan darah juga bisa meningkatkan risiko, misalnya kondisi trombofilia, antiphospholipid syndrome, atau kelainan genetik yang membuat darah terlalu mudah menggumpal,” katanya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    “Stroke pada usia muda juga bisa dipicu oleh cedera leher yang menyebabkan robekan pembuluh darah, serta penyakit seperti lupus, vaskulitis, atau infeksi tertentu. Pada sebagian kecil kasus, migrain berat juga berperan,” lanjutnya.

    Sementara dari sisi gaya hidup, dr Reza mengatakan faktor risiko seperti merokok, kurang tidur, obesitas, konsumsi minuman berenergi berlebihan, serta penggunaan pil kontrasepsi pada perempuan yang merokok atau memiliki migrain turut meningkatkan risiko. Terlebih banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka memiliki tekanan darah tinggi atau diabetes tanpa gejala.

    “Karena itu, stroke pada usia muda biasanya terjadi karena kombinasi faktor bawaan dan gaya hidup, bukan hanya karena stres,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Kegigihan Lita Berjuang Melawan Kanker Payudara Stadium IIIB

    Kegigihan Lita Berjuang Melawan Kanker Payudara Stadium IIIB

    Jakarta

    Menyambut kelahiran seorang anak adalah momen penuh kebahagiaan bagi setiap ibu, begitu pula bagi Rulita (49). Namun, siapa sangka, di tengah kebahagiaan tersebut, sebuah cobaan besar datang kepadanya. Rulita didiagnosis terkena penyakit ganas, kanker payudara stadium IIIB.

    Semua berawal pada 2018, tak lama setelah ia melahirkan anak bungsunya. Saat itu, Rulita mengalami nyeri hebat dan benjolan di payudara kiri. Ia tidak menganggap ada yang aneh saat itu, apalagi karena pernah mengalami kondisi serupa sebelumnya. Ibu empat anak itu mengira kondisi tersebut hanya disebabkan oleh mastitis, peradangan pada jaringan payudara yang umum terjadi pada ibu menyusui.

    Seiring berjalannya waktu, rasa nyeri yang dirasakan Rulita semakin intens, bahkan disertai darah yang keluar saat ia memompa Air Susu Ibu (ASI). Lantaran mengira kondisi ini adalah efek dari peradangan tersebut, Rulita memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter laktasi.

    “Saya pikir itu juga memang terjadi ketika kita mengalami iritasi. Pada saat menyusui, pada saat pumping. Jadi, saya tidak berpikir apa-apa. Saya malah ke dokter laktasi. Jadi, saya pikir ada masalah di cara saya memompa atau apa. Jadi, akhirnya saya ke dokter laktasi,” kata Rulita kepada detikcom, Minggu (4/5/2025).

    Pada saat itu, dokter memberikan antibiotik untuk meredakan nyeri yang dialami Rulita. Namun, setelah sebulan mengonsumsi obat, Rulita mengaku tak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan, nyeri masih ia rasakan dan benjolan tetap ada di payudara kirinya.

    Rulita kemudian dirujuk ke dokter onkologi. Ibu empat anak itu mengaku syok saat dirujuk ke dokter onkologi. Hal ini dikarenakan istilah ‘onkologi’ berkaitan dengan penyakit kanker, dan hal itu tentu saja membuatnya khawatir.

    Adapun perjalanan Rulita mencari kepastian atas kondisi kesehatannya pun tidak singkat. Ia harus melalui serangkaian konsultasi dan mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar merasa yakin dengan langkah medis yang harus diambil.

    Rulita dan suaminya pun sepakat untuk menjalani prosedur biopsi. Beberapa hari setelahnya, Rulita kembali ke rumah sakit bersama suaminya untuk mengetahui hasil biopsi tersebut. Hasilnya, ia didiagnosis kanker payudara.

    Pada saat itu Rulita hanya terdiam, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Bayangan tentang kemungkinan ajal yang datang tiba-tiba terus menghantui benaknya.

    Suaminya pun juga tenggelam dalam keheningan yang sama. Mendengar diagnosis kanker payudara ini menjadi pukulan berat bagi Rulita dan suaminya.

    “Benar-benar sedih banget, nge-lihat hasil dokter dan diterjemahkan dari bahasa medis ke bahasa kita. Aduh, itu benar-benar, nggak bisa ngomong,” sahut suami Rulita, Beni.

    Terlebih, Rulita mengaku selama ini merasa sehat, jarang sakit, dan menjalani pola hidup yang cukup baik. Rasa tidak percaya itu mendorongnya mencari pendapat lain dari beberapa rumah sakit, berharap ada penjelasan berbeda atau kemungkinan diagnosis sebelumnya keliru.

    Salah satu dokter menyarankan untuk melakukan PET (Positron Emission Tomography) scan, yaitu prosedur pencitraan medis lanjutan untuk mendeteksi seberapa jauh sel kanker telah menyebar di dalam tubuh.

    PET scan juga menunjukkan hasil serupa, bahkan sel kanker sudah menjalar ke kelenjar getah bening. Rulita kemudian dianjurkan menjalani mastektomi, yaitu prosedur pengangkatan seluruh jaringan payudara, bukan hanya benjolan yang tampak. Tindakan ini disarankan karena ukuran kanker yang cukup besar serta risiko penyebarannya ke jaringan lain jika tidak segera ditangani.

    Keputusan untuk menjalani mastektomi tentunya bukan hal mudah bagi Rulita. Perubahan ini tak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga memberikan tekanan psikologis, terlebih bagi perempuan yang memandang payudara sebagai bagian penting dari identitas dirinya.

    Rulita sempat menanyakan kemungkinan untuk hanya mengangkat benjolannya, namun dokter menjelaskan tindakan tersebut dikhawatirkan berisiko memicu penyebaran ke payudara sebelahnya.

    “Tiba-tiba, itu saya harus berubah. Berubah dalam segala hal. Physically, saya harus berubah,” kata Rulita.

    Dokter kemudian memberinya sedikit waktu untuk mengambil keputusan, mengingat risiko progresivitas kanker yang cukup tinggi jika tidak segera ditangani. Dalam waktu yang singkat, Rulita harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan besar dalam hidupnya, baik secara fisik maupun emosional.

    “Jadi, akhirnya. Mau tidak mau, saya harus terima. Dalam waktu yang singkat, Semuanya itu harus saya persiapkan. Segala hal. Jadi, saya juga belum tahu. Apakah setelah saya dioperasi bagaimana? Kondisi saya bagaimana? Fisik saya bagaimana? Itu benar-benar di luar dari bayangan,” ucapnya.

    “Saya menyadari bahwa dokter sudah tahu kondisi saya. Dibanding saya sendiri. Ya, saya serahkan semuanya kepada dokter. Saya mastektomi di Siloam MRCCC Semanggi,” lanjut Rulita.

    Rulita menjalani mastektomi pada 29 Maret 2019 di Siloam MRCCC Semanggi. Setelahnya, ia memulai serangkaian kemoterapi yang dijadwalkan setiap 21 hari. Totalnya, Rulita harus menjalani 24 siklus kemoterapi, terdiri dari 6 kali kemoterapi dasar yang menyasar seluruh tubuh, diikuti dengan 18 kali target terapi yang lebih fokus pada payudara.

    Rulita saat dirawat di Siloam MRCCC Semanggi Foto: Dok. Siloam International Hospitals

    Alasan Lita Memilih Berobat di Siloam MRCCC Semanggi

    Adapun alasan Rulita memilih berobat di Siloam MRCCC Semanggi tak lepas dari kesan pertamanya saat mengunjungi rumah sakit tersebut. Aroma kopi yang menguat lembut dan alunan musik piano menyambutnya, menciptakan atmosfer yang jauh dari kesan rumah sakit pada umumnya.

    Selain suasananya yang menenangkan, Rulita juga merasakan pelayanan yang sangat profesional dan hangat. Para dokter menjelaskan setiap prosedur dengan sabar dan rinci, sementara para perawat sigap dan empatik dalam memberikan bantuan.

    Ketika harus menjalani mastektomi tanpa didampingi keluarga karena suaminya berada di luar kota dan kerabat lainnya tinggal di luar Jakarta, Rulita merasa sangat terbantu oleh dukungan dari tim medis Siloam MRCCC Semanggi. Dokter dan perawat yang selalu siap mendampingi membuatnya merasa tidak sendiri, bahkan dalam momen terberat sekalipun.

    Bagi Rulita, Siloam MRCCC Semanggi bukan sekadar tempat berobat, tetapi juga ruang penyembuhan jiwa. Sikap ramah, respons cepat, dan perhatian yang tulus dari seluruh tim membuatnya merasa betul-betul dirawat, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Sejak saat itu, ia merasa mantap untuk menjalani seluruh rangkaian pengobatan kanker di rumah sakit tersebut.

    “Saya jatuh cinta sama Siloam MRCCC Semanggi, karena memang saya rasakan betul-betul, yang namanya saya pas operasi, saya masih dalam kondisi yang lemah, tapi suster bisa standby,” ucap Rulita.

    “Semua cepat sekali mereka responsnya, apalagi saya baru dioperasi dan masih awal, ini pertama kali untuk saya, merasakan seperti ini, ya luar biasa sih pelayanannya, Siloam MRCCC Semanggi sih,” sambungnya lagi.

    Rulita dan keluarga (Foto: Dok. Siloam International Hospitals)

    Dukungan Keluarga untuk Lita

    Di sisi lain, menjalani pengobatan sambil tetap memegang peran sebagai ibu dan pekerja bukan hal yang mudah bagi Rulita. Ia sempat mengira penyakit ini akan membuatnya kehilangan banyak hal, dari perannya sebagai ibu, hubungan hangat dengan keluarga, hingga kebahagiaan dalam hidup.

    Namun yang terjadi, justru sebaliknya. Dukungan dari suami, anak-anak, orang tua, mertua, dan keluarga menjadi sumber kekuatan yang tak tergantikan bagi Rulita. Suaminya memang bukan tipe yang banyak bicara, tetapi perhatian dan dukungan yang ditunjukkannya terasa begitu tulus dan bermakna.

    Meski disibukkan dengan berbagai urusan pekerjaan, ia tetap berusaha meluangkan waktu dan memprioritaskan Rulita, mendampingi setiap langkah pengobatan yang dijalani sang istri.

    Anak-anaknya pun perlahan juga mulai menerima kenyataan, termasuk saat Rulita memutuskan untuk memondokkan dua anak kembarnya, Sava dan Malva (17), agar ia bisa fokus menjalani pengobatan.

    “Jadi kayak sedih gitu kan, harus jauh juga. Terus bingung, karena dihadapkan dengan lingkungan baru. Jadi harus ngikutin keinginan mami dulu, biar fokusnya juga nggak kebelah, biar nggak terlalu mikirin kita juga,” ucap Malva.

    Meski keputusan tersebut awalnya sulit diterima oleh anak-anaknya, seiring waktu mereka mulai memahami dan menerima keputusan tersebut dengan penuh pengertian.

    Rulita juga berbagi momen paling berkesan bagi dalam perjalanan pengobatannya saat harus merelakan rambutnya yang rontok akibat kemoterapi. Di tengah ketakutannya menghadapi perubahan fisik yang drastis, Rulita justru mendapat kejutan manis dari orang-orang terdekatnya.

    Tanpa banyak bicara, suami dan anak-anaknya memilih untuk mencukur rambut mereka hingga botak, mengiringi langkah Rulita dengan solidaritas yang mengharukan.

    “Kita support mami dengan memotong rambut sama-sama. Sampai botak,” kata Beni.

    “Itu sweet banget buat saya,” sahut Rulita.

    Kondisi Lita Setelah Menjalani Pengobatan di Siloam MRCCC Semanggi

    Setelah menjalani serangkaian pengobatan dan menghadapi berbagai rintangan, Rulita akhirnya dinyatakan remisi pada tahun 2022. Meskipun begitu, ia tetap dalam pemantauan intensif selama 10 tahun ke depan karena kanker yang dialaminya tergolong agresif.

    Menurutnya, kanker tersebut bisa saja muncul kembali sewaktu-waktu, bahkan di saat kondisi tubuh sedang dalam keadaan prima. Sampai saat ini Rulita masih tetap menjalani pemeriksaan rutin dan mempertahankan port kemoterapi yang terpasang di tubuhnya, sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu pengobatan lanjutan kembali dibutuhkan.

    “Saya punya nazar sama Allah, saya punya janji sama Allah. Ya Allah, kalau saya diizinkan untuk sehat lagi, diizinkan untuk terus berjuang dan bisa survive, saya ingin mendedikasikan saya untuk membantu teman-teman kanker yang masih berjuang,” kata Rulita.

    Rulita juga memiliki mimpi besar yang lahir dari pengalaman dan empatinya selama menjalani perawatan kanker. Ia ingin suatu saat dapat membantu teman-temannya yang tengah berjuang melawan penyakit serupa.

    spesialis bedah subspesialis bedah onkologi dari Siloam MRCCC Semanggi, dr. Rachmat Christian Nikijuluw Sp.B(K) Onk (Foto: Dok. Siloam International Hospitals)

    Apa Pemicu Kanker Payudara?

    Menurut spesialis bedah subspesialis bedah onkologi, dari Siloam MRCCC Semanggi, dr. Rachmat Christian Nikijuluw Sp.B(K) Onk, terdapat sejumlah faktor risiko yang bisa meningkatkan seseorang terkena kanker payudara, genetik dan hormonal. Meski banyak orang mengkhawatirkan faktor keturunan, nyatanya hanya sekitar 5-10 persen kasus kanker payudara yang berkaitan dengan faktor genetik.

    Sebagian besar kasus justru disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal yang terjadi dalam tubuh. Salah satu contohnya adalah perempuan yang mengalami menarche (haid pertama) di usia sangat muda, yakni di bawah 12 tahun, atau menopause yang terjadi lebih lambat dari rata-rata, misalnya di atas usia 54 tahun.

    Kedua kondisi ini membuat tubuh terpapar hormon estrogen dan progesteron dalam jangka waktu yang lebih panjang, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara.

    Selain itu, kadar hormon yang tinggi akibat terapi hormon atau pengobatan penyakit lain juga dapat menjadi pemicu.

    “Itu merupakan faktor risiko dari kanker payudara,” ucapnya saat ditemui di Siloam MRCCC Semanggi, Selasa (29/4).

    Adapun gejala yang paling khas dari kanker payudara adalah munculnya benjolan, bisa juga tidak disertai rasa nyeri. Menurut dr. Rachmat ini menjadi kata kunci penting yang perlu diperhatikan, terutama karena banyak orang mengira benjolan yang tidak sakit bukanlah sesuatu yang serius.

    Padahal, lanjutnya, dalam kondisi awal atau stadium dini, benjolan tanpa rasa nyeri inilah yang justru patut diwaspadai. Apalagi jika benjolan tersebut berkembang dengan cukup cepat, maka sebaiknya segera diperiksakan ke dokter untuk memastikan diagnosis lebih lanjut.

    Karenanya, dr. Rachmat mengungkapkan deteksi dini sangat penting untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien kanker payudara.

    Semakin dini kanker ditemukan, semakin besar pula tingkat survival pada pasien kanker payudara. Bahkan, pada banyak kasus yang terdeteksi di stadium awal, pasien bisa menjalani pengobatan tanpa harus kehilangan payudara.

    Sayangnya, masih banyak orang yang enggan memeriksakan diri karena takut jika benjolan yang ditemukan harus segera dioperasi atau diambil jaringan untuk biopsi.

    Terlebih, lanjut dr. Rachmat, ketakutan ini diperparah oleh mitos yang menyebut biopsi dapat menyebabkan penyebaran kanker. Padahal, prosedur ini penting untuk memastikan diagnosis dan menentukan pengobatan yang tepat.

    Adapun pemeriksaan dini dapat dilakukan secara mandiri maupun medis. Selain melalui SADARI (pemeriksaan payudara sendiri), pemeriksaan klinis (SADANIS) oleh dokter juga sangat penting, terutama jika ditemukan benjolan yang mencurigakan.

    Tindakan diagnostik seperti USG payudara, mamografi, hingga biopsi dapat membantu mendeteksi kanker secara lebih akurat dan pada tahap yang lebih awal. Bila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya sel kanker, pengobatan pun bisa segera dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.

    Di rumah sakit seperti Siloam MRCCC Semanggi, pendekatan pengobatan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing pasien. Mulai dari operasi yang tetap mempertahankan payudara, rekonstruksi langsung setelah pengangkatan, hingga terapi lanjutan seperti kemoterapi, terapi target berbasis biomolekuler, dan radioterapi.

    Setiap pasien mendapatkan terapi yang sifatnya individual atau individualized tailored therapy, karena karakteristik kanker setiap orang tidak sama.

    “Pentingnya kita melakukan deteksi dini. Paling penting adalah meningkatkan persentase dari survival, karena semakin dini penyakit itu kita temukan, tingkat survivalnya semakin tinggi,” kata dr. Rachmat.

    Halaman 2 dari 4

    (suc/up)

  • Viral Dokter Kandungan RSUD Muna Keluhkan Fasilitas Operasi, Kemenkes Angkat Bicara

    Viral Dokter Kandungan RSUD Muna Keluhkan Fasilitas Operasi, Kemenkes Angkat Bicara

    Jakarta

    Seorang dokter kandungan di RSUD LM Baharuddin, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara bernama dr Ruhwati menjadi sorotan setelah mengungkapkan kurangnya fasilitas medis ketika menangani pasien operasi caesar. Curhatan yang dibagikan melalui media sosial Instagram itu akhirnya viral dan mengundang banyak perhatian.

    Melalui unggahannya , ia mengeluhkan set kain operasi tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, ia juga mengeluhkan jarum operasi yang rapuh dan benang-benangnya mudah putus. Dia juga menyoroti buruknya sistem pendingin ruangan yang kurang baik dalam menunjang operasi.

    “Klo tdk keterlaluan sy tdk akan ekspose spt ini, tp kami bicara tdk pernah di gubris. Kain sdh sangat tdk layak pake, sdh robek2 tak terbentuk. Cape mulut bicara,” tulisnya dalam salah satu unggahan di Instagram.

    Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Azhar Jaya menuturkan pihaknya akan memantau kejadian tersebut. Ia mengungkapkan kejadian ini akan menjadi perhatian khusus, lantaran memberikan layanan sesuai standar adalah hal yang sangat penting.

    Terlebih, ini juga berkaitan erat dengan keselamatan pasien yang menjalani operasi.

    “Ini tentu saja menjadi perhatian kita karena setiap tindakan medis ada standar-standar yang harus dipatuhi. Kami akan pantau kasus ini bersama sama dengan Dinkes (dinas kesehatan) dan ARSADA (asosiasi rumah sakit daerah seluruh Indonesia),” ujar Azhar ketika dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    Azhar mengatakan pihaknya akan melakukan koordinasi lanjutan. Selain itu, ia juga telah mengeluarkan instruksi khusus untuk menindaklanjuti kejadian tersebut.

    “Saya sudah minta Direktur Mutu Ditjen Keslan (kesehatan lanjutan) untuk memberi atensi soal ini,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/suc)

  • Kondisi Terkini Mantan PM Inggris David Cameron Pasca Didiagnosis Kanker Prostat

    Kondisi Terkini Mantan PM Inggris David Cameron Pasca Didiagnosis Kanker Prostat

    Jakarta

    Mantan PM Inggris, David Cameron (59) buka-bukaan soal kondisi kesehatannya. David mengaku pernah menjalani pengobatan untuk kanker prostat dan kini menyerukan program skrining yang lebih terarah.

    Mantan perdana menteri itu mengatakan ia melakukan pemeriksaan prostate-specific antigen (PSA), tes yang mendeteksi protein terkait kanker tersebut. Hasilnya tinggi dan ia kemudian menjalani biopsi yang menunjukkan adanya kanker.

    “Kita selalu berharap yang terbaik. Saat skor PSA tinggi, mungkin itu bukan apa-apa. Anda menjalani MRI yang terlihat ada beberapa titik hitam. Anda berpikir, ‘Ah, mungkin itu masih aman.’ Tapi ketika hasil biopsi keluar dan ternyata Anda mengidap kanker prostat,” ungkap David dikutip dari wawancaranya dengan The Times, Senin (24/11/2025).

    “Anda selalu takut mendengar kata-kata itu. Dan ketika dokter mulai mengucapkannya, Anda langsung berpikir, ‘Aduh, jangan bilang dia mau ngomong itu. Ya Tuhan, dia benar-benar mengatakannya’,” sambungnya.

    David menjalani skrining pertama kali karena diminta oleh istrinya, Samantha. Permintaan itu muncul setelah Samantha mendengar curhatan pendiri Soho House, Nick Jones berbicara tentang diagnosisnya.

    Kondisi terkini David Pasca Didiagnosis Kanker Prostat

    David menjalani focal therapy, yaitu terapi yang menggunakan impuls listrik untuk menarget dan menghancurkan sel kanker. Kini ia sudah dinyatakan bersih dari kanker.

    Ia menyerukan pentingnya skrining dini. Semakin cepat kanker ditemukan, maka semakin mungkin kondisi ini teratasi.

    “Saya ingin, istilahnya, muncul ke publik. Saya ingin menambahkan nama saya ke deretan orang yang menyerukan program skrining terarah,” ungkapnya.

    “Saya sebenarnya tidak suka membicarakan masalah kesehatan pribadi yang sangat intim, tetapi saya merasa harus melakukannya. Jujur saja, pria tidak terlalu pandai membicarakan kesehatan mereka. Kita cenderung menunda-nunda,” tandas David.

    Apa Itu Kanker Prostat?

    Dikutip dari Cleveland Clinic, kanker prostat adalah kanker yang muncul di area prostat, sebuah kelenjar kecil yang terletak di bawah kandung kemih dan di depan rektum pria. Kelenjar ini menghasilkan cairan yang bercampur dengan air mani untuk menjaga kesehatan sperma dan membantu proses pembuahan dan kehamilan.

    Hingga saat ini, ahli belum mengetahui secara pasti apa yang membuat sel-sel prostat berubah menjadi sel kanker. Seperti kanker pada umumnya, kanker prostat muncul ketika sel membelah lebih cepat dari biasanya.

    Meski begitu, terdapat beberapa faktor risiko kanker prostat yang meliputi usia tua, riwayat keluarga, genetik, kebiasaan merokok, peradangan prostat, obesitas, dan infeksi menular seksual.

    Adapun berikut ini sederet gejala kanker prostat yang mungkin dapat muncul:

    Sering mendadak ingin buang air kecil, khususnya di malam hari.Aliran urine lemah atau terputus-putus.Nyeri atau sensasi terbakar saat buang air kecil.Kehilangan kontrol buang air kecil dan besar.Ejakulasi yang menyakitkan atau disfungsi ereksi.Darah pada air mani atau urine.Nyeri pada punggung bawah, pinggul, atau dada.

    Halaman 2 dari 3

    (avk/suc)

  • Pria Meninggal dengan 9 Kg Tinja di Perutnya, Dokter Ungkap Kemungkinan Penyebabnya

    Pria Meninggal dengan 9 Kg Tinja di Perutnya, Dokter Ungkap Kemungkinan Penyebabnya

    Jakarta

    Seorang pria berusia 41 tahun di Ohio, Amerika Serikat, meninggal dunia akibat sembelit ekstrem yang terjadi selama satu bulan. Kondisi itu menyebabkan adanya penyumbatan pada usus besar, dengan massa atau berat feses (tinja) mencapai 9 kg.

    Pria bernama James Stewart meninggal dunia pada 15 November 2024. Tim medis melihat adanya perubahan warna pada perut, pembengkakan ekstrem, dan terasa kaku saat disentuh.

    Menurut hasil autopsi, usus besar James tersumbat tinja yang mengeras seberat 9 kg. Benarkah sembelit bisa menyebabkan kematian?

    Spesialis penyakit dalam dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, menjelaskan sembelit bisa saja menyebabkan kematian. Terutama bila terjadi komplikasi, seperti penyumbatan usus yang parah.

    “Sembelit bisa menyebabkan kematian, terutama bila terjadi komplikasi, seperti penyumbatan usus yang parah, perforasi (usus robek), atau infeksi yang mengancam jiwa,” jelas dr Aru saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    “Dan komplikasi ini sangat berisiko, terutama pada lansia,” lanjutnya.

    dr Aru mengungkapkan saat sembelit, seseorang akan kesulitan untuk buang air besar atau mengeluarkan tinja. Jika terjadi dalam waktu yang lama, akibatnya akan terjadi penumpukan feses di usus akibat tidak bisa dikeluarkan yang dapat menyebabkan kematian.

    “Feses yang menumpuk tidak bisa keluar, lama-kelamaan akan menimbulkan obstruksi atau sumbatan,” kata dr Aru.

    Penyebab Sembelit

    dr Aru mengatakan sembelit bisa disebabkan berbagai faktor. Mulai dari pola makan, kurang asupan serat, kurang aktivitas atau gerak.

    Bisa juga karena terlalu sering menahan keinginan untuk buang air besar (BAB), obat-obatan tertentu, kehamilan, beberapa, stres, dan beberapa penyakit yang bisa memicu sembelit.

    Jika itu terjadi, dr Aru menyarankan untuk segera memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit terdekat.

    “Ini dilakukan untuk mencari apa penyebabnya dan dilakukan tatalaksana sesuai dengan penyebab sembelit tersebut,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/suc)

  • Menyoal Cek DNA, Dilakukan Polri untuk Pastikan Identitas Kerangka Diduga Bocah Alvaro

    Menyoal Cek DNA, Dilakukan Polri untuk Pastikan Identitas Kerangka Diduga Bocah Alvaro

    Jakarta

    Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menemukan kerangka manusia yang diduga bocah berusia 6 tahun bernama Alvari Kiano Nugroho, yang menghilang di Pesanggrahan, Jakarta Selatan (Jaksel) selama 8 bulan.

    “Tapi kita butuh kepastiannya dulu melalui pengecekan DNA dan pemeriksaan labfor ya,” kata Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Nicolas Lilipaly saat dihubungi wartawan, Minggu (23/11/2025).

    Dihubungi terpisah terkait kasus tersebut, spesialis forensik dan medikolegal Dr dr Ade Firmansyah Sugiharto, SpFM, Subsp FK(K) mengatakan pemeriksaan DNA digunakan untuk memastikan identifikasi personal dari kerangka.

    “Karena DNA adalah penanda identifikasi primer,” kata dr Ade saat dihubungi, Senin (24/11/2025).

    Tim pemeriksaan Laboratorium Forensik (Labfor) akan mengambil sampel DNA dari bagian-bagian tubuh yang masih tersisa.

    “DNA dari kerangka dapat diambil dari sumsum tulang (tulang-tulang panjang seperti tulang paha) atau dari gigi bila masih ada akar gigi dan sumsum giginya,” kata dr Ade.

    Berapa Lama Jasad Berubah Menjadi Kerangka?

    Dalam kasus temuan kerangka yang diduga adalah bocah Alvaro, dr Ade mengatakan skeletonisasi rata-rata terjadi dalam kurun waktu dua hingga tiga bulan. Tapi, ini bisa lebih cepat tergantung dengan lingkungan jasad tersebut ada.

    “Saya juga pernah mendapatkan kasus di Indonesia telah terjadi skeletonisasi dalam waktu satu bulan,” kata dr Ade.

    “Hal yang memengaruhi proses pembusukan lanjut hingga skeletonisasi ini adalah suhu, kelembaban, serta pengaruh hewan-hewan,” sambungnya.

    Bagaimana Menentukan Penyebab Kematian?

    Pada kasus dugaan pembunuhan, biasanya akan dilakukan autopsi oleh kedokteran forensik. Hal ini dilakukan untuk menentukan penyebab kematian korban.

    Menurut dr Ade, bahkan pada korban yang ditemukan telah menjadi kerangka, masih perlu dilakukan autopsi agar diketahui ada atau tidaknya tanda-tanda kekerasan yang terjadi.

    “Pada kondisi kerangka memang terdapat kesulitan karena organ-organ tubuh mungkin sudah tidak ada atau sudah membusuk lanjut. Namun kami tetap melakukan pemeriksaan secara detail ke setiap tulang yang ada, untuk mencari tanda-tanda bekas perdarahan atau bekas trauma,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Viral Wanita Wonogiri Kena Stroke di Usia 20, Inikah Pemicunya?

    Viral Wanita Wonogiri Kena Stroke di Usia 20, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Seorang wanita bernama Delia membagikan kisahnya mengalami stroke di usia 20 tahun. Peristiwa itu terjadi pada 29 Agustus 2025, saat wanita yang berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah itu sedang beraktivitas seperti biasa. Mendadak, Delia merasakan pusing hebat disertai kesulitan berbicara. Tubuhnya masih bisa digerakkan, tetapi terasa sangat lemas.

    Ia sempat menunggu karena mengira gejalanya akan membaik dengan sendirinya. Namun hingga dua jam berlalu, kemampuan bicaranya tak juga pulih. Keluarga yang panik akhirnya membawa Delia ke dokter saraf terdekat di Wonogiri untuk mendapatkan pemeriksaan segera.

    “Pas di rumah sakit di Wonogiri deket rumah, itu cuma pembengkakan otak itu sudah di CT scan. Tapi dokter spesialisnya bilang kalau cuma pembengkakan otak kok nggak bisa ngomong, ini harus di MRI gitu kan mangkanya dirujuk ke rumah sakit yang ada di Solo,” demikian katanya melalui akun TikTok-nya atas izin yang bersangkutan, Sabtu (22/11/2025).

    Delia kemudian dirujuk ke salah satu rumah sakit di Solo untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Di sana, ia menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan (Computed Tomography), dan serangkaian pemeriksaan lainnya.

    Ia ditempatkan di ruang High Care Unit (HCU) untuk pemantauan intensif karena gejalanya mengarah pada stroke, meski usianya masih sangat muda. Pemeriksaan lebih lanjut melalui Transcranial Doppler (TCD) menunjukkan adanya penyumbatan dan kekakuan pada pembuluh darah di otaknya.

    Terkait pemicunya, Delia mengaku belakangan sering dilanda banyak pikiran hingga mengalami stres berat. Ia juga mengaku tidak memiliki riwayat genetik terkait tekanan darah tinggi, kolesterol, asam urat, maupun gula darah tinggi.

    Lantas, benarkah stres bisa memicu stroke?

    Direktur Medik dan Keperawatan RS PON, dr Reza Aditya Arpandy, SpS, menjelaskan bahwa stres berat dan depresi dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami stroke, meski bukan menjadi penyebab utamanya.

    Saat seseorang mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan kortisol. Kedua hormon ini dapat meningkatkan tekanan darah dan membuat detak jantung menjadi lebih cepat, sehingga memicu kondisi yang berpotensi berbahaya.

    “Kalau kondisi ini terjadi berulang atau cukup berat, maka risiko terjadinya kerusakan pada pembuluh darah dan lonjakan tekanan darah menjadi lebih tinggi, sehingga dapat memicu stroke, terutama bila orang tersebut sudah punya faktor risiko lain, seperti hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes, merokok, obesitas, atau memang sudah ada kelainan pembuluh darah otak sebelumnya,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)