Jenis Media: Kesehatan

  • Kabar Baik! KLB Polio di Indonesia Dinyatakan Berakhir

    Kabar Baik! KLB Polio di Indonesia Dinyatakan Berakhir

    Ada kabar baik dari dunia kesehatan Indonesia di akhir tahun 2025 nih detikers.

    Jadi, Kejadian Luar Biasa (KLB) polio tipe 2 sudah berakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan KLB Polio ditutup secara resmi pada 19 November 2025. Dari pantauan sejak Juni 2024 sampai sekarang, sudah nggak ditemukan lagi wabah virus polio pada anak-anak maupun lingkungan. Kabar baik ini disampaikan Kementerian Kesehatan RI dan WHO.

    Kenapa Polio bisa jadi KLB itu berawal dari Oktober 2022. Kasus pertamanya dilaporkan dari Aceh, terus bertambah di beberapa wilayah lain, kayak di Banten, Jawa Barat, hingga kasus terakhir terkonfirmasi di Papua Selatan pada Juni 2024. Langkah Kemenkes menghentikan wabah tersebut saat itu dengan imunisasi.

  • Menyoal Subclade K, Virus Flu Varian Baru yang Diklaim Lebih ‘Ganas’

    Menyoal Subclade K, Virus Flu Varian Baru yang Diklaim Lebih ‘Ganas’

    Jakarta

    Belakangan, sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jepang dihebohkan dengan kemunculan varian influenza A H3N2. Strain ini diketahui terus mengalami mutasi dan dikaitkan dengan penyebaran yang lebih cepat serta gejala yang lebih berat.

    Mutasi terbarunya, yang dikenal sebagai subclade K, dilaporkan menyebar dengan cepat dan mulai mendominasi kasus flu di beberapa negara di belahan Bumi Utara.

    Dikutip dari TODAY, infeksi ‘subclade K’ mengalami lonjakan di Jepang, Britania Raya. Bahkan, pejabat kesehatan setempat telah memperingatkan bahwa Britania Raya sedang menghadapi salah satu musim dingin terburuknya seiring dengan penyebaran galur H3N2 yang bermutasi.

    “Mengetahui adanya varian baru yang bermutasi di luar sana dan H3N2 umumnya menyebabkan penyakit yang lebih parah sungguh mengkhawatirkan,” kata Robert Hopkins Jr, direktur organisasi National Foundation for Infectious Diseases di AS.

    Infeksi Lebih Parah

    Dikutip dari Prevention, sejauh ini, subclade K telah terdeteksi di Jepang, Inggris, dan Kanada, yang semuanya mengalami infeksi yang lebih parah dari biasanya.

    Meskipun subclade K dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah, gejalanya masih konsisten dengan jenis flu lainnya, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

    Gejalanya meliputi:

    Demam atau merasa demamBatukSakit tenggorokanHidung berair atau tersumbatNyeri otot atau badanSakit kepalaKelelahanMuntah dan diare (lebih umum terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa)

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Ratusan Singa Laut Mati Dilaporkan Mati Terinfeksi Flu Burung”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/suc)

  • Perawat Ceritakan Pesan yang Paling Sering Diucapkan Pasien Menjelang Ajal

    Perawat Ceritakan Pesan yang Paling Sering Diucapkan Pasien Menjelang Ajal

    Jakarta

    Seorang perawat layanan hospice membagikan pengalamannya mendampingi sekitar 300 pasien di masa-masa terakhir mereka. Hospice sendiri merupakan perawatan bagi pasien dengan penyakit serius di akhir kehidupan, yang berfokus pada kenyamanan, kualitas hidup, dan dukungan emosional, bukan pada penyembuhan.

    Dikutip dari Everyday Health Tips, perawat bernama Laura M itu menjelaskan salah satu tugas terpentingnya adalah mendengarkan pasien. Dari situlah ia kerap mendengar pesan-pesan terakhir yang disampaikan sebelum mereka meninggal dunia.

    Sebagian besar pesan tersebut mengandung penyesalan.

    Salah satu yang paling sering muncul adalah, “Seharusnya aku lebih banyak mencinta, dan dengan cara yang berbeda.” Laura menceritakan kisah yang paling membekas dalam ingatannya tentang George, seorang veteran Perang Dunia II berusia 92 tahun yang telah bermusuhan dengan saudaranya selama bertahun-tahun.

    “Aku memenangkan pertengkarannya, tapi kehilangan seumur hidup,” ujar George sebelum meninggal.

    Tak seorang pun meninggal dengan berharap mereka lebih keras atau tegas. Justru mereka menyesali momen saat mereka memilih untuk bersikap tidak baik.

    Kemudian ada pesan lainnya: “Aku menyimpan kebahagiaanku untuk nanti, tapi itu tidak pernah datang.” Laura menceritakan bahwa salah satu pasien yang mengungkapkan hal tersebut adalah seorang pensiunan insinyur kaya.

    Sepanjang hidupnya, pria itu terlalu berfokus mengejar kekayaan hingga melupakan kebahagiaannya sendiri. Bahkan, ia tak sempat menikmati tabungan yang telah dikumpulkannya seumur hidup.

    “Aku begitu takut menjadi miskin sampai aku menjadi kaya, tapi dalam ketakutan,” ujar insinyur tersebut.

    Pesan ketiga adalah “Memaafkan membebaskan, bahkan lebih daripada oksigen.” Sebagian orang mungkin menyimpan dendam yang begitu dalam kepada seseorang. Namun menjelang kematian, banyak pasien justru menjadi lebih mudah memaafkan.

    Laura menceritakan salah satu pasien yang akhirnya memilih memaafkan anaknya, meski mereka telah lama tidak saling berhubungan. Ia ingin merasakan kedamaian sebelum mengembuskan napas terakhir.

    “Aku tak bisa mati dalam keadaan marah,” ucap pasien itu, lalu meninggal 30 menit kemudian.

    Laura beranggapan dendam tidak dapat menghukum orang lain, tapi justru meracuni diri sendiri. Kedamaian menurutnya adalah sebuah pelepasan, bukan hadiah.

    Pesan berikutnya adalah “Kehadiran adalah hadiah terbesar yang bisa kau berikan.” Laura mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, hal yang paling menyedihkan bukanlah suara monitor jantung yang berhenti, melainkan ketika tak ada keluarga yang hadir menemani.

    Ia juga teringat seorang ayah yang menyesal karena jarang meluangkan waktu untuk bercengkrama dengan keluarganya.

    “Saya menyesal kurang hadir bahkan saat berada di rumah. Aku selalu berada di tempat lain, bahkan ketika aku pulang,” katanya.

    Halaman 2 dari 3

    (avk/suc)

  • Rela Bayar Mahal, Crazy Rich Ramai-Ramai Jalani ‘Pembersihan Darah’ Demi Awet Muda

    Rela Bayar Mahal, Crazy Rich Ramai-Ramai Jalani ‘Pembersihan Darah’ Demi Awet Muda

    Jakarta

    Para miliuner pemburu umur panjang kini ramai mencoba teknik ‘pembersihan darah’ yang diklaim dapat membuang ‘racun’ dari tubuh, meski biayanya sangat mahal.

    Salah satunya adalah Johnjay Van Es, pembawa acara radio asal Phoenix, AS, yang mulai terobsesi dengan kesehatan setelah ayahnya meninggal akibat serangan jantung di usia 66 tahun.

    Van Es berhasil menurunkan berat badan hingga 76 kg dengan persentase lemak tubuh 12 persen, lalu terjun ke berbagai praktik biohacking ekstrem-dari terapi sel punca di Meksiko hingga air hidrogen impor Australia, yang semuanya berbiaya tinggi.

    Ia memperkirakan menghabiskan lebih dari 100.000 dolar AS atau sekitar 1,6 miliar rupiah per tahun untuk rangkaian terapi tersebut, mulai dari sel pembunuh alami hingga paket terapi cahaya tanpa batas.

    “Ya Tuhan, itu luar biasa. Saya belum pernah menghitungnya,” kata Van Es, dikutip dari NYPost.

    Tren Baru Plasmaferesis Seharga 120 Juta Rupiah

    Obsesi terbaru Van Es adalah plasmaferesis, prosedur ‘pembersihan darah’ seharga 7.500 dolar AS atau sekitar 125 juta rupiah. Dalam proses ini, plasma yang diduga membawa autoantibodi dan toksin dibuang, lalu diganti dengan cairan yang lebih sehat.

    Plasmaferesis umumnya digunakan untuk menangani penyakit autoimun, beberapa jenis kanker, gangguan darah, dan kolesterol tinggi. Namun, manfaatnya sebagai terapi anti-aging pada orang sehat belum terbukti secara ilmiah.

    Meski demikian, sejumlah publik figur juga pernah menjalani prosedur ini, termasuk Orlando Bloom dan biohacker Bryan Johnson.

    “Jika kita ingin menggunakan istilah ‘biohacking’ atau ‘pemurnian darah untuk tujuan gaya hidup’ atau untuk ‘detoksifikasi’, kita harus menyadari bahwa hanya ada sedikit uji coba berbasis bukti,” terang Dr Stefan Bornstein dari University Hospital Dresden.

    Bagaimana Cara Kerjanya?

    Plasmaferesis menggunakan dua jalur infus. Satu jalur menarik darah ke mesin untuk memisahkan plasma, sementara jalur kedua mengembalikan komponen darah bersama cairan pengganti seperti albumin.

    “Tampaknya seperti perekam pita kuno, tetapi dengan darah yang berputar,” tutur Van Es.

    Setelah selesai, pasien akan melihat kantong berisi plasma kuning kenyal milik mereka sendiri. Bryan Johnson bahkan membanggakan plasma ’emas cairnya’ sebagai yang ‘terbersih yang pernah dilihatnya’, dan mengaku ‘tak tega membuangnya’.

    Seperti Apa Rasanya?

    Pasien biasanya merasakan tusukan jarum dan sedikit lelah selama beberapa jam. dr Keith Smigiel, yang menangani TPE Van Es, menyamakannya dengan ‘penerbangan lintas negara’ yang efeknya mereda dalam dua hari.

    Biohacker Gary Brecka menggambarkannya sebagai rasa jernih dan tenang yang mendalam, hampir seperti zen.

    “Warna-warna terasa lebih tajam, fokus saya meningkat, dan energi serta kualitas tidur saya meningkat secara nyata,” sambungnya.

    Brecka juga mencoba imunoferesis hingga hemo-detox. Ia mengatakan anggap saja sebagai detoksifikasi dan pengaturan ulang internal.

    Siapa yang Berpotensi Mendapat Manfaatnya?

    Bornstein mengatakan plasmaferesis dapat mengurangi protein terkait usia, menurunkan kolesterol, dan mengurangi logam berat serta mikroplastik.

    “Sebagian besar studi ini menunjukkan efek positif dan hubungan positif. Tetapi, (studi-studi ini) belum sepenuhnya menunjukkan atau belum menjadi bukti korelasi dalam studi hasil yang lebih besar saat ini,” jelasnya.

    Smigiel juga menyebut prosedur ini terbukti menurunkan kolesterol dan membersihkan jamur, serta toksin lingkungan. Banyak pasiennya adalah profesional mapan dan keluarga muda yang kelelahan kronis.

    “Ketika Anda berbicara tentang pengobatan regeneratif atau pengobatan umur panjang, saya melihatnya dari perspektif kualitas hidup. Kami hanya memberi tubuh kesempatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri dengan membuang beban racun dari darah,” beber Smigiel.

    Efektif atau Tidak?

    Smigiel merujuk studi besar yang menunjukkan pertukaran plasma dapat memperlambat penurunan fungsi kognitif pada Alzheimer sedang. Seorang pelatih kesehatan, Natalia Naila, mendorong ibunya Venera (67) untuk menjalani TPE karena faktor risiko Alzheimer dan berbagai masalah inflamasi dan hasilnya langsung terasa.

    “Ia (Venera) merasa luar biasa, sangat ringan, jernih, dan terasa lebih rileks. Ia tidur jauh lebih nyenyak dan lebih tenang daripada sebelumnya,” ujarnya.

    Efek samping yang muncul seperti memar, sering buang air kecil, dan gatal ringan tidak membuat mereka berhenti.

    Hal yang Dirasakan Van Es?

    Meski belum merasakan perubahan signifikan, Van Es tetap yakin dengan seluruh rutinitas biohacking-nya.

    “Saya tidak terlalu merasakan banyak perbedaan. Secara umum, saya merasa cukup baik,” tambahnya.

    Dari tes terakhir menunjukkan kalsium arteri yang tinggi dalam tubuhnya stabil. Tetapi, ia sendiri mengaku tidak tahu metode mana yang paling berperan.

    Rutinitas hariannya cukup padat, seperti olahraga, meditasi di bak hangat, cold plunge, sauna, minum Snake Oil, air hidrogen, suplemen, hingga tidur dengan tabung oksigen yang mahal. Setahun sekali, ia juga menjalani infus sel punca dan sel pembunuh alami.

    “Dokter saya bilang kalau kamu mau tahu apa yang berhasil, kamu harus berhenti melakukan hal-hal lain. Saya bilang lupakan saja, saya akan terus melanjutkannya,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 4

    (sao/suc)

  • Heboh Temuan Kerangka Bocah Diduga Alvaro, Pakar Jelaskan Proses Pembusukan Tubuh

    Heboh Temuan Kerangka Bocah Diduga Alvaro, Pakar Jelaskan Proses Pembusukan Tubuh

    Jakarta

    Polisi menemukan kerangka yang diduga merupakan Alvaro Kiano Nugroho, bocah yang dilaporkan hilang di Jakarta Selatan sejak Maret atau sekitar delapan bulan lalu. Alvaro diduga menjadi korban pembunuhan yang melibatkan ayah tirinya.

    Di sisi lain, setelah seseorang meninggal, tubuh akan memasuki proses dekomposisi. Tahapan ini mencakup serangkaian perubahan ketika jaringan dan sel-sel tubuh mulai terurai, hingga akhirnya yang tersisa adalah struktur kerangka.

    Lalu, butuh berapa lama biasanya tubuh jenazah berubah menjadi kerangka?

    Spesialis forensik dan medikolegal Dr dr Ade Firmansyah Sugiharto, SpFM, Subsp FK(K) mengatakan proses perubahan tubuh mayat menjadi kerangka dinamakan skeletonisasi atau saat jaringan lunak hilang sepenuhnya.

    “Secara teoritis skeletonisasi dapat terjadi dalam kurun waktu 2-3 bulan,” kata dr Ade saat dihubungi, Senin (24/11/2025).

    Namun, pada beberapa kondisi, lanjut dr Ade, proses skeletonisasi bisa terjadi lebih cepat.

    “Saya juga pernah mendapatkan kasus di Indonesia telah terjadi skeletonisasi dalam waktu satu bulan,” katanya.

    “Hal yang mempengaruhi proses pembusukan lanjut, hingga skeletonisasi ini adalah suhu, kelembaban, serta pengaruh hewan-hewan,” tutupnya.

    (dpy/suc)

  • 8 Tes Buta Warna Ini Bikin Mata ‘Kelabakan’, Bisa Temukan Serangga Tersembunyi?

    8 Tes Buta Warna Ini Bikin Mata ‘Kelabakan’, Bisa Temukan Serangga Tersembunyi?

    Jakarta

    Apa kamu pernah melihat gambar serangga dengan warna-warna tertentu lalu diminta menebak bentuknya? Ini merupakan salah satu tes buta warna.

    Menggunakan ilustrasi serangga, tes ini memadukan warna dan pola tertentu. Dapatkah kamu menyelesaikan semua tes buta warna berikut?

    Tes Buta Warna Tebak Gambar Serangga

    Berikut beberapa tes buta warna berisi gambar serangga yang harus kamu jawab. Coba perhatikan dengan teliti dan jawab dengan benar.

    1. Kemampuan manuver terbangnya ini hampir tidak tersaingi di dunia serangga.

    asah otak health Foto: detikHealth

    2. Serangga yang punya capit. Racun yang dimiliki bisa dihargai sangat mahal.

    asah otak health Foto: detikHealth

    3. Posisi kaki depan serangga ini menekuk seperti sedang berdoa. Uniknya, kepalanya bisa berputar 180 derajat.

    asah otak health Foto: detikHealth

    4. Hewan yang melalui tahap metamorfosis. Sayapnya cantik.

    asah otak health Foto: detikHealth

    5. Suka hinggap di daun, serangga ini berwarna hijau.

    tes buta warna Foto: detikHealth

    6. Kakinya banyak, tubuhnya ada yang berwarna coklat kemerahan.tes buta warna Foto: detikHealth

    7. Hewan pemakan segala. Tubuhnya oval dan punya antena

    tes buta warna Foto: detikHealth

    8. Bisa menghasilkan jaring. Jumlah kakinya ada 8.

    tes buta warna Foto: detikHealth

    Jawaban Tes Buta Warna Tebak Gambar Serangga

    Bisa menjawab semuanya dengan mudah? Coba cocokkan dengan kunci jawabannya berikut ini.

    1. Capung
    2. Kalajengking
    3. Belalang sembah
    4. Kupu-kupu
    5. Belalang
    6. Kelabang
    7. Kecoa
    8. Laba-laba

    Halaman 2 dari 4

    (elk/suc)

  • Tension Pneumoperitoneum, Kondisi Dialami Pria Tewas dengan 9 Kg Tinja di Perutnya

    Tension Pneumoperitoneum, Kondisi Dialami Pria Tewas dengan 9 Kg Tinja di Perutnya

    Jakarta

    James Stewart (41), pria asal Ohio, Amerika Serikat, meninggal dengan 9 kg tinja yang memenuhi perutnya. Saat diperiksa, perutnya tampak memar, membengkak, dan terasa sangat keras.

    Ia diketahui memiliki riwayat sembelit parah serta mengonsumsi obat-obatan yang dapat menimbulkan efek samping gastrointestinal berat. Hasil autopsi menunjukkan bahwa usus besarnya tersumbat tinja yang mengeras, hingga akhirnya memicu tension pneumoperitoneum. Sebenarnya, kondisi apakah itu?

    Spesialis penyakit dalam dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, menjelaskan tension pneumoperitoneum adalah kondisi ketika udara terperangkap di rongga perut hingga menimbulkan tekanan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah perforasi atau robeknya usus.

    “Sembelit yang kronis juga bisa menyebabkan perforasi, yang akibatnya menjadi tension pneumoperitoneum. Dan kondisi seperti ini sangat mengancam jiwa,” tuturnya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    Menurut dr Aru, kondisi ini sebenarnya masih dapat diselamatkan jika ditangani segera oleh tim medis, salah satunya melalui tindakan operasi.

    “Ya masih bisa, asal tidak terlambat,” tegasnya.

    Tension pneumoperitoneum merupakan kondisi yang jarang terjadi, tetapi sangat berbahaya. Dikutip dari laman Cureus, udara yang terakumulasi di rongga perut di bawah tekanan tinggi dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen, mengganggu aliran darah, serta menghambat fungsi organ.

    Gejalanya dapat berupa distensi perut mendadak, nyeri hebat, hingga ketidakstabilan hemodinamik seperti hipotensi (tekanan darah rendah).

    dr Aru juga mengingatkan tanda-tanda sembelit kronis yang perlu diwaspadai, termasuk feses yang sangat keras.

    “Tanda-tandanya sembelit kronis adalah BAB yang kurang dari 3 hari sekali dalam seminggu, dan sudah dialami lebih dari 3 bulan,” beber dr Aru.

    “Di mana fesesnya keras dan kadang tidak tuntas. Sebaiknya segera diwaspadai,” sambungnya.

    (sao/suc)

  • Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Jakarta

    Stroke tidak hanya menyerang orang lanjut usia, tetapi juga dapat terjadi pada usia muda. Hal ini dialami oleh Delia, seorang wanita asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang terkena stroke pada 29 Agustus 2025, saat usianya baru 20 tahun.

    Ia mengaku kondisi tersebut dipicu oleh banyaknya masalah yang membuatnya mengalami stres berat. “Awalnya emang lagi ada masalah yang menurutku ni bener-bener buat aku down gitu. Jadinya kepikiran berat,” ucapnya melalui akun TikTok-nya atas izin yang bersangkutan, Sabtu (22/11/2025).

    Gejala awal yang dirasakan Delia berupa pusing hebat disertai kesulitan berbicara. Tubuhnya masih dapat digerakkan, tetapi terasa sangat lemas.

    Delia sempat menunggu karena mengira gejalanya akan membaik dengan sendirinya. Namun hingga dua jam berlalu, kemampuan bicaranya tak juga pulih. Walhasil dirinya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

    “Pas di rumah sakit di Wonogiri deket rumah, itu cuma pembengkakan otak itu sudah di CT scan. Tapi dokter spesialisnya bilang kalau cuma pembengkakan otak kok nggak bisa ngomong, ini harus di MRI gitu kan mangkanya dirujuk ke rumah sakit yang ada di Solo,” katanya.

    Setelah dirujuk, Delia menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan (Computed Tomography), dan serangkaian pemeriksaan lainnya. Bahkan Ia ditempatkan di ruang High Care Unit (HCU) untuk pemantauan intensif karena gejalanya mengarah pada stroke.

    “Di rumah sakit solo. Transcranial Doppler (TCD) nya itu hasilnya penyumbatan di pembuluh darah dan kaku gitu pembuluh darahnya. Jadi kalo banyak pikiran pembuluh darahnya bakal mengkaku dan menyumbat lagi,” tuturnya lagi.

    Setelah lima hari di HCU dan menjalani terapi, kondisinya berangsur membaik. Kemampuan bicaranya perlahan kembali, meski masih terdengar pelo. Delia kemudian diperbolehkan pulang dengan terapi lanjutan dan obat pengencer darah yang harus diminum setiap hari.

    Meski kondisi berangsur membaik, ia mengaku sempat kembali ‘kolaps’. Menurutnya, hal itu terjadi karena ia kembali mengalami stres.

    “Kambuh itu. Hampir gak ada. Sumpah kayak aduh sampe matanya udah (madep) keatas. Nggak bisa ngomong lagi. Tangan udah dingin, kaki udah dingin. Ah udah gitu lah pokoknya. Itu juga karena aku ada pikiran lagi, berlebihan lagi. Kayak terlalu apa yang aku pikirin itu kayak terlalu over gitu loh,” sambungnya.

    Pemicu stroke di usia muda

    Direktur Medik dan Keperawatan RS PON, dr Reza Aditya Arpandy, SpS, menjelaskan penyebab stroke di usia muda kerap kali berbeda dengan usia lanjut. Beberapa pemicu yang cukup sering ditemukan antara lain kelainan pembuluh darah bawaan, seperti aneurisma (pelebaran pembuluh darah yang mudah pecah) dan AVM/arteriovenous malformation (hubungan abnormal antara arteri dan vena).

    Selain itu, lanjutnya, ada penyakit jantung tertentu yang bisa membuat bekuan darah naik ke otak, misalnya kelainan katup jantung, PFO/patent foramen ovale (lubang kecil yang tidak menutup sejak lahir), atau aritmia seperti atrial fibrillation.

    “Gangguan pembekuan darah juga bisa meningkatkan risiko, misalnya kondisi trombofilia, antiphospholipid syndrome, atau kelainan genetik yang membuat darah terlalu mudah menggumpal,” katanya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    “Stroke pada usia muda juga bisa dipicu oleh cedera leher yang menyebabkan robekan pembuluh darah, serta penyakit seperti lupus, vaskulitis, atau infeksi tertentu. Pada sebagian kecil kasus, migrain berat juga berperan,” lanjutnya.

    Sementara dari sisi gaya hidup, dr Reza mengatakan faktor risiko seperti merokok, kurang tidur, obesitas, konsumsi minuman berenergi berlebihan, serta penggunaan pil kontrasepsi pada perempuan yang merokok atau memiliki migrain turut meningkatkan risiko. Terlebih banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka memiliki tekanan darah tinggi atau diabetes tanpa gejala.

    “Karena itu, stroke pada usia muda biasanya terjadi karena kombinasi faktor bawaan dan gaya hidup, bukan hanya karena stres,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Dialami Wanita Wonogiri, Neurolog Beberkan Alasan Stroke Bisa Terjadi di Usia Muda

    Jakarta

    Stroke tidak hanya menyerang orang lanjut usia, tetapi juga dapat terjadi pada usia muda. Hal ini dialami oleh Delia, seorang wanita asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang terkena stroke pada 29 Agustus 2025, saat usianya baru 20 tahun.

    Ia mengaku kondisi tersebut dipicu oleh banyaknya masalah yang membuatnya mengalami stres berat. “Awalnya emang lagi ada masalah yang menurutku ni bener-bener buat aku down gitu. Jadinya kepikiran berat,” ucapnya melalui akun TikTok-nya atas izin yang bersangkutan, Sabtu (22/11/2025).

    Gejala awal yang dirasakan Delia berupa pusing hebat disertai kesulitan berbicara. Tubuhnya masih dapat digerakkan, tetapi terasa sangat lemas.

    Delia sempat menunggu karena mengira gejalanya akan membaik dengan sendirinya. Namun hingga dua jam berlalu, kemampuan bicaranya tak juga pulih. Walhasil dirinya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

    “Pas di rumah sakit di Wonogiri deket rumah, itu cuma pembengkakan otak itu sudah di CT scan. Tapi dokter spesialisnya bilang kalau cuma pembengkakan otak kok nggak bisa ngomong, ini harus di MRI gitu kan mangkanya dirujuk ke rumah sakit yang ada di Solo,” katanya.

    Setelah dirujuk, Delia menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan (Computed Tomography), dan serangkaian pemeriksaan lainnya. Bahkan Ia ditempatkan di ruang High Care Unit (HCU) untuk pemantauan intensif karena gejalanya mengarah pada stroke.

    “Di rumah sakit solo. Transcranial Doppler (TCD) nya itu hasilnya penyumbatan di pembuluh darah dan kaku gitu pembuluh darahnya. Jadi kalo banyak pikiran pembuluh darahnya bakal mengkaku dan menyumbat lagi,” tuturnya lagi.

    Setelah lima hari di HCU dan menjalani terapi, kondisinya berangsur membaik. Kemampuan bicaranya perlahan kembali, meski masih terdengar pelo. Delia kemudian diperbolehkan pulang dengan terapi lanjutan dan obat pengencer darah yang harus diminum setiap hari.

    Meski kondisi berangsur membaik, ia mengaku sempat kembali ‘kolaps’. Menurutnya, hal itu terjadi karena ia kembali mengalami stres.

    “Kambuh itu. Hampir gak ada. Sumpah kayak aduh sampe matanya udah (madep) keatas. Nggak bisa ngomong lagi. Tangan udah dingin, kaki udah dingin. Ah udah gitu lah pokoknya. Itu juga karena aku ada pikiran lagi, berlebihan lagi. Kayak terlalu apa yang aku pikirin itu kayak terlalu over gitu loh,” sambungnya.

    Pemicu stroke di usia muda

    Direktur Medik dan Keperawatan RS PON, dr Reza Aditya Arpandy, SpS, menjelaskan penyebab stroke di usia muda kerap kali berbeda dengan usia lanjut. Beberapa pemicu yang cukup sering ditemukan antara lain kelainan pembuluh darah bawaan, seperti aneurisma (pelebaran pembuluh darah yang mudah pecah) dan AVM/arteriovenous malformation (hubungan abnormal antara arteri dan vena).

    Selain itu, lanjutnya, ada penyakit jantung tertentu yang bisa membuat bekuan darah naik ke otak, misalnya kelainan katup jantung, PFO/patent foramen ovale (lubang kecil yang tidak menutup sejak lahir), atau aritmia seperti atrial fibrillation.

    “Gangguan pembekuan darah juga bisa meningkatkan risiko, misalnya kondisi trombofilia, antiphospholipid syndrome, atau kelainan genetik yang membuat darah terlalu mudah menggumpal,” katanya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    “Stroke pada usia muda juga bisa dipicu oleh cedera leher yang menyebabkan robekan pembuluh darah, serta penyakit seperti lupus, vaskulitis, atau infeksi tertentu. Pada sebagian kecil kasus, migrain berat juga berperan,” lanjutnya.

    Sementara dari sisi gaya hidup, dr Reza mengatakan faktor risiko seperti merokok, kurang tidur, obesitas, konsumsi minuman berenergi berlebihan, serta penggunaan pil kontrasepsi pada perempuan yang merokok atau memiliki migrain turut meningkatkan risiko. Terlebih banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka memiliki tekanan darah tinggi atau diabetes tanpa gejala.

    “Karena itu, stroke pada usia muda biasanya terjadi karena kombinasi faktor bawaan dan gaya hidup, bukan hanya karena stres,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Kegigihan Lita Berjuang Melawan Kanker Payudara Stadium IIIB

    Kegigihan Lita Berjuang Melawan Kanker Payudara Stadium IIIB

    Jakarta

    Menyambut kelahiran seorang anak adalah momen penuh kebahagiaan bagi setiap ibu, begitu pula bagi Rulita (49). Namun, siapa sangka, di tengah kebahagiaan tersebut, sebuah cobaan besar datang kepadanya. Rulita didiagnosis terkena penyakit ganas, kanker payudara stadium IIIB.

    Semua berawal pada 2018, tak lama setelah ia melahirkan anak bungsunya. Saat itu, Rulita mengalami nyeri hebat dan benjolan di payudara kiri. Ia tidak menganggap ada yang aneh saat itu, apalagi karena pernah mengalami kondisi serupa sebelumnya. Ibu empat anak itu mengira kondisi tersebut hanya disebabkan oleh mastitis, peradangan pada jaringan payudara yang umum terjadi pada ibu menyusui.

    Seiring berjalannya waktu, rasa nyeri yang dirasakan Rulita semakin intens, bahkan disertai darah yang keluar saat ia memompa Air Susu Ibu (ASI). Lantaran mengira kondisi ini adalah efek dari peradangan tersebut, Rulita memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter laktasi.

    “Saya pikir itu juga memang terjadi ketika kita mengalami iritasi. Pada saat menyusui, pada saat pumping. Jadi, saya tidak berpikir apa-apa. Saya malah ke dokter laktasi. Jadi, saya pikir ada masalah di cara saya memompa atau apa. Jadi, akhirnya saya ke dokter laktasi,” kata Rulita kepada detikcom, Minggu (4/5/2025).

    Pada saat itu, dokter memberikan antibiotik untuk meredakan nyeri yang dialami Rulita. Namun, setelah sebulan mengonsumsi obat, Rulita mengaku tak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan, nyeri masih ia rasakan dan benjolan tetap ada di payudara kirinya.

    Rulita kemudian dirujuk ke dokter onkologi. Ibu empat anak itu mengaku syok saat dirujuk ke dokter onkologi. Hal ini dikarenakan istilah ‘onkologi’ berkaitan dengan penyakit kanker, dan hal itu tentu saja membuatnya khawatir.

    Adapun perjalanan Rulita mencari kepastian atas kondisi kesehatannya pun tidak singkat. Ia harus melalui serangkaian konsultasi dan mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar merasa yakin dengan langkah medis yang harus diambil.

    Rulita dan suaminya pun sepakat untuk menjalani prosedur biopsi. Beberapa hari setelahnya, Rulita kembali ke rumah sakit bersama suaminya untuk mengetahui hasil biopsi tersebut. Hasilnya, ia didiagnosis kanker payudara.

    Pada saat itu Rulita hanya terdiam, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Bayangan tentang kemungkinan ajal yang datang tiba-tiba terus menghantui benaknya.

    Suaminya pun juga tenggelam dalam keheningan yang sama. Mendengar diagnosis kanker payudara ini menjadi pukulan berat bagi Rulita dan suaminya.

    “Benar-benar sedih banget, nge-lihat hasil dokter dan diterjemahkan dari bahasa medis ke bahasa kita. Aduh, itu benar-benar, nggak bisa ngomong,” sahut suami Rulita, Beni.

    Terlebih, Rulita mengaku selama ini merasa sehat, jarang sakit, dan menjalani pola hidup yang cukup baik. Rasa tidak percaya itu mendorongnya mencari pendapat lain dari beberapa rumah sakit, berharap ada penjelasan berbeda atau kemungkinan diagnosis sebelumnya keliru.

    Salah satu dokter menyarankan untuk melakukan PET (Positron Emission Tomography) scan, yaitu prosedur pencitraan medis lanjutan untuk mendeteksi seberapa jauh sel kanker telah menyebar di dalam tubuh.

    PET scan juga menunjukkan hasil serupa, bahkan sel kanker sudah menjalar ke kelenjar getah bening. Rulita kemudian dianjurkan menjalani mastektomi, yaitu prosedur pengangkatan seluruh jaringan payudara, bukan hanya benjolan yang tampak. Tindakan ini disarankan karena ukuran kanker yang cukup besar serta risiko penyebarannya ke jaringan lain jika tidak segera ditangani.

    Keputusan untuk menjalani mastektomi tentunya bukan hal mudah bagi Rulita. Perubahan ini tak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga memberikan tekanan psikologis, terlebih bagi perempuan yang memandang payudara sebagai bagian penting dari identitas dirinya.

    Rulita sempat menanyakan kemungkinan untuk hanya mengangkat benjolannya, namun dokter menjelaskan tindakan tersebut dikhawatirkan berisiko memicu penyebaran ke payudara sebelahnya.

    “Tiba-tiba, itu saya harus berubah. Berubah dalam segala hal. Physically, saya harus berubah,” kata Rulita.

    Dokter kemudian memberinya sedikit waktu untuk mengambil keputusan, mengingat risiko progresivitas kanker yang cukup tinggi jika tidak segera ditangani. Dalam waktu yang singkat, Rulita harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan besar dalam hidupnya, baik secara fisik maupun emosional.

    “Jadi, akhirnya. Mau tidak mau, saya harus terima. Dalam waktu yang singkat, Semuanya itu harus saya persiapkan. Segala hal. Jadi, saya juga belum tahu. Apakah setelah saya dioperasi bagaimana? Kondisi saya bagaimana? Fisik saya bagaimana? Itu benar-benar di luar dari bayangan,” ucapnya.

    “Saya menyadari bahwa dokter sudah tahu kondisi saya. Dibanding saya sendiri. Ya, saya serahkan semuanya kepada dokter. Saya mastektomi di Siloam MRCCC Semanggi,” lanjut Rulita.

    Rulita menjalani mastektomi pada 29 Maret 2019 di Siloam MRCCC Semanggi. Setelahnya, ia memulai serangkaian kemoterapi yang dijadwalkan setiap 21 hari. Totalnya, Rulita harus menjalani 24 siklus kemoterapi, terdiri dari 6 kali kemoterapi dasar yang menyasar seluruh tubuh, diikuti dengan 18 kali target terapi yang lebih fokus pada payudara.

    Rulita saat dirawat di Siloam MRCCC Semanggi Foto: Dok. Siloam International Hospitals

    Alasan Lita Memilih Berobat di Siloam MRCCC Semanggi

    Adapun alasan Rulita memilih berobat di Siloam MRCCC Semanggi tak lepas dari kesan pertamanya saat mengunjungi rumah sakit tersebut. Aroma kopi yang menguat lembut dan alunan musik piano menyambutnya, menciptakan atmosfer yang jauh dari kesan rumah sakit pada umumnya.

    Selain suasananya yang menenangkan, Rulita juga merasakan pelayanan yang sangat profesional dan hangat. Para dokter menjelaskan setiap prosedur dengan sabar dan rinci, sementara para perawat sigap dan empatik dalam memberikan bantuan.

    Ketika harus menjalani mastektomi tanpa didampingi keluarga karena suaminya berada di luar kota dan kerabat lainnya tinggal di luar Jakarta, Rulita merasa sangat terbantu oleh dukungan dari tim medis Siloam MRCCC Semanggi. Dokter dan perawat yang selalu siap mendampingi membuatnya merasa tidak sendiri, bahkan dalam momen terberat sekalipun.

    Bagi Rulita, Siloam MRCCC Semanggi bukan sekadar tempat berobat, tetapi juga ruang penyembuhan jiwa. Sikap ramah, respons cepat, dan perhatian yang tulus dari seluruh tim membuatnya merasa betul-betul dirawat, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Sejak saat itu, ia merasa mantap untuk menjalani seluruh rangkaian pengobatan kanker di rumah sakit tersebut.

    “Saya jatuh cinta sama Siloam MRCCC Semanggi, karena memang saya rasakan betul-betul, yang namanya saya pas operasi, saya masih dalam kondisi yang lemah, tapi suster bisa standby,” ucap Rulita.

    “Semua cepat sekali mereka responsnya, apalagi saya baru dioperasi dan masih awal, ini pertama kali untuk saya, merasakan seperti ini, ya luar biasa sih pelayanannya, Siloam MRCCC Semanggi sih,” sambungnya lagi.

    Rulita dan keluarga (Foto: Dok. Siloam International Hospitals)

    Dukungan Keluarga untuk Lita

    Di sisi lain, menjalani pengobatan sambil tetap memegang peran sebagai ibu dan pekerja bukan hal yang mudah bagi Rulita. Ia sempat mengira penyakit ini akan membuatnya kehilangan banyak hal, dari perannya sebagai ibu, hubungan hangat dengan keluarga, hingga kebahagiaan dalam hidup.

    Namun yang terjadi, justru sebaliknya. Dukungan dari suami, anak-anak, orang tua, mertua, dan keluarga menjadi sumber kekuatan yang tak tergantikan bagi Rulita. Suaminya memang bukan tipe yang banyak bicara, tetapi perhatian dan dukungan yang ditunjukkannya terasa begitu tulus dan bermakna.

    Meski disibukkan dengan berbagai urusan pekerjaan, ia tetap berusaha meluangkan waktu dan memprioritaskan Rulita, mendampingi setiap langkah pengobatan yang dijalani sang istri.

    Anak-anaknya pun perlahan juga mulai menerima kenyataan, termasuk saat Rulita memutuskan untuk memondokkan dua anak kembarnya, Sava dan Malva (17), agar ia bisa fokus menjalani pengobatan.

    “Jadi kayak sedih gitu kan, harus jauh juga. Terus bingung, karena dihadapkan dengan lingkungan baru. Jadi harus ngikutin keinginan mami dulu, biar fokusnya juga nggak kebelah, biar nggak terlalu mikirin kita juga,” ucap Malva.

    Meski keputusan tersebut awalnya sulit diterima oleh anak-anaknya, seiring waktu mereka mulai memahami dan menerima keputusan tersebut dengan penuh pengertian.

    Rulita juga berbagi momen paling berkesan bagi dalam perjalanan pengobatannya saat harus merelakan rambutnya yang rontok akibat kemoterapi. Di tengah ketakutannya menghadapi perubahan fisik yang drastis, Rulita justru mendapat kejutan manis dari orang-orang terdekatnya.

    Tanpa banyak bicara, suami dan anak-anaknya memilih untuk mencukur rambut mereka hingga botak, mengiringi langkah Rulita dengan solidaritas yang mengharukan.

    “Kita support mami dengan memotong rambut sama-sama. Sampai botak,” kata Beni.

    “Itu sweet banget buat saya,” sahut Rulita.

    Kondisi Lita Setelah Menjalani Pengobatan di Siloam MRCCC Semanggi

    Setelah menjalani serangkaian pengobatan dan menghadapi berbagai rintangan, Rulita akhirnya dinyatakan remisi pada tahun 2022. Meskipun begitu, ia tetap dalam pemantauan intensif selama 10 tahun ke depan karena kanker yang dialaminya tergolong agresif.

    Menurutnya, kanker tersebut bisa saja muncul kembali sewaktu-waktu, bahkan di saat kondisi tubuh sedang dalam keadaan prima. Sampai saat ini Rulita masih tetap menjalani pemeriksaan rutin dan mempertahankan port kemoterapi yang terpasang di tubuhnya, sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu pengobatan lanjutan kembali dibutuhkan.

    “Saya punya nazar sama Allah, saya punya janji sama Allah. Ya Allah, kalau saya diizinkan untuk sehat lagi, diizinkan untuk terus berjuang dan bisa survive, saya ingin mendedikasikan saya untuk membantu teman-teman kanker yang masih berjuang,” kata Rulita.

    Rulita juga memiliki mimpi besar yang lahir dari pengalaman dan empatinya selama menjalani perawatan kanker. Ia ingin suatu saat dapat membantu teman-temannya yang tengah berjuang melawan penyakit serupa.

    spesialis bedah subspesialis bedah onkologi dari Siloam MRCCC Semanggi, dr. Rachmat Christian Nikijuluw Sp.B(K) Onk (Foto: Dok. Siloam International Hospitals)

    Apa Pemicu Kanker Payudara?

    Menurut spesialis bedah subspesialis bedah onkologi, dari Siloam MRCCC Semanggi, dr. Rachmat Christian Nikijuluw Sp.B(K) Onk, terdapat sejumlah faktor risiko yang bisa meningkatkan seseorang terkena kanker payudara, genetik dan hormonal. Meski banyak orang mengkhawatirkan faktor keturunan, nyatanya hanya sekitar 5-10 persen kasus kanker payudara yang berkaitan dengan faktor genetik.

    Sebagian besar kasus justru disebabkan oleh ketidakseimbangan hormonal yang terjadi dalam tubuh. Salah satu contohnya adalah perempuan yang mengalami menarche (haid pertama) di usia sangat muda, yakni di bawah 12 tahun, atau menopause yang terjadi lebih lambat dari rata-rata, misalnya di atas usia 54 tahun.

    Kedua kondisi ini membuat tubuh terpapar hormon estrogen dan progesteron dalam jangka waktu yang lebih panjang, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara.

    Selain itu, kadar hormon yang tinggi akibat terapi hormon atau pengobatan penyakit lain juga dapat menjadi pemicu.

    “Itu merupakan faktor risiko dari kanker payudara,” ucapnya saat ditemui di Siloam MRCCC Semanggi, Selasa (29/4).

    Adapun gejala yang paling khas dari kanker payudara adalah munculnya benjolan, bisa juga tidak disertai rasa nyeri. Menurut dr. Rachmat ini menjadi kata kunci penting yang perlu diperhatikan, terutama karena banyak orang mengira benjolan yang tidak sakit bukanlah sesuatu yang serius.

    Padahal, lanjutnya, dalam kondisi awal atau stadium dini, benjolan tanpa rasa nyeri inilah yang justru patut diwaspadai. Apalagi jika benjolan tersebut berkembang dengan cukup cepat, maka sebaiknya segera diperiksakan ke dokter untuk memastikan diagnosis lebih lanjut.

    Karenanya, dr. Rachmat mengungkapkan deteksi dini sangat penting untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien kanker payudara.

    Semakin dini kanker ditemukan, semakin besar pula tingkat survival pada pasien kanker payudara. Bahkan, pada banyak kasus yang terdeteksi di stadium awal, pasien bisa menjalani pengobatan tanpa harus kehilangan payudara.

    Sayangnya, masih banyak orang yang enggan memeriksakan diri karena takut jika benjolan yang ditemukan harus segera dioperasi atau diambil jaringan untuk biopsi.

    Terlebih, lanjut dr. Rachmat, ketakutan ini diperparah oleh mitos yang menyebut biopsi dapat menyebabkan penyebaran kanker. Padahal, prosedur ini penting untuk memastikan diagnosis dan menentukan pengobatan yang tepat.

    Adapun pemeriksaan dini dapat dilakukan secara mandiri maupun medis. Selain melalui SADARI (pemeriksaan payudara sendiri), pemeriksaan klinis (SADANIS) oleh dokter juga sangat penting, terutama jika ditemukan benjolan yang mencurigakan.

    Tindakan diagnostik seperti USG payudara, mamografi, hingga biopsi dapat membantu mendeteksi kanker secara lebih akurat dan pada tahap yang lebih awal. Bila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya sel kanker, pengobatan pun bisa segera dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.

    Di rumah sakit seperti Siloam MRCCC Semanggi, pendekatan pengobatan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing pasien. Mulai dari operasi yang tetap mempertahankan payudara, rekonstruksi langsung setelah pengangkatan, hingga terapi lanjutan seperti kemoterapi, terapi target berbasis biomolekuler, dan radioterapi.

    Setiap pasien mendapatkan terapi yang sifatnya individual atau individualized tailored therapy, karena karakteristik kanker setiap orang tidak sama.

    “Pentingnya kita melakukan deteksi dini. Paling penting adalah meningkatkan persentase dari survival, karena semakin dini penyakit itu kita temukan, tingkat survivalnya semakin tinggi,” kata dr. Rachmat.

    Halaman 2 dari 4

    (suc/up)