Jenis Media: Kesehatan

  • KPAI Soroti Ratusan Kota Belum Punya UPTD PPA

    KPAI Soroti Ratusan Kota Belum Punya UPTD PPA

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan data pada Oktober 2025 baru ada 398 Kabupaten/Kota yang memiliki UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) dari 520-an Kabupaten/Kota yang tersebar di Indonesia.

    Terutama Sumba Timur yang memiliki kasus yang tinggi pada kekerasan seksual terhadap anak perempuan, dan sejak 2024 sudah menginisiasi pembangunan UPTD PPA, namun sampai hari ini belum juga selesai. Mengkritisi itu, KPAI berharap komitmen tinggi dari pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi untuk memastikan setiap kabupaten di Pulau Sumba memiliki UPTD PPA.

  • Hati-hati! Frekuensi BAB Seperti Ini Bisa Meningkatkan Risiko Penyakit Ginjal-Liver

    Hati-hati! Frekuensi BAB Seperti Ini Bisa Meningkatkan Risiko Penyakit Ginjal-Liver

    Jakarta

    Frekuensi buang air besar (BAB) rupanya dapat memengaruhi kondisi kesehatan secara keseluruhan. Sebuah studi yang dipublikasikan pada 2024 meneliti kaitan frekuensi buang air besar dan kondisi kesehatan.

    Penelitian ini melibatkan 1.425 responden sehat. Peserta paling sehat melaporkan buang air besar sekali atau dua kali sehari, yang dianggap frekuensi paling pas. Kondisi ini disebut dengan ‘zona goldilocks’.

    Menurut ilmuwan Institute for Systems Biology (ISB), terlalu sering atau terlalu jarang buang air besar sama-sama berkaitan dengan adanya masalah kesehatan pencernaan.

    “Studi ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi BAB yang tidak normal bisa menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis,” kata ahli mikrobiologi ISB Sean Gibbons, dikutip dari Science Alert, Minggu (30/11/2025).

    Hasil penelitian mengelompokkan frekuensi buang air besar menjadi beberapa kelompok:

    Konstipasi: 1-2 kali per mingguNormal-rendah: 3-6 kali per mingguNormal-tinggi: 1-3 kali per hariDiare: 4 kali atau lebih BAB cair dalam sehari

    Peneliti lalu juga menganalisis metabolit darah, kimia darah, data genetik, serta mikroba usus dalam sampel tinja peserta. Mereka kemudian mencari keterkaitan antara frekuensi BAB dengan penanda kesehatan tersebut, termasuk faktor usia dan jenis kelamin.

    Mereka yang melaporkan BAB lebih jarang cenderung perempuan, lebih muda, dan memiliki indeks massa tubuh lebih rendah. Namun, setelah faktor-faktor ini diperhitungkan, kelompok dengan konstipasi maupun diare tetap menunjukkan keterkaitan yang jelas dengan masalah kesehatan tertentu.

    Bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan bagian atas lebih sering muncul pada sampel tinja peserta dengan diare. Sementara itu, sampel darah mereka menunjukkan biomarker yang terkait dengan kerusakan hati atau liver.

    Sementara itu, sampel tinja dari orang yang BAB-nya jarang memiliki kadar lebih tinggi bakteri yang terkait fermentasi protein, sesuatu yang memang kerap terjadi pada kasus konstipasi.

    “Jika feses terlalu lama berada di usus, mikroba akan menghabiskan seluruh serat makanan yang tersedia, yang biasanya mereka fermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat,” kata Johannes Johnson-Martinez, insinyur biologi di ISB.

    “Setelah itu, ekosistem usus beralih memfermentasi protein, yang menghasilkan berbagai racun yang bisa masuk ke aliran darah,” sambungnya.

    Benar saja, beberapa produk sampingan tersebut ditemukan dalam sampel darah para pasien. Yang paling meningkat adalah metabolit bernama indoxyl-sulfate, produk fermentasi protein yang diketahui dapat merusak ginjal.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Waduh! Penelitian Ungkap Keseringan Makan Sendiri Bisa Picu Masalah Mental-Fisik

    Waduh! Penelitian Ungkap Keseringan Makan Sendiri Bisa Picu Masalah Mental-Fisik

    Jakarta

    Sebuah studi terbaru mengungkapkan kebiasaan makan sendirian rupanya dapat berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik. Dalam jurnal Appetite, makan malam seorang diri dikaitkan dengan pola makan yang lebih buruk, kurang gizi, penurunan berat badan, hingga meningkatkan risiko kerapuhan mental dibandingkan mereka yang makan bersama-sama.

    Para peneliti dari Flinders University Australia meninjau 24 studi yang diterbitkan dalam dua dekade terakhir yang berfokus pada orang tua yang makan sendirian. Hasilnya cukup mengkhawatirkan.

    “Perbedaannya sangat terlihat pada konsumsi buah dan sayur. Di Taiwan, pria yang makan sendirian mengonsumsi sayur sekitar dua kali sehari, sedangkan mereka yang makan bersama mengonsumsinya hampir dua setengah kali sehari,” ucap peneliti dikutip dari Daily Mail, Minggu (30/11/2025).

    Makan sehat seperti buah dan sayur tidak hanya bermanfaat untuk kesehatan tubuh, tapi juga kesehatan mental. Studi itu juga menemukan lansia di Swedia yang makan sendirian empat kali lebih mungkin makan junk food, dibanding makan bersama orang lain.

    Makanan siap saji biasanya memiliki kandungan garam lebih tinggi, meningkatkan gula darah, dan berkontribusi pada meningkatnya tekanan darah.

    Peneliti menambahkan makan bersama dapat membangun ikatan sosial yang kuat, meningkatkan kesehatan mental, serta memberi dampak positif saat makan.

    “Menyiapkan makanan bergizi terasa kurang berharga jika hanya untuk diri sendiri. Isyarat sosial yang biasanya mendorong kita makan lebih banyak dan mencoba beragam makanan menghilang. Dan beban psikologis dari rasa kesepian memberi dampaknya sendiri,” ungkap peneliti.

    Untuk mencegah masalah ini berkembang, peneliti menyarankan agar dokter dan perawat secara rutin menanyakan kebiasaan makan kebiasaan makan pasien lansia saat pemeriksaan.

    “Bagi keluarga yang memiliki orang tua atau kerabat lansia yang tinggal sendirian, pesannya sangat praktis. Makan malam keluarga secara rutin atau janjian makan siang bisa sama pentingnya dengan apa yang sebenarnya ada di atas piring,” tandas peneliti.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Dokter Ungkap Cara Latih ‘Jantung Kedua’ di Betis Agar Kardiovaskular Makin Sehat

    Dokter Ungkap Cara Latih ‘Jantung Kedua’ di Betis Agar Kardiovaskular Makin Sehat

    Jakarta

    Sebuah unggahan di Instagram yang menjelaskan ‘jantung kedua’ manusia di betis viral. Spesialis jantung dan pembuluh darah, dr Vito A Damay, SpJP menjelaskan otot betis bertugas membantu proses pemompaan darah dari bawah ke jantung, ketika beraktivitas.

    Menurut dr Vito, sangat penting untuk menjaga kesehatan dan kekuatan otot betis. Bagaimana cara melatih otot betis agar fungsi ‘jantung kedua’ bisa maksimal?

    dr Vito menyarankan untuk orang rutin jalan kaki cepat setiap hari. Jika tidak bisa setiap hari, diusahakan paling minimal 5 hari per minggu.

    Sedangkan untuk durasi latihannya bisa dilakukan dengan 30 menit jalan cepat. Apabila masih belum terbiasa, bisa dimulai dengan 10-15 jalan cepat. Secara bertahap bisa ditingkatkan dengan durasi yang disarankan.

    “Intensitasnya jalan cepat sampai napas agak terengah, tapi masih bisa bicara. Ini moderate intensity. Langkahnya pendek dan cepat lebih efektif dibanding langkah panjang, tapi lambat,” kata dr Vito ketika dihubungi detikcom, Sabtu (29/11/2025).

    Selain jalan cepat, terdapat beberapa gerakan yang bisa divariasikan untuk meningkatkan kekuatan otot betis, misalnya seperti heel raises (naik-turun jinjit), toe walking (jalan jinjit), dan jalan menanjak.

    Gerakan heel raises bisa dilakukan 10-20 kali tiap set dan toe walking bisa dilakukan selama 10-20 detik untuk melatih otot betis lebih dalam.

    “Untuk orang yang banyak duduk, setiap 45-60 menit lakukan 20 detik jinjit dan 1 menit berjalan di tempat. Ini cukup untuk mengaktifkan pompa betis. Tentu, lakukan lebih sering lebih baik,” tandasnya.

    Berikut ini sederet manfaat menjaga otot betis sebagai ‘jantung kedua’ bagi tubuh:

    Mencegah penyakit pembuluh darah seperti varisesMengurangi bengkak di kakiMengurangi risiko penggumpalan darahMembantu kinerja jantungMemperlancar sirkulasi keseluruhan

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Teka-teki Penutup Akhir Pekan, Pemanasan Sebelum Besok ‘Dar Der Dor’ Kerja Lagi

    Teka-teki Penutup Akhir Pekan, Pemanasan Sebelum Besok ‘Dar Der Dor’ Kerja Lagi

    Asah Otak

    AN Uyung Pramudiarja – detikHealth

    Minggu, 30 Nov 2025 17:02 WIB

    Jakarta – Liburan akhir pekan adalah kesempatan menyegarkan kembali pikiran. Sudah siap menyambut esok, kerja keras lagi memeras otak dan keringat?

  • Guru Besar FKUI Ungkap Strategi Antisipasi Penyakit Pasca Bencana Alam Sumatera

    Guru Besar FKUI Ungkap Strategi Antisipasi Penyakit Pasca Bencana Alam Sumatera

    Jakarta

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam mengungkapkan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai antisipasi merebaknya penyakit pasca bencana alam di utara Sumatera. Paling utama adalah pemberian alat-alat perlindungan diri dari bekas banjir.

    Prof Ari mengungkapkan risiko penyakit pasca bencana alam banyak muncul dari infeksi bakteri akibat kurangnya alat perlindungan bagi korban.

    “Mereka harus dilengkapi dengan alat pelindung diri saat membersihkan bekas banjir, misal dengan sepatu bot, masker, sarung tangan pelindung kepala dan mata. Mengingat bakteri ini bisa masuk dari luka pada kaki dan tangan atau tertelan,” ungkap Prof Ari pada detikcom, Minggu (30/11/2025).

    Prof Ari mengatakan desinfektan juga harus didistribusikan untuk masyarakat. Khususnya, yang akan melakukan pembersihan lokasi pasca banjir.

    Kondisi para pengungsi juga harus dijaga sedemikian rupa. Pemberian makan dan minum yang cukup dan bergizi dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam melawan risiko infeksi yang besar pasca bencana alam.

    Beberapa kebutuhan lain yang perlu dipenuhi meliputi selimut dan alas tidur yang memadai, masker, sabun, dan hand sanitizer untuk menekan risiko penularan infeksi.

    “Kita semua berharap musibah ini cepat berlalu dan kondisi kerusakan bisa segera teratasi, agar masyarakat dapat kembali beraktivitas seperti biasa,” sambungnya.

    Risiko Infeksi Pasca Bencana Alam

    Prof Ari mengungkapkan situasi pasca bencana alam dapat meningkatkan berbagai risiko masalah kesehatan. Ini disebabkan oleh daya tahan tubuh korban yang rendah hingga lingkungan yang sangat mendukung untuk pertumbuhan penyakit.

    “Masyarakat berdampak banjir ini yang umumnya tinggal dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat karena pasca banjir berisiko untuk terinfeksi oleh infeksi saluran pencernaan antara lain diare atau demam tifoid,” kata Prof Ari.

    Selain itu, masalah kesehatan yang rentan muncul pasca bencana alam adalah tetanus dan leptospirosis. Infeksi tetanus misalnya, dapat terjadi ketika warga membersihkan lokasi banjir dan mengalami luka, sehingga berpotensi memicu infeksi bakteri clostridium tetani yang banyak dijumpai pada debu dan kotoran hewan.

    Beberapa gejala yang muncul akibat tetanus meliputi kekakuan tangan, badan, dan tengkuk, serta rasa sakit.

    “Kita masih ingat bahwa setelah Tsunami di Aceh dilaporkan banyak kasus masyarakat yang terinfeksi tetanus. Pasien tetanus biasanya terjadi setelah 4-21 hari setelah masuknya kuman ke dalam tubuh,” ungkapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Viral ‘Jantung Kedua’ di Betis, Ternyata Sehebat Ini Efek Jaga Kekuatan Otot Kaki

    Viral ‘Jantung Kedua’ di Betis, Ternyata Sehebat Ini Efek Jaga Kekuatan Otot Kaki

    Jakarta

    Belum lama ini viral sebuah unggahan di media sosial membahas soal ‘jantung kedua’ yang masih belum banyak diketahui orang. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dr Vito A Damay, SpJP di akun media sosialnya menjelaskan ‘jantung kedua’ manusia tersebut ada di betis.

    Menurut dr Vito, otot betis yang berkontraksi membantu proses pemompaan darah dari area bawah ke jantung. Bantuan dari ‘jantung kedua’ ini penting karena ketika berdiri, gaya gravitasi membuat darah lebih sulit untuk kembali ke dalam jantung.

    “Banyak yang belum tau, Ada Jantung Kedua. Betis itu bukan cuma otot untuk jalan. Di dalam dunia kardiologi & phlebology, betis disebut ‘Second Heart’, pompa yang membantu mengalirkan darah balik ke jantung, melawan gravitasi,” tulis dr Vito di media sosialnya, dikutip detikcom dengan izin yang bersangkutan, Minggu (30/11/2025).

    dr Vito menjelaskan ketika otot betis dijaga kekuatannya, aliran balik vena ke jantung akan menjadi lebih baik. Ini dapat memengaruhi sistem kardiovaskular secara keseluruhan.

    Ketika sistem pompa dari ‘jantung kedua’ bekerja maksimal, ini dapat mencegah berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit pembuluh darah kaki varises. Penyakit ini muncul ketika terjadi tekanan tinggi kronis di pembuluh vena kaki.

    Pompa betis yang kuat dapat menurunkan tekanan tersebut dan mencegah terjadinya pelebaran vena.

    “Manfaat selanjutnya adalah mengurangi bengkak di kaki. Aliran darah yang naik ke jantung lancar, sehingga cairan tidak mudah menumpuk di tungkai,” ungkap dr Vito ketika dihubungi detikcom.

    “Selain itu, ini juga mengurangi risiko penggumpalan darah,” sambungnya.

    dr Vito menjelaskan aliran darah yang stagnan atau lambat adalah salah satu pemicu pembekuan darah. Ini terutamanya pada orang yang suka duduk lama, traveler jarak jauh, dan pasien pasca operasi.

    Otot betis yang kuat juga membantu kerja jantung. Aliran balik dari vena yang baik, membuat kinerja jantung juga makin baik.

    “Ini memperlancar sirkulasi keseluruhan. Otot betis membantu sirkulasi sistemik,” tandasnya.

    @detikhealth_official Nahan pipis itu bukan skill… itu penyiksaan buat organ-organ 😭🚽 Jangan tunggu kandung kemihmu protes ya, langsung ke toilet kalau udah kebelet! #kesehatan #nahanpipis #pov #povorgan #habits ♬ suara asli – detikHealth

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • RS PON Catat Kasus Stroke Anak 3 Tahun, Dokter Sebut Gejala Ini Kerap Terabaikan

    RS PON Catat Kasus Stroke Anak 3 Tahun, Dokter Sebut Gejala Ini Kerap Terabaikan

    Jakarta

    Hingga saat ini, Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) Prof Dr dr Mahar Mardjono mencatat telah menangani 100 pasien operasi bypass. Salah satunya pada pasien stroke usia 3 tahun dengan kelainan moyamoya.

    Direktur Utama RSPON, dr Adin Nulkhasanah SpS, MARS, menyebut angka tersebut merupakan kasus yang tercatat hingga hari ini, Minggu (30/11/2025).

    Operasi bypass untuk stroke menjadi tindakan bedah saraf untuk membuat jalan pintas bagi aliran darah ke otak saat pembuluh darah utama tersumbat atau rusak. Prosedur ini dilakukan untuk mengalihkan darah melewati bagian bermasalah, sehingga memulihkan suplai darah ke otak dan mengurangi risiko stroke permanen, seperti pada kasus kelainan moyamoya atau penyempitan arteri karotis parah.

    Dari total pasien yang ditangani, 69 persen di antaranya dilaporkan mengalami kelainan moyamoya atau moyamoya disease.

    Penyakit ini ditandai dengan penyumbatan atau penyempitan arteri utama di dasar otak, yang memaksa otak untuk membentuk pembuluh darah kecil lemah dan kusut di area tersebut demi mengkompensasi aliran darah yang kurang. Penampakan kusut ini menyerupai kepulan asap, asal muasal nama moyamoya dalam bahasa Jepang.

    Sementara sekitar 20 persen pasien lain terserang stroke karena faktor gaya hidup tidak sehat seperti merokok, juga kondisi kolesterol tinggi, diabetes, hingga hipertensi.

    Pasien ke-100 merupakan pria usia 38 tahun, yang juga dengan kelainan moyamoya. dr Adin mengingatkan moyamoya ini bukan hanya terjadi pada usia dewasa, tetapi anak muda. RS PON bahkan sempat menangani kasus stroke yang bermula dari moyamoya, pada anak 3 tahun.

    “Kita juga pernah menangani anak usia 3 tahun, datang sudah dengan serangan stroke berulang, sehingga dia dilakukan pemeriksaan untuk melihat pembuluh darahnya, ternyata moyamoya,” bebernya kepada detikcom, Minggu (30/11/2025).

    Spesialis bedah saraf dr Muhammad Kusdiansah, SpBS, menceritakan pasien tersebut semula mengeluhkan jatuh mendadak saat bermain. “Jadi lagi jalan, main, tiba-tiba jatuh,” kata dia.

    Pria yang akrab disapa dr Kus juga menyebut keluhan semacam ini umum dialami pasien stroke usia anak. Pada kasus balita lain, usia 4 tahun, si anak tiba-tiba tidak bisa berbicara setelah menangis.

    “Nah mungkin ini orangtua perlu tahu ya, karena waktu nangis itu aliran darah ke otaknya terganggu, setelah nangis dia jadi nggak bisa ngomong,” sambungnya.

    dr Kus mengimbau orangtua tidak mengabaikan gejala tersebut, saat anak sering terjatuh, mengalami gangguan keseimbangan, terlihat lemas dari anak pada umurnya, hingga tampak wajah tidak simetris, sesegera mungkin membawa anak ke fasilitas kesehatan.

    “Yang sudah bicara, terus bicaranya jadi susah, jadi ada hambatan, hal-hal itu menjadi tanda awal dan harus segera diperiksa karena stroke pada anak tidak lazim. Kalau tanda itu ditemukan, jangan-jangan itu suatu kelainan moyamoya,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Guru Besar FKUI Ungkap Sederet Risiko Kesehatan Pasca Bencana Alam Utara Sumatera

    Guru Besar FKUI Ungkap Sederet Risiko Kesehatan Pasca Bencana Alam Utara Sumatera

    Jakarta

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menyoroti risiko dampak kesehatan yang dapat dialami korban bencana alam di Utara Sumatera. Seperti yang diketahui, beberapa wilayah seperti di Aceh dan Sumatera Utara tengah terdampak rentetan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

    Sampai Sabtu (29/11/2025) sore, tercatat ada sekitar 303 orang yang meninggal dunia dari musibah tersebut. Prof Ari menjelaskan bencana ini dapat memicu penurunan daya tahan tubuh korban akibat tingkat stres tinggi, istirahat yang kurang, hingga asupan yang seadanya.

    Menurut Prof Ari, situasi ini dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, khususnya infeksi.

    “Di satu sisi mereka akan terpapar dengan berbagai penyakit infeksi termasuk infeksi saluran pernafasan atas bahkan sampai terjadi infeksi paru sampai pneumonia,” ungkap Prof Ari pada detikcom, Minggu (30/11/2025).

    “Selain itu, masyarakat berdampak banjir ini yang umumnya tinggal dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat karena pasca banjir berisiko untuk terinfeksi oleh infeksi saluran pencernaan antara lain diare atau demam tifoid,” sambungnya.

    Selain itu, risiko penyakit lain yang dapat muncul adalah tetanus dan leptospirosis. Tetanus adalah infeksi bakteri yang menghasilkan racun yang menyerang saraf sehingga menyebabkan kekakuan dan kejang otot, sementara leptospirosis merupakan infeksi bakteri dari air atau tanah terkontaminasi yang dapat menyebabkan demam, nyeri otot, dan gangguan organ.

    Potensi tetanus dapat muncul pada orang-orang yang sedang membersihkan area banjir, lalu terluka atau tertusuk paku yang membuat bakteri clostridium tetani lebih mudah masuk tubuh.

    “Sementara, leptospirosis terjadi karena pasien tertular melalui paparan dengan kotoran tikus. Penyakit leptospirosis juga dikenal dengan penyakit demam kuning. Karena memang pasien dengan leptospirosis ini mengalami demam tinggi, menggigil, mual, muntah dan mata, kulit serta buang air kecil berwarna kuning,” ujar Prof Ari.

    Infeksi leptospirosis sering disebut sebagai hepatitis non-virus. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat memicu komplikasi seperti gagal ginjal akut, pankreatitis, meningitis, dan perdarahan.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Ngilu! Bocah Ini Tak Sengaja Telan Sendok, Baru Dikeluarkan 10 Hari Kemudian

    Ngilu! Bocah Ini Tak Sengaja Telan Sendok, Baru Dikeluarkan 10 Hari Kemudian

    Jakarta

    Seorang bocah laki-laki berusia 13 tahun di Ethiopia tidak sengaja menelan sebuah sendok teh ketika bermain bersama adiknya. Bagaimana kejadiannya?

    Bocah yang tidak disebutkan namanya ini datang ke klinik dengan gejala nyeri perut dan penurunan nafsu makan. Namun, ia tidak mengalami mual, muntah, sulit menelan, demam, perubahan suara, atau perubahan kebiasaan buang air besar.

    Pihak keluarga sebenarnya sudah tahu anak tersebut tak sengaja menelan sendok 10 hari sebelumnya. Namun, mereka berharap sendok tersebut keluar melalui tinja.

    “Pemeriksaan fisik pada hari masuk rumah sakit menunjukkan anak dalam kondisi nyaman, tanda vital stabil, dan perut lembut tanpa rasa nyeri dan tanpa tanda-tanda peritonitis,” tulis tim dokter dari Jimma University yang melaporkan kasus tersebut, dikutip dari jurnal International Medical Case Reports Journal, Minggu (30/11/2025).

    Dokter lalu melakukan rontgen pada bocah tersebut, dan benar saja tampak sebuah sendok sepanjang 11 cm tersangkut di dalam di usus.

    Penampakan sendok yang berhasil dikeluarkan. Foto: International Medical Case Reports Journal

    Keesokan harinya, bocah tersebut mulai mengalami gejala lain seperti demam tinggi yang hilang timbul dan nyeri di perut kiri atas. Ketika dicek kembali, dokter tidak menemukan adanya pergeseran dari objek asing tersebut.

    Dokter pun akhirnya melakukan laparatomi untuk mengeluarkan sendok tersebut. Dari hasil operasi tersebut, mereka juga menemukan lubang kecil pada usus yang sudah tertutup oleh jaringan tubuh, serta adanya pengikisan pada jaringan penyangga usus besar di bagian tikungan dekat limpa.

    Operasi berhasil dilakukan. Pasien bahkan dipulangkan setelah seminggu menjalani perawatan intensif.

    “Operasi berjalan lancar, pasien pulih sepenuhnya, dipulangkan tujuh hari setelah operasi, dan tidak memiliki keluhan pada kontrol berikutnya,” tulis laporan tersebut.

    “Sendok logam berukuran besar yang tertelan sangat kecil kemungkinan keluar secara spontan, sehingga harus dikeluarkan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan untuk mencegah komplikasi seperti perforasi,” tulis para dokter dalam kesimpulannya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)