Jenis Media: Kesehatan

  • Dokter Sebut Serangan Jantung Rentan Terjadi saat Liburan, Ini Alasannya

    Dokter Sebut Serangan Jantung Rentan Terjadi saat Liburan, Ini Alasannya

    Jakarta – Akhir bulan Mei 2025 menjadi momen yang dinantikan banyak orang. Pasalnya, masyarakat Indonesia akan menikmati long weekend selama empat hari berturut-turut. Meski begitu, perlu diwaspadai juga bahwa musim liburan dapat meningkatkan risiko serangan jantung. Kok bisa?

    Spesialis jantung dan pembuluh darah Vito A Damay SpJP(K) membenarkan serangan jantung lebih rentan terjadi saat liburan. Menurutnya, bukan liburannya yang salah, melainkan perubahan pola hidup saat liburan yang bisa meningkatkan risiko serangan jantung.

    “Stres perjalanan, begadang, dan kadang lupa minum obat. Semua itu bisa jadi pemicu,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Selasa (27/5/2025).

    Menurut pengalaman dr Vito, banyak orang justru mengabaikan gejala sakit saat liburan karena enggan merusak suasana. Akibatnya, rumah sakit justru dipadati pada pasien setelah liburan selesai, terutama di instalasi gawat darurat (IGD) dan ruang rawat inap.

    dr Vito juga mengatakan ada kasus pasien serangan jantung yang datang dalam kondisi sangat kritis karena terjebak macet di perjalanan saat liburan. Hal ini, lanjutnya, menjadi pengingat penting menjaga kesehatan tetap harus menjadi prioritas, bahkan saat sedang liburan.

    “Tetap jaga pola hidup sehat selama liburan. Setidaknya dengan makan tidak berlebihan, olahraga setiap hari ringan juga tidak apa apa tapi jangan malas malasan saja. Karena jantung kita tidak pernah libur kan,” sambungnya lagi.

    (suc/suc)

  • Gaza ‘Krisis’ Obat-obatan, Dokter Terpaksa Amputasi Pasien Tanpa Anestesi

    Gaza ‘Krisis’ Obat-obatan, Dokter Terpaksa Amputasi Pasien Tanpa Anestesi

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan stok peralatan medis di Gaza hampir habis. Terlebih lagi, 42 persen obat pereda nyeri juga telah kehabisan stok.

    “Kami kehabisan stok hampir 64 persen peralatan medis dan kehabisan stok 43 persen obat-obatan esensial, dan 42 persen vaksin,” kata Hanan Balkhy, Direktur Regional WHO untuk Mediterania Timur, dikutip dari Reuters.

    Balkhy mengatakan pihaknya memiliki 51 truk bantuan yang masih menunggu di perbatasan Gaza. Sampai saat ini belum mendapatkan izin untuk memasuki wilayah Palestina.

    “Dapatkah Anda bayangkan seorang ahli bedah (memperbaiki) tulang yang patah tanpa anestesi? Cairan infus, jarum, perban, semuanya tidak tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan,” tegasnya.

    Ia juga menambahkan obat-obatan dasar seperti antibiotik, obat pereda nyeri, dan obat-obatan kronis persediaannya sangat terbatas.

    Sebelumnya, Israel menghentikan semua pengiriman bantuan ke Gaza pada 2 Maret setelah menuduh Hamas mencuri bantuan tersebut, yang dibantah oleh Hamas, dan menuntut pembebasan seluruh sandera yang masih ditahan sejak serangan Hamas di Israel pada Oktober 2023.

    (sao/suc)

  • Video: Wanti-wanti Kemenkes Meski Angka Stunting RI Sudah Menurun

    Video: Wanti-wanti Kemenkes Meski Angka Stunting RI Sudah Menurun

    Jakarta – Angka kejadian stunting menurun dari 2023 sebesar 21,5 persen menjadi 19,8 persen pada 2024. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta warga tetap waspada meski terjadinya penurunan.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Siti Nadia Tarmizi, mengimbau warga yang datang ke Posyandu agar meninjau ulang kembali berat badan anaknya. Tindakan preventif ini sebaiknya dilakukan orang tua sebagai upaya mencegah stunting dan mencapai target Kemenkes menurunkan angka stunting hingga 14,2% di tahun 2029.

    (/)

  • Video RI-Swedia Teken MoU Kesehatan: Penelitian dalam Pengobatan Lanjutan

    Video RI-Swedia Teken MoU Kesehatan: Penelitian dalam Pengobatan Lanjutan

    Jakarta – Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Kesehatan Swedia Acko Ankarberg menandatangani nota kesepahaman (MoU) terkait pengembangan kerja sama bilateral di bidang kesehatan dalam agenda Konferensi Kesehatan SISP Indonesia-Swedia di Jakarta, Selasa (27/5).

    Pengembangan kerja sama ini meliputi berbagai aspek, termasuk pertukaran informasi, keahlian, dan teknologi. Kolaborasi ini juga diharapkan menjadi langkah preventif terhadap penyakit kanker, kardiovaskular, dan diabetes.

    (/)

    indonesia swedia menkes swedia acko ankarberg menkes budi gunadi sadikin

  • Begini Ciri-ciri HIV yang Muncul di Kemaluan Pria

    Begini Ciri-ciri HIV yang Muncul di Kemaluan Pria

    Jakarta

    Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4.

    Sel ini punya peranan penting dalam membantu tubuh melawan infeksi. Meskipun HIV dapat mempengaruhi siapa saja, terdapat beberapa gejala khas yang bisa dialami pria, khususnya di bagian area kemaluan.

    Ciri-ciri HIV pada Kemaluan Pria

    Ada beberapa ciri-ciri HIV pada kemaluan pria yang perlu diwaspadai. Berikut penjelasannya.

    1. Luka pada Penis

    Salah satu ciri-ciri HIV pada kemaluan pria adalah munculnya luka terbuka pada penis. Luka ini juga bisa muncul di bagian mulut atau kerongkongan.

    Luka ini biasanya sembuh, tetapi sering kali muncul kembali.

    Dikutip dari laman Medical News Today, sebuah laporan kasus pada tahun 2017 mengungkapkan seorang pengidap HIV yang mengalami tukak penis. Kondisi ini menyebabkan luka menyakitkan pada penis dan pembesaran kelenjar getah bening di area selangkangan.

    2. Disfungsi Ereksi

    Menurut penelitian tahun 2021, prevalensi disfungsi ereksi pada pria dengan HIV berkisar antara 13 hingga 86 persen. Sesuai namanya, disfungsi ereksi ditandai oleh ketidakmampuan mencapai ereksi atau ereksi yang tidak maksimal.

    Ciri-ciri HIV Stadium Awal pada Pria

    Selain di kemaluan, terdapat tanda-tanda HIV lain pada pria yang mungkin tidak langsung terlihat pada tahap awal. Namun, jika muncul gejala awal HIV, biasanya terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu, antara lain:

    DemamPanas dinginRuamBerkeringat di malam hariNyeri ototSakit tenggorokanKelelahanDiarePembengkakan kelenjar getah beningSariawan di mulut

    Dikutip dari laman Ada Health HmbH, adanya gejala ini disebabkan oleh reaksi sistem imun terhadap masuknya virus ke tubuh. Biasanya, gejala akan berkembang selama 2-4 minggu.

    Ciri-ciri AIDS pada Pria

    AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan tahap paling lanjut dari infeksi HIV. Kondisi ini terjadi ketika virus telah merusak sistem kekebalan tubuh secara serius, sehingga tubuh tidak mampu melawan berbagai infeksi. Gejalanya meliputi:

    Kelelahan EkstremPenurunan berat badan yang parah atau cepatDiare yang berlangsung lebih dari semingguRadang paruLuka di mulut, anus, atau kelaminDepresiPembengkakan kelenjar getah bening di sekitar ketiak, selangkangan, atau leher yang tidak kunjung hilangDemam atau keringat malam yang parah dan terus munculBercak merah, coklat, merah muda, atau ungu di bawah kulit

    (elk/suc)

  • 8 Hal yang Terjadi pada Tubuh saat Berhenti Konsumsi Gula

    8 Hal yang Terjadi pada Tubuh saat Berhenti Konsumsi Gula

    Jakarta – Gula secara alami terdapat dalam semua makanan yang mengandung karbohidrat, seperti buah-buahan, sayuran, dan produk susu. Mengonsumsi makanan utuh dengan kandungan gula alami justru baik bagi tubuh, karena dicerna secara perlahan dan memberikan pasokan energi yang stabil ke sel-sel tubuh.

    Dikutip dari Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), asupan tinggi buah, sayur, dan biji-bijian juga terbukti dapat menurunkan risiko penyakit kronis, seperti diabetes, penyakit jantung, dan beberapa jenis kanker.

    Masalah muncul ketika seseorang mengonsumsi terlalu banyak gula tambahan, gula yang ditambahkan ke dalam makanan atau minuman untuk meningkatkan rasa atau memperpanjang masa simpan.

    Tanpa disadari, banyak makanan seperti kue, biskuit, permen, minuman ringan, jus buah, dan makanan olahan lainnya mengandung gula tambahan. Bahkan, gula tambahan juga bisa ditemukan pada makanan yang tidak terasa manis, seperti sup, roti, daging olahan, dan saus tomat.

    Asupan gula yang berlebihan dikaitkan dengan beberapa penyakit, seperti obesitas, diabetes, dan jantung.

    8 Hal yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Konsumsi Gula

    Dikutip dari Eating Well, berikut hal yang dapat terjadi pada tubuh saat berhenti konsumsi gula yang berlebihan.

    1. Penurunan Berat Badan Lebih Cepat

    Dengan mengonsumsi makanan tanpa tambahan gula, total asupan kalori yang masuk ke tubuh akan berkurang. Hal ini dapat mempercepat penurunan berat badan.

    Menurut penelitian, konsumsi gula tambahan yang berlebihan dapat berkontribusi pada kelebihan berat badan. Oleh karena itu, mengganti makanan tinggi gula tambahan dengan pilihan yang rendah atau tanpa gula bisa membantu mengurangi asupan kalori secara signifikan.

    Menurut penelitian, konsumsi gula yang tinggi bisa meningkatkan risiko terkena diabetes tipe 2. Berat badan bisa bertambah saat mengonsumsi banyak kalori dalam bentuk gula tambahan.

    Kelebihan berat badan atau obesitas sering kali disertai dengan gangguan pengendalian gula darah dan menurunnya sensitivitas insulin, yang dapat memicu diabetes tipe 2. Oleh karena itu, mengurangi konsumsi gula tambahan dapat membantu mengelola berat badan sekaligus menjaga kadar glukosa darah tetap dalam batas normal. Kedua hal ini berperan penting dalam menurunkan risiko terkena diabetes.

    3. Memperlambat Proses Penuaan Kulit

    Mengurangi asupan gula tambahan dan menjaga kadar glukosa darah tetap dalam batas normal dapat membantu memperlambat proses penuaan kulit.

    Pola makan yang mengandung banyak gula bisa menyebabkan produksi AGEs (Advanced Glycation End Products) yang berhubungan dengan percepatan proses penuaan kulit.

    Oleh karena itu, mengurangi konsumsi gula bisa memperlambat efek penuaan yang ditimbulkan AGE’s pada kulit. Pilih makan makanan buah dan sayur yang bermanfaat bagi kesehatan kulit.

    Peradangan kronis tingkat rendah berhubungan dengan hampir semua penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup dan proses penuaan, seperti radang sendi, gangguan saluran pencernaan, dan sindrom metabolik. Sebuah penelitian yang mengamati data lebih dari 5.000 orang dewasa menemukan, konsumsi minuman manis oleh penderita pra-diabetes berkaitan dengan peningkatan kadar protein C-reaktif, yaitu indikator utama peradangan.

    Penelitian tersebut menunjukkan konsumsi gula tambahan yang berlebihan dapat memperparah peradangan. Oleh karena itu, menghindari gula tambahan dapat membantu mengurangi peradangan yang sudah ada sekaligus mencegah terjadinya peradangan baru. Dengan begitu, fungsi kekebalan tubuh pun meningkat dan tubuh menjadi lebih efektif dalam melawan patogen.

    Asupan gula tambahan yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan risiko mengalami episode depresi, kecemasan, dan kesehatan mental lainnya. Menurut peneliti, hal ini berasal dari peradangan otak yang dipicu oleh indeks glikemik gula yang lebih tinggi.

    Mengurangi asupan gula juga bisa membantu menjaga daya ingat yang tetap baik seiring bertambahnya usia. Sebuah studi yang melibatkan 3.623 orang Amerika berusia 60 tahun ke atas, menemukan hubungan antara asupan gula yang tinggi dengan tingkat keparahan hilangnya daya ingat.

    6. Nafsu Makan Berkurang

    Leptin, hormon utama yang mengatur nafsu makan, memberi sinyal ke otak tentang kapan harus makan, berhenti makan, serta kapan metabolisme harus dipercepat atau diperlambat. Namun, pada orang dengan obesitas dan resistensi insulin, tubuh menjadi kurang responsif terhadap sinyal bahwa sudah merasa kenyang.

    Oleh karena itu, memperbaiki pengelolaan glukosa bisa membantu memulihkan peran leptin dalam tubuh. Caranya adalah dengan mengurangi konsumsi gula tambahan.

    7. Meningkatkan Kesehatan Jantung

    Beberapa penelitian observasional menunjukkan orang yang mengonsumsi gula tambahan berlebihan berisiko lebih besar terkena penyakit kardiovaskular. Pola makan tinggi gula bisa meningkatkan peradangan dan menyebabkan hati memompa lemak berbahaya ke aliran darah. Hal tersebut bisa berkontribusi terhadap perkembangan penyakit kardiovaskular.

    Gula bisa menyebabkan gigi berlubang. Jika tak menyikat gigi, gula dan karbohidrat lain pada gigi akan menjadi makanan bakteri yang hidup di mulut. Akibatnya, kondisi tersebut dapat menghasilkan asam yang menghilangkan mineral dari enamel gigi dan kemudian menyebabkan lubang.

    (elk/suc)

  • Ahli Ungkap Menekan ‘Tunda’ saat Alarm Bunyi Bisa Berdampak pada Tubuh, Kok Bisa?

    Ahli Ungkap Menekan ‘Tunda’ saat Alarm Bunyi Bisa Berdampak pada Tubuh, Kok Bisa?

    Jakarta

    Pernah menekan ‘tunda’ atau snooze saat alarm di HP berbunyi agar bisa mendapat tidur tambahan beberapa menit? Ternyata, kebiasaan ini berdampak kurang baik untuk kesehatan, lho.

    Ilmuwan asosiasi Divisi Gangguan Tidur dan Sirkadian di Brigham and Women’s Hospital, Dr Rebecca Robbins berpendapat menekan ‘tunda’ ketika alarm sudah bunyi di pagi hari dapat mengurangi kualitas tidur. Dia menekankan kualitas tidur sama pentingnya dengan durasinya.

    “Alarm pertama bisa mengganggu tahap tidur yang penting, dan apa pun yang Anda dapatkan setelah menekan snooze kemungkinan adalah tidur berkualitas rendah dan terputus-putus,” ujar Robbins dikutip dari CNN, Selasa (27/5/2025).

    Studi terbaru yang dilakukannya menunjukkan rata-rata orang menekan tombol ‘tunda’ selama 11 menit setelah alarm pertama berbunyi. Jika dikalkulasikan, kebiasaan ini setara dengan kehilangan satu malam penuh waktu tidur setiap bulan hanya karena fitur snooze.

    Ketika tidur, otak melewati berbagai aktivitas neurologis dan paruh kedua malam didominasi oleh tidur rapid eye movement (REM), waktu utama ketika bermimpi. Ini adalah tahap penting untuk fungsi kognitif dan konsolidasi memori, menurut Robbins.

    “Ketika Anda menekan tombol snooze, apalagi hanya beberapa menit, Anda hampir pasti tidak akan kembali ke tahap REM itu,” sambung Robbins.

    Sementara itu, pakar tidur dari Northwestern Medicine Canning Thoracic Institute, Dr Justin Fiala berpendapat belum ada kesepakatan bulat apakah tidur ringan selama snooze lebih banyak dampak buruknya, dibanding manfaatnya.

    Meski begitu, kehilangan tidur berkualitas dan menggantinya dengan tidur ringan dari menekan ‘tunda’ alarm memang meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif dan mood yang buruk.

    “Kalau Anda merasa malah lebih lelah setelah menggunakan alarm snooze, saya akan sarankan untuk kembali ke kebiasaan bangun langsung saat alarm pertama,” kata Fiala.

    NEXT: Apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kebiasaan ini?

    Konsistensi waktu tidur sama pentingnya dengan durasi tidur. Orang yang terbangun dalam tahap tidur dalam membuat proses pemulihan otak terputus. Ini memicu efek sleep inertia, rasa kantuk dan bingung setelah bangun, yang berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam.

    Jika tubuh terbiasa dengan jadwal tidur yang teratur, efek sleep inertia ini bisa berkurang.

    “Dalam dunia yang ideal, kita tidak akan mengandalkan alarm untuk bangun. Kita bisa tertidur dan bangun secara alami dan memiliki energi sepanjang hari,” kata Robbins.

    Dikutip dari IFL Science, penelitian Robbins menemukan orang yang tidur kurang dari 5 jam justru cenderung jarang menggunakan snooze, dibanding mereka yang tidur lebih lama. Peneliti menduga orang yang tidur singkat memiliki tanggung jawab mendesak yang tidak memungkinkan mereka untuk mengambil waktu tidur tambahan.

    Untuk menghilangkan kebiasaan ini, Robbins menyarankan untuk menggeser waktu alarm seakhir mungkin. Menurut Robbins, ini bisa mengoptimalkan tidur dan performa keesokan harinya.

    “Pendekatan terbaik untuk mengoptimalkan tidur dan kinerja keesokan harinya adalah dengan mengatur alarm pada waktu paling akhir yang masih memungkinkan, lalu berkomitmen untuk langsung bangun saat alarm pertama berbunyi,” tandasnya.

  • Ingat COVID-19 Masih Ada! Tak Perlu Panik, Tapi Sebaiknya Waspada

    Ingat COVID-19 Masih Ada! Tak Perlu Panik, Tapi Sebaiknya Waspada

    Jakarta

    Di tengah euforia long weekend dan aktivitas masyarakat yang mulai kembali normal, pakar mengingatkan COVID-19 belum benar-benar hilang. Meski kasus tak lagi seganas di masa puncak pandemi, virus ini masih ada dan terus dipantau ketat para ahli di berbagai negara, termasuk Indonesia.

    Thailand misalnya, belakangan mencatat 50 ribu kasus COVID-19 dalam sepekan, dengan 5 kasus di antaranya meninggal dunia. Peningkatan dilaporkan selama musim hujan dan mobilitas tinggi. Singapura juga sempat mencatat lebih dari 15 ribu kasus dalam satu minggu terakhir.

    “Beberapa negara tetangga mengalami peningkatan kasus. Itu terjadi karena mereka punya sistem surveilans yang rapi dan konsisten. Bahkan saat situasi normal, mereka tetap rajin mencatat dan melaporkan,” kata Prof Tjandra Yoga Aditama Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020 baru-baru ini.

    Ia menekankan COVID-19 masih eksis di banyak negara yang artinya fluktuasi kasus sangat mungkin terjadi. Hal yahg menjadi kunci, menurutnya, adalah bagaimana otoritas kesehatan terus memantau jumlah kasus, angka kematian, hingga pola genomik virus.

    “Sampai sekarang, belum ada varian baru yang jadi penyebab lonjakan kasus. Varian yang mendominasi masih JN.1 dan turunannya seperti LF.7 dan NB.1.8,” jelasnya.

    Vaksinasi Tambahan

    Meski tidak terjadi lonjakan signifikan, penting untuk tetap melalukan vaksinasi COVID-19 tambahan, terutama bagi kelompok rentan, seperti lansia dan mereka dengan imunitas tubuh lemah.

    “Anjuran umum adalah vaksinasi ulang setahun setelah vaksin sebelumnya. Di Amerika, seperti di New York, toko-toko farmasi seperti CVS masih menyediakan pojok vaksinasi COVID-19, walau kasusnya rendah,” ujar Prof Tjandra.

    NEXT: Langkah penting

    Tiga Langkah Penting

    Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu terus dilakukan pemerintah Indonesia:

    Perkuat surveilans epidemiologik dan genomik di dalam negeri.Pantau ketat dinamika kasus di negara lain, khususnya negara tetangga, lewat kerja sama regional dan global seperti ASEAN dan WHO.Meski belum perlu ada pembatasan perjalanan, kewaspadaan tetap harus dijaga.

    “Jadi, walau belum ada sinyal bahaya besar, kita nggak boleh lengah. COVID-19 masih ada, dan kita harus tetap waspada,” tegas Prof Tjandra.

    Simak Video “Video: Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Bagaimana dengan Indonesia?”
    [Gambas:Video 20detik]

  • COVID-19 di Thailand Melonjak, Tembus 53 Ribu dalam Sepekan! 5 Orang Meninggal

    COVID-19 di Thailand Melonjak, Tembus 53 Ribu dalam Sepekan! 5 Orang Meninggal

    Jakarta – Thailand mencatat lebih dari 50 ribu kasus COVID-19 dalam sepekan terakhir, lima orang di antaranya meninggal dunia. Menurut Departemen Pengendalian Penyakit setempat, tercatat 53.563 kasus pada periode 18 hingga 24 Mei.

    Dari total tersebut, 2.827 orang menjalani rawat inap, sementara sisanya rawat jalan. Bangkok mencatat kasus COVID-19 terbanyak.

    Dikutip dari BangkokPost, pasien yang paling banyak terpapar COVID-19 berada di usia 30 hingga 39 tahun yakni 10.740 kasus. Diikuti kelompok usia lebih muda di rentang 20 hingga 29 tahun yakni 9.527 kasus.

    Thailand juga mencatat 8.107 kasus lansia dan 4.117 anak kecil berusia empat tahun ke bawah yang terpapar COVID-19.

    Pekan lalu, Bangkok memiliki kasus terbanyak dengan total 9.539 infeksi, diikuti oleh Chon Buri (3.379), Samut Prakan (2.491), Nonthaburi (2.278) dan Rayong (2.210). P

    Secara nasional, dari 1 Januari hingga 26 Mei, ada 186.955 kasus COVID-19 yang dilaporkan di Thailand, dengan 46 kematian.

    Otoritas kesehatan setempat mewanti-wanti kasus COVID-19 bisa terus meningkat di tengah musim hujan dan masa sekolah, yang meningkatkan risiko penularan di tempat-tempat ramai termasuk transportasi umum, sekolah, rumah sakit, dan pusat perawatan lansia.

    Departemen tersebut menyarankan masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan sederhana, dengan memakai masker jika mengalami demam atau batuk, menghindari kontak dekat dengan orang yang menunjukkan gejala pernapasan, cuci tangan sesering mungkin, dan melakukan tes COVID-19 bila mencurigai adanya infeksi.

    “Jangan bawa virus pulang ke kelompok rentan seperti lansia atau mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya,” DDC memperingatkan.

    Varian JN.1 tetap menjadi strain dominan di Thailand, yang mencakup 63,92 persen dari kasus yang diurutkan. Meskipun tingkat keparahannya telah menurun, varian ini terus menyebar dengan cepat.

    (naf/naf)

  • Cerita 3 Pasien yang Idap Kanker Paru, Ini Gejala yang Mereka Rasakan

    Cerita 3 Pasien yang Idap Kanker Paru, Ini Gejala yang Mereka Rasakan

    Jakarta

    Kanker paru kerap kali tak terdeteksi pada tahap awal, dan baru terdiagnosis saat sudah memasuki stadium lanjut. Nyeri dada hingga batuk terus-menerus bisa menjadi gejala kanker paru-paru.

    Namun, hal itu juga bisa menjadi tanda dari kondisi lain, termasuk masalah jantung, anemia, dan infeksi virus, seperti COVID-19.

    “Beberapa gejala kanker paru-paru memerlukan perhatian segera,” kata ahli bedah toraks dan kardiovaskular Ara Vaporciyan, MD, dikutip dari MD Anderson Cancer Center.

    “Yang lainnya hanya perlu diperiksa dalam waktu dua atau tiga minggu. Gejala yang konstan lebih merupakan masalah daripada gejala yang hanya terjadi dalam waktu singkat dan kemudian sembuh dengan sendirinya. Dan kombinasi gejala lebih mengkhawatirkan daripada gejala yang muncul sendiri,” imbuhnya.

    Berikut pengakuan atau cerita tiga pasien kanker paru soal gejala yang mereka alami.

    1. Nyeri Dada atau Tekanan di Dada

    Deborah Schroeder, yang didiagnosis mengidap kanker paru-paru pada usia 55 tahun, mengungkapkan gejala yang dialami berupa nyeri dada yang tidak biasa.

    Menurutnya, saat masih muda, seseorang cenderung merasa seolah-olah tidak akan pernah mengalami hal buruk, termasuk penyakit serius. Namun, dia mulai curiga ada sesuatu yang tidak beres meski sebelumnya dia merasa dalam kondisi kesehatan yang cukup baik.

    “Saya mulai merasakan nyeri dada yang aneh pada musim panas tahun 2013,” kata Deborah Schroeder.

    “Saat masih muda, Anda merasa tak terkalahkan. Dan kemudian, Anda berpikir itu tidak akan pernah terjadi pada Anda. Namun, saya tahu ada yang salah karena hingga saat itu, saya cukup sehat.”

    2. Batuk yang Mengganggu

    Nancy White, seorang pensiunan guru sekolah dari Pensacola, Florida, berusia 71 tahun ketika ia didiagnosis pada tahun 2015. Ia mengalami gejala berupa batuk tak kunjung sembuh, bahkan bertambah parah saat di malam hari.

    “Saya mencoba meredakannya dengan mengonsumsi antibiotik. Saya juga menjalani beberapa tes alergi dan berkonsultasi dengan dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan. Semua itu tidak membantu,” tutur White.

    3. Sesak Napas

    Ashley Stringer, berusia 34 tahun ketika ia didiagnosis mengidap kanker paru-paru pada tahun 2017. Ibu dua anak itu mengaku mengalami gejala berupa sesak napas saat berolahraga di atas treadmill.

    Meskipun sempat melihat iklan tentang penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) di televisi, Stringer merasa dirinya masih terlalu muda untuk mengalami kondisi serius seperti itu.

    “Saya punya firasat bahwa saya perlu memeriksakannya.”

    Tonton juga “Dampak Nge-vape di Tubuh: Risiko Bronkitis hingga Kanker Paru” di sini:

    NEXT: Gejala Kanker Paru Lainnya

    Gejala kanker paru yang harus diwaspadai

    Di sisi lain, Vaporciyan mengungkapkan beberapa gejala kanker paru lainnya yang perlu diwaspadai. Antara lain:

    Batuk berdarah atau mengeluarkan dahak berwarna karatPerubahan pada batuk yang tidak berhubungan dengan tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, malaise, dll.)Nyeri dada yang konstan atau bertambah parah saat tertawa, batuk, atau berolahragaPenurunan berat badan (gejala tahap akhir)Pembengkakan pada leher atau wajah (gejala yang sudah sangat parah)

    “Banyak perokok yang mengalami batuk kronis. Tetapi jika Anda mengalami batuk baru atau batuk yang lebih parah yang tidak membaik dengan antibiotik dalam beberapa minggu, saya akan meminta semacam pencitraan,” jelas Vaporciyan.

    “Itu juga berlaku untuk mereka yang bukan perokok, karena kanker paru-paru semakin sering didiagnosis di antara orang-orang yang tidak pernah merokok atau menggunakan produk tembakau. Dan setiap kali Anda batuk berdarah, itu perlu segera diperiksakan.”