Jenis Media: Kesehatan

  • Kasus COVID-19 ‘Meledak’ di Thailand, 65 Ribu Orang Terinfeksi dalam Sepekan

    Kasus COVID-19 ‘Meledak’ di Thailand, 65 Ribu Orang Terinfeksi dalam Sepekan

    Jakarta

    Thailand melaporkan sebanyak 65.007 kasus baru COVID-19 selama sepekan, dengan delapan kematian baru menurut Center for COVID-19 Situation Administration Thailand (CCSA).

    Dikutip dari The Nation, kasus dan kematian baru ini tercatat dari periode 18 hingga 24 Mei. Sementara itu, jumlah kumulatif periode 1 Januari hingga 24 Mei 2025 mencapai 204.965 ribu kasus, dengan 51 kematian.

    CCSA menyatakan, 3.544 pasien masih dirawat di rumah sakit, dan 61.463 pasien menjalani pemulihan di rumah.

    Adapun lima provinsi di Thailand dengan jumlah pasien COVID tertinggi, di antaranya:

    Bangkok: 12.184 pasienChon Buri: 4.018 pasienNonthaburi: 2.891 pasienSamut Prakan: 2.837 pasienRayong: 2.355 pasien

    CCSA juga mengidentifikasi tiga kelompok usia dengan jumlah pasien COVID tertinggi, antara lain:

    20-29 tahun: 11.298 pasien30-39 tahun: 12.860 pasien60 tahun ke atas: 9.887 pasien

    Department of Disease Control (DDC) Thailand mengatakan kasus COVID-19 terus dilaporkan, terutama selama musim hujan dan masa sekolah, yang meningkatkan risiko penularan di tempat-tempat ramai seperti transportasi umum, sekolah, rumah sakit, dan pusat perawatan lansia.

    Departemen tersebut menyarankan masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan sederhana, seperti menggunakan masker jika mengalami demam atau batuk, hindari kontak dekat dengan orang yang menunjukkan gejala pernapasan, cuci tangan sesering mungkin, dan gunakan tes jika diduga ada infeksi. Jika hasil tesnya positif, segera cari pertolongan medis.

    “Jangan membawa virus pulang ke kelompok rentan seperti orang lanjut usia atau mereka yang memiliki kondisi kesehatan bawaan,” DDC memperingatkan.

    Menurut Department of Medical Sciences (DMSC), varian JN.1 tetap menjadi strain dominan di Thailand, mencakup 63,92 persen dari kasus yang diurutkan. Meskipun tingkat keparahannya telah menurun, varian ini terus menyebar dengan cepat, demikian peringatan departemen tersebut.

    (suc/suc)

  • Didominasi Varian MB.1.1, Begini Situasi COVID-19 di Indonesia

    Didominasi Varian MB.1.1, Begini Situasi COVID-19 di Indonesia

    Jakarta

    Menyikapi peningkatan kasus COVID-19 di kawasan Asia, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan edaran tentang kewaspadaan. Surat ini juga mengungkap varian baru yang mendominasi peningkatan kasus di sejumlah negara.

    Di Thailand misalnya, ada dua varian yang dominan yakni XEC dan JN.1. Di Singapura, varian yang mendominasi adalah LF.7 dan NB.1.8 yang keduanya merupakan turunan JN.1.

    Varian XEC juga mendominasi peningkatan kasus COVID-19 di Hong Kong dan Malaysia. Sementara itu, kasus COVID-19 di Indonesia didominasi varian MB.1.1.

    “Dengan varian dominan yang beredar adalah MB.1.1,” tulis Plt Dirjen Penanggulangan Penyakit Kemenkes RI, Murti Utami, dalam edaran tentang kewaspadaan COVID-19 tertanggal 23 Mei 2025 tersebut.

    Disebutkan juga, peningkatan kasus COVID-19 di kawasan Asia terjadi sejak minggu ke-12 tahun 2025 dan saat ini masih berlangsung. Namun di Indonesia, kasus konfirmasi mingguan saat ini sudah turun dari 28 kasus pada minggu ke-19 menjadi 3 kasus pada minggu ke-20.

    Tentang varian MB.1.1

    Laman Nextrain.org mencatat, MB.1.1 merupakan nama lain atau Unaliased Pango Lineage untuk BA.2.86.1.1.49.1.1.1 dengan nama clade 24A yang masih berkerabat dengan varian Omicron. Tidak banyak informasi tersedia tentang varian ini.

    Namun yang pasti, dashboard pencatatan organisasi kesehatan dunia (WHO) tidak mencantumkan varian ini secara spesifik ke dalam daftar Variants of Interest (VOIs) per 2 Desember 2024 maupun Variants Under Monitoring (VUMs) yang diperbarui pada 23 Mei 2025.

    Di daftar VOIs, hanya ada varian JN.1, sementara daftar VUMs mencakup varian berikut:

    KP.3KP.3.1.1LB.1XECLP.8.1NB.1.8.1

    NEXT: Anjuran pakai masker dan hand sanitizer

    Edaran Kemenkes RI tentang kewaspadaan COVID-19 memberi arahan kepada sejumlah pihak. Di antaranya kepada dinas kesehatan seluruh Indonesia, yang diminta meningkatkan kewaspadaan dan promosi kesehatan.

    Kepada masyarakat, dinas kesehatan diharapkan memberi imbauan untuk:

    Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)Cuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabut (CTPS) atau menggunakan hand sanitizerMenggunakan masker bagi masyarakat yang sakit atau jika berada di kerumunanSegera ke fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala infeksi saluran pernapasan dan ada riwayat kontak dengan faktor risiko.

    Sementara itu, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bidang Kekarantinaan Kesehatan diminta memberi imbauan kepada pelaku perjalan sebagai berikut:

    Menggunakan masker jika sedang sakit seperti batuk, pilek, atau demam.Menerapkan pola hidup bersih seperti selalu mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, serta menerapkan etika batuk/bersin untuk menghindari penularan kepada orang lain; danJika mengalami sakit selama perjalanan agar menyampaikan kepada awak atau personel alat angkut maupun kepada petugas kesehatan di pelabuhan/bandar udara/PLBN setempat.

    Simak Video “Video Varian Covid-19 yang Mendominasi Indonesia Saat Ini “
    [Gambas:Video 20detik]

  • Sorotan Kemenkes Soal Minyak Babi, Dampak Serius Lemak Jahat bagi Jantung

    Sorotan Kemenkes Soal Minyak Babi, Dampak Serius Lemak Jahat bagi Jantung

    Jakarta

    Soal bahaya minyak babi untuk kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI lebih menyoroti kandungan lemak jahat di dalamnya. Tak cuma dari babi, dari manapun sumber minyak berasal kandungan lemak jahat tetap punya dampak negatif bagi kesehatan.

    “Kalau asalnya, apakah dari babi atau dari sawit, atau dari yang lainnya, itu kita tidak melihat dari sumber asalnya. Tapi yang penting konsumsi lemak trans,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dr Siti Nadia Tarmizi saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    Asam lemak jenuh atau saturated fat acid yang terkandung dalam minyak babi banyak dikaitkan dengan faktor risiko gangguan kardiovaskular, seperti stroke dan serangan jantung. Selain itu, juga meningkatkan risiko obesitas dan gangguan metabolik.

    “Jadi sebenarnya sama saja (sumbernya), yang penting hasil akhirnya. Jadi, kita tahu bahwa dia itu asam lemak transnya itu berisiko menimbulkan penyakit, seperti jantung koroner,” kata dr Nadia.

    “Jadi, yang penting adalah batas konsumsi dari asam lemak tidak jenuh, itu yang harus diikuti,” terusnya.

    NEXT: Dampak serius ke jantung

    Kandungan lemak jenuh dalam minyak babi juga dikaitkan dengan peningkatan kolesterol dalam tubuh jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Kolesterol tinggi juga termasuk faktor risiko atherosclerosis, atau penebalan dinding pembuluh darah jantung.

    “Biasanya kalau orang sakit jantung penyebab utamanya atherosclerosis,” kata dr Bimo Kusumo, SpBTKV, dokter bedah kardiovaskular, dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (30/5/2025).

    Menurut dr Bimo, kolesterol tinggi memang dapat meningkatkan risiko penumpukan plak di pembuluh darah, termasuk yang menuju ke jantung. Penumpukan tersebut lama kelamaan dapat memicu sumbatan yang berakibat fatal.

    “Kan jantung nggak dapat aliran darah, nggak dapat makan. Lama-lama bagian yang nggak dapat makan ini menipis, terus melebar jantungnya. Pembesaran jantung,” jelas dr Bimo.

    “Yang tadinya kuat memompa 100 persen ke tubuh, turun fungsinya. Lama-lama capek, lama-lama gagal jantung,” lanjutnya.

    Simak Video “Video Hasil Studi: Rutin Jalan Cepat Turunkan Risiko Gangguan Irama Jantung”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Berdebar-debar saat Bangun Tidur, Normalkah? Ini Kata Dokter Jantung

    Berdebar-debar saat Bangun Tidur, Normalkah? Ini Kata Dokter Jantung

    Jakarta – Jantung berdebar-debar saat bangun tidur patut diwaspadai, meski tidak selalu berkaitan dengan kondisi serius. Dokter jantung menjelaskan beberapa kemungkinan penyebabnya.

    Menurut spesialis jantung dr Yuri Afifah, SpJP, jantung berdebar-debar saat bangun tidur bisa disebabkan oleh kondisi fisiologis maupun patologis. Kondisi fisiologis artinya normal-normal saja sebagai akibat dari beberapa kemungkinan pemicu.

    “Fisiologis contohnya mungkin habis minum kopi terlalu banyak, akhirnya bangun berdebar. Atau karena mimpi buruk. Itu normal,” jelasnya dalam perbincangan dengan detikcom di Depok, Jawa Barat, Rabu (28/5/2025).

    “Yang nggak normal adalah saat tidak ada apa-apa, tidak ada pemicu, bangun tiba-tiba berdebar,” lanjutnya.

    Menurut dr Yuri, kondisi patologis juga bisa ditandai dengan denyut yang tidak teratur. Cara mudah untuk mendeteksinya adalah dengan meraba nadi, misalnya di pergelangan tangan.

    “Kalau denyutannya tidak teratur, berarti itu salah satu tanda aritmia. Tanda lain mungkin saja denyutnya teratur tapi di atas 150 kali per menit,” jelas dr Yuri.

    Kondisi lain yang juga bisa diwaspadai sebagai pertanda jantung bermasalah adalah Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau terbangun tengah malam karena batuk. Menurut dr Yuri, ini bisa menandakan fungsi jantung yang melemah dan bisa mengarah ke gagal jantung.

    Ia juga menyebut dyspnea on effort sebagai tanda-tanda yang perlu diwaspadai ketika fungsi jantung mulai bermasalah. Dyspnea on effort artinya mudah sekali merasa lelah meski hanya melakukan aktivitas ringan.

    (up/up)

  • Video: CISDI Ungkap Aturan Food Labelling Pemerintah Masih Maju Mundur

    Video: CISDI Ungkap Aturan Food Labelling Pemerintah Masih Maju Mundur

    Jakarta – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengungkapkan progres kebijakan pemerintah soal aturan food labelling yang dinilai masih maju mundur.

    Sebelumnya, pemerintah tengah membahas soal aturan pemberlakukan label pada produk pangan dan olahan siap saji untuk menurunkan konsumsi makanan tidak sehat masyarakat Indonesia. Simak penjelasannya di video berikut…

    (/)

  • Nyicil Bugar Jelang Hari Raya, Sempatkan Olahraga Biar Leluasa Makan Enak

    Nyicil Bugar Jelang Hari Raya, Sempatkan Olahraga Biar Leluasa Makan Enak

    Jakarta – Hari raya Idul Adha identik dengan berbagai santapan enak olahan daging kurban. Mumpung masih ada waktu, sebaiknya nyicil bugar biar bisa ikut menikmati santapan lezat.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi mengingatkan, salah satu cara untuk menjaga kesehatan adalah dengan menjaga asupan yang masuk ke dalam tubuh. Mengingat saat Idul Adha akan banyak makanan bersantan dan berlemak, maka imbangi dengan pembakaran kalori yang cukup.

    “Misalnya pas lebaran (Idul Adha) kita makannya bersantan, berlemak, jangan lupa besoknya olahraga. Jangan malah mager, harus diimbangi. Jadi kita balance kan,” kata dr Nadia pada detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    Menurut dr Nadia, kebiasaan sehat ini berawal dari rumah. Misalnya saat memasak, penggunaan gula, garam, dan juga lemak perlu dikontrol.

    Setelah itu, seseorang juga harus memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatannya. Salah satunya dengan rutin berolahraga.

    “Penyakit tidak menular itu, bukan artinya hari ini kita makan garam begitu banyak besok kita sakit, nggak kan. Tapi butuh proses 5-10 tahun sampai sebelum dia pada akhirnya mengidap jantung, stroke, kemudian masalah ginjal. Itu kan yang paling sering,” jelas dr Nadia.

    “Karena masalah kesehatan nggak datang dalam beberapa minggu, tapi bertahun-tahun setelah kita hipertensi. Jadi kalau punya hipertensi, ya harus dijaga supaya terkontrol,” pungkasnya.

    (sao/up)

  • Soal Dampak Minyak Babi untuk Kesehatan, Ini Kata Kemenkes

    Soal Dampak Minyak Babi untuk Kesehatan, Ini Kata Kemenkes

    Jakarta – Kandungan lemak jahat dalam minyak babi menjadi kekhawatiran tersendiri, terlepas dari status non halal bagi umat muslim. Bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, minyak apapun yang tidak sehat tetap perlu dibatasi.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi, menegaskan fokus utama dari minyak bukan dari sumbernya melainkan pola konsumsinya. Bukan cuma minyak babi, minyak yang lain juga bisa mengandung lemak jahat.

    “Yang pasti kita harus jaga bagaimana lemak trans ya, itu adalah asam lemak tidak jenuh, itu yang penting,” terang dr Nadia saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    “Kalau asalnya apakah dari babi atau dari sawit, atau dari yang lainnya, itu kita tidak melihat dari sumber asalnya. Tapi yang penting konsumsi lemak trans, ya asam lemak tidak jenuh, itu yang kita batasi,” sambungnya.

    Seperti yang diketahui, asam lemak tidak jenuh memang menjadi faktor risiko penyakit jantung. Konsumsi yang berlebihan dapat meningkatkan berat badan, maupun gangguan pada sistem kardiovaskular.

    “Jadi sebenarnya sama saja (sumbernya), yang penting hasil akhirnya. Jadi, kita tahu bahwa dia itu asam lemak transnya itu berisiko menimbulkan penyakit, seperti jantung koroner,” kata dr Nadia.

    “Jadi, yang penting adalah batas konsumsi dari asam lemak tidak jenuh, itu yang harus diikuti,” pungkasnya.

    (sao/up)

  • Bermunculan Varian Baru COVID-19 di Asia, Masih Punya Masker dan Hand Sanitizer?

    Bermunculan Varian Baru COVID-19 di Asia, Masih Punya Masker dan Hand Sanitizer?

    Foto Health

    AN Uyung Pramudiarja – detikHealth

    Sabtu, 31 Mei 2025 20:04 WIB

    Jakarta – Meningkatnya kasus COVID-19 di kawasan Asia jadi pengingat bahwa virus ini masih ada dan terus bermutasi. Masih adakah yang sedia masker dan hand sanitizer?

  • Varian Baru COVID-19 Bermunculan, RI Waspadai Peningkatan Kasus di Asia

    Varian Baru COVID-19 Bermunculan, RI Waspadai Peningkatan Kasus di Asia

    Foto Health

    AN Uyung Pramudiarja – detikHealth

    Sabtu, 31 Mei 2025 19:01 WIB

    Jakarta – Kemenkes RI turut mewaspadai peningkatan COVID-19 di kawasan Asia. Transmisi penularan masih relatif rendah, namun pengawasan dan pemeriksaan mulai diperkuat.

  • Varian Baru Dominasi Peningkatan COVID-19 di Asia, Waspadai Gejala Ini

    Varian Baru Dominasi Peningkatan COVID-19 di Asia, Waspadai Gejala Ini

    Jakarta

    Peningkatan kasus COVID-19 terjadi di Asia, didominasi varian baru yang berbeda di tiap negara. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, varian yang dominan di Indonesia adalah MB.1.1 yang masih berkerabat dengan varian Omicron.

    Terkait kemunculan beberapa varian baru COVID-19, epidemiolog Dicky Budiman menyarankan untuk tidak panik. Menurutnya, risiko penularan cukup dicegah dengan kembali menerapkan hidup sehat dan menggunakan masker saat berada di tempat ramai.

    “Esensi penggunaan masker ini masih relevansi di kondisi saat ini, walaupun tentu tidak seperti waktu masa pandemi. Gunakan masker di tempat-tepat dengan kualitas udara yang buruk ataupun transportasi publik, karena tidak hanya bicara penyebaran COVID-19, tetapi juga infeksi saluran napas lainnya,” jelas Dicky saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    Gejala seperti apa yang perlu diwaspadai?

    Menurut Dicky, peningkatan kasus COVID-19 dapat dipantau dengan melakukan surveilans, seperti tes COVID-19. Namun secara individual, testing semacam ini belum terlalu dibutuhkan.

    Meski demikian, testing secara mandiri sangat dimungkinkan karena saat ini banyak tersedia di fasilitas kesehatan. Testing dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis, mengingat gejala yang muncul pada subvarian COVID-19 yang beredar saat ini dengan influenza hampir mirip.

    “Amat sangat sama dan tidak ada perubahan yang menonjol ya. Kecuali saat ini gejalanya tidak seperti dulu, misal anosmia yang mengganggu indera penciuman dan perasa sekarang aman jarang ada,” beber Dicky.

    “Tapi gejalanya tidak separah itu. Gejala yang muncul seperti batuk, pilek, demam, nyeri saat menelan, nyeri kepala, apalagi kalau sudah beringus, punya sinus yang membuat nyeri kepala, jadi hampir mirip dengan flu lah ya,” lanjutnya.

    NEXT: Bervariasi tergantung imunitas

    Meski begitu, gejala yang muncul juga kadang-kadang bergantung pada imunitas seseorang. Dicky mengatakan gejala yang dialami karena COVID-19 bisa sedikit lebih lama, terlebih saat imunitasnya menurun.

    “Misalnya kalau flu mungkin biasanya tiga hari sudah mereda, ini bisa sampai lima hari. Jadi gejalanya jauh lebih panjang dari flu biasa,” tuturnya.