Jenis Media: Kesehatan

  • Perbedaan Batuk TBC dan Batuk karena Alergi Menurut Dokter Paru

    Perbedaan Batuk TBC dan Batuk karena Alergi Menurut Dokter Paru

    Jakarta

    Batuk merupakan masalah kesehatan yang sangat umum dan dapat disebabkan banyak faktor. Dua di antaranya adalah batuk akibat tuberkulosis (TBC) dan batuk akibat alergi.

    Meski keduanya sama-sama menimbulkan gangguan pernapasan, nyatanya ada perbedaan gejala yang mendasar di antara keduanya. Mengenali perbedaanya sangat penting untuk penanganan tepat dan efektif.

    Seperti apa sih perbedaannya?

    Kata Dokter Soal Gejala Batuk TBC

    Spesialis paru dr Erlang Samoedro, SpP(K) menuturkan ada beberapa ciri yang bisa terlihat dari batuk akibat TBC. Menurutnya, batuk akibat TBC biasanya berlangsung terus menerus dalam waktu yang cukup lama.

    dr Erlang menyarankan untuk melakukan pemeriksaan jika gejala batuk tanpa henti bertahan selama 2 pekan atau lebih. Ini penting untuk mengetahui apakah gejala batuk yang dialami berkaitan dengan TBC atau tidak.

    “Kalau dia batuk lebih dari 2 minggu dia harus periksakan ke tenaga kesehatan. Batuk berdahak dua minggu, lalu berdahak. Kemudian kalau ada batuk darah itu cepat untuk dicurigai sebagai TB, jadi harus diperiksakan secara lebih lanjut,” kata dr Erlang ketika dihubungi beberapa waktu lalu.

    Selain itu, batuk akibat TBC juga disertai gejala lain, seperti demam, meriang, sesak napas, dan nyeri dada. Infeksi TBC juga dapat memicu penurunan berat badan dan keringat malam meski tidak melakukan kegiatan fisik.

    Indonesia pada saat ini menjadi salah satu negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia. Jumlah kasus TBC di Indonesia tembus 1.090.000 kasus dengan 125 ribu angka kematian. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dengan kasus TBC terbanyak.

    Gejala Batuk karena Alergi

    Batuk akibat alergi bisa muncul karena reaksi alergi terhadap zat-zat alergen yang terbawa udara seperti serbuk sari, spora jamur, dan tungau debu. Kondisi ini biasanya juga disertai bersin, hidung berair atau tersumbat, mata berair, hingga kelelahan.

    Tidak seperti TBC, gejala alergi biasanya tidak menyebabkan demam, nyeri, atau kelelahan yang signifikan. Gejala-gejala alergi seringkali hilang-timbul dari waktu ke waktu, dan bisa berlangsung lebih panjang, bahkan berbulan-bulan, tergantung pada alergen.

    Selain itu, batuk akibat alergi umumnya tidak menular seperti TBC yang bisa menyebar dengan mudah. Untuk memastikan gejala lebih jelas, pemeriksaan secara langsung ke tenaga medis perlu dilakukan.

    (elk/tgm)

  • Jepang Waspada Cuaca Panas Ekstrem, Suhu Tembus Lebih dari 30 Derajat Celsius

    Jepang Waspada Cuaca Panas Ekstrem, Suhu Tembus Lebih dari 30 Derajat Celsius

    Jakarta

    Setidaknya empat orang dilaporkan meninggal dunia akibat heatstroke di Jepang. Japan Meteorological Agency (JMA) mengimbau masyarakat untuk mengambil langkah pencegahan menghadapi gelombang panas yang mulai melanda negara tersebut.

    Keempat orang yang meninggal akibat sengatan panas seluruhnya merupakan lansia, termasuk seorang perempuan berusia 96 tahun yang ditemukan pingsan di sebuah ladang di Prefektur Gunma dan kemudian dinyatakan meninggal dunia.

    Di Tokyo, dokter merawat 169 orang yang mengalami gejala heatstroke pada Selasa, serta 57 orang lainnya pada Rabu, menurut laporan Agence France-Presse (AFP).

    Lonjakan suhu yang tiba-tiba terjadi mulai Selasa. Wilayah Kofu mencatat suhu tertinggi sebesar 38,2 derajat Celsius, lebih dari 10 derajat di atas rata-rata suhu pertengahan Juni, yang biasanya merupakan musim hujan di Jepang. Suhu 37,7 derajat juga tercatat di Prefektur Gunma, dan 37,6 derajat di Shizuoka.

    Sementara itu, Tokyo mencatat suhu tertinggi 34,8 derajat Celsius, dan Osaka mencapai 33,4 derajat. Menurut JMA, sebanyak 547 lokasi di seluruh negeri melaporkan suhu di atas 30 derajat. Suhu di atas rata-rata diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir pekan.

    “Panas saat ini jelas tidak biasa,” kata Yukiko Imada, seorang profesor di departemen Penelitian Sistem Iklim Universitas Tokyo, dikutip dari SCMP.

    “Untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai, lebih dari 150 lokasi mengalami suhu panas ekstrem yang melebihi 35 derajat pada pertengahan Juni. Hal yang tidak biasa lainnya adalah bahwa front baiu, atau front hujan musiman, telah menghilang, meskipun kita berada di tengah musim hujan,” ungkapnya.

    Imada menjelaskan penyebab utama panas ekstrem tersebut adalah meluasnya sistem tekanan tinggi Pasifik di atas kepulauan Jepang, yang terjadi tidak pada musimnya. Biasanya, sistem tekanan tinggi ini baru meluas di wilayah Jepang pada bulan Juli atau Agustus, ujarnya.

    Ia menambahkan bahwa prakiraan cuaca tiga bulanan dari Badan Meteorologi Jepang (JMA) juga mengkhawatirkan. “Ada kemungkinan besar suhu tahun ini akan berada di atas normal,” ujarnya.

    Badan tersebut telah mengeluarkan peringatan heatstroke untuk sebagian besar wilayah Jepang selama tiga hari terakhir. Pada Kamis (19/6), peringatan tersebut masih berlaku untuk Prefektur Okinawa, bagian selatan Kyushu, serta wilayah Jepang tengah seperti Kyoto dan Nara.

    (suc/suc)

  • Pria Bandung Barat Positif Hantavirus, Penyakit Menular dari Tikus

    Pria Bandung Barat Positif Hantavirus, Penyakit Menular dari Tikus

    Jakarta

    Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat (KBB) melaporkan seorang pria dinyatakan positif hantavirus diduga setelah digigit tikus saat sedang bekerja di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.

    “Kami sudah melakukan surveilans dan mitigasi. Betul bahwa 1 warga Ngamprah KBB positif Virus Hanta hasil uji lab dari Balai Besar Laboratorium Kesehatan RI di Salatiga,” kata Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat Ridwan Abdullah Putra saat dikonfirmasi detikJabar, Rabu (18/6/2025).

    Pasien awalnya mengeluh pusing, demam, dan nyeri lambung. Sempat dikira leptospirosis, hasil tes laboratorium menunjukkan dia terkena hantavirus.

    Apa itu penyakit hantavirus?

    Dikutip dari Healthline, hantavirus adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus dari genus Orthohantavirus. Virus penyakit ini disebarkan oleh rodensia atau hewan pengerat seperti tikus.

    Orang-orang tertular hantavirus melalui kontak dengan hewan pengerat seperti tikus, terutama saat terkena urine, kotoran, dan air liur hewan pengerat tersebut. Virus hanta juga dapat menyebar melalui gigitan atau cakaran hewan pengerat, tetapi kasus ini jarang terjadi.

    Beberapa jenis hantavirus diketahui menyebabkan demam berdarah dengan sindrom ginjal atau hemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS). Ada juga yang mengalami gejala penyakit pernapasan parah yang disebut sindrom paru hantavirus atau hantavirus pulmonary syndrome (HPS).

    Gejala penyakit hantavirus

    Infeksi hantavirus dapat menyebabkan berbagai gejala, dengan tanda-tanda awal yang sering menyerupai flu. Gejala-gejala tersebut meliputi demam, kelelahan, dan nyeri otot, terutama di paha, pinggul, punggung, dan bahu.

    Gejala awal lainnya dapat meliputi sakit kepala, pusing, menggigil, dan masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan nyeri perut.

    Gejala selanjutnya, terutama pada Sindrom Paru Hantavirus (HPS), meliputi sesak napas dan batuk, karena cairan menumpuk di paru-paru. Dalam kasus yang parah, HPS dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.

    Beberapa gejala lain yang bisa muncul antara lain:

    demamkelelahannyeri ototsakit kepalapusingmenggigilmualmuntahdiarenyeri perut

    (kna/kna)

  • Pria Bandung Barat Positif Hantavirus, Penyakit Menular dari Tikus

    Pria Bandung Barat Positif Hantavirus, Penyakit Menular dari Tikus

    Jakarta

    Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat (KBB) melaporkan seorang pria dinyatakan positif hantavirus diduga setelah digigit tikus saat sedang bekerja di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.

    “Kami sudah melakukan surveilans dan mitigasi. Betul bahwa 1 warga Ngamprah KBB positif Virus Hanta hasil uji lab dari Balai Besar Laboratorium Kesehatan RI di Salatiga,” kata Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat Ridwan Abdullah Putra saat dikonfirmasi detikJabar, Rabu (18/6/2025).

    Pasien awalnya mengeluh pusing, demam, dan nyeri lambung. Sempat dikira leptospirosis, hasil tes laboratorium menunjukkan dia terkena hantavirus.

    Apa itu penyakit hantavirus?

    Dikutip dari Healthline, hantavirus adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus dari genus Orthohantavirus. Virus penyakit ini disebarkan oleh rodensia atau hewan pengerat seperti tikus.

    Orang-orang tertular hantavirus melalui kontak dengan hewan pengerat seperti tikus, terutama saat terkena urine, kotoran, dan air liur hewan pengerat tersebut. Virus hanta juga dapat menyebar melalui gigitan atau cakaran hewan pengerat, tetapi kasus ini jarang terjadi.

    Beberapa jenis hantavirus diketahui menyebabkan demam berdarah dengan sindrom ginjal atau hemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS). Ada juga yang mengalami gejala penyakit pernapasan parah yang disebut sindrom paru hantavirus atau hantavirus pulmonary syndrome (HPS).

    Gejala penyakit hantavirus

    Infeksi hantavirus dapat menyebabkan berbagai gejala, dengan tanda-tanda awal yang sering menyerupai flu. Gejala-gejala tersebut meliputi demam, kelelahan, dan nyeri otot, terutama di paha, pinggul, punggung, dan bahu.

    Gejala awal lainnya dapat meliputi sakit kepala, pusing, menggigil, dan masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan nyeri perut.

    Gejala selanjutnya, terutama pada Sindrom Paru Hantavirus (HPS), meliputi sesak napas dan batuk, karena cairan menumpuk di paru-paru. Dalam kasus yang parah, HPS dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.

    Beberapa gejala lain yang bisa muncul antara lain:

    demamkelelahannyeri ototsakit kepalapusingmenggigilmualmuntahdiarenyeri perut

    (kna/kna)

  • 5 Tanda Batuk karena Alergi Bukan Batuk Flu

    5 Tanda Batuk karena Alergi Bukan Batuk Flu

    Jakarta

    Ketika cuaca tidak menentu, masalah batuk sering datang mengganggu. Tapi, perlu diingat bahwa penyebab batuk tidak semuanya sama. Ada yang disebabkan oleh virus seperti flu, tapi ada juga yang berupa reaksi alergi. Seperti apa perbedaanya?

    Perbedaan Batuk Alergi Vs Batuk Flu

    Ada beberapa perbedaan mendasar antara gejala batuk akibat alergi dan akibat infeksi flu. Pemahaman gejala yang jelas, membuat penanganan masalah batuk bisa dilakukan secara efektif.

    1. Penyebab Batuk

    Batuk akibat alergi biasanya disebabkan oleh alergen. Alergen tiap orang berbeda-beda, misalnya disebabkan debu, serbuk sari, bulu hewan, jamur, atau tungau. Alergen memicu pelepasan histamin yang menyebabkan peradangan ringan pada saluran napas.

    Sedangkan, batuk akibat flu biasanya disebabkan oleh adanya infeksi virus, terutama influenza. Infeksi virus menyerang sistem pernapasan atas dan bawah, sehingga memicu peradangan saluran napas dan produksi lendir berlebih.

    2. Jenis Batuk

    Jenis batuk yang disebabkan oleh alergi dan flu juga sedikit berbeda. Pada alergi, gejala batuk biasanya dipicu oleh post-nasal drip (lendir yang menetes ke bagian belakang tenggorokan). Batuk akibat alergi biasanya hilang-timbul.

    Sedangkan infeksi flu biasanya memicu batuk yang cenderung kering. Batuknya bisa muncul terus menerus dan dapat memburuk seiring waktu. Pada kasus yang parah, gejalanya bisa disertai sesak napas.

    3. Gejala Penyerta

    Batuk akibat flu biasanya juga disertai oleh demam tinggi. Sedangkan pada kasus alergi, masalah batuk tidak disertai oleh demam.

    Batuk akibat flu juga dapat diserta kelelahan ekstrem dan pegal-pegal. Biasanya gejala kelelahan ini muncul secara tiba-tiba. Rasanya seperti susah untuk bangun dari tempat tidur karena nyeri otot dan kelelahan.

    Sedangkan, pada kasus alergi, gejala kelelahan biasanya bersifat lebih ringan dan tidak disertai pegal-pegal hebat.

    4. Durasi Batuk

    Gejala alergi seperti batuk biasanya muncul secara perlahan dan bisa berlangsung berminggu atau bahkan berbulan-bulan. Ini tergantung pada lama paparan terhadap alergen.

    Sedangkan pada flu, gejalanya bisa muncul secara tiba-tiba dan memburuk dalam hitungan jam. Kondisi ini menyebabkan masalah kesehatan yang cukup berat selama beberapa hari atau lebih.

    5. Efek pada Kepala

    Selain batuk, alergi juga dapat memicu sakit kepala. Tapi, rasa nyeri sakit kepalanya cenderung ringan bila dibandingkan infeksi flu. Nyeri yang muncul biasanya terkait tekanan pada sinus serta hidung tersumbat.

    Orang yang mengalami alergi biasanya juga mengalami hidung meler dan tersumbat dalam waktu lama, hingga berminggu-minggu.

    (avk/tgm)

  • BPOM Beri Warning! 13 Obat Herbal yang Bahayakan Lambung dan Picu Risiko Fatal

    BPOM Beri Warning! 13 Obat Herbal yang Bahayakan Lambung dan Picu Risiko Fatal

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menyoroti sedikitnya 13 produk obat bahan alam (OBA) dan suplemen kesehatan yang terbukti mengandung bahan kimia obat (BKO), zat keras yang seharusnya hanya digunakan di bawah pengawasan medis.

    Dari jumlah itu, 9 produk berasal dari dalam negeri dan 4 produk impor dari Thailand dan Singapura yang dikhawatirkan masuk ke Indonesia secara ilegal.

    “Ini bukan hanya pelanggaran administratif. Ini menyangkut keselamatan konsumen,” tegas Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).

    Klaim Stamina Pria hingga Penurun Gula Darah

    Sebagian besar produk mencantumkan klaim sebagai peningkat stamina pria, pelangsing, hingga penurun gula darah. Namun di balik klaim yang menjanjikan, ditemukan kandungan obat keras seperti sildenafil, tadalafil, vardenafil, metformin, hingga deksametason.

    9 Produk Herbal Lokal yang Terbukti Mengandung BKO:

    Harimau Putih mengandung sildenafil sitratOne Man mengandung sildenafilAmirna Lelaki mengandung tadalafilUrat Madu Gold mengandung sildenafilRedak-sam mengandung asam mefenamatJarak Pagar mengandung asam mefenamatContra Lin mengandung natrium diklofenakReal Slim Ultimate mengandung sibutraminVitamin Gemuk Alami mengandung deksametason dan siproheptadin.

    BPOM menyebut seluruh produk ini tidak memiliki izin edar resmi, atau justru memakai nomor izin palsu.

    4 Produk Impor Thailand-Singapura yang Patut Diwaspadai:

    1. Curalin Advanced Glucose Support

    Laporan: Otoritas Singapura
    Kandungan: glibenklamid dan metformin
    Risiko: hipoglikemia berat lantaran dikonsumsi tanpa pengawasan

    2. Jiu Jeng Pushen Jiao Nang

    Laporan: Otoritas Thailand
    Kandungan: tadalafil
    Risiko: stroke, gangguan penglihatan, hingga kematian

    3. YA-GET 30

    Laporan: Thailand
    Kandungan: sildenafil dan vardenafil
    Risiko: stroke dan gangguan jantung

    4. Su PAO San Brand Tonic Capsule

    Laporan: Thailand
    Kandungan: sildenafil
    Risiko: kerusakan saraf mata, stroke

    “Keempat produk itu belum memiliki izin edar di Indonesia, tetapi berpotensi masuk secara ilegal, terutama lewat penjualan daring,” jelas Taruna.

    Efek Samping BKO yang Wajib Diwaspadai

    BPOM mengungkap sejumlah efek berbahaya dari BKO dalam OBA, di antaranya:

    Sildenafil, Tadalafil, Vardenafil meliputi risiko stroke, gangguan penglihatan, bahkan kematianAsam Mefenamat, Natrium Diklofenak, bisa memicu gangguan lambung dan kerusakan hatiSibutramin meningkatkan risiko serangan jantung dan strokeDeksametason, Siproheptadin, menyebabkan gangguan hormon dan penurunan imunitas.

    BPOM menegaskan bakal menindak tegas pelaku usaha yang mencampurkan BKO ke dalam produk OBA. Tindakan ini melanggar UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp 5 miliar.

    “Pengawasan ini adalah tanggung jawab bersama. Mari kita jaga bersama citra obat herbal Indonesia yang seharusnya aman, alami, dan berbasis kearifan lokal,” tutup Taruna.

    (elk/naf)

  • Video KuTips: Rumus Serba 20 Buat Kamu yang Sering Lihat Layar Digital

    Video KuTips: Rumus Serba 20 Buat Kamu yang Sering Lihat Layar Digital

    Jakarta – Mata bekerja ekstra di era digital ini. Buat bekerja, belajar, nonton, atau bahkan sekadar scrolling media sosial depan layar. Tapi tahukah detikers, kalau terlalu lama menatap layar digital atau monitor bisa memicu kondisi Computer Vision Syndrome (CVS). Gejalanya seperti mata menjadi, buram, nyeri kepala, iritasi mata, mata kering, atau nyeri bagian leher.

    Nah untuk mencegah dan mengatasi kondisi itu, ketika menggunakan layar, diperlukan selingan istirahat yang dikenal dengan istilah rules of twenty 20:20:20. Simak arti aturan tersebut di video KuTips berikut.

    Masih banyak tips dan trik lain yang bisa kamu saksikan di program KuTips, klik ini ya!

    (/)

  • Video Kemenkes: Kasus Penyakit Menular Seksual Usia 15-19 Tahun Meningkat

    Video Kemenkes: Kasus Penyakit Menular Seksual Usia 15-19 Tahun Meningkat

    JakartaKementerian Kesehatan (Kemenkes) ungkap mayoritas kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) terjadi pada usia produktif, yakni usia 25-49 tahun. Namun, memang 3 tahun terakhir terjadi tren peningkatan kasus pada usia 15-19 tahun. IMS adalah suatu penyakit yang ditularkan melalui hubungan intim.

    Kemenkes bilang ada lebih dari 30 mikroorganisme penyebab IMS dan 8 di antaranya punya insiden yang tinggi seperti sifilis, gonore, klamidia, trichomoniasis, hepatitis B, herpes simplex, HIV, dan HPV. Seperti apa tren kasusnya di Indonesia? Simak penjelasan lengkapnya…

    detikers, jangan lupa klik di sini untuk melihat video-video 20Detik lainnya!

    (/)

  • Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Jakarta

    Saya sendiri sudah lebih dari setahun tidak bisa berlama-lama melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Padahal di awal pandemi, saya bisa berjam-jam berdiri di dapur membuat roti. Tapi setelah sembuh dari COVID-19, hidup saya tidak pernah benar-benar kembali seperti semula.

    Selama dua tahun setelah sembuh, tubuh saya sulit diajak kompromi. Aktivitas fisik ringan pun bisa memicu rasa lelah yang tak biasa, pegal di sekujur badan, dan kadang nyeri pinggul. Dari luar, saya terlihat baik-baik saja. Tapi tubuh saya bicara sebaliknya.

    Bukan hanya orang dewasa, anak-anak ikut terdampak. Misalnya Indra (bukan nama sebenarnya), 11 tahun. Ia nyaris putus sekolah setelah didiagnosis epilepsi fokal usai sembuh dari COVID-19. Sebelum itu, ia kerap mengeluh sakit kepala selama berbulan-bulan, matanya terasa ‘melayang’, dan sulit fokus belajar. Kini, muncul pula alergi yang sebelumnya tidak pernah ada. Setiap bulan, kedua orang tuanya harus merogoh kocek dalam untuk pengobatan.

    Tapi siapa yang peduli sekarang?

    Ketika Dunia Ingin Cepat ‘Move On’

    Indonesia sudah masuk era endemi. Tapi Long COVID tetap nyata. Sayangnya, topik ini nyaris lenyap dari ruang publik.

    Tak ada lagi kampanye. Tak ada edukasi di media sosial. Tak ada layanan pemulihan khusus. Bahkan, pejabat pun jarang membicarakan masalah ini.

    Padahal WHO menegaskan, Long COVID bisa menyerang siapa saja-bahkan mereka yang saat terinfeksi hanya mengalami gejala ringan.

    Gejalanya bukan sekadar batuk. Tapi bisa berupa:

    Kelelahan ekstremKebingungan mental (brain fog)Detak jantung tidak stabilDepresi dan kecemasanGangguan pernapasan atau nyeri dada,

    Dan masih banyak lagi gejala yang dirasakan penyintas COVID.

    Riset WHO memperkirakan 10-20 persen penyintas mengalami kondisi ini. Di Asia, angka itu bisa lebih tinggi karena banyak kasus infeksi yang tidak terdiagnosis atau tercatat.

    Negara Diam, Warga Cuek

    Long COVID seperti tak dianggap. Pemerintah diam, masyarakat pun bosan.

    Bisa jadi ini karena kepercayaan publik yang sudah telanjur rusak. Selama pandemi, informasi terus berubah. Banyak yang akhirnya skeptis-bahkan sinis.

    Tak sedikit yang berkomentar, “Ah, ini cuma mau jual vaksin lagi,” atau, “Nakut-nakutin biar kita takut lagi.”

    Lebih buruk lagi, gejala-gejala usai terkena COVID seperti kelelahan, gangguan saraf, atau nyeri dada seringkali dianggap sebagai efek vaksin, bukan virus. Ini membuat para penyintas makin terpinggirkan. Keluhan mereka sering kali dibantah atau dialihkan ke isu lain.

    Padahal, baik vaksin maupun virus COVID-19 bisa menimbulkan efek samping. Tapi tanpa komunikasi publik yang jujur dan terbuka, kebingungan ini hanya akan memperburuk stigma dan memecah solidaritas.

    Hidup dengan gejala yang tak diakui

    Yang paling menderita adalah penyintas. Mereka dipaksa terlihat sembuh, padahal belum.

    Ketika memeriksakan diri, diagnosis yang ditegakkan sering kali hanyalah psikosomatis atau gangguan lain tanpa mempertimbangkan kemungkinan Long COVID. Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani. Hasilnya nihil. Yang ada biaya membengkak, hasil tetap buram.

    Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani, namun tak ada hasil. Yang ada, habis biaya yang tak sedikit untuk mencari pengobatan. Banyak penyintas akhirnya memilih diam. Mereka berdamai sendiri dengan tubuh yang tak lagi seperti dulu.

    Tak ada ruang bicara. Tak ada empati. Hidup dalam masyarakat yang ingin cepat move on.

    Di luar, taman hiburan dan konser sudah ramai lagi. Tapi di rumah, ada yang bahkan keluar kamar pun tak sanggup.

    NEXT: Ketika dampaknya tak lagi personal

    Ketika dampaknya tak lagi personal

    Long COVID bukan hanya tentang individu yang menderita diam-diam. Dampaknya bisa jauh lebih luas.

    Beberapa pakar menduga penurunan fungsi kognitif akibat Long COVID, seperti kebingungan atau gangguan konsentrasi, bisa berkontribusi terhadap meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Gejala seperti brain fog, kelelahan akut, atau gangguan tidur bisa memengaruhi konsentrasi saat berkendara-tanpa disadari.

    Belum lagi meningkatnya kasus kematian mendadak pada usia produktif yang banyak dilaporkan belakangan ini. Meski tak semua bisa dikaitkan langsung, Long COVID patut dicurigai sebagai salah satu faktor tersembunyi yang memperburuk kondisi kesehatan tanpa gejala jelas.

    Beberapa perusahaan asuransi bahkan mencatat lonjakan klaim untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf dalam dua tahun terakhir. Gejala-gejala ini sejalan dengan daftar dampak Long COVID versi WHO.

    Apakah kita cukup serius melihat ini sebagai ancaman terhadap keselamatan publik?

    Long COVID adalah tes solidaritas

    Ini bukan cuma soal virus. Ini soal ingatan. Soal empati. Soal apakah kita benar-benar belajar dari pandemi.

    Jika negara terus mengabaikan, dan masyarakat terus melupakan, Long COVID akan menjadi luka kolektif yang tidak pernah sembuh.

    Saya menulis ini bukan untuk dikasihani. Tapi karena saya tahu masih banyak yang seperti saya, diam-diam menderita, tapi tak dianggap. Kami butuh didengar. Kami butuh diingat.

    Akhirnya, ini bukan lagi soal kesehatan. Ini soal solidaritas.

    Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Untuk menghadapi Long COVID secara serius, beberapa langkah awal bisa dilakukan:

    Pemerintah daerah dan pusat perlu membentuk layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan, bekerja sama dengan spesialis paru, neurologi, psikiatri, dan rehabilitasi medik. Selain itu menyediakan layanan booster vaksin untuk warga yang membutuhkan.Komunitas penyintas dan LSM bisa memperkuat peran advokasi dan pendampingan, terutama untuk kasus anak-anak dan penyintas rentan.Media massa perlu memberi ruang untuk cerita penyintas agar publik sadar bahwa penyakit ini belum selesai.Kita, sebagai individu bisa berkontribusi, misalnya dengan tetap memakai masker saat flu, rutin memeriksakan kesehatan pascainfeksi, dan berbagi informasi yang benar.

    Long COVID bukan aib. Ini bagian dari realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama, dengan ilmu, dengan empati, dan tentu saja, dengan hadirnya kebijakan.

    Catatan Redaksi: Penulis merupakan anggota Covid Survivor Indonesia (CSI) dan jurnalis lepas

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Ciri Kolesterol Tinggi yang Sering Disangka Masuk Angin

    Ciri Kolesterol Tinggi yang Sering Disangka Masuk Angin

    Jakarta

    Kadar kolesterol yang tidak dikontrol dengan baik dapat mempengaruhi kesehatan jantung dan pembuluh darah. Kolesterol secara umum dibagi menjadi dua, yaitu low-density lipoprotein (LDL) dan high-density lipoprotein (HDL).

    Kolesterol LDL oleh masyarakat umum disebut sebagai kolesterol ‘jahat’, sedangkan HDL disebut kolesterol ‘baik’.

    Kolesterol LDL tinggi merupakan salah satu faktor risiko berbagai penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner, stroke, aterosklerosis dan masih banyak lagi.

    Dalam kasus tertentu, terdapat beberapa gejala kolesterol yang dapat disalahartikan sebagai masuk angin. Masuk angin merupakan istilah non-medis yang diberikan ketika seseorang merasa tidak enak badan, mengalami gejala demam, kembung, kelelahan, meriang, pegal-pegal, dan sakit kepala.

    Sederet Ciri Kolesterol Tinggi yang Disangka Masuk Angin

    Secara umum, masalah kolesterol tinggi tidak menimbulkan gejala. Tapi, jika masalah kolesterol dibiarkan, ini bisa memicu komplikasi dengan gejala yang tidak nyaman. Berikut ini contoh gejalanya.

    1. Kelelahan atau Pegal

    Dalam beberapa kasus masalah kolesterol tinggi dapat memicu kelelahan secara tidak langsung. Ini disebabkan oleh komplikasi yang timbul akibat kadar LDL terlalu tinggi.

    Contohnya pada orang-orang yang sudah mengalami penyakit arteri perifer. Kondisi ini terjadi ketika plak terbentuk di arteri dan mencegah darah mencapai organ vital. Salah satu gejala yang ditimbulkan adalah kelelahan, khususnya pada telapak kaki.

    2. Pusing atau Sakit Kepala

    Pusing atau sakit kepala juga dapat muncul pada orang yang mengalami masalah kolesterol tinggi. Alasannya, kolesterol tinggi dapat menyumbat pembuluh darah dan arteri yang menghambat pasokan oksigen ke daerah kepala.

    Dalam beberapa kasus, kolesterol tinggi juga dapat menyebabkan pusing dan mual-mual, mirip dengan ketika masuk angin.

    3. Nyeri Otot dan Pegal

    Orang yang mengalami penyakit arteri perifer akibat kolesterol tinggi juga dapat mengalami nyeri otot atau pegal-pegal. Beberapa gejala lain penyakit arteri perifer meliputi kram, nyeri saat berolahraga, dan ketidaknyamanan di telapak kaki.

    Seiring berjalannya waktu, gejala penyakit arteri perifer bahkan bisa muncul ketika sedang istirahat. Misalnya kuku kaki menebal, jari kaki membiru, hingga nyeri kaki yang tidak hilang.

    4. Rasa Tidak Nyaman di Dada

    Kadar kolesterol yang tidak terkontrol dapat memicu masalah jantung. Masalah jantung seperti penyakit jantung koroner dan serangan jantung dapat memicu masalah rasa tidak nyaman pada dada.

    Pada kasus penyakit jantung koroner misalnya, gejalanya disertai dengan kelelahan parah, mual, sesak napas, hingga nyeri leher, rahang, perut bagian atas, dan punggung mirip dengan masuk angin.

    Perlu diingat, masuk angin biasanya juga memiliki tanda khusus seperti demam, pilek, batuk, dan sakit tenggorokan. Pada kasus kolesterol tinggi, gejala-gejala tersebut tidak muncul.

    Jika masih bingung, pemeriksaan medis secara langsung ke dokter bisa dilakukan. Ini perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti gejala penyakit apa yang sedang dialami oleh tubuh.

    (avk/tgm)